TAWANAN
kami duduk di kabin, di seberang kotak besi yang diperolehnya dengan susah
payah setelah sekian lama. Kulitnya tampak terbakar matahari, pandangan matanya
selalu gelisah, dan garis-garis serta kerut-kerut di seluruh wajahnya yang
kecokelatan menunjukkan kehidupan keras di alam terbuka. Dagunya yang menonjol
di balik janggutnya menandakan ia orang yang tidak mudah berpaling dari
tujuannya. Usianya mungkin lima puluh atau sekitar itu, karena rambut
keritingnya yang hitam telah dihiasi uban. Wajahnya tidaklah menakutkan,
sekalipun alisnya yang lebat dan dagunya yang menonjol menyebabkan ekspresinya
tampak menakutkan bila marah, seperti telah kulihat belakangan. Ia sekarang
duduk dengan tangan terborgol di pangkuannya, kepalanya menunduk ke dada, sementara
ia memandang tajam ke kotak yang menjadi penyebab kejahatannya. Menurutku
wajahnya lebih memancarkan kesengsaraan daripada kemarahan. Sekali ia
menengadah padaku, dan kulihat matanya memancarkan sorot tawa.
"Well, Jonathan Small," kata Holmes sambil menyulut cerutu, "sayang sekali akhirnya harus begini."
"Aku juga menyesal, Sir," jawab pria tersebut. "Bukan aku yang melakukan itu. Aku bersumpah tidak pernah berniat membunuh Mr. Sholto. Setan kecil itu, Tonga, yang menembakkan salah satu paser terkutuknya pada Mr. Sholto. Aku tidak terlibat dalam hal ini, Sir. Aku sama berdukanya seperti kalau dia masih ada hubungan darah denganku. Kucambuk setan kecil itu sebagai ganjaran atas ulahnya, tapi semuanya sudah terjadi, dan aku tak bisa mengubahnya."
"Ambillah cerutu ini," kata Holmes, "dan sebaiknya kauteguk minumanku, karena kau basah kuyup. Bagaimana kau bisa mengharapkan orang sekecil dan selemah orang hitam itu untuk mengatasi Mr. Sholto dan menahannya sementara kau memanjat talinya?"
"Kau tampaknya tahu banyak mengenai kejadian ini, Sir. Sebenarnya aku berharap mendapatkan kamar itu dalam keadaan kosong. Aku cukup mengenal kebiasaan penghuni rumah, dan pada waktu itu biasanya Mr. Sholto turun untuk makan malam. Aku tidak perlu merahasiakan apa pun. Pembelaan terbaik yang bisa kulakukan adalah dengan menceritakan kebenarannya.
Nah, kalau si mayor tua yang ada di sana, aku pasti akan menghabisinya tanpa ragu-ragu. Bagiku menusuknya dengan pisau sama saja seperti mengisap cerutu ini. Tapi sungguh terkutuk aku harus berhadapan dengan Sholto muda itu, yang tidak punya urusan apa pun denganku."
"Kau ditahan oleh Mr. Athelney Jones dari Scotland Yard. Dia akan membawamu ke rumahku, dan aku akan menanyakan seluruh kejadian yang sebenarnya. Kau harus menceritakan dengan sejujurnya, dan mungkin aku bisa membantumu. Kurasa aku bisa membuktikan bahwa racun itu bereaksi begitu cepat, sehingga Sholto sudah tewas sebelum kau tiba di kamar."
"Memang benar begitu, Sir. Aku belum pernah seterkejut itu seumur hidup, sewaktu melihatnya menyeringai ke arahku dengan kepala di bahu, saat aku memanjat melewati jendela. Aku sangat terguncang karenanya. Aku pasti akan menghajar Tonga habis-habisan kalau dia tidak bergegas pergi. Itu sebabnya gadanya tertinggal, juga paser-pasernya, sebagaimana diceritakannya padaku, yang menurutku sudah menyebabkan kau mampu melacak kami; sekalipun bagaimana kau bisa terus mengikuti kami tidak bisa kuketahui. Aku tidak berniat jahat terhadapmu untuk itu. Tapi rasanya memang aneh," tambahnya sambil tersenyum pahit, "bahwa aku, yang berhak memiliki uang setengah juta, harus menghabiskan separuh pertama hidupku dengan membangun pemecah ombak di Andaman, dan kemungkinan akan menghabiskan separuh sisanya dengan menggali saluran di Dartmoor. Hari yang sial bagiku saat pertama kali melihat Achmet si pedagang, dan terlibat dalam harta karun Agra yang tidak pemah menghasilkan apa pun kecuali kutukan terhadap orang yang memilikinya. Baginya menghasilkan pembunuhan, bagi Mayor Sholto menghasilkan ketakutan dan perasaan bersalah, bagiku itu berarti perbudakan seumur hidup."
Pada saat ini Athelney Jones menjulurkan wajahnya yang lebar dan bahunya yang kekar ke dalam kabin mungil tersebut.
"Pesta keluarga yang cukup meriah," katanya. "Kurasa aku butuh seteguk minumanmu, Holmes. Well, kurasa kita sudah bisa saling memberi selamat. Sayangnya kita tidak bisa menangkap hidup-hidup yang satu lagi, tapi tidak ada pilihan lain. Kalau menurutku, Holmes, kau sudah membereskan masalah ini dengan baik. Kita susah payah mengejarnya tadi."
"Semua yang baik akan berakhir dengan baik," kata Holmes. "Tapi jelas aku tidak tahu kalau Aurora bisa secepat itu."
"Kata Smith kapalnya salah satu yang tercepat di sungai, dan katanya kalau ada orang yang membantunya menangani mesin, kita seharusnya tidak bisa mengejarnya. Dia bersumpah tidak tahu apa-apa mengenai urusan Norwood ini."
"Memang tidak," seru tahanan kami. "Tidak sepatah pun. Aku memilih kapalnya karena kudengar kapalnya yang paling cepat. Kami tidak mengatakan apa apa kepadanya, tapi kami membayarnya dengan baik. Dan dia akan mendapatkan bonus lebih besar saat kami tiba di kapal kami, Esmeralda, di Gravesend, dengan tujuan Brasilia."
"Well, kalau dia tidak melakukan kesalahan, kami akan memastikan tidak terjadi apa-apa dengan dirinya. Walau kami cukup cepat menangkap buruan kami, kami tidak secepat itu dalam memvonis mereka."
Menggelikan betapa Jones telah mulai menunjukkan sikap seolah-olah dirinyalah yang telah menyebabkan pengejaran ini berhasil. Dari senyum tipis yang bermain-main di wajah Sherlock Holmes, aku bisa melihat bahwa ia mendengar komentar Jones.
"Kita akan tiba di Jembatan Vauxhall sebentar lagi," kata Jones, "dan kau akan mendarat di sana, Dr. Watson, bersama kotak hartanya. Tak perlu kukatakan bahwa tanggung jawab kotak itu ada di tanganku. Ini sangat tidak biasa, tapi tentu saja perjanjian tetaplah perjanjian. Tapi, sebagai kewajiban, aku harus mengirimkan seorang inspektur untuk mendampingimu, karena kau membawa barang yang begitu berharga. Kau yang mengemudi?"
"Ya, aku yang akan mengemudi."
"Sayang sekali tidak ada kuncinya, kalau ada kita bisa menginventaris isinya lebih dulu. Kau harus membongkarnya. Di mana kuncinya, my man?"
"Di dasar sungai," jawab Small singkat.
"Hmm! Seharusnya kau tidak perlu menambah kesulitan kami. Kami sudah cukup bersusah payah menangkapmu. Tapi, Dokter, aku tak perlu memperingatkanmu untuk berhati-hati. Bawa kembali kotaknya ke Baker Street. Kami akan ada di sana, dalam perjalanan ke kantor."
Mereka menurunkanku di Vauxhall, bersama kotak besi yang berat itu, dan diikuti seorang inspektur periang untuk mendampingiku. Perjalanan dengan kereta selama seperempat jam mengantar kami ke rumah Mrs. Cecil Forrester. Pelayan tampaknya terkejut melihat kunjunganku yang selarut itu. Mrs. Cecil Forrester sedang pergi, katanya menjelaskan, dan kemungkinan pulang terlambat. Tapi Miss Morstan ada di ruang duduk, jadi aku menuju ruang duduk, dengan membawa kotaknya, meninggalkan si inspektur di kereta.
Miss Morstan sedang duduk di dekat jendela yang terbuka, mengenakan pakaian berwarna putih, dengan sedikit sentuhan merah di leher dan pinggangnya. Cahaya lembut sebuah lampu bertudung meneranginya saat ia menyandar ke kursi anyaman, bermain-main di wajahnya yang anggun dan cantik, dan memantul pada rambut keritingnya yang lebat. Satu legannya menjuntai di sisi kursi, dan seluruh sosoknya menyatakan kemelankolisan yang dalam. Tapi saat mendengar suara langkahku ia melompat bangkit, wajahnya memerah karena terkejut dan gembira.
"Kudengar ada kereta berhenti," katanya. "Kukira Mrs. Forrester pulang lebih awal, tapi aku tak pernah bermimpi bahwa Anda yang datang. Ada berita apa?"
"Aku membawa sesuatu yang lebih baik dari berita," kataku, sambil meletakkan kotak itu di meja dan berbicara dengan nada riang dan bersemangat, sekalipun perasaanku terasa berat. "Aku membawakan sesuatu yang nilainya sama dengan semua berita di dunia. Aku membawakan harta untuk Anda."
Ia memandang kotak besi itu sekilas.
"Kalau begitu, itu harta karunnya?" tanyanya, dengan nada cukup dingin
"Ya, ini harta karun Agra. Separuhnya milik Anda dan separuh lagi milik Thaddeus Sholto. Kalian masing-masing akan mendapat dua ratus ribu. Coba pikirkan! Penghasilan tahunan sebesar sepuluh ribu pound. Hanya sedikit gadis muda yang lebih kaya dari itu di lnggris. Hebat, bukan?"
Kurasa aku agak berlebihan dalam mengungkapkan kegembiraanku, dan rupanya Miss Morstan menangkap kehampaan dalam ucapan selamatku, karena kulihat alis matanya terangkat sedikit, dan ia menatapku penasaran.
"Kalau aku berhasil mendapatkannya," katanya, "itu karena Anda."
"Tidak, tidak," jawabku, "bukan karena aku, tapi karena temanku Sherlock Holmes. Walau aku bersusah payah, aku tidak akan bisa mengikuti petunjuk yang sudah menguras bahkan kejeniusan analisanya. Sebagaimana yang terjadi, kami hampir saja kehilangan harta ini pada saat-saat terakhir."
"Silakan duduk dan ceritakan semuanya, Dr. Watson," katanya.
Aku menceritakan dengan singkat, apa yang terjadi sejak kedatanganku yang terakhir. Metode pencarian Holmes yang baru, penemuan Aurora, kemunculan Athelney Jones, ekspedisi kami malam ini, dan kejar-mengejar di Thames. Miss Morstan mendengarkan dengan mulut ternganga dan mata berkilau-kilau. Sewaktu aku menceritakan tentang paser yang hampir-hampir mengenai kami, ia berubah pucat pasi begitu hebat, sehingga aku khawatir ia akan jatuh pingsan.
"Tidak apa-apa," katanya saat aku bergegas menuangkan segelas air untuknya. "Aku sudah tidak apa-apa lagi. Aku hanya terkejut mendengar bahwa aku sudah menghadapkan teman-temanku pada bahaya sebesar itu."
"Sekarang sudah berakhir," kataku. "Bukan apa-apa. Aku tidak akan menceritakan rincian yang menakutkan lagi. Sekarang kita bicarakan saja masalah yang lebih ceria. Ini harta karunnya. Apa yang bisa lebih ceria lagi? Aku mendapat izin untuk membawanya, karena kupikir Anda mungkin tertarik untuk menjadi orang pertama yang melihatnya."
"Aku sangat berminat," kata Miss Morstan. Tapi tak ada semangat dalam suaranya. Tidak ragu lagi, ia mungkin merasa telah bersikap tidak tahu berterima kasih dengan tidak mengacuhkan hadiah yang begitu sulit didapat.
"Kotaknya cantik sekali!" katanya, sambil membungkuk di atasnya. "Ini karya orang India, bukan?"
"Ya, ini karya logam dari Benares."
"Dan berat sekali!" serunya, saat mencoba mengangkatnya. "Kotaknya sendiri pasti bernilai. Di mana kuncinya?"
"Small sudah membuangnya ke Thames," jawabku. "Aku terpaksa meminjam penyodok perapian Mrs. Forrester."
Di bagian depan kotak terdapat kunci tebal dan lebar, dengan ukiran berbentuk Buddha sedang duduk. Kuselipkan ujung penyodok ke baliknya dan memuntirnya ke luar sebagai tuas. Kuncinya pecah berantakan dengan suara keras. Dengan jemari gemetar kubuka tutup kotak. Kami berdua berdiri ternganga. Kotak tersebut kosong!
Tidak heran kotak tersebut berat. Dinding besinya setebal satu setengah sentimeter di seluruh bagian. Kotak tersebut padat, baik buatannya, dan kokoh, seperti sebuah peti yang dirancang untuk tempat benda-benda berharga, tapi di dalamnya tidak ada sepotong perhiasan pun. Kotak itu kosong melompong.
"Hartanya hilang," kata Miss Morstan dengan tenang.
Saat aku mendengar kata-katanya dan menyadari apa artinya, rasanya seperti ada bayang-bayang besar yang beralih dari jiwaku. Sebelumnya aku tidak menyadari bahwa harta karun Agra ini sudah membebaniku. Jelas perasaan ini egois, tidak setia, keliru, tapi aku menyadari bahwa sekarang tidak ada lagi penghalang di antara kami:
"Terima kasih, Tuhan" semburku dengan setulus hati.
Miss Morstan memandangku sambil tersenyum mempertanyakan.
"Kenapa Anda berkata begitu?"
"Karena kau sekarang terjangkau lagi olehku," kataku sambil meraih tangannya. Ia tidak menariknya. "Karena aku mencintaimu, Mary, setulus seorang pria mencintai seorang wanita. Karena harta ini, kekayaan ini, sudah mengunci bibirku. Sekarang, sesudah harta ini tidak ada, aku bisa mengatakan betapa aku mencintaimu. Itu sebabnya aku mengatakan, 'Terima kasih, Tuhan'."
"Kalau begitu, aku juga mengatakan 'Terima kasih', Tuhan" bisiknya saat aku menariknya ke sampingku. Siapa pun yang telah kehilangan harta, aku tahu bahwa pada malam itu aku telah mendapatkan hartaku sendiri.
"Well, Jonathan Small," kata Holmes sambil menyulut cerutu, "sayang sekali akhirnya harus begini."
"Aku juga menyesal, Sir," jawab pria tersebut. "Bukan aku yang melakukan itu. Aku bersumpah tidak pernah berniat membunuh Mr. Sholto. Setan kecil itu, Tonga, yang menembakkan salah satu paser terkutuknya pada Mr. Sholto. Aku tidak terlibat dalam hal ini, Sir. Aku sama berdukanya seperti kalau dia masih ada hubungan darah denganku. Kucambuk setan kecil itu sebagai ganjaran atas ulahnya, tapi semuanya sudah terjadi, dan aku tak bisa mengubahnya."
"Ambillah cerutu ini," kata Holmes, "dan sebaiknya kauteguk minumanku, karena kau basah kuyup. Bagaimana kau bisa mengharapkan orang sekecil dan selemah orang hitam itu untuk mengatasi Mr. Sholto dan menahannya sementara kau memanjat talinya?"
"Kau tampaknya tahu banyak mengenai kejadian ini, Sir. Sebenarnya aku berharap mendapatkan kamar itu dalam keadaan kosong. Aku cukup mengenal kebiasaan penghuni rumah, dan pada waktu itu biasanya Mr. Sholto turun untuk makan malam. Aku tidak perlu merahasiakan apa pun. Pembelaan terbaik yang bisa kulakukan adalah dengan menceritakan kebenarannya.
Nah, kalau si mayor tua yang ada di sana, aku pasti akan menghabisinya tanpa ragu-ragu. Bagiku menusuknya dengan pisau sama saja seperti mengisap cerutu ini. Tapi sungguh terkutuk aku harus berhadapan dengan Sholto muda itu, yang tidak punya urusan apa pun denganku."
"Kau ditahan oleh Mr. Athelney Jones dari Scotland Yard. Dia akan membawamu ke rumahku, dan aku akan menanyakan seluruh kejadian yang sebenarnya. Kau harus menceritakan dengan sejujurnya, dan mungkin aku bisa membantumu. Kurasa aku bisa membuktikan bahwa racun itu bereaksi begitu cepat, sehingga Sholto sudah tewas sebelum kau tiba di kamar."
"Memang benar begitu, Sir. Aku belum pernah seterkejut itu seumur hidup, sewaktu melihatnya menyeringai ke arahku dengan kepala di bahu, saat aku memanjat melewati jendela. Aku sangat terguncang karenanya. Aku pasti akan menghajar Tonga habis-habisan kalau dia tidak bergegas pergi. Itu sebabnya gadanya tertinggal, juga paser-pasernya, sebagaimana diceritakannya padaku, yang menurutku sudah menyebabkan kau mampu melacak kami; sekalipun bagaimana kau bisa terus mengikuti kami tidak bisa kuketahui. Aku tidak berniat jahat terhadapmu untuk itu. Tapi rasanya memang aneh," tambahnya sambil tersenyum pahit, "bahwa aku, yang berhak memiliki uang setengah juta, harus menghabiskan separuh pertama hidupku dengan membangun pemecah ombak di Andaman, dan kemungkinan akan menghabiskan separuh sisanya dengan menggali saluran di Dartmoor. Hari yang sial bagiku saat pertama kali melihat Achmet si pedagang, dan terlibat dalam harta karun Agra yang tidak pemah menghasilkan apa pun kecuali kutukan terhadap orang yang memilikinya. Baginya menghasilkan pembunuhan, bagi Mayor Sholto menghasilkan ketakutan dan perasaan bersalah, bagiku itu berarti perbudakan seumur hidup."
Pada saat ini Athelney Jones menjulurkan wajahnya yang lebar dan bahunya yang kekar ke dalam kabin mungil tersebut.
"Pesta keluarga yang cukup meriah," katanya. "Kurasa aku butuh seteguk minumanmu, Holmes. Well, kurasa kita sudah bisa saling memberi selamat. Sayangnya kita tidak bisa menangkap hidup-hidup yang satu lagi, tapi tidak ada pilihan lain. Kalau menurutku, Holmes, kau sudah membereskan masalah ini dengan baik. Kita susah payah mengejarnya tadi."
"Semua yang baik akan berakhir dengan baik," kata Holmes. "Tapi jelas aku tidak tahu kalau Aurora bisa secepat itu."
"Kata Smith kapalnya salah satu yang tercepat di sungai, dan katanya kalau ada orang yang membantunya menangani mesin, kita seharusnya tidak bisa mengejarnya. Dia bersumpah tidak tahu apa-apa mengenai urusan Norwood ini."
"Memang tidak," seru tahanan kami. "Tidak sepatah pun. Aku memilih kapalnya karena kudengar kapalnya yang paling cepat. Kami tidak mengatakan apa apa kepadanya, tapi kami membayarnya dengan baik. Dan dia akan mendapatkan bonus lebih besar saat kami tiba di kapal kami, Esmeralda, di Gravesend, dengan tujuan Brasilia."
"Well, kalau dia tidak melakukan kesalahan, kami akan memastikan tidak terjadi apa-apa dengan dirinya. Walau kami cukup cepat menangkap buruan kami, kami tidak secepat itu dalam memvonis mereka."
Menggelikan betapa Jones telah mulai menunjukkan sikap seolah-olah dirinyalah yang telah menyebabkan pengejaran ini berhasil. Dari senyum tipis yang bermain-main di wajah Sherlock Holmes, aku bisa melihat bahwa ia mendengar komentar Jones.
"Kita akan tiba di Jembatan Vauxhall sebentar lagi," kata Jones, "dan kau akan mendarat di sana, Dr. Watson, bersama kotak hartanya. Tak perlu kukatakan bahwa tanggung jawab kotak itu ada di tanganku. Ini sangat tidak biasa, tapi tentu saja perjanjian tetaplah perjanjian. Tapi, sebagai kewajiban, aku harus mengirimkan seorang inspektur untuk mendampingimu, karena kau membawa barang yang begitu berharga. Kau yang mengemudi?"
"Ya, aku yang akan mengemudi."
"Sayang sekali tidak ada kuncinya, kalau ada kita bisa menginventaris isinya lebih dulu. Kau harus membongkarnya. Di mana kuncinya, my man?"
"Di dasar sungai," jawab Small singkat.
"Hmm! Seharusnya kau tidak perlu menambah kesulitan kami. Kami sudah cukup bersusah payah menangkapmu. Tapi, Dokter, aku tak perlu memperingatkanmu untuk berhati-hati. Bawa kembali kotaknya ke Baker Street. Kami akan ada di sana, dalam perjalanan ke kantor."
Mereka menurunkanku di Vauxhall, bersama kotak besi yang berat itu, dan diikuti seorang inspektur periang untuk mendampingiku. Perjalanan dengan kereta selama seperempat jam mengantar kami ke rumah Mrs. Cecil Forrester. Pelayan tampaknya terkejut melihat kunjunganku yang selarut itu. Mrs. Cecil Forrester sedang pergi, katanya menjelaskan, dan kemungkinan pulang terlambat. Tapi Miss Morstan ada di ruang duduk, jadi aku menuju ruang duduk, dengan membawa kotaknya, meninggalkan si inspektur di kereta.
Miss Morstan sedang duduk di dekat jendela yang terbuka, mengenakan pakaian berwarna putih, dengan sedikit sentuhan merah di leher dan pinggangnya. Cahaya lembut sebuah lampu bertudung meneranginya saat ia menyandar ke kursi anyaman, bermain-main di wajahnya yang anggun dan cantik, dan memantul pada rambut keritingnya yang lebat. Satu legannya menjuntai di sisi kursi, dan seluruh sosoknya menyatakan kemelankolisan yang dalam. Tapi saat mendengar suara langkahku ia melompat bangkit, wajahnya memerah karena terkejut dan gembira.
"Kudengar ada kereta berhenti," katanya. "Kukira Mrs. Forrester pulang lebih awal, tapi aku tak pernah bermimpi bahwa Anda yang datang. Ada berita apa?"
"Aku membawa sesuatu yang lebih baik dari berita," kataku, sambil meletakkan kotak itu di meja dan berbicara dengan nada riang dan bersemangat, sekalipun perasaanku terasa berat. "Aku membawakan sesuatu yang nilainya sama dengan semua berita di dunia. Aku membawakan harta untuk Anda."
Ia memandang kotak besi itu sekilas.
"Kalau begitu, itu harta karunnya?" tanyanya, dengan nada cukup dingin
"Ya, ini harta karun Agra. Separuhnya milik Anda dan separuh lagi milik Thaddeus Sholto. Kalian masing-masing akan mendapat dua ratus ribu. Coba pikirkan! Penghasilan tahunan sebesar sepuluh ribu pound. Hanya sedikit gadis muda yang lebih kaya dari itu di lnggris. Hebat, bukan?"
Kurasa aku agak berlebihan dalam mengungkapkan kegembiraanku, dan rupanya Miss Morstan menangkap kehampaan dalam ucapan selamatku, karena kulihat alis matanya terangkat sedikit, dan ia menatapku penasaran.
"Kalau aku berhasil mendapatkannya," katanya, "itu karena Anda."
"Tidak, tidak," jawabku, "bukan karena aku, tapi karena temanku Sherlock Holmes. Walau aku bersusah payah, aku tidak akan bisa mengikuti petunjuk yang sudah menguras bahkan kejeniusan analisanya. Sebagaimana yang terjadi, kami hampir saja kehilangan harta ini pada saat-saat terakhir."
"Silakan duduk dan ceritakan semuanya, Dr. Watson," katanya.
Aku menceritakan dengan singkat, apa yang terjadi sejak kedatanganku yang terakhir. Metode pencarian Holmes yang baru, penemuan Aurora, kemunculan Athelney Jones, ekspedisi kami malam ini, dan kejar-mengejar di Thames. Miss Morstan mendengarkan dengan mulut ternganga dan mata berkilau-kilau. Sewaktu aku menceritakan tentang paser yang hampir-hampir mengenai kami, ia berubah pucat pasi begitu hebat, sehingga aku khawatir ia akan jatuh pingsan.
"Tidak apa-apa," katanya saat aku bergegas menuangkan segelas air untuknya. "Aku sudah tidak apa-apa lagi. Aku hanya terkejut mendengar bahwa aku sudah menghadapkan teman-temanku pada bahaya sebesar itu."
"Sekarang sudah berakhir," kataku. "Bukan apa-apa. Aku tidak akan menceritakan rincian yang menakutkan lagi. Sekarang kita bicarakan saja masalah yang lebih ceria. Ini harta karunnya. Apa yang bisa lebih ceria lagi? Aku mendapat izin untuk membawanya, karena kupikir Anda mungkin tertarik untuk menjadi orang pertama yang melihatnya."
"Aku sangat berminat," kata Miss Morstan. Tapi tak ada semangat dalam suaranya. Tidak ragu lagi, ia mungkin merasa telah bersikap tidak tahu berterima kasih dengan tidak mengacuhkan hadiah yang begitu sulit didapat.
"Kotaknya cantik sekali!" katanya, sambil membungkuk di atasnya. "Ini karya orang India, bukan?"
"Ya, ini karya logam dari Benares."
"Dan berat sekali!" serunya, saat mencoba mengangkatnya. "Kotaknya sendiri pasti bernilai. Di mana kuncinya?"
"Small sudah membuangnya ke Thames," jawabku. "Aku terpaksa meminjam penyodok perapian Mrs. Forrester."
Di bagian depan kotak terdapat kunci tebal dan lebar, dengan ukiran berbentuk Buddha sedang duduk. Kuselipkan ujung penyodok ke baliknya dan memuntirnya ke luar sebagai tuas. Kuncinya pecah berantakan dengan suara keras. Dengan jemari gemetar kubuka tutup kotak. Kami berdua berdiri ternganga. Kotak tersebut kosong!
Tidak heran kotak tersebut berat. Dinding besinya setebal satu setengah sentimeter di seluruh bagian. Kotak tersebut padat, baik buatannya, dan kokoh, seperti sebuah peti yang dirancang untuk tempat benda-benda berharga, tapi di dalamnya tidak ada sepotong perhiasan pun. Kotak itu kosong melompong.
"Hartanya hilang," kata Miss Morstan dengan tenang.
Saat aku mendengar kata-katanya dan menyadari apa artinya, rasanya seperti ada bayang-bayang besar yang beralih dari jiwaku. Sebelumnya aku tidak menyadari bahwa harta karun Agra ini sudah membebaniku. Jelas perasaan ini egois, tidak setia, keliru, tapi aku menyadari bahwa sekarang tidak ada lagi penghalang di antara kami:
"Terima kasih, Tuhan" semburku dengan setulus hati.
Miss Morstan memandangku sambil tersenyum mempertanyakan.
"Kenapa Anda berkata begitu?"
"Karena kau sekarang terjangkau lagi olehku," kataku sambil meraih tangannya. Ia tidak menariknya. "Karena aku mencintaimu, Mary, setulus seorang pria mencintai seorang wanita. Karena harta ini, kekayaan ini, sudah mengunci bibirku. Sekarang, sesudah harta ini tidak ada, aku bisa mengatakan betapa aku mencintaimu. Itu sebabnya aku mengatakan, 'Terima kasih, Tuhan'."
"Kalau begitu, aku juga mengatakan 'Terima kasih', Tuhan" bisiknya saat aku menariknya ke sampingku. Siapa pun yang telah kehilangan harta, aku tahu bahwa pada malam itu aku telah mendapatkan hartaku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar