Oleh Farida Gulmohammadi
Pertengahan abad pertama Hijirah, yaitu masa
pasca kekhalifahan Abu Bakar bin Abu Quhafah, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan, dan Imam Ali bin Thalib, Muawiyah yang tadinya menjabat gubernur Syam
(Suriah) atas pilihan Utsman bin Affan mengangkat dirinya sebagai khalifah
setelah berhasil menyingkirkan khalifah yang sah, Imam Hasan bin Ali yang
menggantikan Imam Ali dan berbasis di Madinah.
Ketika Muawiah Bin Abi Sufyan menemui ajalnya,
anaknya yang bernama Yazid menggantikan kedudukannya di atas singgasana
khalifah yang saat itu sudah benar-benar menyerupai kerajaan tiran dan sarat
ironi. Seperti ayahnya, karena naik tanpa restu umat dan syariat, Yazid
mencari baiat dengan cara paksa dari umat. Di pihak lain, sebagai tokoh yang
paling berpengaruh di tengah umat, putera Fatimah Azzahra dan cucu tercinta
Rasul, Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib yang tinggal di Madinah, diincar oleh
Yazid. Beliau dikirimi surat dan pesan agar memilih satu diantara dua
pilihan; baiat kepada Yazid atau mati.
Saat menolak pilihan pertama, baiat, Imam
Husain tiba-tiba diserbu ribuan surat dari penduduk Kufah, Irak. Mereka
menyatakan siap mengadakan perlawanan bersenjata atas Yazid bin Muawiyah dan
membaiat Imam Husain sebagai khalifah dengan syarat beliau datang ke Kufah
untuk mengoordinasi dan mengomandani pasukan perlawanan. Tadinya Imam
keberataan memenuhi ajakan itu karena orang Kufah sudah lama beliau ketahui
sulit dipegang janjinya.
Namun, keberatan itu membuat beliau semakin
dibanjiri surat sampai akhirnya beliau tak kuasa untuk menolak saat
surat-surat terakhir penduduk Kufah berisikan ancaman mereka untuk mengadukan
beliau kepada Allah di hari kiamat kelak bahwa beliau telah menolak kebangkitan
melawan penguasa tiran, bahwa beliau telah menyia-nyiakan kekuatan dan
kesempatan yang tersedia untuk menumbangkan penguasa zalim dan kejam, bahwa
beliau tidak mengindahkan jeritan, derita, dan harapan kaum mustahd’afin, dan
bahwa beliau tidak berani mengorbankan jiwa dan raga demi melawan penguasa
durjana. Sang Imam tak berkutik, meskipun beliau tahu semua itu belum tentu
mencerminkan loyalitas penduduk Kufah dengan resiko apapun. Saat itulah Imam
merasa dihadapkan pada ketajaman lensa sejarah yang hanya mau merekam bukti dan
kenyataan di depan mata umat, bukan dogma-dogma sakral tentang hakikat
non-derawi. Jadi, kebangkitan Imam tadinya bukan berarti harus keluar dari
menuju Kufah, tetapi karena secara kasat mata di Kufah sudah tersedia
kesempatan dan kekuatan untuk menumbangkan Yazid, beliau harus keluar untuk
memastikan benarkah kesempatan itu memang ada.
Maka, meskipun dengan berat hati dan keyakinan
penuh bahwa beliau akan menghadapi marabahaya, undangan penduduk Kufah itu
akhirnya beliau penuhi. Beliau mengirim utusannya, Muslim bin Aqil untuk
meninjau keadaan yang sesungguhnya di Kufah. Di Kufah, Muslim mendapati rakyat
benar-benar sedang diterjang gelora semangat perlawanan. Karenanya, Muslim
menyampaikan berita gembira itu kepada Imam Husain lewat surat. Imam berangkat
menuju Kufah bersama rombongannya yang berjumlah ratusan orang, setelah
beliau singgah terlebih dahulu ke Mekkah.
Ketika Imam sedang dalam perjalanan panjang
menuju Kufah, keadaan di kota ini berubah total. Nyali penduduk tiba-tiba ciut
dan keder setelah diancam habis-habisan oleh gubernur Kufah yang berdarah
dingin, Ubaidillah bin Ziyad. Semua menutup pintu rapat-rapat dan tak ada yang
berani keluar untuk bicara dan berkumpul lagi soal gerakan perlawanan. Hanya
segelintir orang yang masih setia kepada Muslim bin Aqil dan siap menyongsong
segala resiko. Namun akhirnya mereka ditangkap. Muslim dihabisi dengan cara
yang sangat sadis. Jasadnya yang tanpa kepala dipertontonkan di pasar Kufah,
dan penduduk terpaksa pura-pura ikut bergembira atas kematian Muslim.
Perubahan itu tercium Imam Husain dan
rombongannya ketika sudah mendekati Kufah. Mendengar itu, rombongan Imam banyak
yang terguncang kemudian memilih mundur dan keluar dari barisan Imam. Jumlah
pengikut beliau akhirnya surut drastis, hanya tinggal beberapa wanita dan anak
kecil serta puluhan orang. Namun, karena masih ada setumpuk alasan seperti yang
dapat Anda baca dalam menu Falsafah
Peristiwa Karbala dan Falsafah Peringatan Tragedi Karbala,
putera pasangan suci Imam Ali dan Fatimah Azzahra itu tetap melanjutkan
perjalanan sampai kemudian berhadapan dengan pasukan kiriman gubernur Kufah
pimpinan Hur bin Yazid Arriyahi. Pasukan itu dikirim sengaja untuk menghadang
rombongan Imam.
Tak lama setelah memasang tenda, rombongan Imam
Husain as didatangi seribu pasukan kuda yang dipimpin oleh Hur bin Yazid
Arrayahi. Pasukan yang tampak siap berperang itu berjajar di depan Imam Husain
dan para sahabatnya yang juga siap bertempur dengan mengikatkan sarung pedang
masing-masing dipinggang.
Gurun sahara semakin memanas. Matahari memanggang
setiap kepala. Imam Husain dan para sahabatnya memerintahkan para pengikutnya
supaya air yang masih tersisa diminum dan minumkan kepada kuda-kuda mereka.
Hingga tengah hari itu suasana yang masih relatif tenang. Begitu waktu
solat dhuhur tiba, Imam memerintah seorang pengikutnya yang bernama Hajjaj bin
Masruq Al-Ja’fi untuk mengumandang azan. Seusai azan, beliau berdiri di depan
pasukan Hur untuk menyampaikan suatu kata kepada mereka yang beliau pandang
sebagai orang-orang Kufah tersebut.
“Hai orang-orang!” Seru Imam Husain setelah
menyatakan pujian kepada Allah dan salawat kepada rasul-Nya. “Aku tidaklah
kepada kalian kecuali setelah aku didatangi surat-surat dari kalian. Kalian,
orang-orang Kufah, telah mengundangku. Kalian memintaku datang karena kalian
merasa tidak memiliki pemimpin, dan agar kemudian membimbing kalian kepada
jalan yang benar. Oleh sebab inilah aku pun bergerak ke arah kalian. Kini aku
telah datang. Jika kalian masih berpegang pada janji kalian, maka aku akan
menetap bersama kalian. Jika tidak, maka aku akan kembali ke negeriku.”
Rombongan pasukan berkuda yang diajak bicara oleh
Imam Husain as itu terdiam seribu basa. Tak ada seorang yang angkat bicara. Beliau kemudian memerintahkan muazzin tadi untuk
mengumandangkan iqamah setelah meminta Hur supaya menunaikan solat bersama
pasukannya sebagai Imam Husain as juga solat bersama para pengikut setianya.
Uniknya, Hur menolak solat sendiri. Dia meminta solat berjamaah di belakang
beliau. Kedua rombongan kemudian bergabung dalam solat dhuhur berjamaah yang
dipimpin Imam Husain as.
Seusai solat, kedua rombongan itu kembali ke
perkemahan masing-masing. Beberapa lama kemudian kedua rombongan ini bergabung
kembali untuk menunaikan solat asar berjemaah dipimpin oleh Imam Husain as.
Seusai solat asar, beliau mengutarakan khutbah yang diawali dengan pujian
kepada Allah dan disusul dengan pernyataan sebagai berikut:
“Amma bakdu. Hai orang-orang, sesungguhnya kalian
pasti akan diridhai Allah jika kalian memang bertakwa dan mengerti siapakah
yang layak memegang hak (untuk memimpin umat), dan (ketahuilah) bahwa kami,
Ahlul Bait Muhammad saww, adalah orang lebih layak memimpin kalian daripada
mereka yang mengaku layak tetapi sebenarnya tidak memiliki kelayakan dan mereka
yang telah menggerakkan kezaliman dan rasa permusuhan (terhadap kami). Jika
kalian tidak mengerti hal ini dan hanya memahami kebencian kepada kami, tidak
mengetahui hak kami, dan kata-kata kalian sekarang sudah tidak seperti yang
kalian katakan dalam surat-surat kalian yang telah datang menyerbuku bersama
para utusan kalian, maka aku akan pergi meninggalkan kalian.”
Hur menjawab: “Aku tidak tahu menahu tentang
surat-surat yang engkau katakan itu.”
Imam Husain as memerintahkan Aqabah bin Sam’an untuk
mengambil surat-surat itu supaya diperlihatkan kepada Hur. Setelah melihat
surat-surat itu, Hur mengatakan: “Aku bukan bagian dari mereka yang mengirim
surat-surat itu kepadamu. Aku hanya diperintahkan untuk menyosong balatentaramu
dan menggiringmu hingga kamu menyerah di depan Ubaidillah bin Ziyad.”
Kata-kata Hur rupanya tak diduga sebelumnya oleh Imam
Husain as. Kata-kata ini mengundang kegeraman beliau. Beliau
memerintahkan para pengikutnya untuk membongkar kembali tenda-tenda yang
terpasang kemudian bergerak lagi sambil mengendarai kuda-kuda mereka. Perintah
Imam Husain as pun mereka laksanakan. Namun begitu hendak bergerak, jalan
rombongan Imam Husain as dihadang oleh pasukan Hur.
“Semoga kematianmu menimpa ibu, hai Hur, apa yang
kamu inginkan dari kami?” Seru Imam Husain as gusar.
“Engkau menyebut-nyebut ibumu, seandainya bukan
engkau, aku pasti juga mengucapkan kata-kata yang sama, tapi aku tahu ibumu
adalah wanita yang sangat patut dimuliakan.” Kata Hur.
“Lantas apa maumu?” Tanya Imam lagi.
“Aku ingin kamu bersamaku untuk datang kepada Ibnu
Ziyad.”
“Aku tidak akan pernah bersamamu.”
“Aku ditugaskan supaya tidak melepaskanmu kecuali
setelah kamu aku bawa ke Kufah dan aku serahkan kepada Ibnu Ziyad. Wahai
Husain, demi Allah, jagalah jiwamu, aku yakin engkau akan terbunuh jika kamu
berperang.”
“Apakah kamu hendak menakut-nakuti dengan kematian,
dan apakah urusan kalian akan selesai jika aku terbunuh?! Aku akan pergi dan
kematian bukanlah sesuatu yang hina bagi seorang ksatria apabila kebenaran
sudah diniatkan, perang dilakukan demi Islam, jiwa dikorbankan di atas jalan
orang-orang yang salih, dan diri terpisah dari orang-orang yang celaka dan para
pendurhaka.”
Kata-kata Imam Husain ini mulai menyentuh hati Hur.
Hur mendekati Imam Husain as sambil memerintahkan pasukan bergerak mengikuti
perjalanan beliau. Selama perjalanan terjadi dialog antara beliau dan Hur
hingga ketika sampai di lembah Baidhah beliau mengatakan: “Kalau kamu hendak
berperang denganku maka aku siap berduel denganmu.”
Hur menjawab: “Aku tidak ditugaskan berperang
denganmu. Aku hanya ditugaskan menyerahkan dirimu kepada Darul Imarah. Jika
engkau tidak berkenan ikut aku ke Kufah, maka silahkan engkau kembali ke
Madinah atau kota lain agar aku bisa bebas dari beban tanggungjawabku. Kalau
tidak, maka aku akan menuliskan surat kepada Ibnu Ziyad agar dia menentukan apa
yang harus aku lakukan.”
Di lembah ini semua rombongan berhenti, dan keduanya
pun kembali ke perkemahan masing-masing.
Sakinah puteri Imam Husain mengisahkan: “Dari dalam
tenda aku mendengar suara seseorang tersedu menangis sehingga aku keluar tanpa
sepengetahuan siapapun. Aku mendatangi ayahku, dan ternyata ayahkulah yang
menangis di depan para sahabatnya. Kepada mereka ayahku berkata: ‘Kalian telah
keluar bersamaku, dan kalian berpikir aku pergi kepada suatu umat yang akan
membaiatku dengan lisan dan hati yang tulus. Namun umat itu sekarang sudah
berubah, setan telah memperdayai mereka, mereka melupakan Allah, yang terpikir
di benak mereka sekarang terbunuhnya aku dan orang-orang yang bersamaku untuk
berjihad di jalanku serta tertawannya kaum wanita dan anak-anakku.Yang aku
khawatirkan sekarang ialah jangan-jangan kalian tidak tahu apakah akibat dari
apa yang kita lakukan ini. Oleh sebab itu, sekarang aku bebaskan kalian untuk
pergi mengurungkan perjalanan ini jika kalian kecewa terhadap perjalanan
ini. Sedangkan untuk kalian yang masih ingin siap berkorban bersamaku,
ketahuilah bahwa penderitaan ini akan diganti kelak dengan gemerlapnya surga.
Ketahuilah bahwa kakekku Rasulullah pernah berdabda:
“Puteraku Husain akan terbunuh di padang Karbala
dalam keadaan terasing seorang diri. Barangsiapa yang menolongnya, maka dia
telah menolongku, dan barangsiapa yang menolongku, maka dia menolong putera
keturunan Husain yaitu Al-Qaim dari keluarga Muhammad, dan barang siapa yang
menolong kami, maka pada hari kiamat nanti dia akan dimasukkan ke dalam
golonganku.'””
Sakinah melanjutkan, “Demi Allah, setelah mendengar
pernyataan itu, para pengikut beliau banyak yang memisahkan diri sehingga
tinggal sekitar 70-an orang. Aku mendatangi ayahku
dengan hati yang sangat kesal dan kecewa. Aku rasanya ingin menjerit
sekeras-kerasnya, namun akhirnya hanya bisa menengadahkan wajahku ke langit
sambil berdoa: Ya Allah, sesungguhnya mereka telah menyia-nyiakan kami, maka
sia-siakanlah mereka. Janganlah Engkau gemakan suara mereka ke langit,
janganlah Engkau anugerahi mereka tempat dan kehormatan di muka bumi,
timpakanlah kepada mereka kemiskinan hingga di liang lahat, jangan Engkau
curahkan kepada mereka syafaat kakek kami pada hari kiamat. Kabulkan doa orang
yang suci dari noda dan dosa.”
Sehari kemudian, seorang pengendara onta dari Kufah
datang menghadap Hur sambil menyerahkan surat balasan dari Ubaidillah yang
memerintahkan supaya bersikap keras dan angkuh kepada Imam Husain as dan
menggiring beliau ke padang sahara yang tandus hingga Ubaidilah mengirim
balatentara bantuan. Hur memberitahu Imam Husain as isi surat ini.
Mendengar pernyataan yang tertera dalam surat
Ubaidillah, seorang sahabat Imam Husain as yang bernama Yazid bin Muhajir
Al-Kindi berseru kepada utusan Ibnu Ziyad: “Semoga ibumu meratapi kematianmu,
betapa celakanya isi surat yang kamu bawa itu!”
Utusan itu menjawab: “Aku mematuhi perintah imamku.
Apa saja yang diperintahkannya akan aku laksanakan.”
Muhajir berseru lagi: “Kamu telah durhaka kepada
Tuhanmu, karenanya api jahanam layak membakarmu.”
Salah seorang sahabat Imam Husain lainnya ikut
menimpali. “Wahai putera Rasul!” Seru sahabat bernama Zuhair bin AlQein itu.
“Izinkan aku berperang sekarang juga dengan orang-orang ini sampai mereka tak
berkutik.”
Imam menjawab: “Aku tidak berniat memulai perang, aku
ingin menuntaskan hujjahku kepada mereka.”
Sahabat Imam Husain lainnya, Birrin bin Khudair ikut
berseru: “Demi Allah, kami akan berjihad membelamu walaupun tubuh kami akan
tercincang.”
Imam Husain as kemudian menyampaikan khutbahnya yang
dikenal dengan khutbah Al-Gharra’ii untuk menjelaskan tujuan-tujuan beliau.
Dalam khutbah ini, setelah memanjatkan puji syukur kepada Allah, Imam Husain
berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda:
‘Barangsiapa mendapati penguasa zalim yang menghalalkan apa yang diharamkan
Allah, melanggar janjinya, menentang sunnah Rasulullah, memperlakukan
hamba-hamba Allah dengan dosa dan aniaya, tetapi dia tidak menentangnya dengan
tindakan maupun kata-kata, maka Allah berhak memasukannya ke (neraka) tempat
orang zalim itu disemayamkan.”
Beberapa lama kemudian, kedua rombongan Imam Husain
dan Hur bergerak. Ketika tiba di suatu gurun sahara bernama Nainawa, Imam
Husain as meminta supaya berhenti, tetapi Hur menolaknya. Hur berkata: “Aku
tidak mengizinkanmu berhenti di sini, sebab utusan sang Amir datang untuk
mengawasi keadaan. Karenanya, di depan utusan itu mau tidak mau aku harus
melaksanakan segala perintahnya.”
Kedua pasukan hak dan pasukan batil bergerak lagi hingga
sampai di suatu daerah bernama Karbala pada tanggal 2 Muharram 61 Hijriah,
sebuah daerah yang dialiri sungai Elfrat.
Karbala, Pesinggahan Terakhir
Tentang keberadaan Imam Husain as di Karbala
diriwayatkan bahwa ketika beliau tiba di padang ini kuda yang beliau tunggangi
tiba-tiba berhenti. Kuda itu tetap bergeming dan memaku kendati beliau sudah
menarik tali kekangnya kuat-kuat agar beranjak dari tempatnya berdiri. Beliau
lalu mencoba menunggangi kuda lain, namun hasilnya tetap sama, kuda kedua itu
juga tak menggerakkan kakiknya. Karena itu, Imam Husain as nampak mulai curiga
sehingga bertanya: “Apakah nama daerah ini?”
Orang-orang menjawab: “Qadisiah.”
“Adakah nama lain?” Tanya Imam lagi.
“Shati’ Al-Furat.”
“Selain itu ada nama lain lagi?”
“Karbala.”
Mendengar jawaban terakhir ini Imam Husain as segera
berucap: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan dan malapetaka.”
Imam lalu berseru kepada para pengikutnya: “Kita
berhenti disini, karena di sinilah akhir perjalanan kita, di sinilah tempat
tumpahnya darah kita, dan di sinilah tempat kita dikebumikan.”
Di tanah itu, Ummu Kaltsum as adik Imam Husain as
berkeluh kesah kepada beliau. “Padang sahara terlihat menyeramkan, aku
tiba-tiba dicekam ketakutan yang amat besar.”
Imam menjawab: “Adikku, dalam perjalanan untuk Perang
Siffin, bersama ayahanda kami pernah berhenti di sini. Di sini ayah merebahkan
kepalanya ke pangkuan kakakku, Hasan, kemudian tertidur. Aku juga kebetulan ada
di sisinya. Begitu terjaga, ayah tiba-tiba menangis sehingga kakakku bertanya
mengapa ayah menangis.
“Ayah menjawab: ‘Aku bermimpi sahara ini berubah
menjadi lautan darah dan Husain tenggelam ke dalamnya sambil berteriak-teriak
meminta pertolongan tetapi tak seorangpun mengindahkan teriakannya.’ Ayah
kemudian bertanya kepadaku: ‘Bagaimanakah kalian jika seandainya ini terjadi.’
Aku menjawab: ‘Tidak ada jalan lain, aku akan sabar.’”
Imam Husain as kemudian berkata: “Sesungguhnya Bani
Umayyah telah mencemarkan nama baikku, tetapi aku bersabar. Mereka merampas
harta bendaku, aku juga bersabar. Mereka kemudian menuntut darahku, tetapi juga
tetap sabar. Demi Allah, mereka akan membunuhku sehingga Allah akan menimpakan
kepada mereka kehinaan yang amat sangat dan akan menghunjam kepada mereka
pedang yang amat tajam.”
Sementara itu, Ubaidillah bin Ziyad sudah mendapat
laporan bahwa Imam Husain as berada di Karbala. Dia mengirim surat kepada
beliau berisikan desakan agar beliau membaiat Yazid. Ubaidillah mengancam Imam
Husain as pasti akan mati jika tetap menolak memberikan baiat.
Imam Husain as membaca surat itu kemudian
melemparkannya jauh-jauh sambil berkata kepada kurir Ubaidillah bahwa surat itu
tidak akan dibalas oleh beliau. Ubaidillah murka setelah mendengar
laporan sang kurir tentang sikap Imam Husain ini. Dipanggilnya Umar bin Sa’ad,
orang yang sangat mendambakan jabatan sebagai gubernur di kota Rey. “Cepat
pergi!” Seru Ubaidillah kepada Umar. “Habisi Husain, setelah itu datanglah
kemari lalu pergilah ke Rey untuk menjabat di sana selama 10 tahun.”
Umar bin Sa’ad meminta waktu satu hari untuk
berpikir, dan Ubaidillah pun memberinya kesempatan itu. Umar kemudian berunding
dengan teman-temannya. Dia disarankan supaya tidak menerima tugas untuk
membunuh cucu Rasul itu. Namun, saran itu tidak meluluhkan hatinya yang sudah
dilumuri ambisi untuk bertahta. Maka, dengan memimpin 4.000 pasukan dia
bergerak menuju Karbala. Begitu tiba di Karbala, mulai adegan-agedan
penganiayaan terjadi terhadap Imam Husain beserta rombongannya. Umar bin Sa’ad
bahkan tak segan-segan mencegah mereka untuk mendapatkan seteguk air minum.
Hur dan pasukannya bergabung di bawah pasukan
pimpinan Umar bin Sa’ad. Umar memerintahkan seseorang bernama Azrah bin Qais.
“Cepat datangi Husain, dan tanyakan kepadanya untuk apa datang kemeri.” Kata
Umar. Azrah kebingungan dan malu karena dia termasuk orang yang mengirim surat
kepada Imam Husain as supaya beliau datang ke Kufah.
Umar bin Sa’ad kemudian menyuruh beberapa orang lain
untuk bertanya seperti itu, tetapi tak ada satupun diantara mereka yang
bersedia. Mereka keberatan karena mereka juga seperti Azrah bin Qais; ikut
mengundang Imam Husain as tetapi malah berada di barisan pasukan yang memusuhi
beliau.
Diriwayatkan bahwa Barir bin Khudair meminta izin
Imam Husain as untuk berbicara dengan Umar bin Sa’ad mengenai penggunaan air
sungai ElFrat. Beliau mengizinkannya dan Barir pun pergi mendatangi Umar bin
Sa’ad. Di depan Bin Sa’ad Barir langsung duduk tanpa mengucapkan salam. Karena
itu Umar bin Sa’ad langsung naik pitam.
“Kenapa kamu tidak mengucapkan salam kepadaku?
Bukankah aku ini seorang muslim yang mengenal Allah dan rasul-Nya?” Tegur Ibnu
Sa’ad geram.
“Kalau kamu memang seorang Muslim,” jawab Barir,
“kamu tentu tidak akan keluar untuk memerangi keluarga nabimu, Muhammad bin
Abdullah, untuk membunuh mereka, untuk menawan para anggota keluarga mereka. Di
saat orang-orang Yahudi dan Nasrani bisa menikmati air sungai ElFrat, Husain
putera Fatimah beserta keluarga dan sahabatnya justru terancam maut akibat
kehausan karena kamu mencegah mereka meneguk air sungai tersebut, tetapi di
saat yang sama kamu mengaku mengenal Allah dan rasul-Nya.”
Ibnu Sa’ad sejenak menunjukkan kepada kemudian
mendongak lagi sambil berkata: “Hai Barir, saya yakin siapapun akan masuk
neraka jika memerangi dan membunuh Husain dan kaum kerabatnya. Namun, apa yang
bisa aku lakukan nanti untuk ambisiku di Ray? Apakah aku akan membiarkannya
jatuh ke tangan orang lain? Demi Allah, hatiku tidak berkenan untuk yang
demikian.”
Barir kemudian kembali menghadap Imam Husain as dan
melaporkan apa yang dikatakan Umar bin Sa’ad. Imam pun berkomentar: “Dia tidak
bisa mencapai kekuasaan di Ray. Dia akan terbunuh di tempat tidurnya sendiri.”
Pertemuan Imam Husain as Dengan Umar Bin Sa’ad
Demi menuntaskan hujjahnya, Imam Husain as
menyampaikan pesan kepada Umar bin Sa’ad bahwa beliau ingin bertemu dengannya.
Umar setuju. Maka, diadakanlah sebuah pertemuan antara keduanya. Umar bin Sa’ad
ditemani 20 orang dari pasukannya sebagaimana Imam Husain as juga ditemani oleh
20 pengikutnya. Namun, di tengah pertemuan ini keduanya memerintahkan semua
pengikut masing-masing itu untuk keluar dari ruang pertemuan kecuali dua orang
dari mereka masing-masing. Dari pihak Imam Husain yang dizinkan untuk terus
terlibat dalam pertemuan adalah Abbas dan Ali Akbar as, sedangkan dari pihak
Umar bin Sa’ad yang diperbolehkan tinggal adalah puteranya, Hafs, dan seorang
budaknya.
Dalam pertemuan 6 orang ini terjadi dialog sebagai
berikut:
Imam Husain as: “Hai putera Sa’ad, adakah kamu tidak
takut kepada Allah, Tuhan yang semua orang akan kembali kepada-Nya. Kamu
berniat memerangiku walaupun kamu tahu aku adalah cucu Rasulullah, putera
Fatimah Azzahra, dan Ali. Hai putera Sa’ad, tinggalkanlah mereka (Yazid dan
pengikutnya) itu, dan kamu lebih baik bergabung denganku karena ini akan
mendekatkanmu dengan Allah.”
Umar bin Sa’ad: “Aku takut mereka menghancurkan
tempat tinggalku.”
Imam Husain as: “Aku akan membangunnya kalau mereka
merusaknya.”
Umar bin Sa’ad: “Aku takut mereka merampas kebunku.”
Imam Husain as: “Kalau mereka merampasnya, aku akan
menggantinya dengan yang lebih baik.”
Umar bin Sa’ad: “Aku punya keluarga dan sanak famili,
aku takut mereka disakiti.”
Imam Husain as terdiam dan tak mau menyambung jawaban
lagi. Sambil bangkit untuk keluar meninggalkan ruang pertemuan beliau berucap:
“Allah akan membinasakanmu di tempat tidurmu. Aku berharap kamu tidak akan
dapat memakan gandum di Ray kecuali sedikit.”
Dengan nada mengejek, Umar bin Sa’ad menjawab: “Kalau
aku tidak dapat menyantap gandumnya, barley-nya sudah cukup bagiku.”
“Hai putera Sa’ad, jadi kamu hendak membunuhku dengan
harapan dapat berkuasa di Ray dan Jirjan seperti yang dijanjikan Ibnu Ziyad.
Demi Allah kamu tidak akan dapat menggapai ambisimu itu karena ayahku sudah
memberitahuku tentang ini. Lakukan segala apa yang kamu inginkan karena
sepeninggalku di dunia ini nanti kamu tidak akan pernah bahagia lagi. Aku
seakan sudah melihat kepalamu tertancap di ujung tombak dipajang di Kufah.
Kepalamu itu dilempari oleh anak-anak kecil.”
Imam Husain as kemudian pergi meninggalkan Umar bin
Sa’ad tanpa membawa hasil apapun dari pertemuan tersebut. Umar bin Sa’ad
memang dikenal sebagai pria pandir, pengkhianat, dan pendusta. Sifat-sifat
buruk ini antara lain dia perlihatkan dalam surat yang dikirimnya kepada Ibnu
Ziyad. Dalam surat ini dia menyatakan: “Husain telah memutuskan untuk pulang
kembali ke negerinya atau jika tidak dia akan pergi menghadap Yazid untuk
menyatakan baiat.” Ini jelas satu kebohongan yang dikaitkan dengan Imam Husain
as, dan karenanya beliau berkali-kali menegaskan: “Sesungguhnya si anak zina
(Umar) putera si anak zina itu (Sa’ad) telah menghadapkanku pada dua pilihan,
mati atau hidup secara terhina. Tetapi kehinaan bagiku adalah pantangan. Allah
dan rasul-Nya serta orang-orang yang mukmin dan salih tidak mungkin akan
menerima kehinaan dan tidak menganggap kehinaan lebih baik daripada kematian
dengan penuh kehormatan…”
Setelah membaca surat ini, Ubaidillah bin Ziyad
berkata:
“Ini adalah surat seorang pendamba kebaikan dan
penyayang untuk kaumnya.”
Akan tetapi, begitu Ibnu Ziyad hendak membalas surat
ini, Syimir bin Dzil Jausyan bangkit dan berkata kepadanya: “Apakah engkau
percaya kepada kata-kata Ibnu Sa’ad sementara engkau tahu Husain tidak menjabat
tanganmu untuk menyatakan baiat?” Kata-kata Syimir segera mengubah pandangannya
tentang Ibnu Ziyad. Karena itu dalam surat balasannya dia menuliskan:
“Aku mengirimmu bukan untuk perdamaian, kompromi, dan
mengulur urusan. Ketahuilah, jika dia menuruti perintahku maka kirimkan dia
kepadaku sebagai orang yang sudah menyerah. Jika tidak, maka sikapilah
dia dengan kekerasan, perangilah dia, dan jika dia sudah mati letakkan jasad di
bawah injakan kaki-kaki onta….
“Jika ini kamu lakukan, berarti kamu sudah dekat denganku
dan aku akan memberimu imbalan yang besar. Jika tidak maka menyingkirlah kamu
dan jabatan panglima perang akan aku serahkan kepada Syimir.”
Surat ini disusul dengan satu surat lagi yang
menyatakan:
“Aku sudah mengirimkan pasukan yang cukup untukmu.
Kamu harus melaporkan apa yang terjadi siang dan malam. Husain dan para
pengikutnya jangan diberi jalan untuk mendatangi sungat ElFrat. Jangan biarkan
mereka menngambil walaupun setetes.”
Pada hari ketujuh bulan Muharram, Ubaidillah bin
Ziyad mengirim 500 pasukan berkuda dipimpin Amr bin Hajjaj untuk memperketat
penjagaan sungai ElFrat dari jangkauan Imam Husain as dan para pengikutnya.
Belum cukup dengan itu, Ubaidillah alias Ibnu Ziyad itu mengirim lagi 4000
pasukan ke Karbala disertai dengan surat untuk Umar bin Sa’ad. Seperti
sebelumnya, surat ini menekan Umar supaya melaksanakan tugasnya sebaik mungkin,
jika tidak maka Umar harus menyingkir dan posisinya akan digantikan Syimir.
Namun, kepada Syimir Umar mengatakan: “Aku akan tetap memegang komando pasukan,
dan posisi terhormat ini tidak akan jatuh ke tanganmu. Biarlah kamu tetap
memimpin pasukan pejalan kaki.”
Syimir yang merasa sudah tidak ada lagi waktu untuk
berbasa-basi segera menghampiri perkemahan Imam Husain as kemudian berteriak:
“Hai, dimana kalian wahai anak-anak saudara perempuanku?”
Mendengar suara teriakan manusia keparat itu, Imam
Husain as berkata kepada beberapa orang saudara, termasuk Abu Fadhl Abbas as:
“Aku tahu Syimir adalah manusia yang fasik, tetapi karena dia masih tergolong
kerabat kalian, maka jawablah teriakannya.” Maka, empat orang yang
bersangkutan pun menjawab: “Apa kamu maukan dari kami?!”
“Kalian adalah anak-anak saudara perempuanku. Kalian
saya jamin aman asalkan kalian melepaskan diri kalian dari Husain dan patuh
kepada Amirul Mukminin Yazid bin Muawiah” Pekik Syimir.
Abu Fadhl Abbas menjawab: “Apakah kamu akan
mengamankanku sedangkan putera Rasul tetap diberi keamanan?! Semoga Allah
melaknatmu beserta keamanan yang kamu miliki itu?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar