“Khutbah Imam Ali
Bin Abi Thalib As Sepulang dari Shiffin”
Saya
memuji Allah dengan memohon kelengkapan Rahmat-Nya dengan tunduk kepada
Keagungan-Nya dan mengharapkan keselamatan dari berbuat dosa kepada-Nya. Saya
memohon pertolongan-Nya karena memerlukan kecukupan-Nya (untuk perlindungan).
Orang yang ditunjuki-Nya tidak tersesat, orang yang memusuhi-Nya tidak mendapat
perlindungan, orang yang didukung-Nya tidak akan tetap kekurangan. Pujian
adalah yang paling berat dari semua yang ditimbang dan paling berharga dari
semua yang disimpan.
Saya
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Esa. Tidak ada yang
menyerupai-Nya. Kesaksian saya telah teruji dalam keterbukaannya, dan
hakikatnya adalah iman kami. Kami akan berpegang teguh padanya selama kami
hidup dan akan menyimpannya dengan menghadapi azab yang menyusul kami karena ia
adalah batu fondasi keimanan dan langkah pertama kepada amal saleh dan keridaan
Ilahi. la adalah sarana untuk menjauhkan iblis.
Saya
juga bersaksi bahwa Muhammad SAWW adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Allah
mengutus-Nya dengan agama yang cemerlang, syiar yang efektif, Kitab yang
terpelihara, cahaya yang bersinar, nyala yang kemilau, dan perintah yang tegas
untuk mengusir keraguan, mengajukan bukti-bukti yang jelas, menetapkan
peringatan melalui tanda-tanda, dan memperingatkan akan hukuman. Pada waktu itu
manusia telah jatuh ke dalam kemungkaran yang dengan itu tali agama telah
diputuskan, tiang-tiang keimanan telah tergoncang, prinsip-prinsip telah
dicemari, sistem telah jungkir-balik, pintu-pintu sempit, lorong-lorong gelap,
petunjuk tidak dikenal, dan kegelapan merajalela.
Allah
tidak ditaati, Iblis diberi dukungan, dan keimanan telah dilupakan. Akibatnya,
tiang-tiang agama runtuh, jejak-jejaknya tak terlihat, lorong-lorongnya telah
dirusakkan dan jalan-jalannya telah binasa. Manusia menaati Iblis dan melangkah
pada jalan-jalannya. Mereka mencari air pada tempat-tempat pengairannya.
Melalui mereka lambang-lambang Iblis berkibar dan panjinya diangkat dalam kejahatan
yang menginjak-injak manusia di bawah tapak kakinya, dan melangkah di atasnya
dengan kaki mereka. Kejahatan berdiri (tegak) di atas jari-jari kakinya dan
manusia yang tenggelam di dalamnya menjadi bingung, jahil dan terbujuk
seakan-akan dalam suatu rumah yang baik[i] dengan tetangga-tetangga yang jahat.
Sebagai ganti tidur, mereka terjaga, dan sebagai celak-nya adalah air mata.
Mereka berada di suatu negeri di mana orang berilmu terkekang (mulut mereka
tertutup) sementara orang jahil dihormati.
Dalam khotbah yang
sama, Amirul Mukminin a.s. merujuk kepada Ahlul Bayt sebagai berikut:
Mereka
adalah pengemban wasiat, tempat berteduh bagi urusan-Nya, sumber pengetahuan
tentang Dia, pusat kebijaksanaan-Nya, lembah bagi kitab-kitab-Nya dan bukit
bagi agama-Nya. Melalui mereka Allah meluruskan punggung agama yang bengkok dan
menyingkirkan gemetar anggota-anggota badannya.
Dalam khotbah yang
sama, ia berbicara tentang orang lain sebagai berikut:
Mereka
menabur kejahatan, mengairinya dengan tipuan dan menuai kehancuran. Tak seorang
pun di antara umat Islam yang dapat dipandang sejajar dengan Keluarga Muhammad
SAWW.[ii] Orang yang mendapatkan kenikmatan dari mereka tak dapat dibandingkan
dengan mereka. Mereka adalah fondasi agama dan tiang iman. Pelari di depan harus
berbalik sementara yang di belakang harus menyusul mereka. Mereka memiliki ciri
utama kewalian. Bagi mereka ada wasiat dan warisan (Nabi). Inilah waktunya hak
itu kembali kepada pemiliknya dan dialihkan kepada pusat tempat kembalinya.
[i]
Rumah yang baik di sini berarti Makkah, sedang tetangga-tetangga yang buruk
berarti kaum kafir Quraisy.
[ii]
Tentang keluarga (al) Nabi, Amirul Mukminin mengatakan bahwa tidak ada orang di
dunia ini yang setaraf dengan mereka, tak ada pula orang yang dapat dianggap
sama dengan mereka dalam kemuliaan, karena dunia ini penuh dibebani tanggung
jawab mereka dan hanya mampu mendapatkan rahmat abadi melalui bimbingan mereka.
Mereka adalah batu penjuru dan fondasi agama serta pemelihara kehidupannya dan
kelanjutannya. Mereka adalah tiang-tiang pengetahuan dan keimanan yang demikian
kuat sehingga dapat menyingkirkan arus dahsyat keraguan dan kecurigaan. Mereka
begitu menengah di antara jalan berlebihan dan keterbelakangan sehingga barangsiapa
pergi mendahului harus kembali, dan yang tertinggal di belakang harus melangkah
maju ke jalan tengah itu, supaya tetap berada di jalan Islam. Mereka mempunyai
semua keutamaan yang memberikan keunggulan dalam hak kewalian dan imamah, dan
tiada orang lain dalam ummah yang mempunyai hak sebagai pelindung dan wali.
Itulah sebabnya Nabi memaklumkan mereka sebagai para wali dan pelanjutnya.
Tentang
wasiat dan kewalian, pensyarah Ibn Abil Hadid Al-Mu’tazili menulis bahwa tidak
mungkin ada keraguan tentang kekhalifahan Amirul Mukminin, tetapi kewalian tak
dapat mencakup kekhalifahan dalam pemerintahan, walaupun mazhab Syi’ah
menafsirkannya demikian. Kewalian itu bermakna kewalian dalam pengetahuan.
Sekarang, sekiranya menurut dia kewalian diartikan kewalian dalam pengetahuan
sekalipun, nampaknya ia tidak berhasil dalam mencapai tujuannya, karena
sekalipun dengan penafsirannya itu, hak untuk menggantikan Nabi tidak
berpindah pada seseorang mana pun lainnya. Bilamana disepakati bahwa pengetahuan
adalah syarat yang paling hakiki bagi kekhalifahan, karena fungsi terpenting
dari khalifah Nabi ialah pelaksanaan keadilan, penyelesaian masalah hukum-hukum
agama, menjelaskan hal-hal yang rumit, dan melaksanakan hukum-hukum agama.
Apabila tugas-tugas ini dilepaskan dari khalifah Nabi maka kedudukannya akan
merosot menjadi pemerintahan duniawi. Ia tak dapat dipandang sebagai pusat
wewenang keagamaan. Oleh karena itu kita harus memisahkan wewenang pemerintahan
dari kekhalifahan Nabi, atau menerima kewalian pengetahuan Nabi untuk
kesesuaian dengan kedudukan itu.
Interpretasi
Ibn Abil Hadid dapat diterima apabila Amirul Mukminin hanya mengucapkan
kalimat ini saja. Tetapi, mengingat bahwa hal itu diucapkan segera setelah
pengakuan terhadap Imam Ali sebagai Khalifah, dan baru sesudah itu ada kalimat “hak
itu telah kembali kepada pemiliknya”, penafsirannya ini nampak tak beralasan.
Malah, wasiat Nabi itu tak dapat berarti wasiat apa pun selain kekhalifahan,
dan kewalian bukan berarti kewalian dalam harta atau pengetahuan, karena bukan
tempatnya untuk menyebutnya di sini. Kewalian itu harus berarti kewalian dalam
hak kepemimpinan yang datangnya dari Allah; bukan sekadar atas dasar
kekeluargaan tetapi atas dasar sifat-sifat kesempurnaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar