“Saat itu, Khawali bin Yazid al Ashbahi meloncat untuk
membunuh Imam Husain dengan ganas. Namun ketika matanya beradu dengan mata Imam
Husain, dia melihat sorot mata Muhammad Saw, sehingga tangannya pun gemetar”
Imam
Husain mengumpulkan darah yang mengucur dari kepalanya, kemudian mengusapkan
darah itu ke seluruh wajah dan janggutnya, sambil berkata: “Seperti inilah aku
akan menemui kakekku Rasulullah, dengan wajah penuh darah inilah aku akan menemui
ibuku Fathimah, ayahku Ali dan kakakku al-Hasan.” Khawali bin Yazid al Ashbahi
meloncat untuk membunuh Imam Husain. Tetapi ketika matanya beradu dengan mata Imam
Husain dia melihat sorot mata Rasulullah, sehingga tangannya pun gemetar dan
dia pun mundur kembali.
Beberapa orang lainnya juga mengalami hal yang sama. Tiba-tiba Syimir datang dan dengan congkaknya berkata: “Semoga ibu kalian menangisi sifat pengecut kalian”. Dia mengatakan itu sambil menendang dengan keras perut Imam Husain. Kemudian manusia paling keji ini duduk di atas dada Imam Husain. Dada Imam Husain terasa sesak dan darah berkumpul di mulutnya.
Sambil
tertawa keras Syimir berkata: “Apa yang
akan engkau katakan sekarang wahai putra Abu Turab?” Imam Husain berkata: “Maukah engkau perlihatkan wajahmu sebelum
membunuhku?" Syimir berkata: “Kenapa?
Apakah engkau akan merindukan aku setelah kematianmu?” Imam Husain berkata:
“Tidak! Aku ingin memastikan apa yang
telah digambarkan oleh kakekku tentang wajah buruk pembunuhku.” Syimir
melepas sandalnya dan menampar mulut Imam Husain seraya berkata: “Celakalah engkau dan celakalah kakekmu!”
Dengan
segera Syimir membalikkan tubuh Imam Husain hingga tertelungkup. Dan mulailah
pembunuhan paling sadis terjadi. Manusia terkutuk itu menarik kepala Imam
Husain ke belakang, meletakkan pedangnya ke leher Imam Husain, lalu menggerakkan
kepala Imam Husain ke kanan dan ke kiri. Imam Husain berteriak: “Duhai Muhammad, duhai Ali, duhai Fathimah,
duhai Hamzah.” Kemudian Syimir berdiri, menginjak punggung Imam Husain,
menarik kepala suci Imam Husain dan menggerakkan pedangnya, maka terpenggallah
kepala putra Rasulullah.
Syimir
si manusia neraka itu pun mengangkat kepala suci Imam Husain tinggi-tinggi dan mempertontonkannya
kepada keluarga Rasulullah dan pasukan Umar bin Sa'ad. Zainab menjerit, “Duhai Husain,” dan kemudian pingsan. Adapun
pasukan Umar bin Sa'ad bersorak-sorak memperebutkan kepala Imam Husain yang
dilemparkan oleh Syimir ke arah mereka. Kemudian mereka berhamburan ke arah
tubuh Imam Husain yang tergeletak tanpa kepala. Menginjak-injak tubuh itu, dan
memperebutkan segala yang dikenakan oleh Imam Husain.
Bahar
bin Ka'ab mengambil celana Imam Husain. Nashl bin Darim merampas pedangnya, al Aswad
mengambil sandalnya, sementara seorang dari kabilah yang lain sedang
menarik-narik cincin yang dikenakan oleh Imam Husain. Tetapi cincin itu tidak
mau terlepas, maka dia mencabut pisaunya dan memotong jari manis Imam Husain
as.
Innâ lillâhi wa innâ ilayhi râji’ûn. La’anallah
kullu man qatala al Husain!
Malam itu di negeri Mesir, Habib Ali al Jufri menuturkan
kisah Tragedi Karbala. Peristiwa yang menjadi noda hitam dalam sejarah Islam.
Peristiwa yang mengakibatkan cucu Rasulullah SAW Imam Husain As, dan hampir
seluruh anggota keluarganya, dibunuh secara keji.
“Demi Tuhan, yang mengumpulkan kita
semua di malam ini, apa yang terjadi pada Imam Husain adalah konsekuensi dari
cobaan dan ujian baginya. Al-Husain pergi meninggalkan Madinah menuju Makkah.
Sebelumnya ia beristikharah, meminta petunjuk Allah SWT, perihal dukungan 17.000
orang yang membai’atnya. Lalu ia memutuskan akan pergi bersama sekelompok
pemuda Bani Hasyim, berikut para pengikut dan (keluarga) pendukung mereka dari
kalangan wanita dan anak-anak.
Kemudian, Abdullah bin Abbas
menjumpai Al-Husain, ia berkata, “Wahai anak putri Rasulullah SAW, benarkah
berita yang sampai kepadaku bahwa engkau telah memutuskan akan pergi ke medan
jihad itu?” “Ya,” jawab Al-Husain.
“Bukankah mereka telah mengkhianati
ayah dan saudaramu? Tidaklah aku lihat mereka kecuali pasti mengkhianatimu
pula,” ujar Ibnu Abbas. Al-Husain berkata, “Sungguh aku mengetahui bahwa mereka
pasti mengkhianatiku.” Ibnu Abbas bertanya lagi, “Lalu untuk apa engkau keluar,
wahai putra Rasulullah?” Al-Husain berkata, “Sungguh mereka pasti akan
membunuhku. Mereka tak mungkin membiarkanku. Dan aku takut bila aku terbunuh di
Tanah Haram ini, hal itu akan merusak kehormatan Tanah Haram….”
Akhirnya sampailah Al-Husain dan
rombongan di sebuah padang yang luas. Karbala namanya. Dan, di sanalah
pembantaian itu terjadi. Tragedi Karbala
terjadi tak terlepas dari rakusnya penguasa zhalim pada kedudukan khalifah
secara politis. Namun, apakah pencapaian posisi khalifah secara politis itu
adalah segala-galanya? Inilah antara lain pandangan Habib Umar Bin Hafidz.
Dalam kitab Al-Mustadrak ada riwayat
yang dinyatakan shahih oleh Adz-Dzahabi, “Setelah Al-Hasan mundur sebagai
khalifah, ada orang bilang kepadanya, ‘Orang-orang mengatakan, Tuan
menginginkan khilafah.’ Al-Hasan
berkata, ‘Aku meninggalkan jabatan khilafah di saat orang-orang kuat berada di
tanganku. Mereka mengikuti perintahku, siap memerangi orang yang aku perangi,
dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku. (Aku meninggalkan khilafah
itu) karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan pertumpahan darah sesama
muslimin….’.”
Dalam konteks ini, mundur dari
khilafah saat terjadinya perpecahan adalah khilafah sejati. Rasulullah SAW
bersabda, “Sungguh anakku (cucuku) ini adalah seorang pemimpin. Dengan
perantaraannya, Allah akan mendamaikan permusuhan di antara dua kubu besar kaum
muslimin.” (HR Al-Bukhari). Intinya, sikap Al-Hasan dan Al-Husain benar sesuai
konteks masalah yang mereka hadapi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar