“Pangkal agama ialah makrifat tentang Dia,
kesempurnaan makrifat (pengetahuan) tentang Dia ialah membenarkan-Nya,
kesempurnaan pembenaran-Nya ialah mempercayai Keesaan-Nya, kesempurnaan iman
akan Keesaan-Nya ialah memandang Dia Suci, dan kesempurnaan Kesucian-Nya ialah
menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa (sifat) itu
berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan setiap sesuatu yang
kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat itu. Maka barangsiapa
melekatkan suatu sifat kepada Allah (berarti) ia mengakui keserupaan-Nya, dan
barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia memandang-Nya dua, dan barangsiapa
memandang-Nya dua, mengakui bagian-bagian bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui
bagian-bagian bagi-Nya (berarti) tidak mengenal-Nya, dan barangsiapa tidak
mengenal-Nya maka ia menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya (berarti) ia
mengakui batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya
(berarti) ia mengatakan jumlah-Nya. Barangsiapa mengatakan “dalam apa Ia
berada”, (berarti) ia berpendapat bahwa Ia bertempat, dan barangsiapa
mengatakan “di atas apa Ia berada” maka ia beranggapan bahwa Ia tidak berada di
atas sesuatu lainnya. Ia Maujud tetapi tidak melalui fenomena muncul menjadi
ada. Ia ada tetapi bukan dari sesuatu yang tak ada. Ia bersama segala sesuatu
tetapi tidak dalam kedekatan fisik. Ia berbeda dari segala sesuatu tetapi bukan
dalam keterpisahan fisik. Ia berbuat tetapi tanpa konotasi gerakan dan alat. Ia
melihat sekalipun tak ada dari ciptaan-Nya yang dilihat. Ia hanya Satu,
sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu yang dengannya Ia mungkin bersekutu
atau yang mungkin Ia akan kehilangan karena ketiadaannya” (Khutbah Imam Ali
bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Lihat Khutbah Pertama dalam Nahjul
Balaghah)
Tuhan dan Alam
Membahas
tentang Tuhan dalam pemikiran filosof muslim berarti membahas tentang
metafisika, yang dalam hal ini Ibnu Sina memandang metafisika merupakan pengetahuan tentang segala
yang ada sebagai “adanya” dan sejauh yang
dapat diketahui manusia. Berkaitan dengan metafisika inilah Ibnu Sina membicarakan sifat wujudiah sebagai
yang terpenting dan mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain. Esensi,
dalam paham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat di luar
akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di
luar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih
penting dari esensi. Dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah),
Ibnu Sina berargumentasi dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin
al-wujud, yang mengingatkan kita kepada filsafatnya
Al-Farabi, yang bahkan terkesan tidak ada tambahan sama sekali. Berikut penjelasannya.
Wajib
al-wujud, yaitu esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud.
Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu.
Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan
mesti berwujud selama-lamanya. Lebih jauh Ibnu Sina membagi Wajib al-Wujud ke
dalam dua pembagian, yaitu: 1) Wajib al-wujud bi dzatihi, yakni sesuatu yang kepastian wujudnya
disebabkan olah zatnya sendiri. Dalam hal ini esensi itu tidak bisa diceraikan
dengan wujud, karena keduanya adalah satu dan wujudnya tidak didahului oleh
ketiadaan (ma'dum), ia akan tetap ada selamanya. Wajib bi
dzatihi ini biasanya disebut oleh Ibnu Sina dengan Al-Wajib saja,
yaitu Allah Yang Maha Esa, Yang Hak dan ia adalah Aqlul-Mahdh (akal
murni) yang tidak berkaitan denan materi apa pun. 2) Wajib al-wujud bi ghairihi, yakni sesuatu yang kepastian wujudnya
disebabkan oleh yang lain. Misalnya: Adanya basah disebabkan oleh adanya air,
kebakaran disebabkan oleh api, adanya 7 karena ada 5+2 atau 6+1, atau 2+5, dan
sebagainya.
Tentang
sifat-sifat Allah, sebagaimana Al-Farabi,
Ibnu Sina pun menyucikan Allah dari segala sifat yang dikaitkan dengan
esensinya, karena Allah Maha Esa dan Maha Sempurna. Ia adalah tunggal, tidak
terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zatnya, tentu akan
membawa zat Allah menjadi pluralitas (ta’addud al-qudama’).
Sebagaimana
Al-Farabi, Ibnu Sina juga berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui yang
universal di alam dan ia tidak mengetahui yang parsial. Ungkapan terakhir ini
dimaksudkan Ibnu Sina bahwa Allah mengetahui yang parsial di alam ini secara
tidak langsung, yakni melalui zatnya sebagai sebab adanya alam. Dengan istilah
lain, pengetahuan Allah tentang yang parsial melalui sebab akibatyang terakhir
kepada sebab pertama, yakni zat Allah. Dari pendapatnya ini Ibnu Sina berusaha
mengesakan Allah semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara kesempurnaan Allah.
Jika tidak demikian, tentu ilmu Allah yang maha sempurna akan sama dengan sifat
ilmu manusia, bertambahnya ilmu membawa perubahan pada esensi manusia. Meski,
dalam soal ini, pandangan Ibn Sina memancing kritik dan kontroversi dari ummat
Islam atau dari para pemikir Islam lainnya yang mempercayai pengetahuan Allah
mencakup yang parsial (furu’) juga yang global (ijmal).
Sebagai
perbandingan, barangkali kita juga perlu menyimak pandangan filsuf muslim
kontemporer, yang dalam hal ini teosofi-nya Syahid Ayatullah Murtadha
Muthahhari: “Dalam
hubungannya dengan konsepsi Ilahiah tentang dunia, dalam ilmu ketuhanan dibahas
beberapa masalah tentang hubungan antara Allah dan dunia, seperti apakah dunia
ini, sementara atau abadi, dari manakah asal segala sesuatu yang ada ini. Juga
dibahas masalah-masalah lain seperti itu. Namun, kalau melihat keseimbangan
segenap eksistensi, maka dapat dikatakan di sini bahwa masalah-masalah kearifan
dan keadilan ilahi saling berkaitan erat. Kalau merujuk kepada masalah keadilan
Ilahi, maka dapat dikatakan bahwa sistem dunia yang ada ini merupakan sistem
yang paling arif dan adil. Dasar sistem ini bukan saja pengetahuan, kesadaran
dan kehendak. Sistem ini juga merupakan sistem yang paling baik dan sehat. Tak
mungkin ada sistem lain yang lebih baik daripada sistem ini. Dunia yang ada ini
merupakan yang paling sempurna” (Lihat Ayatullah Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi,
Mizan 2009).
Filsafat Ibn Sina Tentang Manusia
Terdapat
tiga objek kajian yang dibahas Ibnu Sina menyangkut
manusia, yaitu: wujud
manusia, jiwa manusia, akal pada manusia dan ruh manusia. Dalam
menjelaskan tentang wujud manusia ini Ibnu Sina menggunakan Filsafat
Wujudiah-nya untuk menjelaskan dari mana wujud manusia itu ada,
yaitu pada teori Mumkin al-Wujud, yang penjelasannya adalah: Mumkin al-Wujud adalah Esensi yang boleh mempunyai wujud dan
boleh pula tidak berwujud. Dengan kata lain, jika ia diandaikan tidak ada atau
diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada.
Selanjutnya, dalam menjelaskan tentang awal mula proses
muculnya ruh, maka kita akan melihat pada teori emanasi Ibnu Sina, di mana
proses munculnya ruh diawali dengan adanya Akal X yang dayanya sudah sangat
lemah berpikir tentang Allah sebagai Wajib wujud li dzatihi menghasilkan
pemikiran ke 10 yang berpikir tentang Wajib wujud li ghairihi menghasilkan
jiwa ke 10 dan berpikirnya tentang dirinya sendiri sebagai Mumkinul wujud
li dzatihi menghasilkan
berbagi unsur dasar dari bumi dan juga ruh manusia. Dan jiwa ke 10 itulah yang
menggerakkan roh. Menurut Ibnu Sina jika manusia telah meninggal maka hanya
raganya saja yang tidak aktif, tetapi rohnya akan tetap hidup, dan roh yang
abadi itu akan mengalami sikasa dan kesenangan. Pandangannya soal ini juga tak luput dari kritik dan kontroversi
secara teologis dan filosofis.
Alam Menurut Ibnu Sina
Ibnu
Sina, yang lagi-lagi sebagaimana juga al Farabi, menemui
kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak yang bersifat
materi (alam) dari Yang Esa, jauh dari arti banyak, jauh dari materi,
Mahasempurna, dan tidak berkehendak apapun (Allah).Untuk memecahkan masalah ini, ia juga mengemukakan penciptaan
secara emanasi. Soal kerumitan ini kemudian akan dijelaskan dalam tasawuf
filsafatnya Ibn Arabi, tentang tajalliyat. Namun di sini penting dikatakan
bahwa filsafat
emanasi ini bukan renungan Ibnu Sina atau juga al- Farabi,
tetapi berasal dari “ramuan Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini
pancaran dari Yang Esa (The One). Kemudian, filsafat Plotinus yang
berprinsip bahwa dari hanya yang satu yang melimpah. Filsafat Plotinus ini kemudiandiaktualisasikan oleh Ibnu Sina dan juga Al- Farabi,bahwa
Allah menciptakan alam secara emanasi. Dengan demikian,
walaupun prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama, namun hasil dan tujuannya berbeda.
Oleh karena itu, dapat dikatakan Yang Esa-nya Plotinus sebagai
penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta yang aktif dalam filsafat Ibn Sina dan al Farabi. Ia menciptakan alam dari materi yang
sudah ada secara pancaran.
Adapun
proses terjadinya pancaran tersebut ialah ketika Allah (bukan dari tiada)
sebagai akal langsung memikirkan terhadap zatnya yang menjadi objek
pemikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini memancarlah
Akal kedua, Jiwa pertama dan langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal
kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tida dapat menghasilkan akal sejenisnya,
dan hanya menghasilkan Jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi
dasar keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah. Hanya saja,
berbeda dengan Al-Farabi, bagi Ibnu Sina Akal pertama mempunyai dua sifat:
Sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mumkin wujudnya jika
ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian, Ibnu Sina membagi objek
pemikiran akal-akal menjadi tiga: Allah (Wajib al-wujud li-zatihi),
dirinya akal-akal (wajib al-wujud li ghairihi) sebagai pancaran dari
Allah, dan dirinya akal-akal (mumkin al-wujud) ditinjau dari hakikatnya.
Selanjutnya
adalah akal-akal dan planet-planet dalam emanasi dipancarkan Allah secara
hierarkis. Keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqul Allah
tentang zat-Nya sebagai sumber energi yang maha dahsyat. Ta’aqqul Allah tentang
zatnya adalah ilmu Allah tentang dirinya dan ilmu itu adalah daya (al-qudrat) yang mencitakan segalanya.
Agar sesuatu itu tercipta, cukup sesuatu itu diketahui Allah. Dari hasil
ta’aqqul Allah terhadap zat-nya (energi) itulah diantaranya menjadi akal-akal,
jiwa-jiwa, dan yang lainnya memadat menjadi planet-planet. Dan berbeda dengan
pendahulunya, yaitu Al-Farabi, bagi Ibnu Sina
masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal
(immateri) tidak langsung menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal
adalah para malaikat, Akal pertama adalah Malaikat Tertinggi dan Akal Kesepuluh
adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi dan isinya.
Namun, sebagaimana Al-Farabi,
Ibnu Sina juga memajukan emanasi ini untuk mentauhidkan Allah
semutlak-mutlaknya. Oleh karena itu, Allah tidak bisa menciptakan alam yang
banyak jumlah unsurnya ini secara langsung. Jika Allah berhubungan langsung
dengan alam yang plural ini tentu dalam pemikiran Allah terdapat hal yang plural.
Hal ini merusak citra tauhid. Seperti telah disebutkan bahwa perbedaan yang mendasar antara
Plotinus dengan Ibnu Sina (juga al-Farabi) ialah: bagi Plotinus alam ini
hanya terpancar dari yang satu (Tuhan), yang mengesankan
Allah tidak pencipta dan tidak aktif. Hal ini
ditangkap dari metafora yang ia gunakan bagaikan mentari memancarkan sinarnya.
Sementara itu, dalam Islam, emanasi ini dalam rangka menjelaskan cara Allah
menciptakan alam. Karena alam adalah ciptaan Allah, dalam agama Islam termasuk
ajaran pokok atau qath’i al-dalalah. Dengan kata lain, kekhalikan
Allah ini mesti diimani sepenuhnya. Orang yang mengingkari dapat membawa pada
kekafiran. Atas dasar itulah, maka ibarat mentari dengan sinarnya merupakan
ibarat yang menyesatkan.
Sejalan dengan filsafat emanasi inilah, alam
ini qadim karena diciptakan oleh Allah sejak zaman Azali.
Akan tetapi, tentu saja Ibnu Sina membedakan antaraqadimnya Allah dan alam. Perbedaan tersebut terletak pada sebab
membuat alam terwujud. Keberadan alam tidak didahului oleh zaman, maka
alam qadim dari segi zaman. Adapun dari
segi esensi, sebagai hasil ciptaanAllah secara pancaran, alam
ini baru. Sementara itu, Allah adalah taqaddum zaty. Ia sebab semua
yang ada dan Ia pencipta alam. Akhir kata, meski tak luput dari protes dan
kontroversi, filsafat Ibn Sina adalah jejak dan warisan yang sangat berharga
bagi kita dari sebuah jaman ketika dunia Islam berusaha melakukan rasionalisasi
teologis, sekaligus berikhtiar dalam kecimpung filosofis agar agama “tidak
mati” dalam roda sejarah dan laju peradaban ummat manusia. (Sulaiman Djaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar