Banyak sebab yang mendorongku untuk ikut mazhab Ahlul Bait (Syi’ah). Dan tidak mungkin bagiku menyebutnya secara rinci di sini kecuali sebagiannya saja.
1. Nas Khilafah
Aku
telah berjanji pada diriku ketika memasuki pembahasan ini untuk tidak berpegang
pada sebarang dalil melainkan ia benar-benar dianggap shahih oleh kedua mazhab,
dan membiarkan setiap dalil yang hanya diriwayatkan oleh satu mazhab saja. Laju
aku mulai menelaah tentang pemilihan (khilafah) antara Abu Bakar dan Ali bin
Abi Thalib, dan khilafah (kekhalifahan) pada dasarnya apakah hak Ali bila
dilihat dari sisi nash seperti yang diklaim oleh mazhab Syi’ah, atau ditentukan
oleh syura seperti yang dikatakan oleh mazhab Sunni. Apabila mereka yang
menelaah subjek ini benar-benar tulus untuk mencari sebuah kebenaran, maka
mereka akan dapati bahwa nash yang mengatakan Ali sebagai khalifah adalah nash
yang tak terbantahkan. Seperti sabda Nabi saw: “Siapa yang menganggap aku
sebagai maulanya (pemimpinnya) maka inilah Ali sebagai maulanya”. Hadis ini
beliau ucapkan sekembalinya beliau dari hajinya yang terakhir yang dikenal
dengan haji wada’. Usai pengangkatan, berduyun-duyun orang datang mengucapkan
selamat kepada Ali, termasuk Abu Bakar dan Umar sendiri. Mereka berkata:
“Selamat untukmu wahai Putera Abu Thalib. Kini kau adalah maulaku dan maula
setiap orang mukmin, laki-laki dan perempuan”.[1]
Hadis
ini telah disepakati keabsahannya oleh Sunni dan Syi’ah. Referensi yang
kusebutkan dalam telaahku ini adalah referensi yang berasal dari Ahlu Sunnah
saja. Itupun bukan semua. Karena yang semestinya adalah jauh lebih banyak dari
apa yang kusebutkan. Untuk memperoleh dalil-dalil yang lebih rinci aku mengajak
para pembaca untuk menelaah kitab al Ghadir karya al Allamah al Amini. Buku ini
setebal tiga belas jilid. Dan penulisnya telah mendaftarkan nama para perawi
hadis ini dari golongan Ahlu Sunnah yang cukup banyak. Adapun ijma’ yang
dinyatakan sebagai dasar dipilihnya Abu Bakar di Saqifah Bani Sa’idah, lalu
kemudian ia dibaiat di masjid adalah pernyataan yang tidak kokoh. Bagaimana hal
itu bisa dikatakan sebagai ijma’ sementara sejumlah pemuka sahabat seperti Ali,
Abbas dan anggota Bani Hashim yang lain tidak ikut serta membaiatnya. Begitu
juga Usamah bin Zaid, Zubair, Salman al Farisi, Abu Dzar al Ghifari, Miqdad bin
al Aswad, Ammar bin Yasir, Hudzaifah bin Yaman, Khuzaimah bin Thabit, Abu
Buraidah al Aslami, Barro’ bin Azib, Ubay bin Ka’ab, Sahal bin Hunaif, Sa’ad
bin Ubadah, Qais bin Sa’ad, Abu Ayub al Anshori, Jabir bin Abdullah, Khalid bin
Sa’ ad dan lain sebagainya.[2]
Di
mana ijma’ yang dikatakan itu wahai hamba-hamba Allah? Seandainya hanya Ali
saja yang tidak membaiat, maka itu sudah cukup sebagai bukti tercelanya ijma’
seumpama itu. Hal ini karena beliau adalah satu-satunya calon Khalifah yang
ditunjuk oleh Rasul saw, apabila kita katakan bahwa nash tersebut tidak
menunjuknya sebagai khalifah secara eksplisit. Sebenarnya bai’ at pada Abu
Bakar terjadi tanpa syuro atau musyawarah. Bai’at itu diambil ketika
orang-orang sekitarnya, terutama ahlul halli wal ‘aqdi, sedang bingung dan
sibuk dalam mengurus jenazah Nabi saw. Saat itu penduduk kota Madinah sedang
berkabung atas wafatnya Nabi mereka. Kemudian tiba-tiba dipaksa untuk mem bai’
at sang khalifah.[3] Hal ini dapat kita rasakan dari cara mereka
mengancam untuk membakar rumah Fatimah apabila penghuni yang berada di dalamnya
enggan memberikan baiat. Nah, bagaimana dapat kita katakan bahwa pemilihan sang
khalifah tersebut terjadi secara musyawarah dan ijma’? Umar sendiri pernah
berkata bahwa bai’at yang diambil waktu itu adalah tergesa-gesa, dan Allah
telah memelihara kaum muslimin dari kejahatannya. Beliau juga berkata bahwa
siapa saja yang mengulangi cara bai’at seperti itu, ia mesti dibunuh, atau
paling tidak bai’atnya tidak sah dan tidak diakui.[4]
Imam
Ali pernah berkata tentang haknya ini, yang antara lain: “Demi Allah, Ibnu Abi
Qahafah (Abu Bakar) telah memakainya (hak khilafahku) sedangkan beliau tahu
bahwa kedudukanku dengan khilafah ini bagaikan kedudukan kincir dengan roda”[5] (Nahjul Balaghah). Sa’ad bin Ubadah pemuka
kaum Anshar yang menyerang Abu Bakar dan Umar di hari Saqifah dan berusaha
mati-matian untuk mencegah mereka dari jabatan khilafah, namun tak mampu karena
sakit dan tak dapat berdiri, pernah berkata setelah kaum Anshar membaia’t Abu
Bakar: “Demi Allah, sekali-kali Aku tidak akan membai’at kalian sampailah
kulemparkan anak-anak panahku dan kulumurkan tombakku serta kupukulkan pedangku
dan kuperangi kalian bersama-sama keluarga dan kaumku. Demi Allah, seandainya
manusia dan jin berkumpul untuk membai’at kalian niscaya aku tetap tidak akan
memberikannya, sampai aku berjumpa dengan Tuhanku.” Sa’ad bin Ubadah tidak
shalat sama-sama mereka dan tidak ikut serta kumpul bersama mereka bahkan tidak
mau haji bersama-sama mereka. Seandainya ada sekelompok orang yang mau
memerangi mereka niscaya ia akan membantunya. Dan seandainya ada orang yang
membaiatnya untuk memerangi mereka niscaya ia akan perangi. Begitulah sikap
Sa’ad terhadap Abu Bakar sampai beliau wafat di Syam pada periode pemerintahan
Umar.[6]
Apabila
bai’at tersebut dilakukan secara tergesa-gesa di mana Allah telah memelihara
kaum muslimin dari keburukannya, seperti yang disinyalir oleh Umar sendiri,
arsitektur rencana ini dan tahu akibat yang akan diderita oleh kaum muslimin
karenanya. Dan apabila khilafah ini merupakan “pakaian” Abu Bakar saja,
(seperti yang diibaratkan oleh Imam Ali karena dia bukan empunya yang sah). Dan
apabila bai’at ini diambil secara zalim seperti vang dikatakan oleh Sa’ad bin
Ubadah, pemuka Anshor yang memisahkan diri dari jamaah karenanya. Dan apabila
bai’at ini tidak sah secara syari’at mengingat sahabat-sahabat yang besar
seperti Abbas paman Nabi tidak memberi-nya, lalu apa dasar dan alasan keabsahan
khilafah Abu Bakar? Jawabnya: tidak ada alasan dari kalangan Ahlu SunnahWal
Jamaah. Dengan demikian maka benarlah alasan dan hujjah Syi’ah dalam hal ini,
karena nash tentang kehalifahan Ali nyata ada dalam Ahlu Sunnah sendiri, namun
mereka telah menakwilkannya karena ingin memelihara “kemuliaan” sahabat. Tetapi
bagi orang yang insaf dan adil, dia tidak akan memperoleh sebarang alasan
kecuali harus menerima kenyataan nash ini. Terutama apabila ia ketahui
rangkaian peristiwa yang menyelubungi sejarah ini.[7]
2. Perselisihan
Antara Fatimah Dan Abu Bakar
Masalah
ini juga telah disepakati kebenarannya oleh dua mazhab, Sunni dan Syi’ah. Orang
yang insaf dan berakal tidak akan dapat lari kecuali harus mengatakan bahwa Abu
Bakar berada pada posisi yang keliru dalam perselisihannya dengan Fatimah,
meskipun ia tidak menolak fakta bahwa Abu Bakar pernah rnenzalirni Perempuan
Penghulu Alam semesta ini. Mereka yang menelaah sejarah ini dan mengetahui
seluk-beluknya secara rinci akan tahu pasti bahwa Abu Bakar pernah mengganggu
Fatimah Zahra’ dan mendustakannya secara sengaja, agar Fatimah tidak mempunyai
alasan untuk berhujjah dengan nash-nash al Ghadir dan lainnya akan keabsahan
hak khilafah suaminya dan putra-pamannya, yakni Ali bih Abi Thalib. Kami telah
temukan bukti-bukti yang cukup kuat dalam hal ini. Di antaranya adalah, seperti
dikatakan oleh ahli sejarah bahwa Fatimah Zahra’, (semoga Allah melimpahkan
padanya kesejahteraan) pernah keluar mendatangi tempat-tempat pertemuan kaum
Anshar dan minta mereka membantu dan membai’at Ali. Mereka menjawab: ”Wahai
putri Rasulullah, kami telah berikan bai’at kami pada orang ini (Abu Bakar).
Seandainya suamimu dan putra pamanmu mendahului Abu Bakar niscaya kami tidak
akan berpaling darinya.” Ali berkata: “apakah aku harus tinggalkan Nabi di
rumahnya dan tidak kuutus jenazahnya, lalu keluar berdebat tentang kepemimpinan
ini?” Fatimah menyahut, “Abul Hasan (Ali) telah melakukan apa yang sepatutnya
beliau lakukan, sementara mereka telah melakukan sesuatu yang hanya Allah
sajalah akan menjadi Penghisab dan Penuntutnya.”[8]
Seandainya
Abu Bakar memang berniat baik dan keliru maka kata-kata Fatimah telah cukup
untuk menyadarkannya. Tetapi Fatimah masih tetap marah padanya dan tidak
berbicara dengannya sampai beliau wafat. Karena Abu Bakar telah menolak setiap
tuntutan Fatimah dan tidak menerima kesaksiaannya, bahkan kesaksian suaminya
sekalipun. Semua ini telah menyebabkan Fatimah murka pada Abu Bakar sampai
beliau tidak mengizinkannya hadir dalam pemakaman jenazahnya, seperti yang dia
wasiatkan pada suaminya Ali. Fatimah juga berwasiat agar jasadnya dikuburkan
secara rahasia di malam hari tanpa boleh diketahui oleh mereka yang
menentangnya.[9] Untuk pembuktian ini saya sendiri telah
berangkat ke Madinah untuk memastikan kebenaran fakta sejarah ini. Di sana
kudapati bahwa pusaranya memang masih tidak diketahui oleh siapa pun. Sebagian
berkata ada di Kamar Nabi, dan sebagian lain berkata ada di rumahnya yang
berhadapan dengan Kamar Nabi. Ada juga yang berpendapat bahwa pusaranya terletak
di Baqi’, di tengah-tengah pusara keluarga Nabi yang lain. Tapi tiada satupun
pendapat yang berani memastikan dimana letaknya.
Alhasil,
aku berkesimpulan bahwa Fatimah Zahra’ sebenarnya ingin melaporkan kepada
generasi muslimin berikutnya tentang tragedi yang disaksikannya pada zamannya,
agar mereka bertanya-tanya kenapa Fatimah sampai memohon pada suaminya agar
dikebumikan di malam hari secara sembunyi dan tidak dihadiri oleh siapa pun.
Hal ini juga memungkinkan seorang muslim untuk sampai pada sebuah kebenaran
lewat telaah-telaahnva yang intensif dalam bidang sejarah. Aku juga mendapati
bahwa penziarah yang ingin berziarah ke kuburan Utsman bin Affan terpaksa harus
menempuh jalan yang cukup jauh agar bisa sampai ke sudut akhir dari wilayah
tanah pekuburan Jannatul Baqi’. Di sana dia juga akan dapati bahwa kuburan
Utsman berada persis di bawah sebuah dinding, semantara kebanyakan sahabat lain
dikuburkan di tempat yang berhampiran dengan pintu masuk Baqi’. Hatta Malik bin
Anas, imam mazhab Maliki, seorang Tabi’it-Tabi’in (generasi keempat setelah
Nabi) juga dikuburkan dekat dengan istri-istri Nabi.
Hal
ini bagiku bertambah jelas apa yang dikatakan oleh ahli sejarah bahwa Utsman
dikuburkan di Hasy Kaukab, sebidang tanah milik seorang Yahudi. Pada mulanya
kaum muslimin melarang jasad Utsman dikebumikan di Baqi’. Ketika Mua’wiyah
menjabat sebagai khalifah dia beli tanah milik si Yahudi, kemudian
memasukkannya sebagai bagian dari wilayah Baqi’, agar kuburan Utsman juga
termasuk di dalamnya. Mereka yang ziarah ke Baqi’ pasti akan dapat melihat
hakekat ini dengan jelas sekali. Aku semakin heran ketika kuketahui bahwa
Fatimah Zahra’ as adalah orang pertama yang menyusul kepergian avahnva. Antara
wafat Rasul dengan wafat Fatimah hanya dipisahkan selang waktu enam bulan saja.
Demikian pendapat sebagian ahli sejarah. Tapi -anehnya-beliau tidak dikuburkan
di sisi ayahnya! Apabila Fatimah Zahra’ berwasiat agar dikebumikan secara
rahasia, dan beliau tidak dikuburkan dekat dengan pusara ayahnya seperti yang
disebutkan di atas, lalu apa pula gerangan yang terjadi dengan jenazah putranya
Hasan yang tidak dikuburkan dekat dengan pusara datuknya Muhammad saw? Aisyah
melarang jasad Hasan dikebumikan di sana. Ketika Husain datang untuk
mengebumikan saudaranya Hasan di sisi pusara datuknya, Aisyah datang dengan
menunggangi baghalnya sambil berteriak, “jangan kuburkan di rumahku orang yang
tidak kusukai.” Bani Umayah dan Bani Hasyim saling berhadapan nyaris perang.
Tetapi Imam Husain kemudian berkata bahwa dia hanya membawa jenazah saudaranya
untuk “tabarruk” pada pusara datuknya, kemudian dikuburkan di Baqi’. Imam Hasan
pernah berpesan agar jangan tertumpah setetes pun darah karenanya. Dalam kontek
ini Ibnu Abbas mendendangkan syairnya kepada Aisyah:
Kau tunggangi
onta[10]
Kau tunggangi
baghal[11]
Kalau kau terus
hidup
kau akan
tunggangi gajah
Sahammu kesembilan
dari seperdelapan
tapi telah kau
ambil semuanya
Ini
adalah contoh dari rangkaian fakta yang sungguh mengherankan. Bagaimana Aisyah
mewarisi semua rumah Nabi sementara istri-istri beliau berjumlah sembilan,
seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas di atas. Apabila Nabi tidak
meninggalkan harta waris seperti yang disaksikan oleh Abu Bakar, karenanya dia
melarangnya dari Fatimah, Lalu bagaimana Aisyah dapat mewarisi pusaka Nabi?
Apakah ada dalam al Qur’an suatu ayat yang memberikan hak waris pada istri tapi
melarangnya anak perempuan? Ataukah politik yang telah merobah segala sesuatu
sehingga anak perempuan diharamkan dari menerima segala sesuatu dan si istri
diberi segala sesuatu? Saya akan membawakan suatu kisah yang diceritakan oleh
sebagian ahli sejarah. Cerita ini ada kaitannya dengan hak-pusaka ini.
Ibnu
Abil-Hadid al-Mu’tazili dalam bukunya Syarhu Nahjul Balaghah pernah berkata:
”Suatu hari Aisyah dan Hafshah datang kepada Utsman pada periode
pemerintahannya. Mereka minta agar pusaka Nabi tersebut diberikan kepada
mereka. Sambil membetulkan cara duduknya, Utsman berkata kepada Aisyah: ”Engkau
bersama orang yang duduk ini pernah datang membawa seorang badui yang masih
bersuci dengan air kencingnya menyaksikan Nabi saw bersabda: “Kami para Nabi
tidak meninggalkan harta pusaka. Jika memang benar bahwa Nabi tidak
meninggalkan sebarang warisan, lalu apa yang kalian minta ini? Dan jika memang
Nabi meninggalkan warisan pusaka, kenapa kalian larang haknya Fatimah? Lalu
Aisyah keluar dari rumahnya Utsman sambil marah-marah dan berkata: “bunuh si
na’thal. Sungguh, dia telah kufur.”[12]
3. Ali Lebih
Utama Untuk Diikuti
Di
antara sebab yang mendorongku untuk ikut mazhab Syi’ah dan meninggalkan tradisi
para leluhur adalah pertimbangan akal dan naqal (aqliyah dan naqliyah) antara
Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar. Seperti yang kusebutkan pada halaman-halaman
yang lalu bahwa aku sepenuhnya berpegang pada ijma’ yang disepakati oleh Ahlu
Sunnahdan Syi’ah. Aku juga telah menelaah berbagai kitab dari dua mazhab ini.
Di sana tidak kuternui sebuah ijma’ atau kesepakatan pendapat yang sempurna
melainkan berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Sunnah dan Syi’ah telah sepakat
tentang keimamahannya sebagaimana yang dicatatkan dalam nash-nash berbagai
kitab rujukan dua mazhab itu. Sementara tentang keimamahan Abu Bakar hanya
dikatakan oleh sekelompok tertentu kaum muslimin saja. Di atas telah kami
sebutkan ucapan Umar tentang pembai’atan terhadap Abu Bakar. Demikian juga
tentang keutamaan dan keistimewaan Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh
Syi’ah di kitab-kitab mereka. Semua bersandar pada sanad dan otentisitas yang
tak dapat digugat, termasuk oleh kitab-kitab Sunnah. Sebagaimana ia juga
diriwayatkan melalui berbagai jalur yang tak dapat diragukan. Banyak sahabat
telah meriwayatkan hadis berkenaan dengan keutamaan Ali ini, sehingga Ahmad bin
Hanbal mengatakan: “Tidak satupun dari sahabat Nabi yang memiliki keutamaan
sebagaimana Ali bin Abi Thalib.”[13] Al Qodhi Ismail dan an Nasai serta Abu Ali
an Naisaburi berkata: “Tidak satupun hadis-hadis keutamaan sahabat yang
diriwayatkan dengan isnad-isnad yang hasan sebagaimana hadis tentang keutamaan
Ali”[14]
Meskipun
Bani Umayah telah memaksa setiap orang yang berada di Barat dan di Timur untuk
mencaci, mengutuk, serta tidak menyebut-nyebut tentang keutamaan Ali, bahkan
melarang siapa pun untuk menggunakan namanya, bagaimanapun
keutamaan-keutamaannya tetap memancar dan menguak ke permukaan. Imam Syafi’i
berkata berkenaan dengan ini: “Aku sungguh takjub akan seseorang yang karena
dengki. musuh-musuhnya telah menyembunyikan keutamaannya, dan karena takut,
para pecintanya tidak berani menyebut-nyebut namanya. Namun tetap saja
keutamaannya tersebar dan memenuhi lembaran-lembaran buku.” Berkenaan dengan
Abu Bakar juga telah kutelaah dengan kritis dan teliti dari berbagai kitab dua
mazhab ini. Namun kitab-kitab Sunni yang menyebut tentang keutarnaannya juga
tidak dapat menyaingi keutamaan-keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib. Itupun
diriwayatkan oleh putrinya Aisyah yang kita kenal bagaimana sikapnya terhadap
Imam Ali, dimana beliau berusaha keras untuk menonjolkan ayahnya walau dengan
menciptakan hadis-hadis sekalipun, atau diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar,
seorang yang terbilang jauh dengan Imam Ali. Abdullah bin Umar pernah menolak memberikan
bai’at pada Imam Ali setelah semua kaum muslimin sepakat untuk mengangkatnya
sebagai Imam. Dia pernah berkata bahwa orang yang paling utama setelah Nabi
adalah Abu Bakar kemudian Umar dan kemudian Utsman, lalu tiada seorang pun yang
lebih utama dari yang lainnya, semua adalah sama.”[15] Yakni Abdullah bin Umar ingin mengatakan
bahwa Imam Ali adalah manusia awam biasa yang tidak memiliki sebatang
keutamaan. Aneh memang. Bagaimana Abdullah bin Umar dapat menyembunyikan
dirinya dari fakta-fakta yang telah dinyatakan oleh para pemuka ummat bahwa
tiada suatu hadispun berkenaan dengan sahabat yang diriwayatkan secara isnad
yang hasan sebagaimana hadis tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib! Apakah
Abdullah bin Umar tidak pernah mendengar satu keutamaan pun tentang diri Ali
bin Abi Thalib? Demi Allah beliau pernah mendengarnya. Tetapi politik, ya
politik, yang telah memutar-belit segala kebenaran dan menciptakan berbagai
keanehan.
Mereka
yang meriwayatkan tentang keutamaan Abu Bakar antara lain adalah Amr bin A’sh,
Abu Hurairah, Urwah dan Akramah. Sejarah menyingkapkan bahwa mereka adalah
lawan-lawan Ali dan memeranginya. Baik dengan senjata atau menciptakan berbagai
keutamaan untuk musuh-musuh dan lawan-lawannya. Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
“Ali banyak mempunyai musuh. Mereka berupaya untuk mencari sesuatu yang mungkin
bisa mencelanya, namun mereka tidak menemukannya. Kemudian mereka cari seseorang
yang pernah memeranginya lalu diciptakanlah keutamaan-keutamaannya.”[16] Tapi Allah berfirman: “Sebenarnya mereka
merencanakan tipu-daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Dan Akupun membuat
rencana (pula) dengan sebenar-benarnya. Karena itu beri tangguhlah orang-orang
kafir itu yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar” (86: 15, 16, 17).
Sungguh merupakan mukjizat Allah bahwa keutamaan-keutamaan Ali dapat terungkap
atau mencuat keluar setelah enam abad serangkaian pemerintahan yang zalim
menganiaya dirinya dan kaum kerabatnya. Dinasti Bani Abbas tidak kurang dari
Bani Umayah dalam membenci, mendengki dan memperdaya kaum kerabat Nabi saw.
Sehingga Abu Faras al-Hamdani berkata:
Apa yang
dilakukan oleh putra-putra
Banu Harb
terhadap mereka
Walau sunguh
dahsyat
Tapi tidaklah
sedahsyat kezaliman yang kalian lakukan
Berapa banyak
pelanggaran terhadap
agama yang
kalian lakukan
Dan berapa
banyak darah keluarga
Rasulullah yang
kalian tumpahkan
Kalian mengaku
sebagai pengikutnya
sementara tangan
kalian penuh
berlumuran darah
anak-anaknya yang suci.
Setelah
ucapan-ucapan itu semua dan setelah kekaburan menjadi terang maka biarlah Allah
yang menjadi Hujjah Yang Unggul, dan manusia tidak lagi mempunyai alasan
dihadapanNya. Walaupun Abu Bakar adalah khalifah pertama dan mempunyai
kekuasaan seperti yang kita ketahui, walaupun pemerintahan Umawiyah menyogokkan
segala bonus dan upah kepada setiap orang yang meriwayatkan keutamaan Abu
Bakar, Umar dan Utsman, walaupun riwayat-riwayat keutamaan Abu Bakar diciptakan
begitu banyak dan memenuhi lembaran-lembaran buku, walaupun itu semua dilakukan
namun ia tetap tak dapat menyamai bahkan sepersepuluh dari keutamaan Ali. Bahkan
jika Anda teliti hadis-hadis yang diriwayatkan tentang keutamaan Abu Bakar maka
Anda akan dapati bahwa ia tidak sejalan dengan apa yang dicatat oleh sejarah
tentang berbagai tindakannya. Bukan saja ia bertentangan dengan apa yang
dikatakan dalam “hadis” itu bahkan juga bertentangan dengan akal dan syara’.
Dan ini telah kami jelaskan ketika membicarakan hadis yang bermaksud:
“Seandainya
iman Abu Bakar ditimbang dengan imannya ummatku maka iman Abu Bakar akan lebih berat”.
Seandainya Rasulullah saw tahu bahwa iman Abu Bakar sedemikian hebatnya maka
beliau tidak akan meletakkannya di bawah pimpinan komandan pasukan seperti
Usamah bin Zaid; dan beliau juga tidak akan enggan untuk memberikan kesaksian
padanya sebagaimana yang pernah beliau berikan kepada para syuhada di Uhud.
Nabi pernah berkata kepadanya: “Sungguh aku tidak tahu apa yang akan kau
lakukan sepeninggalku kelak”, sampai Abu Bakar Bakar menangis.[17] Nabi juga tidak akan mengutus Ali bin Abi
Thalib untuk mengambil surah Baraah yang telah diberikannya kepada Abu Bakar
dan melarangnya membacakannya.?[18] Beliau juga tidak akan berkata pada hari
pemberian panji dalam peperangan Khaibar: “Akan kuberikan panjiku ini esok
kepada seseorang yang mencintai Allah dan RasulNya dan dicintai oleh Allah dan
RasulNya. Dia senantiasa akan maju dan tidak pernah akan berundur sedikitpun.
Sungguh Allah telah menguji hatinya dengan iman. “Kemudian Nabi memberikannya
pada Ali dan tidak memberikannya kepada Abu Bakar.”[19]
Seandainya
Allah tahu bahwa iman Abu Bakar sedemikian tingginya hingga melebihi iman
seluruh ummat Muhammad saw maka Allah tidak akan pernah mengancamnya untuk
menggugurkan amal-amalnya ketika beliau mengangkat suaranya lebih dari suara
Nabi.[20] Seandainya Ali dan
sahabat-sahabatnya tahu bahwa Abu Bakar memiliki keimanan yang demikian tinggi
maka mereka tidak ada alasan untuk menolak memberikan bai’at kepadanya.
Seandainya Fatimah Zahra’, penghulu seluruh wanita, mengetahui ketinggian
derajat imannya Abu Bakar maka dia tidak akan pernah marah kepadanya dan tidak
akan enggan berbicara dengannya, menjawab salamnya, berdo’a untuk kecelakaannya
pada akhir setiap sholatnya,[21] atau tidak mengizinkannya (seperti yang
diwasiatkannya) hadir dalam pemakaman jenazahnya. Seandainya Abu Bakar sendiri
tahu tentang ketinggian imannya maka beliau tidak akan mendobrak rumah Fatimah
Zahra’ walau mereka telah menutupnya sebagai tanda protes. Abu Bakar juga tidak
akan membakar al Fujaah al Salami dan akan menyerahkan kepada Umar atau Abu
Ubaidah perkara khalifah pada hari Saqifah itu.[22] Seorang yang mempunyai derajat iman
sedemikian tinggi dan lebih berat dari iman seluruh ummat yang ada tentu tidak
akan pernah menyesal di akhir-akhir hayatnya atas sikapnya terhadap Fatimah.
Tindakannya yang membakar al Fujaah al Salami serta kekhalifahan yang
dipegangnya. Sebagaimana dia juga tidak akan pernah berangan-angan untuk tidak
menjadi manusia, dan sekadar menjadi sehelai rambut atau kotoran hewan. Apakah
iman orang seperti ini setaraf dengan iman seluruh ummat Islam, bahkan lebih
berat?
Jika
kita teliti hadis yang bermaksud: “Seandainya aku harus mengambil seorang
sahabat (khalil) maka akan kuambil Abu Bakar sebagai khalilku”, hadis ini
serupa dengan hadis sebelumnya. Di mana Abu Bakar pada hari persaudaraan-terbatas
(Muakhoh sughro) di Mekah sebelum Hijrah, dan pada hari persaudaraan besar (Muakhoh
kubro) di Madinah setelah Hijrah. Dalam dua peristiwa ini, Nabi hanya
menjadikan Ali sebagai saudaranya, sampai beliau berkata: “Engkau adalah
saudaraku di Dunia dan di Akhirat.”[23] Nabi tidak menoleh kepada Abu Bakar dan
enggan mengikat tali persaudaraan dengannya, baik untuk dunia ataupun akhirat.
Saya tidak bermaksud untuk menjelaskan permasalahan ini dengan lebih panjang.
Saya cukupkan dengan dua contoh di atas yang saya kutip dari sejumlah referensi
Ahlu Sunnah sendiri. Adapun mazhab Syi’ah memang mereka telah menolak kesahihan
hadis ini. Mereka mengatakan dengan alasan yang sangat kuat bahwa ia diciptakan
tidak lama setelah wafatnya Abu Bakar.
Jika
kita tinggalkan sifat-sifat utama Ali dan meneliti kemungkinan dosa yang pernah
dilakukannya, maka kini tidak akan menemukan satu dosa pun yang pernah
dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib yang pernah tercatat dalam buku dua mazhab
ini. Sementara itu kita temukan dari orang-orang selainnya perbuatan-perbuatan
dosa yang tidak sedikit. Hal ini bisa kita temukan dari berbagai buku Ahlu
Sunnah, seperti buku-buku hadis, buku sirah dan dan sejarah. Hal ini berarti
bahwa ijma’ dua mazhab adalah hanya Ali sajalah yang tidak terbukti melakukan
sebarang dosa, sebagaimana sejarah juga menegaskan bahwa bai’at yang pernah
diberikan secara benar hanya bai’at yang diberikan kepada Ali semata-mata.
Beliau enggan menerima jabatan Khalifah, namun dipaksa oleh Muhajirin dan
Anshor. Beliau juga tidak memaksa orang yang enggan memberikan bai’at padanya.
Sementara bai’at Abu Bakar dilakukan sangat tergesa-gesa dimana Allah telah
memelihara kaum muslimin dari keburukannya, seperti yang diistilahkan oleh
Umar. Kekuasaan Umar diperoleh berdasarkan penobatan yang diberikan oleh Abu
Bakar kepadanya, sementara pengangkatan Utsman sebagai khalifah terjadi semacam
secara komedi. Lihatlah, Umar menominasi enam orang sebagai calon khalifah dan
mewajibkan mereka rnemrlih satu di antaranya. Beliau berkata, “apabila empat
orang sepakat dan dua orang yang lain menentang maka bunuh yang dua. Apabila
enam orang ini berpecah tiga tiga dan membentuk dua kelompok, maka pilihlah
pendapat kelompok yang di dalamnya ada Abdurrahman bin A’uf Apabila waktu telah
berakhir sementara mereka belum sepakat menemukan sang “khalifah” maka bunuh
saja mereka semua.”
Ceritanya
panjang dan aneh sekali. Alhasil, Abdurrahman bin A’uf , mula-mula, memilih Ali
dengan syarat beliau memerintah berdasarkan pada Kitab Allah, Sunnah Nabi dan
Sunnah Syaikhain, yakni Sunnah Abu Bakar dan Umar. Ali menolak syarat ini dan
Utsman menerimanya. Maka jadilah Utsman sebagai khalifah. Ali keluar dari
majlis itu, dan beliau telah tahu hasil yang akan keluar. Hal ini pernah
diucapkannya dalam khutbahnya yang terkenal dengan nama Khutbah as
Syiqsyiqiyah. Setelah Ali, Muawiyah yang ‘memegang’ jabatan khalifah. Di
tangannya khalifah telah digantikan dengan dinasti kekaisaran yang
berpindah-tangan dari generasi ke generasi Bani Umayah. Kemudian berpindah pula
ke tangan Bani Abbas. Khalifah berikutnya hanya dipilih dengan ketentuan sang
khalifah atau dengan kekuatan pedang atau penggulingan. Sistem bai’at yang
paling benar yang pernah terjadi dalam sejarah lslam, sejak zaman para khulafa’
hingga ke zaman Kemal Ataturk yang telah menghapus sistem kekhalifahan, hanya
bai’ah yang pernah diberikan kepada Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib saja.
Hadis-Hadis
Berkenaan Dengan Ali Menyirat Arti Wajib Ikut
Di
antara hadis-hadis yang mengikatku dan mendorongku untuk ikut Imam Ali adalah
hadis yang diriwayatkan oleh berbagai Kitab Sahih Ahlu Sunnah yang telah
dijelaskan kesahehannya, sementara di dalam mazhab Syi’ah sendiri mereka
memiliki hadis-hadis serupa itu berlipat-ganda. Namun saya, seperti biasa,
tidak akan berhujjah dan berpegang kecuali kepada hadis-hadis yang telah
disepakati oleh kedua mazhab. Di antara hadis-hadis tersebut adalah:
1. Hadis yang
berbunyi:
“Aku
kota ilmu dan Ali gerbangnya.”[24]
Hadis
ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menentukan teladan yang mesti diikuti
setelah Nabi saw. Mengingat orang yang berilmu adalah lebih utama untuk diikuti
dibandingkan dengan orang yang jahil. Allah berfirman: “Katakanlah apakah sama
antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.” Dan firman-Nya:
“Apakah seseorang yang menunjukkanrnu kepada kebenaran lebih utama untuk diikuti
ataukah orang yang tidak membimbingmu kecuali ia perlu dibimbing. Maka
bagaimana kalian membuat keputusan?“ Jelas bahwa orang alimlah yang tahu
membimbing sementara orang jahil perlu mendapatkan bimbingan, bahkan ia perlu
bimbingan lebih dari orang lain. Dalam hal ini sejarah telah mencatatkan kepada
kita bahwa Imam Ali adalah sahabat yang paling alim tanpa sedikitpun bantahan.
Dahulunya mereka merujuk kepada Ali di dalam perkara-perkara yang pokok. Dan
kita tidak pernah tahu yang Ali pernah merujuk kepada mereka walau satu kali
sekalipun. Dengarlah apa yang dikatakan oleh Abu Bakar: “Semoga Allah tidak
menetapkanku di suatu tempat yang ada masalah kalau Abul Hasan (Ali) tidak
hadir di sana.” Umar berkata: “Kalaulah Ali tiada, maka celakalah Umar”[25] Ibnu Abbas berkata: “Apalah ilmuku dan ilmu
sahabat-sahabat Muhammad dibandingkan dengan ilmu Ali. Perbandingannya bagaikan
setetes air dengan tujuh samudera.” Imam Ali sendiri berkata: “Tanyalah aku
sebelum kalian kehilanganku. Demi Allah, tiada persoalan yang kalian hadapkan
padaku sampai hari kiamat kecuali aku beritahu kalian apa jawabannya. Tanyakan
kepadaku tentang Kitab Allah. Demi Allah, tiada suatu ayatpun kecuali aku tahu
dimana ia diturunkan, di waktu malam atau siang, di tempat yang datar atau di
pegunungan.”[26]
Sedangkan
Abu Bakar ketika ditanya makna Abban dari firman Allah: wa fakihatan wa abban ,
beliau berkata: “Langit mana yang dapat melindungiku, bumi mana yang dapat
kujadikan tempat berpijak daripada berkata sesuatu di dalam Kitab Allah apa
yang tidak kuketahui.” Umar bin Khattab pernah berkata: “Semua orang lebih
faqih dari Umar, hingga wanita-wanita.” Ketika beliau ditanya tentang suatu
ayat dalam Kitab Allah, beliau marah sekali pada orang yang bertanya itu, lalu
memukulnya dengan cambuk sampai melukainva. Katanya:” Jangan kalian tanya
tentang sesuatu yang jika nampak kepada kalian, maka kalian akan terasa tidak
enak.[27] Sebenarnya beliau ditanya
tentang makna Kalalah, tapi tak tahu menjawabnya. Di dalam tafsirnya, Thabari meriwayatkan
dari Umar yang berkata: “Seandainya aku tahu apa makna Kalalah maka itu lebih
kusukai daripada memiliki seperti istana-istana di Syam.” Ibnu Majah dalam
Sunannya meriwayatkan dari Umar bin Khattab yang berkata: “Tiga hal yang
apabila Rasulullah saw telah menjelaskannya maka itu lebih kusukai daripada
dunia dan seisinya: alKalalah, ar-Riba dan al Khilafah.” Subhanallah! Mustahil
Rasulullah diam dan tidak menjelaskan perkara-perkara itu.
2. Hadis yang
berbunyi:
“Hai
Ali, kedudukanmu di sisiku bagaikan kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja
tiada Nabi setelahku.”
Hadis
ini seperti yang dipahami oleh orang-orang yang berakal menyirat makna
keutamaan dan kekhasan Amir al-Mukminin Ali di dalam menyandang kedudukan
wazir, washi dan khalifah, sebagaimana Harun yang menjadi wazir, washi dan
khalifahnva Musa ketika beliau berangkat menemui Tuhannya. Ia juga menyirat
arti bahwa kedudukan Imam Ali adalah umpama kedudukan Harun as. Kedua mereka
memiliki kemiripan; melainkan kenabian saja seperti yang dikecualikan oleh
hadis itu sendiri. Ia juga berarti bahwa Imam Ali adalah sahabat yang paling
utama dan paling mulia setelah Nabi saw itu sendiri.
3. Hadis yang
berbunyi:
“Siapa
yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Alilah pemimpinnya. Ya Allah,
bantulah mereka yang mewila’nya, dan musuhilah mereka yang memusuhinya.
Jayakanlah mereka yang menjayakannya, dan hinakanlah mereka yang
menghinakannya, liputilah haq bersamanya di manapun dia berada.” Hadis ini saja
sudah cukup untuk menolak dugaan orang yang mengutamakan Abu Bakar, Umar dan
Utsman atas seseorang yang telah dilantik oleh Rasulullah saw sebagai pemimpin
kaum mukminin setelahnya. Mereka yang mentakwilkan kalimat maula dalarn hadis
ini dengan arti sebagai pecinta dan pembantu semata-mata karena ingin
memalingkan arti yang sebenarnya dengan alasan ingin memelihara kemuliaan para
sahabat. Karena ketika Nabi saw menyampaikan pesannya ini beliau berkhutbah
dalam keadaan matahari panas terik. Katanya: “Bukankah kalian menyaksikan bahwa
aku adalah lebih utama dari orang-orang mukminin atas diri mereka sendiri?”
Mereka menjawab: ya, wahai Rasulullah. Kemudian beliau melanjutkan: “Siapa yang
menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka inilah Ali maulanya…”
Nash
ini sangat jelas dalam melantik Ali sebagai khalifah untuk ummatnya. Orang yang
berakal, adil dan insaf tak dapat menolak pengertian maksud hadis ini lalu
menerima takwilan yang direka oleh sebagian orang demi menjaga kemuliaan
sahabat dengan mengorbankan kemuliaan Rasul saw. Karena dengan demikian ia
telah meremehkan dan mencela kebijaksanaan Rasul yang telah menghimpun ribuan
manusia dalam keadaan cuaca yang sangat terik dan panas hanya semata-mata
karena ingin mengatakan bahwa Ali adalah pecinta kaum mukminin dan pembela
mereka. Bagaimana mereka akan menafsirkan ucapan selamat yang diberikan oleh
barisan orang-orang mukminin kepada Ali setelah pelantikan itu, yang sengaja
diciptakan oleh Nabi saw? Pertama-tama adalah para istri Nabi, kemudian Abu
Bakar dan menyusul Umar yang berkata: “Selamat, selamat untukmu wahai putra Abu
Thalib. Kini kau adalah pemimpin orang-orang mukrninin, laki-laki atau
perempuan.” Fakta sejarah juga telah menyaksikan bahwa mereka yang mentakwil
adalah orang-orang yang berdusta. Celakalah apa yang mereka tulis dengan tangan
mereka. Firman Allah: “Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka
menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahui” (al Baqarah: 146).
4. Hadis:
“Ali
dariku dan aku dari Ali. Tiada siapa yang mewakili tugasku kecuali aku sendiri
atau Ali”[28]
Hadis
ini juga dengan jelas menyatakan bahwa Imam Ali adalah satu-satunya orang yang
diberikan kepercayaan oleh Nabi untuk mewakili tugasnya. Nabi nyatakan ini
ketika beliau mengutusnya untuk mengambil dan membacakan surah Baraah yang pada
mulanya diserahkan pada Abu Bakar. Abu Bakar kembali dan menangis. Katanya,
“Duhai Rasulullah, apakah ada ayat turun berkenaan denganku?” Rasulullah
menjawab: “Allah hanya menyuruhku atau Ali saja yang melaksanakan tugas ini.”
Hadis ini juga mendukung sabda Nabi yang lain kepada Ali: “Engkau hai Ali,
menjelaskan kepada ummatku apa yang mereka perselisihkan setelah ketiadaanku.”[29] Jika tiada orang yang diberikan kepercayaan
oleh Rasulullah kecuali Ali, dan Alilah yang paling layak untuk menjelaskan
kepada ummat ini segala permasalahan yang dihadapi, maka kenapa orang yang
tidak tahu akan makna kalimat abba dan kalimat kalalah mengambil alih haknya?
Sungguh ini adalah musibah besar yang menimpa ummat ini, dan yang
menghalanginya dari menjalankan tugas penting yang telah ditetapkan oleh Allah
swt. Telah cukup hujjah dan alasan dari Allah, dari RasulNya dan dari Amir al
Mukminin. Mereka yang ingkar dan tidak patuh kelak harus mengajukan alasan di
hadapan Allah swt. Allah berfirman: “Apabila dikatakan kepada mereka: marilah
mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah dan mengikuti Rasul. Mereka menjawab:
cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. Dan
apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walau pun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk.” (al
Maidah: 104).
5. Hadis ad Dar
Yaum al Indzar
Bersabda
Nabi saw sambil menunjuk kepada Ali: “Sesungguhnya ini adalah saudaraku,
washiku dan khalifahku setelahku. Maka dengarlah dan taatilah dia.”[30] Hadis ini juga terbilang di antara
hadis-hadis shahih yang di nukil oleh para ahli sejarah ketika bercerita
tentang peristiwa pertama yang terjadi pada masa periode awal dari era kebangkitan
Nabi saw. Mereka menganggap hadis ini sebagai bagian dari mukjizat Nabi saw.
Namun politik telah merobah dan memalsukan kebenaran-kebenaran dan
fakta-faktanya. Tidak aneh memang. Karena apa yang pernah terjadi di zaman
kegelapan tersebut kini berulang lagi di zaman sekarang. Lihatlah Muhammad
Husain Haikal. Beliau telah mencatat hadis ini secara sempurna dalam kitabnya
“Riwayat Hidup Muhammad” halaman 104, cetakan pertama tahun 1354 H. Tetapi
dalam cetakan kedua dan seterusnya sebagian dari isi hadis nabawi ini, yakni
kalimat “washiku dan khalifahku setelahku” dihapus dan digunting. Mereka juga
telah menghapus dari kitab Tafsir Thabari jilid 19 halaman 121 bagian dari
sabda Nabi berikut “Washiku dan khalifahku” , dan menggantinya dengan kalimat
“Inilah saudaraku dan begini dan begitu…”!! Mereka lalai bahwa Thabari telah
menyebutnya secara sempurna dalam kitab sejarahnya jilid ke 2 pada halaman 319.
Lihatlah betapa mereka telah merobah kalimat dari tempatnya yang asal dan
memutar-balikkan fakta-fakta. Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut
mereka, dan Allah tetap akan menyalakan cahaya-Nya.
Ketika
aku masih menelaah dan mengkaji, aku ingin menyaksikan dengan mataku sendiri
segala apa yang telah terjadi. Aku cari buku Riwayat Hidup Muhammad cetakan
pertama. Akhirnya kujumpai juga setelah mengarungi berbagai liku-liku yang
sulit dan melelahkan. Alhamdulillah atas semua ini. Yang penting aku telah
saksikan sendiri perobahan itu. Aku tambah yakin bahwa tangan-tangan jahat
berupaya dengan segala usaha untuk menghapuskan kebenaran-kebenaran yang memang
telah terbukti ada. Karena mereka menganggap bahwa ini adalah dalil kuat yang
akan digunakan oleh “musuhnya”!
Tetapi
bagi seorang peneliti yang adil ketika menyaksikan perobahan seumpama ini akan merasa
bertambah yakin. Tanpa ragu-ragu dia akan berkata bahwa pihak kedua yang enggan
menerima dalil-dalil tersebut sebenarnya tidak memiliki alasan yang kuat.
Mereka hanya melakukan makar dan tipu muslihat serta memutar balik fakta walau
dengan membayar mahal sekalipun. Mereka telah mengupah penulis-penulis tertentu
dan mengulurkan kepada mereka berbagai kekayaan, gelar dan ijazah-ijazah
perguruan tinggi yang palsu, agar dapat menuliskan segala sesuatu yang mereka
inginkan baik buku atau makalah-makalah tertentu. Yang penting tulisan itu
mencaci Syi’ah dan mengkafirkan mereka, serta membela dengan segala upaya
(walau itu batil) “kemuliaan” sebagian sahabat yang telah belok dari kebenaran
dan yang telah merobah hak menjadi batil sepeninggal Rasul saw. Firman Allah:
“Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan
mereka itu, hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah jelaskan tanda-tanda
kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.” (al Baqarah: 118). Maha Benar Allah
Yang Maha Agung.
Catatan Kaki:
[1] Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 4 hal. 241;
Siyar al-Alamin Oleh Imam Ghazali hal. 12; Tazkirah al-Khawas Oleh Ibnu
al-jauzi hal. 29; Riyadh Nadhirah jil. 2 hal. 169; Kanzul Ummal jil. 6 hal.
397; al-Bidayah wan Nihayah Oleh Ibnu Kathir ji1. 5 hal. 212; Tarikh Ibnu
Asakir jil. 2 hal. 50; Tafsir ar-Razi jil.5 hal. 63; Al-Hawi Lil Fatawi Oleh
Suyuthi jil. 1 hal. 12
[2] Tarikh Thabari, Ibnu Athir, Suyuthi,
al-Isti’ab dll.
[3] Tarikh al-Khulafa Oleh Ibnu Qutaibah jil. 1
hal. 8
[4] Sahih Bukhari jil. 4 hal. 127
[5] Syarh Nahjul Balaghah Oleh Muhammad Abduh
jil. 1 hal. 34
[6] Tarikh al-Khulafa’ jil. 1 hal. 17
[7] Lih. as-Saqifah Wal Khilafah Abdul Fattah
Abdul Maksud dan as-Saqifah Syaikh Muhamad Ridha al-Muzaffar
[8] Tarikh al-Khulafa jil. 1 hal 19; Syarh Nahjul
Balaghah oleh Ibnu Abil Hadid
[9] Shahih Bukhari jil. 3 hal 36; Sahih Muslim
jil. 2 hal 72
[10] Mengimbas peperangan Jamal ketika beliau
menunggangi onta
[11] Mengimbas ketika beliau menunggangi baghal
dalam usaha menghalangi Hasan dari dikuburkan dekat dengan pusara datuknya.
[12] Syarh Nahjul Balaghah Ibnu Abil Hadid jil.
16 hal. 220-223
[13] Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 107; Manaqib
al-Khawaizmi hal. 3,9; Tarikh al-Khulafa’ hal. 168; Sawiq al-Muhriqan hal. 72;
Tarikh Ibnu Asakir jil. 3 hal. 63; Syawahid at-Tanzil jil. 1 hal. 10
[14] Riyadh Nadhirah jil, 2 hal 282 Sawaiq
al-Muhriqah hal. 118, 72
[15] Shahih Bukhori jil. 2 hal. 202
[16] Fathul Bari Fi Syarhil Bukhori jil. 7 hal.
83; Tarikh al-Khulafa’ hal. 199; Sawaiq al-Muhriqah hal. 125
[17] Muwatto’ Imam Malik jil. 1 hal. 307; Maghazi
al-Waqidi hal. 310
[18] Shahih Turmizi jil. 4 hal. 339; Musnad Ahmad
bin Hanbal jil, 2 hal 319; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 51
[19] Shahih Muslim
[20] Shahih Bukhori jil. 4 hal. 184
[21] Al-Imam was-Siyasah jil. 1hal. 14; al Jahiz
hal. 301; A’lam an-Nisa jil. 3 hal. 12,15
[22] Tarikh al-Khawas hal. 23; Tarikh Ibnu Asakir
jil. 1 hal. 107; Tarikh Masu’di jil. 1 hal. 414
[23] Tazkirah al-Khawas hal. 234; Tarikh ibnu
Asakir jil. 1 hal.107; Manaqib al-Khawarizmi hal. 7; Fushul al-Muhaimmah Oleh
al-Maliki hal. 21
[24] Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 127; Tarikh
Ibnu Kathir jil.7 hal. 358
[25] Al-Isti’ab jil. 3 hal. 39; Manaqib
al-Khawarizmi hal. 48; Riyadh Nadhirah jil. 2 hal. 194
[26] Ibid jil. 2 hal. 198; Tarikh Khulafa’ hal.
124; Al-Itqan jil. 2 hal. 319; Fath al-bari jil. 8 hal. 485; Tahzib at-Tahzib
jil. 7 hal. 338
[27] Sunan ad-Darimi jil. 1 hal. 54 Tafsir Ibnu
Kathir jil. 4 hal. 232; Ad-Dur al-Manthur jil. 6 hal. 111
[28] Sunan Ibnu Majah jil. 1 hal. 44; Khasais
Nasai hal. 20; Sahih Turmizi jil. 5 hal. 300; Jami’ Ushul Oleh Ibnu Kathir jil.
9 hal. 471; Jami’ Shagir Oleh Suyuthi jil. 2 hal. 56; Riyadh Nadhirah jil.2 hal.
229
[29] Tarikh Ibnu Asakir jil. 2 hal. 448; Kunuz
al-Haqaiq Oleh al-Maulawi hal. 203; Kanzul Ummal jil. 5 hal. 33
[30] Tarikh Thabari jil. 2 hal. 319; Tarikh Ibnu
Athir jil. 2 hal. 62; As-Sirah al-Halabiah jil. 1 hal. 312; Syawahid at-Tanzil
Oleh Al-Haskani jil. 1 hal. 371; Kanzul Ummal jil.5 hal. 15; Tarikh Ibnu Asakir
jil. 1 hal. 85; Tafsir al-Khazin Oleh Alaudin as-Syafei; Hayat Muhammad Oleh
Husain Haikal Edisi pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar