Syi'ah
sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s. (imam pertama Syi’ah) sudah muncul
sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup. Hal ini dapat dibuktikan dengan
realita-realita berikut ini:
Pertama, ketika Nabi
Muhammad SAW mendapat perintah dari Allah SWT untuk mengajak keluarga
terdekatnya masuk Islam, ia berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara
kalian yang siap untuk mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan washiku
setelah aku meninggal dunia”. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang
bersedia untuk mengikutinya kecuali Sayyidina Ali bin Abi Thalib a.s. Sangat
tidak masuk akal jika seorang pemimpin pergerakan –di hari pertama ia memulai
langkah-langkahnya– memperkenalkan penggantinya setelah ia wafat kepada orang
lain dan tidak memperkenalkanya kepada para pengikutnya yang setia. Atau ia
mengangkat seseorang untuk menjadi penggantinya, akan tetapi, di sepanjang masa
aktifnya pergerakan tersebut ia tidak memberikan tugas sedikit pun kepada
penggantinya dan memperlakukannya sebagaimana orang biasa. Keberatan-keberatan
di atas adalah bukti kuat bahwa Imam Ali bin Abi Thalib as setelah
diperkenalkan sebagai pengganti dan washi Nabi Muhammad SAW di hari pertama
dakwah, memiliki misi yang tidak berbeda dengan missi Nabi Muhammad SAW dan
orang yang mengikutinya berarti ia juga mengikuti Nabi Muhammad Saw.
Kedua, berdasarkan
riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syiah, Nabi Muhammad SAW
pernah bersabda bahwa Imam Ali bin abi thalib as terjaga dari setiap dosa dan
kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku. Semua tindakan dan perilakunya
sesuai dengan agama Islam dan ia adalah orang yang paling tahu tentang Islam.
Ketiga, Imam
Ali bin Abi Thalib as adalah sosok figur yang telah berhasil
menghidupkan Islam dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah lakukannya.
Seperti, ia pernah tidur di atas ranjang Nabi Muhammad SAW di malam peristiwa
lailatul mabit ketika Nabi Muhammad SAW hendak berhijrah ke Madinah dan
kepahlawannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar. Seandainya
pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah dilakukannya, niscaya Islam akan
sirna ditelan gelombang kebatilan.
Keempat, peristiwa
Ghadir Khum adalah puncak keistimewaan yang dimiliki oleh Imam Ali bin Abi Thalib
as. Sebuah peristiwa –yang seandainya dapat direalisasikan sesuai dengan
kehendak Nabi Muhammad SAW– akan memberikan warna lain terhadap Islam.
Semua
keistimewaan dan keistimewaan-keistimewaan lain yang diakui oleh Sunni bahwa
semua itu hanya dimiliki oleh Imam Ali bin Abi Thalib as secara otomatis akan
menjadikan sebagian pengikut Nabi Muhammad SAW yang memang mencintai
kesempurnaan dan hakikat, akan mencintai Imam Ali bin Abi Thalib as dan lebih
dari itu, akan menjadi pengikutnya. Dan tidak menutup kemungkinan bagi sebagian
pengikutnya yang memang memendam rasa dengki di hati kepada Imam Ali bin Abi Thalib
as, untuk membencinya meskipun mereka melihat ia telah berjasa dalam mengembangkan
dan menjaga Islam dari kesirnaan.
Mengapa
Minoritas Syi’ah Berpisah dari Mayoritas Sunni?
Dengan
melihat keistimewaan dan kedudukan yang dimiliki oleh Imam Ali bin Abi Thalib
as, para pengikutnya meyakini bahwa ia adalah satu-satunya sahabat yang berhak
untuk menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW setelah ia wafat. Keyakinan ini
menjadi semakin mantap setelah peristiwa “kertas
dan pena” yang terjadi beberapa hari sebelum ia meninggal dunia. Akan
tetapi, kenyataan bericara lain. Ketika Ahlul Bayt a.s. dan para pengikut setia
mereka sedang sibuk mengurusi jenazah Nabi Muhammad SAW untuk dikebumikan,
mayoritas sahabat yang didalangi oleh sekelompok sahabat yang memiliki
kepentingan-kepentingan pribadi dengan Islam, berkumpul di sebuah balai
pertemuan yang bernama Saqifah Bani
Saidah guna menentukan khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW.
Dan dengan cara dan metode keji, para dalang “permainan” ini menentukan Abu
Bakar sebagai khalifah pertama muslimin.
Setelah
para pengikut Imam Ali bin Abi Thalib as yang hanya segelintir selesai
mengebumikan jenazah Nabi Muhammad SAW, mereka mendapat berita bahwa khalifah
muslimin telah dipilih. Banyak pengikut Imam Ali bin Abi Thalib as seperti
Abbas, Zubair, Salman al Farisi, Abu Dzar al Ghifari, Ammar Bin Yasir dan
lain-lain yang protes atas pemilihan tersebut dan menganggapnya tidak absah.
Yang mereka dengar hanyalah alasan yang biasa dilontarkan oleh orang ingin
membela diri. Mereka hanya berkata: “Kemaslahatan muslimin menuntut demikian”.
Protes
minoritas inilah yang menyebabkan mereka memisahkan diri dari mayoritas
masyarakat yang mendominasi arena politik kala itu. Dengan demikian,
terwujudlah dua golongan di dalam tubuh masyarakat muslim yang baru ditinggal
oleh pemimpinnya. Akan tetapi, pihak mayoritas yang tidak ingin realita itu diketahui
oleh para musuh luar Islam, mereka mengeksposkan sebuah berita kepada
masyarakat bahwa pihak minoritas itu adalah penentang pemerintahan yang resmi.
Akibatnya, mereka dianggap sebagai musuh Islam.
Meskipun
adanya tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas, kelompok minoritas ini masih
tetap teguh memegang keyakinannya bahwa kepemimpinan adalah hak Imam Ali bin
Abi Thalib as setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Bukan hanya itu, dalam
menghadapi segala masalah kehidupan, mereka hanya merujuk kepada Imam Ali bin
Abi Thalib as untuk memecahkannya, bukan kepada pemerintah. Meskipun demikian,
berkenaan dengan masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum, mereka tetap
bersedia untuk ikut andil memecahkannya. Banyak masalah telah terjadi yang tidak
dapat dipecahkan oleh para khalifah, dan Imam Ali bin Abi Thalib as tampil
aktif dalam memecahkannya.
Penyelewengan
Pada Masa Tiga Khalifah
Pada
masa kepemimpinan tiga khalifah pertama muslimin, banyak terjadi
penyelewengan-penyelewengan dilakukan oleh mereka dalam menjalankan
pemerintahan yang tidak sesuai dengan rel Islam dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Diamnya pemerintah atas pembunuhan yang telah dilakukan oleh Khalid bin Walid
terhadap Malik Bin Nuwairah yang berlanjut dengan pemerkosaan terhadap
istrinya, pembagian harta baitul mal yang tidak merata sehingga menimbulkan
perbedaan strata masyarakat kaya dan miskin, penghapusan dua jenis mut’ah yang
sebelumnya pernah berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW, penghapusan khumus dari
orang-orang yang berhak menerimanya, pelarangan penulisan hadis-hadis Nabi
Muhammad SAW, pelarangan mengucapkan “Hayya
‘alaa Khairil ‘Amal” dalam azan, pemberian harta dan dukungan istimewa
kepada Mu’awiyah sehingga ia dapat berkuasa di Syams (Suriah) dengan leluasa,
dan lain sebagainya, semua itu adalah bukti jelas penyelewengan dan kepincangan
yang terjadi pada masa tiga khalifah pertama. Semua itu jelas terjadi sehingga
orang yang berpikiran jernih dan tidak dipengaruhi oleh fanatisme mazhab akan
dapat menerimanya dengan menelaah buku-buku sejarah yang otentik.
Setelah
Utsman Bin Affan, Khalifah ketiga muslimin dibunuh oleh para “pemberontak” yang
tidak rela dengan kinerjanya selama ia memegang tampuk khilafah, di mana para
pemberontak itu juga terprovokasi Aisyah, masyarakat dengan serta merta memilih
Imam Ali bin Abi Thalib as secara aklamasi (mayoritas) untuk memegang tampuk
khilafah. Di antara Muhajirin yang pertama kali berbai’at dengannya adalah Thalhah dan Zubair, yang kemudian orang pertama pula yang melanggar bai’at.
Hal ini terjadi pada tahun 5 H. Sangat disayangkan kekhilafahannya hanya
berjalan sekitar 4 tahun 5 bulan, masa yang sangat sedikit untuk mengadakan
sebuah perombakan dan reformasi mendasar.
Begitu
ia menjadi khalifah, khotbah pertama yang dilontarkannya adalah sebagai
berikut: “Ketahuilah bahwa segala
kesulitan yang pernah kalian alami di masa-masa pertama Nabi Muhammad SAW
diutus menjadi nabi, sekarang akan kembali menimpa kalian. Sekarang orang-orang
yang memiliki keahlian dan selama ini disingkirkan harus memiliki kedudukan
yang layak dan orang-orang yang tidak becus harus disingkirkan dari kedudukan
yang telah diberikan kepada mereka dengan tidak benar”.
Ia
mengadakan perombakan-perombakan secara besar-besaran, baik di bidang birokrasi
maupun bidang pembagian harta baitul mal. Ia mengganti semua gubernur daerah yang
telah ditunjuk oleh para khalifah sebelumnya dengan orang-orang yang layak
untuk memegang tampuk tersebut dan membagikan harta baitul mal dengan sama rata
di antara masyarakat. Hal ini menyebabkan sebagian sahabat sakit hati. Tentunya
mereka yang merasa dirugikan oleh metode Imam Ali bin Abi Thalib as tersebut.
Hal itu dapat kita pahami dalam peristiwa-peristiwa berdarah berikut:
Faktor
utama perang Jamal adalah rasa sakit hati Thalhah
dan Zubair karena hak mereka –sebagai
sahabat senior– dari harta baitul mal merasa dikurangi dan disamaratakan dengan
masyarakat umum. Dengan alasan ingin menziarahi Ka’bah, mereka masuk ke kota
Makkah dan menemui Aisyah yang memiliki hubungan tidak baik dengan Imam Ali bin
Abi Thalib as demi mengajaknya memberontak atas pemerintahan yang sah. Slogan
yang mereka gembar-gemborkan untuk menarik perhatian opini umum adalah membalas
dendam atas kematian Utsman. Padahal, ketika Utsman dikepung oleh para
“pemberontak” yang ingin membunuhnya, mereka ada di Madinah dan tidak sedikit
pun usaha yang tampak dari mereka untuk membelanya. Aisyah sendiri adalah orang
pertama dan paling bersemangat mensupport masyarakat untuk membunuh Utsman Bin
Affan. Ketika ia mendengar Utsman telah terbunuh, ia mencelanya dan merasa
bahagia karena itu.
Faktor
utama perang Shiffin adalah rasa tamak Mu’awiyah atas khilafah, karena ia telah
disingkirkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as dari kursi kegubernuran Syams
(Suriah). Perang ini berlangsung selama 1,5 tahun yang telah memakan banyak
korban tidak bersalah. Slogan Mu’awiyah di perang adalah membalas dendam atas
kematian Utsman juga. Padahal, selama Utsman dalam kepungan para “pemberontak”,
ia meminta bantuan dari Mua’wiyah yang bercokol di Syams (Suriah) demi membasmi
mereka. Dengan satu pleton pasukan lengkap, Mu’awiyah berangkat dari Syams ke
arah Madinah. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka sengaja memperlambat
jalannya pasukan sehingga Utsman terbunuh. Setelah mendengar Utsman terbunuh,
mereka kembali ke Syams dan kemudian bergerak kembali menuju ke Madinah dengan
slogan “membalas dendam atas kematian Utsman”. Akhirnya pecahlah Shiffin.
Anehnya,
ketika Imam Ali bin Abi Thalib as syahid dan Mu’awiyah berhasil memegang tampuk
khilafah, mengapa ia tidak mendengung-dengungkan kembali slogan “membalas
dendam atas kematian Utsman”?
Setelah
perang Shiffin berhasil dipadamkan, perang Nahrawan berkecamuk. Faktornya
adalah ketidakpuasan sebagian sahabat yang disulut oleh Mu’awiyah atas
pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib as dan atas hasil perdamaian yang
dipaksakan oleh mereka sendiri terhadap Imam Ali bin Abi Thalib as yang
menghasilkan pencabutannya dari kursi khilafah dan penetapan Mu’awiyah sebagai
khalifah muslimin. Tapi akhirnya, Imam Ali bin Abi Thalib as juga berhasil
memadamkan api perang tersebut.
Tidak
lama berselang dari peristiwa Nahrawan, Imam Ali bin Abi Thalib as syahid
dengan kepala yang mengucurkan darah akibat tebasan pedang Abdurrahman bin
Muljam di mihrab masjid Kufah.
Keberhasilan-keberhasilan
Pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib as
Meskipun
Imam Ali bin Abi Thalib as tidak berhasil memapankan kembali situasi masyarakat
Islam yang sudah bobrok itu secara sempurna, akan tetapi, dalam tiga segi ia
dapat dikatakan berhasil:
Pertama, dengan
kehidupan sederhana yang dimilikinya, ia berhasil menunjukkan kepada masyarakat
luas, khususnya para generasi baru, metode hidup Nabi Muhammad SAW yang sangat
menarik dan pantas untuk diteladani. Hal ini berlainan sekali dengan kehidupan
Mu’awiyah yang serba mewah. Ia, Imam Ali Bin Abi Thalib a.s. tidak pernah
mendahulukan kepentingan keluarganya atas kepentingan umum.
Kedua, dengan segala
kesibukan dan masalah sosial yang dihadapinya, ia masih sempat meninggalkan
warisan segala jenis ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan masyarakat
dan dapat dijadikan sebagai penunjuk jalan untuk mencapai tujuan hidup insani
yang sebenarnya. Ia mewariskan sebelas ribu ungkapan-ungkapan pendek dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan rasional, sosial dan keagamaan. Ia adalah
pencetus tata bahasa Arab dan orang pertama yang mengutarakan
pembahasan-pembahasan filosofis yang belum pernah dikenal oleh para filosof
kaliber kala itu. Dan ia juga orang pertama dalam Islam yang menggunakan
argumentasi-argumentasi rasional dalam menetapkan sebuah pembahasan filosofis.
Ketiga, ia berhasil
mendidik para pakar agama Islam yang dijadikan sumber rujukan dalam bidang ilmu
‘irfan oleh para ‘arif di masa sekarang, seperti Uwais Al Qarani, Kumail Bin
Ziyad, Maitsam at Tammar dan Rusyaid al Hajari.
Masa
Sulit Bagi Syi'ah
Setelah
Imam Ali bin Abi Thalib as syahid di mihrab shalatnya, masyarakat waktu itu
membai’at Imam Hasan a.s. untuk memegang tampuk khilafah. Setelah ia dibai’at,
Mu’awiyah tidak tinggal diam. Ia malah mengirim pasukan yang berjumlah cukup
besar ke Irak sebagai pusat pemerintahan Islam waktu itu untuk mengadakan
peperangan dengan pemerintahan yang sah. Dengan segala tipu muslihat dan
iming-iming harta yang melimpah, Mu’awiyah berhasil menipu para anggota pasukan
Imam Hasan a.s. dan dengan teganya mereka meninggalkannya sendirian. Melihat
kondisi yang tidak berpihak kepadanya dan dengan meneruskan perang, Islam akan
hancur, dengan terpaksa ia harus mengadakan perdamaian dengan Mu’awiyah.
(Butir-butir perjanjian ini dapat dilihat di sejarah 14 ma’shum a.s.)
Setelah
Mu’awiyah berhasil merebut khilafah dari tangan Imam Hasan a.s. pada tahun 40 H,
–sebagaimana layaknya para pemeran politik kotor– ia langsung menginjak-injak
surat perdamaian yang telah ditandatanganinya. Dalam sebuah kesempatan ia
pernah berkata: “Aku tidak berperang
dengan kalian karena aku ingin menegakkan shalat dan puasa. Sesungguhnya aku
hanya ingin berkuasa atas kalian, dan aku sekarang telah sampai kepada
tujuanku”.
Dengan
demikian, Mu’awiyah ingin menghidupkan kembali sistem kerajaan sebagai ganti
dari sistem khilafah dan imamah sebagai penerus kenabian. Hal ini diperkuat
dengan diangkatnya Yazid, putranya sebagai putra mahkota dan penggantinya
setelah ia mati.
Mua’wiyah
tidak pernah memberikan kesempatan kepada para pengikut Syi’ah untuk bernafas dengan
tenang. Setiap ada orang yang diketahui sebagai pengikut Syi’ah, ia akan
langsung dibunuh di tempat. Bukan hanya itu, setiap orang yang melantunkan
syair yang berisi pujian terhadap keluarga Imam Ali Bin Abi Thalib a.s., ia
akan dibunuh meskipun ia bukan pengikut Syi’ah. Tidak cukup sampai di sini
saja, ia juga memerintahkan kepada para khotib shalat Jumat untuk melaknat dan
mencerca Imam Ali bin Abi Thalib as. Kebiasaan ini berlangsung hingga masa
pemerintahan Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99-101 H.
Masa
pemerintahan Mu’awiyah (selama 20 tahun) adalah masa tersulit bagi Mazhab Syi’ah
di mana mereka tidak pernah memiliki sedikit pun kesempatan untuk bernafas.
Mayoritas
pengikut Sunni menakwilkan semua pembunuhan yang telah dilakukan oleh para
sahabat, khususnya Mu’awiyah itu dengan berasumsi bahwa mereka adalah sahabat
Nabi SAWW dan semua perilaku mereka adalah ijtihad yang dilandasi oleh
hadis-hadis yang telah mereka terima darinya. Oleh karena itu, semua perilaku
mereka adalah benar dan diridhai oleh Allah SWT. Seandainya pun mereka salah
dalam menentukan sikap dan perilaku, mereka akan tetap mendapatkan pahala
berdasarkan ijtihad tang telah mereka lakukan.
Akan
tetapi, Syi’ah tidak menerima asumsi di atas dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, tidak masuk akal
jika seorang pemimpin yang ingin menegakkan kebenaran, keadilan dan kebebasan
dan mengajak orang-orang yang ada si sekitarnya untuk merealisasikan hal itu,
setelah tujuan yang diinginkannya itu terwujudkan, ia merusak sendiri
cita-citanya dengan cara memberikan kebebasan mutlak kepada para pengikutnya,
dan segala kesalahan, perampasan hak orang lain dengan segala cara, serta
tindakaan-tindakan kriminal yang mereka lakukan dimaafkan.
Kedua, hadis-hadis
yang “menyucikan” para sahabat dan membenarkan semua perilaku non-manusiawi
mereka berasal dari para sahabat sendiri. Dan sejarah membuktikan bahwa mereka
tidak pernah memperhatikan hadis-hadis di atas. Mereka saling menuduh,
membunuh, mencela dan melaknat. Dengan bukti di atas, keabsahan hadis-hadis di
atas perlu diragukan.
Mu’awiyah
menemui ajalnya pada tahun 60 H. dan Yazid, putranya menduduki kedudukannya
sebagai pemimpin umat Islam. Sejarah membuktikan bahwa Yazid adalah sosok
manusia yang tidak memiliki kepribadian luhur sedikit pun. Kesenangannya adalah
melampiaskan hawa nafsu dan segala keinginannya. Dengan latar belakangnya yang
demikian “cemerlang”, tidak aneh jika di tahun pertama memerintah, ia tega
membunuh Imam Husein a.s., para keluarga dan sahabatnya dengan dalih karena
mereka enggan berbai’at dengannya. Setelah itu, ia menancapkan kepala para
syahid tersebut di ujung tombak dan mengelilingkannya di kota-kota besar. Di
tahun kedua memerintah, ia mengadakan pembunuhan besar-besaran di kota Madinah
dan menghalalkan darah, harta dan harga diri penduduk Madinah selama tiga hari
kepada para pasukannya. Di tahun ketiga memerintah, ia membakar Ka’bah, kiblat
muslimin.
Setelah
masa Yazid dengan segala kebrutalannya berlalu, Bani Marwan yang masih memiliki
hubungan keluarga dengan Bani Umayyah menggantikan kedudukannya. Mereka pun
tidak kalah kejam dan keji dari Yazid. Mereka berhasil berkuasa selama 70 tahun
dan jumlah khalifah dari dinasti mereka adalah sebelas orang. Salah seorang
dari mereka pernah ingin membuat sebuah kamar di atas Ka’bah dengan tujuan
untuk melampiaskan hawa nafsunya di dalamnya ketika musim haji tiba.
Dengan
melihat kelaliman yang dilakukan oleh para khalifah waktu itu, para pengikut
Syi’ah makin kokoh dalam memegang keyakinan mereka. Di akhir-akhir masa
kekuasaan Bani Umaiyah, mereka dapat menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa
mereka masih memilliki eksistensi dan mampu untuk melawan para penguasa lalim.
Di masa keimamahan Imam Muhammad Baqir a.s. dan belum 40 tahun berlalu dari
terbunuhnya Imam Husein a.s., para pengikut Syi’ah yang berdomisili di berbagai
negara dengan memanfaatkan kelemahan pemerintahan Bani Umaiyah karena
tekanan-tekanan dari para pemberontak yang tidak puas dengan perilaku mereka,
datang ke Madinah untuk belajar dari Imam Baqir a.s. Sebelum abad ke-1 H. usai,
beberapa pembesar kabilah di Iran membangun kota Qom dan meresmikannya sebagai
kota pemeluk Syi’ah. Beberapa kali para keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as
karena tekanan yang dilakukan oleh Bani Umaiyah atas mereka, mengadakan
pemberontakan-pemberontakan melawan penguasa dan perlawanan mereka –meskipun
mengalami kekalahan– sempat mengancam keamanan pemerintah. Realita ini
menunjukkan bahwa eksistensi Syi’ah belum sirna.
Dikarenakan
kelaliman dinasti Bani Umayyah yang sudah melampui batas, opini umum sangat
membenci dan murka terhadap mereka. Setelah dinasti mereka runtuh dan penguasa terakhir
mereka (Marwan ke-2 yang juga dikenal dengan sebutan Al-Himar, berkuasa dari
tahun 127-132 H.) dibunuh, dua orang putranya melarikan diri bersama keluarganya.
Mereka meminta suaka politik kepada berbagai negara, dan mereka enggan
memberikan suaka politik kepada para pembunuh keluarga Nabi Muhammad SAW
tersebut. Setelah mereka terlontang-lantung di gurun pasir yang panas,
mayoritas mereka binasa karena kehausan dan kelaparan. Sebagian yang masih
hidup pergi ke Yaman, dan kemudian dengan berpakaian compang-camping ala
pengangkat barang di pasar-pasar mereka berhasil memasuki kota Makkah. Di
Makkah pun mereka tidak berani menampakkan batang hidung, mungkin karena malu
atau karena sebab yang lain.
Sejarah
Syi'ah pada Abad Ke-2 H.
Di
akhir-akhir sepertiga pertama abad ke-2 H, karena kelaliman dinasti Bani Umayyah,
muncul sebuah pemberontakan dari arah Khurasan, Iran dengan mengatasnamakan
Ahlu Bayt a.s. Pemberontakan ini dipelopori oleh seorang militer berkebangsaan Iran
yang bernama Abu Muslim Al Marwazi. Dengan syiar ingin membalas dendam atas
darah Ahlu Bayt a.s, ia memulai perlawanannya terhadap dinasti Bani Umayyah.
Banyak masyarakat yang tergiur dengan syiar tersebut sehingga mereka mendukung
pemberontakannya. Akan tetapi, pemberontakan ini tidak mendapat dukungan dari
Imam Ja’far as Shadiq a.s. Ketika Abu Muslim menawarkan kepadanya untuk
dibai’at sebagai pemimpin umat, ia menolak seraya berkata: “Engkau bukanlah orangku dan sekarang bukan masaku untuk memberontak”.
Setelah
mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Umayyah, di hari-hari
pertama berkuasa mereka memperlakukan para keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as
dengan baik, dan demi membalas dendam atas darah mereka yang telah dikucurkan,
mereka membunuh semua keturunan Bani Umayyah. Bahkan, mereka menggali
kuburan-kuburan para penguasa Bani Umaiyah untuk dibakar jenazah mereka. Tidak
lama berlalu, mereka mulai mengadakan penekanan-penekanan serius terhadap para
keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as dan para pengikut mereka serta orang-orang
yang simpatik kepada mereka. Abu Hanifah pernah dipenjara dan disiksa oleh
Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah dicambuk olehnya. Imam Ja’far
as Shadiq a.s. setelah disiksa dengan keji, dibunuh dengan racun dan para
keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as dibunuh atau dikubur hidup-hidup.
Kesimpulannya,
kondisi para pengikut Syi’ah pada masa berkuasanya dinasti Bani Abbasiah tidak
jauh berbeda dengan kondisi mereka pada masa dinasti Bani Umayyah.
Sejarah
Syi'ah Pada Abad Ke-3 H.
Dengan
masuknya abad ke-3 H, para pengikut Syi’ah Imamiah mendapatkan kesempatan baru
untuk mengembangkan missi mereka. Mereka dapat menikmati sedikit keleluasaan untuk
mengembangkan dakwah di berbagai penjuru. Faktornya adalah dua hal berikut:
Pertama, banyaknya
buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan masyarakat bersemangat
untuk memperlajari ilmu-ilmu rasional dengan antusias. Di samping itu, peran
Ma`mun AlAbbasi (195-218 H) juga tidak patut dilupakan. Ia menganut mazhab
Mu’tazilah yang sangat mendorong para pengikutnya untuk mengembangkan dan
mempelajari argumentasi-argumentasi rasional. Oleh karena itu, ia memberikan
kebebasan penuh kepada para pemikir dan teolog setiap agama untuk menyebarkan
teologi dan keyakinan mereka masing-masing. Para pengikut Syi’ah tidak
menyia-siakan kesempatan ini. Mereka mengembangkan jangkauan mazhab Syi’ah ke
berbagai penjuru kota dan mengadakan dialog dengan para pemimpin agama lain
demi mengenalkan keyakinan mazhab Syi’ah kepada khalayak ramai.
Kedua, Ma`mun Al Abbasi
mengangkat Imam Ridha a.s. sebagai putra mahkota. Dengan ini, para keturunan
Imam Ali bin Abi Thalib as dan sahabat mereka terjaga dari jamahan tangan para
penguasa, dan menemukan ruang gerak yang relatif bebas.
Akan
tetapi, kondisi ini tidak berlangsung lama. Karena setelah semua itu berlalu,
politik kotor dinasti Bani Abasiyah mulai merongrong para keturunan Imam Ali
bin Abi Thalib as dan pengikut mereka kembali. Khususnya pada masa Mutawakil Al
Abbasi (232-247 H). Atas perintahnya, kuburan Imam Husein a.s. di Karbala`
diratakan dengan tanah.
Sejarah Syi'ah Pada Abad ke-4 H.
Pada
abad ke-4 H, dengan melemahnya kekuatan dinasti Bani Abasiyah dan kuatnya
pengaruh para raja dinasti Alu Buyeh yang menganut mazhab Syi’ah di Baghdad
(pusat khilafah Bani Abasiyah kala itu), terwujudlah sebuah kesempatan emas
bagi para penganut Syi’ah untuk mengembangkan mazhab mereka dengan leluasa.
Dengan demikian, –menurut pendapat para sejarawan–mayoritas penduduk jazirah
Arab, seperti Hajar, Oman, dan Sha’dah, kota Tharablus, Nablus, Thabariah,
Halab dan Harat menganut mazhab Syi’ah kecuali mereka yang berdomisili di
kota-kota besar. Antara kota Bashrah sebagai pusat mazhab Sunni dan kota Kufah
sebagai pusat mazhab Syi’ah selalu terjadi gesekan-gesekan antar mazhab. Tidak
sampai di situ, penduduk kota Ahvaz dan Teluk Persia di Iran juga memeluk
mazhab Syi’ah.
Di
awal abad ini, seorang mubaligh yang bernama Abu Muhammad Hasan bin Ali bin
Hasan bin Ali bin Umar bin Ali bin Imam Husein a.s. yang dikenal dengan sebutan
Nashir Uthrush (250-320 H.) melakukan aktivitas dakwahnya di Iran Utara dan
berhasil menguasai Thabaristan. Lalu ia membentuk sebuah kerajaan di sana.
Sebelumnya, Hasan bin Yazid Al Alawi juga pernah berkuasa di daerah itu.
Pada
abad ini juga, tepatnya tahun 296-527 H, dinasti Fathimiyah yang menganut
mazhab Syi’ah Isma’iliyah berhasil menguasai Mesir dan mendirikan kerajaan
besar di sana. Dinasti inilah yang kelak mendirikan Universitas al Azhar.
Sangat
sering terjadi gesekan-gesekan antar mazhab di kota-kota seperti Bahgdad,
Bashrah dan Nisyabur antara mazhab Sunni dan Syi’ah, dan di mayoritas gesekan
antar mazhab tersebut, Syi’ah berhasil menang dengan gemilang.
Sejarah
Syi'ah Pada Abad ke-5 hingga Abad ke-9 H.
Dari
abad ke-5 hingga abad ke-9 H, sistematika perkembangan mazhab Syi’ah tidak jauh
berbeda dengan sistematika perkembangannya pada abad ke-4. Perkembangannya selalu
didukung oleh kekuatan pemerintah yang memang menganut mazhab Syi’ah. Di akhir
abad ke-5 H, mazhab Syi’ah Isma’iliyah berkuasa di Iran selama kurang lebih
satu setengah abad dan ia dapat menyebarkan ajaran-ajaran Syi’ah dengan
leluasa. Dinasti Al Mar’asyi bertahun-tahun berkuasa di Mazandaran, Iran.
Setelah masa mereka berlalu, dinasti Syah Khudabandeh, silsilah kerajaan Mongol
memeluk dan menyebarkan mazhab Syi’ah. Dan kemudian, raja-raja dari dinasti Aaq
Quyunlu dan Qareh Quyunlu yang berkuasa di Tabriz dan kekuasaan mereka
terbentang hingga ke daerah Kerman serta dinasti Fathimiyah di Mesir berhasil
menyebarkan mazhab Syi’ah ke seluruh masyarakat ramai.
Akan
tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Setelah dinasti Fathimiyah mengalami
kehancuran dan dinati Alu Ayyub berkuasa, para pengikut Syi’ah mulai terikat
kembali dan mereka tidak bebas menyebarkan mazhab mereka. Banyak para tokoh
Syi’ah yang dipenggal kepalanya pada masa itu. Seperti Syahid Awal dan seorang
faqih kenamaan Syi’ah, Muhammad bin Muhammad Al-Makki dipenggal kepalanya pada
tahun 786 H. di Damaskus karena tuduhan menganut mazhab Syi’ah, Syihabuddin
Sahruwardi dipenggal kepalanya di Halab karena tuduhan mengajarkan filsafat.
Sejarah
Syi'ah Pada Abad ke-10 hingga ke-11 H.
Pada
tahun 906 H, Syah Isma’il Shafawi yang masih berusia 13 tahun, salah seorang
keturunan Syeikh Shafi Al Ardabili –di Azerbaijan- (seorang syeikh thariqah di
mazhab Syi’ah dan meninggal pada tahun 153 H.), ingin mendirikan sebuah negara
Syi’ah yang mandiri. Akhirnya, ia mengumpulkan para Darwisy pengikut kakeknya
dan mengadakan pemberontakan dimulai dari daerah Ardabil (Azerbaijan) dengan
cara memberantas sistem kepemimpinan kabilah yang dominan kala itu dan
membebaskan seluruh daerah Iran dari cengkraman dinasti Utsmaniyah dengan
tujuan supaya Iran menjadi negara yang tunggal. Dan ia berhasil mewujudkan
cita-citanya tersebut sehingga sebuah kerajaan Syi’ah Imamiah terbentuk dan
berdaulat kala itu. Setelah ia meninggal dunia, kerajaannya diteruskan oleh
putra-putranya. Mazhab Syi’ah kala itu memiliki legistimasi hukum yang sangat
kuat sehingga semua organ pemerintah menganut mazhab Syi’ah. Pada masa
kecemerlangan dinasti Shafawiyah di bawah pimpinan Syah Abbas yang Agung,
kuantitas pengikut Syi’ah mencapai dua kali lipat penduduk Iran pada tahun 1384
H.
Sejarah
Syi'ah Pada Abad ke-12 hingga ke-14 H.
Di
tiga abad terakhir ini, mazhab Syi’ah berkembang dengan sangat pesat, khususnya
setelah ia menjadi mazhab resmi Iran setelah kemenangan Revolusi Islam Iran.
Begitu juga di Yaman dan Irak, mayoritas penduduknya memeluk mazhab Syi’ah.
Dapat dikatakan bahwa di setiap negara yang penduduknya muslim, akan ditemukan
para pemeluk Syi’ah, termasuk di Indonesia. Di masa sekarang, diperkirakan
bahwa pengikut Syi’ah di seluruh dunia berjumlah 300.000.000 lebih, dan tentu
saja, terus bertambah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar