Barangkali Levi Strauss perlu intens
menulis tentang sejarah Mesir kuno, selain menulis tentang bangsa tropis
Amazon, utamanya ketika mengulas “pertukaran perempuan”, atau ketika ia bicara
soal incest. Sepertinya, bagi bangsa Mesir kuno, seks tidak dimaknai dan
dipraktekan secara monolitik, sebab bangsa Mesir kuno mempraktikkan seks dalam
perkawinan sekaligus sebagai komoditas untuk menemukan kesenangan yang sifatnya
hiburan, tak berbeda dengan bangsa Mesopotamia Kuno. Begitulah, dahulu kala, 5.000
tahun yang lalu di peradaban kuno Mesir tidak berbeda jauh dengan pendahulunya
Mesopotamia. Orang Mesir percaya bahwa seksualitas dan spiritualitas adalah satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagian besar orang Mesir menikmati seks
sebagai sarana hiburan selain sebagai sarana mendapatkan keturunan.
Kala itu, perkawinan antara saudara
khususnya dalam kerajaan dan dinasti Mesir kuno bukanlah suatu hal yang ganjil.
Seorang Raja bisa saja menikahi anak perempuannya sendiri, seorang kakak bisa
menikahi adik kandungnya sendiri. Hal ini di lakukan untuk menjaga kemurnian
darah Raja dan keturunannya di masa-masa itu. Dengan perkawinan sedarah ini,
keluarga kerajaan juga tetap terjaga dari unsur luar (menurut ilmu pengetahuan
modern, perkawinan sedarah ini akan ikut menurunkan penyakit keluarga). Catatan
seksualitas orang Mesir tercatat di dinding dalam piramida Giza berupa
gambar-gambar dan ukiran di dinding. Piramida ini adalah piramida tertua, yang sampai
sekarang masih berdiri kokoh yang didirikan oleh Raja Kuhfu 2560 tahun sebelum
masehi.
Simbolisme seks orang Mesir kuno digambarkan
dengan seorang pria sedang memegang tombak. Selain itu, terdapat simbolisme
seks lainnya berupa gambar sayap, burung, angsa, bahkan monyet. Menurut catatan
Herodotus, seorang sejarahwan Yunani kuno, Raja Kuhfu dari dinasti ke empat
kerajaan Mesir ini mengumpulkan dana untuk membangun Piramida Giza dengan
menjual putrinya sendiri sebagai komoditas bagi lembaga prostitusi.
Kesenangan bersamaan dengan keinginan
mendapatkan keturunan, erotisme, dan seks setelah kehidupan berikutnya adalah
semua elemen penting bagi seksualitas orang Mesir kuno. Mereka yang percaya dan
menjalankan kultur yang telah berumur hampir 5.000 tahun yang lalu ini,
berusaha menyelaraskan seks dan spiritualitas guna mencapai keseimbangan yang
harmonis di antara kesenangan jasmani dan kesempurnaan jiwa. Meski, seperti
kita tahu, seksualitas juga kemudian disakralkan ke dalam lembaga perkawinan
demi mencapai peradaban yang lebih maju dan harmonis dalam rangka membentuk
ketertiban sosial, menghilangkan semangat rasisme, dan utamanya sebagai fondasi
kehidupan keluarga yang merupakan pilar dasar atau fondasi utama kehidupan sosial-politik
masyarakat.
Secara arkeologis dan
kesejarahan, seperti yang dapat dibaca dan ditafsirkan dari bermacam-macam relief,
patung, dan benda-benda bersejarah lainnya, bisa diperkirakan bahwa konsep dan
pemaknaan (pemahaman) pernikahan orang Mesir kuno hampir tidak berbeda dengan
jaman kita sekarang ini. Jimmy Dunn (nama pena Mark Andrews), misalnya, menulis
dalam laman touregypt.net bahwa tradisi pernikahan sedarah antar saudara dan
antara ayah dan anak sudah dilakukan dalam keluarga kerajaan setidaknya sampai
kedatangan bangsa Yunani. Dalih atau dasar mitologis dan religi yang digunakan
untuk melakukan pernikahan sedarah bersumber dari mitos Mesir yang menyebutkan
pernikahan semacam itu terjadi di antara para dewa. Singkatnya, berdasarkan
pemahaman dan kepercayaan paganisme mereka. Hanya saja, sebagian ada yang
berteori bahwa itu hanya kedok untuk tetap mempertahankan kekuasaan dalam
lingkungan kerajaan dan dinasti mereka yang berkuasa. Sementara itu, kedatangan
orang Yunani meningkatkan persentasi pernikahan sedarah di luar anngota
kerajaan Mesir. Contoh lain pernikahan sedarah diperkirakan dilakukan oleh
Tutankhamun yang mungkin saat berusia 9 tahun telah menikahi saudara
perempuannya sendiri. Dalam kasus ini, pernikahan sedarah secara umum dilakukan
dalam umur yang masih sangat belia. Setelah memasuki masa pubertas, anak
laki-laki harus memenuhi kewajiban untuk bekerja dan dan mengurus keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar