Mungkin kebanyakan dari kita tak pernah
memperhatikan secara serius iklan-iklan kosmetik, semisal produk-produk
anti-aging, dan produk-produk kecantikan lainnya. Namun, ketika kita dekati dan
kita pahami dengan sedikit agak filosofis, misalnya, iklan-iklan kosmetik dan
anti-aging itu akan menyiratkan beberapa aspek dan cerita tentang kewajaran
yang manusiawi, terlepas dari kehadirannya yang terus-menerus itu merupakan
sejumlah modus penjualan alias strategi mesin pemompa hasrat untuk menghasut
dan merayu orang-orang, yang juga diistilahkan sebagai consumer society itu,
untuk selalu membeli.
Iklan-iklan kosmetik anti-aging itu,
dengan menampilkan kecantikan, tubuh, dan kemolekan, rupa-rupanya memang sengaja
ingin mengkontraskan dengan yang tidak cantik, tidak tampan, tidak bugar, dan
lain sebagainya, yang pada saat bersamaan menunjukkan apa yang diinginkan
banyak orang, yang disebut masyarakat konsumen itu: menjadi rupawan dan
didambakan banyak orang.
Dan, karena motif ekonomistik dan
politisnya itulah, iklan-iklan kosmetik dan anti-aging itu menampilkan
selebriti dan tokoh-tokoh populer yang tengah digandrungi sebagai metafor
peminjaman dari hasrat masyarakat konsumen itu sendiri yang ingin menjadi
seperti idola-idola mereka yang cantik, tampil menawan, dan tampak bahagia,
meski sekejap saja.
Demikian, bila dipahami dan didekati
dengan pendekatan dan pemahaman yang sedikit agak filosofis, rasa khawatir
untuk menjadi tua karena memang diidentikan dengan dan dipahami sebagai hilang
dan memudarnya kecantikan, pesona, dan daya-tarik seksual, dan karena itu pula,
menolak usia tua dengan produk-produk anti-aging merupakan sebuah kewajaran,
meski tentu saja tidak selamanya benar. Sebab, memang tidak ada salahnya untuk
tampil memikat, menawan, dan mempesona.
Maka wajarlah, kapitalisme, yang berkat
kecerdasannya dalam memahami hal-hal yang manusiawi, tiba-tiba jadi lebih peka
untuk menjadi cermin, media, dan sekaligus objek hasrat dan keinginan banyak orang
dengan iklan-iklan dan slogan-slogannya ketimbang khutbah-khutbah keagamaan
yang dalam beberapa hal tidak kreatif, dan ketika terjebak pada modus
kapitalisme, malah hanya menjadi wajah-palsu kapitalisme itu sendiri.
Sekalipun demikian, yang memang mesti
harus kita ingat, bahwa motif awalnya adalah menjual sejumlah produk, yang
meski tak mungkin kita nilai dan kita hakimi sebagai sesuatu yang buruk secara
ekonomistik, dan karena diciptakan dengan pemahaman kondisi yang memang
manusiawi dan dihasrati banyak orang itu, hingga menjelma apa yang kini
dinamakan sebagai industri kecantikan, sebuah dunia di mana ketampanan,
kemolekan, kebugaran dan lain sebagainya, telah diterima sebagai sebuah seni
dan telah mencipta ruang baru bagi kehidupan kreatif dan ekonomi itu sendiri,
yang ternyata tak mungkin dapat diingkari (Sulaiman Djaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar