Kepada 'Utsman ibn Hunaif
al-Anshari, Gubernur Amirul Mukminin as di Bashrah, ketika ia mengetahui bahwa
penduduk di tempat itu telah mengundangnya ke suatu perjamuan dan ia
menghadirinya
Wahai Ibn Hunaif, saya mendengar
bahwa seorang lelaki muda dari Bashrah mengundang Anda ke suatu pesta dan Anda
meloncat (menyambut)nya. Makanan berbagai ragam dipilihkan untuk Anda dan
mangkuk-mangkuk besar diberikan kepada Anda. Tak pernah saya pikirkan bahwa
Anda akan menerima pesta dari suatu kaum yang mengusir para pengemis dan
mengundang orang-orang kaya. Lihatlah pada suapan (makanan) yang Anda ambil,
tinggalkan apa yang tentangnya Anda ragu dan ambillah yang tentangnya Anda
yakin bahwa itu diperoleh secara halal.
Ingatlah bahwa setiap pengikut
mempunyai pemimpin yang ia ikuti dan dari sinar pengetahuannya ia mengambil
cahaya. Sadarilah bahwa imam Anda telah berpuas diri dengan dua kerat pakaian
jembel dari (kesenangan) dunia, dan dua potong roti untuk makanannya. Tentulah
Anda tak dapat berbuat demikian, tetapi setidak-tidaknya dukunglah saya dalam
kesalehan, usaha, kesucian dan kejujuran, karena, demi Allah, saya tidak
menyimpan emas apa pun dari dunia Anda dan tidak menumpuk kekayaan yang
melimpah, dan tidak pula mengumpulkan selain kedua lembar (pakaian) jembel itu.
Yang kami miliki di kolong langit
ini hanyalah Fadak, [1] tetapi
sekelompok orang merasa serakah atasnya dan pihak yang lain memakannya.
Alhasil, Allah adalah hakim yang
terbaik. Apa yang akan saya lakukan: ada Fadak atau tidak, sedang besok tubuh
ini akan masuk ke kubur yang dalam kegelapannya jejak-jejaknya akan dihancurkan
dan (bahkan) kabar-kabar darinya akan lenyap. Itu adalah lobang, sekalipun
lebarnya diperlebar atau tangan-tangan penggalinya membuatnya luas dan terbuka,
batu-batu dan bongkah-bongkah lempung akan menyempitkannya, dan tanah yang
berjatuhan akan menutupi celah-celahnya. Saya berusaha untuk menjaga diri saya
dalam takwa agar di satu hari ketakutan besar ia akan menjadi damai dan tabah
di tempat-tempat yang licin.
Apabila saya mau, saya dapat
mengambil jalan yang mengantar kepada (kesenangan dunia seperti) madu murni,
gandum yang halus dan pakaian sutra, tetapi tak mungkin hawa nafsu saya
memimpin saya dan keserakahan membawa saya untuk memilih makanan yang
bagus-bagus sementara di Hijaz atau di Yamamah mungkin ada orang yang tak
mempunyai harapan untuk mendapatkan roti, atau tidak mempunyai cukup makanan
untuk dimakan sampai kenyang. Apakah saya akan berbaring dengan perut kenyang
sementara di sekitar saya mungkin ada orang yang resah dan gelisah karena perut
yang lapar dan haus? Atau, apakah saya akan menjadi seperti yang dikatakan sang
penyair,
Cukuplah bagi Anda untuk punya
suatu penyakit,
bahwa Anda berbaring dengan perut
penuh.
Sementara di sekitar Anda,
orang mungkin sangat merindukan
kulit kering.
Apakah saya akan puas dipanggil
Amirul Mukminin, walaupun saya tidak turut serta dengan rakyat dalam
kesukaran-kesukaran dunia? Ataukah saya harus menjadi suatu teladan bagi mereka
dalam kesedihan-kesedihan hidup? Saya tidak diciptakan untuk bersibuk diri
dalam memakan makanan yang bagus-bagus seperti hewan tertambat yang satu-satunya
kecemasannya ialah makanannya, atau sebagai hewan lepas yang kegiatannya ialah
menelan. Ia memenuhi perutnya dan melupakan tujuan yang di baliknya. Apakah
saya akan dibiarkan tanpa kendali untuk merumput dengan bebas, atau menyeret
tali kesesatan atau mengembara tanpa tujuan di jalan-jalan kebingungan?
Saya melihat seakan-akan seorang
dari Anda akan mengatakan bahwa apabila inilah yang dimakan 'Ali ibn Abi Thalib
maka kelemahan pastilah membuatnya tak pantas untuk memerangi musuhnya dan
bertarung dengan orang perkasa. Ingatlah bahwa pohon dari hutan adalah kayu yang
terbaik, sedang ranting-ranting hijau berbunyi lembut, dan belantara liar
sangat kuat menyala dan lambat padam. Hubungan saya dengan Rasulullah ialah
hubungan cabang dengan (cabang) lain, atau pergelangan dengan lengan. Demi
Allah, seandainya orang-orang Arab bergabung untuk memerangi saya, saya tidak
akan lari dari mereka, dan apabila saya mendapat kesempatan, saya akan bergegas
menangkap leher mereka. Saya pasti akan berjuang untuk membebaskan bumi dari
orang yang berpikiran menyeleweng dan bertubuh yang kasar ini, sehingga
remah-remah tanah tersingkir dari gabah.
Sebagian dari Surat yang Sama,
yang merupakan akhirnya.
Menjauhlah dari saya, wahai dunia.
Kendali Anda berada di bahu Anda sendiri, karena saya telah membebaskan diri
dari selokan-selokan Anda, menyingkirkan diri saya dari jerat Anda dan mengelak
berjalan ke tempat-tempat Anda yang menggelincirkan. Di manakah orang-orang
yang telah Anda tipu dengan gurauan-gurauan Anda? Di manakah umat-umat yang
telah Anda pikat dengan perhiasan Anda? Mereka semua terkurung di kubur dan
tersembunyi di tempat-tempat pekuburan. Demi Allah, apabila Anda merupakan
suatu pribadi yang nampak dan tubuh yang dapat merasa, tentulah saya sudah
mengganjari Anda dengan suatu hukuman yang ditetapkan oleh Allah, karena dari
kaum yang Anda terima melalui hawa nafsu dan umat-umat yang Anda lemparkan ke
dalam kehancuran serta para pemimpin yang Anda kirimkan kepada keruntuhan dan
Anda giring ke tempat-tempat kesedihan yang sesudahnya tak ada (jalan) pergi
dan tak ada (jalan) kembali.
Sesungguhnya barangsiapa melangkah
di tempat Anda yang licin, tergelincir; barangsiapa mengendarai gelombang Anda,
tenggelam; dan barangsiapa mengelakkan jerat Anda menerima dukungan batin.
Orang yang menjaga keselamatan diri dari Anda tidaklah cemas, sekalipun
urusannya mungkin tegang dan dunia baginya adalah seperti suatu hari yang
hampir habis (kadaluwarsa).
Menjauhlah dari saya, karena, demi
Allah, saya tidak menunduk di hadapan Anda agar Anda menghina saya, tidak pula
saya melonggarkan kendali untuk Anda supaya Anda boleh melarikan saya. Saya
bersumpah demi Allah, kecuali atas kehendak Allah, bahwa saya akan melatih diri
saya sedemikian rupa, sehingga ia akan merasa gembira apabila ia mendapatkan
sepotong roti untuk dimakan, dan puas dengan hanya garam untuk membumbuinya.
Saya akan membiarkan mata saya mengosongkan diri dari air mata seperti sungai
yang airnya telah mengalir pergi. Sekiranya 'Ali memakan apa saja yang ia punyai
dan seperti ternak yang memenuhi perutnya dari padang rumput, dan berbaring, atau
seperti kambing-kambing (yang) merumput, memakan rumput hijau dan masuk ke
dalam kandang mereka! Matanya mungkin mati apabila ia, sesudah tahun-tahun
panjang, mengikuti temak lepas dan binatang-binatang yang merumput.
Beruntunglah orang yang
melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada Allah dan mananggung
kesukaran-kesukarannya, tidak membiarkan dirinya tidur di malam hari, tetapi
bilamana tidur menyergapnya ia berbaring di tanah dengan menggunakan tangannya
sebagai bantal, bersama orang-orang yang menjaga matanya agar tetap jaga dalam
ketakutan akan Hari Pengadilan, yang tubuhnya selalu jauh dari tempat tidur,
yang bibirnya selalu bergumam dalam zikir kepada Allah dan yang dosa-dosanya
telah dihapus melalui permohonan ampunnya, mereka itulah golongan Allah,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.
(QS. 58:22). Oleh karena itu, wahai Hunaif, bertawakallah kepada Allah dan
puaslah dengan roti Anda sendiri agar Anda luput dari neraka.•
[1] Fadak
adalah suatu tempat subur yang hijau dekat Madinah, milik orang Yahudi. Pada
tahun 7 H. Fadak jatuh ke tangan Nabi (saw) dalam rangka perjanjian untuk
penyelesaian damai. Setelah jatuhnya Khaibar, kaum Yahudi menyadari kekuatan
kaum Muslim yang sesungguhnya. Aspirasi militer Yahudi pun merosot. Melihat
Nabi membebaskan orang-orang yang datang memohon perlindungan, mereka pun
mengirim pesan damai kepada Nabi dan menyatakan kehendak untuk menyerahkan
Fadak kepada beliau dan memohon agar area kediaman mereka tidak dijadikan medan
pertempuran. Nabi memperkenankan permohonan amnesti mereka, dan tanah itu
menjadi milik pribadi Nabi di mana tak ada orang lain ikut mempunyai
kepentingan, dan tak ada yang mungkin menggugatnya, karena kaum Muslim hanya
mendapat bagian dari harta yang mereka peroleh sebagai rampasan perang setelah
berjihad, sedang harta yang diperoleh tanpa jihad disebut fai' dan hanya Nabi
yang berhak atasnya. Allah berfirman,
"Dan apa saja harta rampasan
(fai') yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka
untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula)
seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya
terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu."
(QS. 59:6)
Tak ada orang yang pemah membantah
fakta bahwa Fadak diperoleh tanpa pertempuran, dan oleh karena itu, menjadi hak
pribadi Nabi dan tak seorang pun lainnya ikut memilikinya. Para sejarawan
menulis,
"Fadak adalah milik pribadi
Nabi karena kaum Muslim tidak menggunakan kuda atau unta mereka untuk
itu." (Ath-Thabarî, Târîkh, h. 1582-1583,1589;Ibn Katsir, al-Kâmil, II, h.
224-225; Ibn Hisyam, as-Sîrah, III, h. 368; Ibn Khaldun, at-Târîkh, II, bagian
u, h. 40; ad-Diyârbakrî, Târîkh al-Khamîs, II, h. 58; as-Sîrah al-Halabiyyah,
III, h. 50)
Sejarawan Ahmad ibn Yahya
al-Baladzuri (m. 279 H./892 M.) menulis,
"Fadak adalah milik pribadi
Nabi karena kaum Muslim tidak menggunakan kuda atau unta mereka untuk
itu." (Futûh al-Buldân, I, h. 37)
'Umar ibn Khaththab sendiri
menganggap Fadak sebagai milik pribadi Nabi ketika ia menyatakan,
'Tanah Bani Nadhîr termasuk di
antara yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya; terhadapnya tidak digunakan
kuda maupun unta, tetapi tanah-tanah itu menjadi milik Allah secara
khusus." (al-Bukhari, Shahîh, IV, h. 46; VII, h. 82; DC, h. 121-122;
Muslim, Shahih, V, h. 151; Abu Dawud, as-Sunan, m, h. 139-141; an-Nasa'i,
as-Sunan, VII, h. 132; Ahmad ibn Hanbal, Musnad, I, h. 25, 48, 60, 208;
aI-Baihaqi, as-Sunan al-Kubrâ, VI, h. 296-299)
Juga terbukti secara sepakat bahwa
di masa hidup beliau Nabi telah memberikan kebun ini kepada Fathimah sebagai
hadiah. Mulla 'Ali Muttaqi menulis tentang itu. "Diriwayatkan melalui
al-Bazzar, Abu Ya'la, Ibn Abi Hatim, Ibn Marduwaih, dan lain-lain, dari Abu
Sa'id ad-Khudri bahwa ketika ayat,
'Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya...' (QS. 17:26) diwahyukan, Nabi
memanggil Fathimah dan memberikan Fadak kepadanya." (as-Suyuthi, ad-Dur
al-Mantsur, IV, h. 177; al-Haitsami, Majma' az-Zawâ'id, VII, al-Muttaqi, Kanzul
'Ummâl, III, h. 439, al-'Alusî, Ruh al-Ma'ânî, XV, h.62)
Ketika Abu Bakar menjadi khalifah,
maka mengingat beberapa kepentingan Negara, ia melepaskan hak Fathimah atas
Fadak dan mengambilnya. Dalam hal ini para sejarawan menulis,
"Sesungguhnya Abu Bakar
mengambil Fadak dari Fathimah as." (Ibn Abil Hadid, Syarh Nahjul Balâghah
XVI, h. 219; as-Samhudi, Wafâ' al-Wafâ', III, h. 1000; Ibn Hajar, Ash-Shawâ'iq
al-Muhriqah, h. 32)
Fathimah bangkit memprotes
terhadapnya. Ketika memprotes kepada Abu Bakar, ia berkata, "Anda telah
mengambil alih hak atas Fadak padahal Nabi telah memberikannya kepada saya
dalam masa hidup beliau." Atasnya Abu Bakar meminta Fathimah mengajukan
saksi tentang pemberian itu. Akibatnya Amirul Mukminin as dan Umm Aiman
memberikan kesaksian bagi Fathimah. Tetapi bukti itu dipandang tak dapat
diterima oleh Abu Bakar, dan tuntutan Fathimah ditolak. (Umm Aiman adalah budak
yang dibebaskan Nabi dan pengasuh Nabi. la adalah ibu dari Usamah ibn Zaid ibn
al-Haritsi. Nabi biasa mengatakan, "Umm Aiman adalah ibuku setelah
ibuku." (al-Mustadrak, IV, h. 63; ath-Thabari, III, h. 3460; al-Istt'ab,
IV, h. 1793; Usd al-Ghabah, V, h. 567; Nabi memberi kesaksian bahwa dia
termasuk di antara penghuni surga. (Ibn Sa'd, VIII, h. 192; al-Ishâbah, IV, h.
432)
Tentang hal ini Baladzuri menulis,
"Fathimah berkata kepada Aba
Bakar, 'Rasulullah telah memberikan Fadak kepada saya.' Lalu Abu Bakar
memintanya mengajukan seorang saksi selain Ummu Aiman seraya berkata, 'Wahai
putri Nabi, Anda tahu bahwa saksi tak dapat diterima kecuali oleh dua orang
laki-laki atau seorang laki-laki dan dua wanita'."
Setelah itu tak ada lagi
kemungkinan untuk menyangkali bahwa Fadak adalah milik pribadi Nabi dan bahwa
beliau tetah melengkapi pemberiannya dengan jalan menyerahkan pemilikannya di
masa hidupnya. Tetapi Abu Bakar mengambil alih kepemilikannya dan melepaskan
hak Fathimah atasnya. Sehubungan dengan ini ia menolak kesaksian 'Ali dan Umm
Aiman atas dasar bahwa kesaksian tidak lengkap hanya dengan seorang lelaki dan
seorang wanita. Di samping mereka, Imam Hasan dan Imam Husain memberikan
kesaksian pula mendukung Fathimah, tetapi kesaksian mereka pun ditolak atas
dasar bahwa kesaksian keturunan dan anak-anak belum dewasa tak dapat diterima
untuk mendukung orang tuanya. Kemudian Rabah, budak Nabi, juga diajukan sebagai
saksi mendukung tuntutan Fathimah, tetapi ia pun ditolak. (Baladzuri, Futûh
al-Buldân, I, h. 35; al-Ya'qubî, Târîkh, III, h. 195; al-Mas'udi, Murûj
adz-Dzahab, III, h. 237; Abu Hilal al-'Askari, al-Awâ'il, h. 209; Wafâ'
al-Wafâ', fu, h. 999, 1000-1001; Yaqut al-Hamawi, Mu'jam al-Buldan, IV, h. 239;
Ibn Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, XVI, h. 216, 219-220, 274; Ibn Hazm,
al-Muhalla, VI, h. 507; As-Sirah al-Halabiyyah, III, h. 361; al-Fakhr ar-Razi,
at-Tafsir, XXIX, h. 284)
Pada tahap ini timbul pertanyaan,
bilamana kepemilikan Fathimah atas Fadak diakui sebagaimana juga telah
dijelaskan oleh Amirul Mukminin as dalam suratnya ini, dengan mengatakan,
"Kami mempunyai Fadak", apa maknanya meminta Fathimah mengajukan
saksi atas tuntutannya, karena kewajiban mengajukan bukti tidak terietak pada
orang yang memilikinya. Onus bukti itu terletak pada orang yang menggugat
tuntutan itu, karena pemilikan itu sendiri merupakan bukti. Karena itu maka Abu
Bakar yang seharusnya menunjukkan bukti tentang keabsahannya mengambil alih
tanah itu, dan apabila ia tak mampu berbuat demikian maka itu berarti suatu
bukti atas absahnya kepemilikannya. Karena itu, maka salah apabila meminta
Fathimah mengajukan kesaksian atau bukti yang lebih banyak lagi.
Aneh bahwa ketika
tuntutan-tuntutan lain sejenis ini diajukan kepada Abu Bakar, ia memberikannya
sesuai pemyataan para pengklaim itu semata-mata atas dasar klaimnya tanpa
diminta mengajukan saksi. Sehubungan dengan ini, para pakar hadis menulis,
"Diriwayatkan dari Jabir ibn
'Abdullah al-Anshari bahwa Rasulullah telah berkata bahwa bilamana rampasan
perang dari Bahrain telah tiba maka beliau akan memberikan kepadanya ini dan
itu dari harta itu. Ketika harta itu tiba, di masa Abu Bakar, ia pergi
kepadanya dan Abu Bakar memaklumkan bahwa barangsiapa yang mempunyai klaim atas
Rasulullah atau kepada siapa beliau telah menjanjikan sesuatu hendaklah ia
datang mengajukan klaimnya. Maka saya pun pergi kepadanya dan mengatakan
kepadanya bahwa Nabi telah menjanjikan kepada saya barang anu dan anu dari
harta rampasan perang dari Bahrain, yang atasnya ia memberikan kepada saya
semua itu." (al-Bukhari, Shahih, 111, h. 119-209, 236; IV, h. 110; V, h.
218; Muslim, Shahih, VII, h. 75-76; at-Tirmdzi, V, 129; Ahmad ibn Hanbal,
Musnad, III, h. 307-308; Ibn Sa'd, ath-Thabaqât al-Kabir, 11, bagian II, h.
88-89)
Dalam penjelasan hadis ini,
Syihabuddin ibn 'Ali (Ibn Hajar) al-'Asqalani asy-Syafi'i (773-852 H./1372-1449
M.) dan Badruddin Mahmud ibn Ahmad al-'Aini al-Hanafi (762-855 H./1372-1451 M.)
menulis,
"Hadis ini mengantarkan
kepada kesimpulan bahwa bukti oleh seorang sahabat Nabi saja pun dapat diterima
sebagai bukti yang penuh, walaupun demi keuntungan dirinya sendiri, karena Abu
Bakar tidak meminta Jabir mengajukan saksi untuk membuktikan klaimnya."
(Fath al-Bâri fi Syarh Shahih al-Bukhari, V, h. 380; 'Umdatal-Qâri fiSyarh
Shahih al-Bukhari, XII, 121)
Apabila sah memberikan harta
kepada Jabir atas dasar kesan baik tanpa menuntut saksi atau bukti maka apa
yang menghalangi untuk memberikan klaim Fathimah atas dasar kesan baik yang
sama? Apabila kesan baik ada terdapat dalam kasus Jabir sehingga dianggap
mustahil bahwa ia akan memanfaatkan dusta maka mengapa tak boleh ada
kepercayaan seperti itu mengenai Fathimah, bahwa ia tak akan berkata dusta
tentang Nabi hanya untuk sebidang tanah? Pertama, kejujuran dan kesetiaannya
yang diakui cukuplah untuk menerima kebenaran dalam klaimnya serta kesaksian
Amirul Mukminin as dan Umm Aiman yang membenarkannya, juga ada di samping
bukti-bukti lain. Telah dikatakan bahwa klaim tak dapat diputuskan bagi
keuntungan Fathimah atas dasar kedua saksi itu karena Al-Qur'an telah
meletakkan prinsip kesaksian bahwa,
"... dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua
orang lelaki maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan...." (QS.
2:282)
Apabila prinsip ini universal dan
umum maka ia harus dianggap beriaku pada setiap kesempatan, tetapi dalam
beberapa kesempatan kedapatan bahwa hal itu tidak diikuti. Misalnya, ketika
seorang Arab berselisih dengan Nabi tentang seekor unta, Khuzaimah ibn Tsabit
al-Anshari memberikan kesaksian bagi Nabi, dan satu kesaksian ini dianggap sama
dengan dua kesaksian, karena tak diragukan kejujuran dan kebenaran dari
individu yang baginya kesaksian itu terarah. Karena alasan inilah maka Nabi
memberikan kepadanya gelar Dzusy-Syahadatain (yang kesaksiannya sama dengan
kesaksian dua orang). (Bukhari, IV, h. 24; VI, h. 146; Abu Dawud, III, 308;
an-Nasa'i, VII, h. 302; Ahmad ibn Hanbal, V, h. 188, 189, 216; al-Isti'ab, II,
448; Usd al-Ghabah, II, h. 114; al-Ishabah, I, h. 425-426; ash-Shan'ani,
al-Mushannaf, VIII, h. 366-368)
Sebagai akibatnya, tidaklah
generalitas ayat tentang kesaksian itu dipengaruhi oleh tindakan ini dan tidak
pula ia dipandang bertentangan dengan syariat tentang kesaksian. Jadi, apabila
di sini, mengingat kejujuran Nabi, seorang saksi bagi beliau dianggap sama
dengan dua kesaksian, maka tak dapatkah kesaksian ‘Ali dan Umm Aiman dianggap
cukup bagi Fathimah mengingat kebesaran moral dan kejujurannya? Lagi pula, ayat
ini tidak menunjukkan bahwa tak mungkin ada cara lain untuk memapankan klaim
selain dengan kedua cara itu. Sehubungan dengan ini Qadhi Nurullah al-Mar'asyi
at-Tustari (956-1019 H./1549-1610 M.) menulis dalam Ihqâq ul-Haqq, bab
"al-Matha'in",
"Pandangan orang yang menaruh
keberatan bahwa dengan kesaksian Umm Aiman syarat pembuktian itu tidak lengkap,
adalah keliru, atas dasar bahwa dari hadis-hadis tertentu kelihatan bahwa adalah
sah memberikan keputusan atas dasar satu saksi dan tak mesti berarti bahwa
petunjuk Al-Qur'an itu telah dilanggar, karena ayat ini berarti bahwa suatu
keputusan dapat diberikan atas kekuatan kesaksian dua lelaki atau seorang
lelaki dan dua orang perempuan, dan bahwa kesaksian mereka itu cukup. Dari sini
tidak nampak bahwa apabila ada dasar-dasar lain selain pembuktian saksi yang
tak dapat diterima, dan bahwa keputusan hukum tak dapat diberikan atas dasamya,
kecuali bila diargumentasikan bahwa hanya itulah satu-satunya pengertian ayat
itu. Tetapi, karena setiap makna bukanlah argumentasi yang final, pengertian
ini tak dapat dihapus, khususnya karena hadis jelas-jelas menunjuk ke arah
pengertian yang sebaliknya. dan mengabaikan pengertian ini tidak mesti berarti
pelanggaran terhadap ayat itu. Kedua, ayat itu memungkinkan pilihan antara
kesaksian dua orang lelaki serta satu lelaki dan dua perempuan. Apabila dengan
adanya hadis itu ditambahkan suatu pilihan ketiga yakni bahwa suatu keputusan
dapat dilakukan melalui kesaksian lain pula, maka bagaimana dapat dimestikan
bahwa ayat Al-Qur'an itu dianggap dilanggar?"
Bagaimanapun juga, dari jawaban
ini jelaslah bahwa si pengklaim tidak wajib mengajukan kesaksian dua lelaki
atau seorang lelaki dan dua wanita dalam mendukung klaim itu, karena apabila
ada satu orang saksi dan si penuntut menyatakan dengan sumpah, maka ia dapat
dianggap mempunyai keabsahan dalam kesaksiannya, dan keputusan yang diberikan
dengan jalan kesaksian lain dapat diberikan bagi keuntungannya. Sehubungan
dengan ini diriwayatkan oleh lebih dari dua belas sahabat Nabi bahwa,
"Rasulullah biasa memutuskan
perkara atas dasar kekuatan satu saksi dan dengan mengambil sumpah."
Telah diterangkan oleh beberapa
sahabat Nabi dan beberapa ulama fiqih bahwa keputusan ini berhubungan secara
khusus dengan hak-hak, hak milik dan transaksi-transaksi; dan keputusan ini
dipraktikkan oleh tiga khalifah, Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman. (Muslim, V, h.
128; Abu Dawud, III, h. 308-309; Tirmidzi, fu, h. 627-629; Ibn Majah, 11, h.
793; Ahmad ibn Hanbal, I, 248, 315, 328; 111, h. 305; V, h. 285; Malik ibn
Anas, al-Muwaththa', II, h. 721-725; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, X, h.
167-176; ad-Daraquthni, as-Sunan, IV, h. 202; Kanzul ‘Ummâl, VII, h. 13)
Bilamana keputusan diambil atas
dasar satu saksi dengan sumpah, maka sekiranya pun menurut pandangan Abu Bakar
tuntutan kesaksian tidak lengkap, ia mestinya meminta Fathimah bersumpah lalu
memberikan keputusan bagi keuntungannya. Tetapi tujuannya adalah untuk menodai
kejujuran Fathimah agar di masa depan kesaksiannya tidak menimbulkan masalah.
Namun, ketika tuntutan Fathimah
ditolak secara itu dan Fadak tidak diakui sebagai pemberian Nabi kepadanya, ia
menuntutnya atas dasar warisan dengan mengatakan,
"Apabila Anda tidak setuju
bahwa Nabi telah memberikannya kepada saya, Anda tak dapat menyangkal bahwa
Fadak dan pendapatan dari Khaibar maupun dari tanah-tanah sekitar Madinah
adalah milik pribadi Nabi, dan saya adalah satu-satunya ahli waris
beliau."
Tetapi haknya sebagai ahli waris
pun ditolak atas dasar sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar sendiri
bahwa Nabi telah bersabda,
"Kami para nabi tidak
mempunyai ahli waris dan apa saja yang kami tinggalkan merupakan sedekah."
(al-Bukhari, IV, h. 96; V, h. 25, 26; Vfu, h. 185; Muslim, V, h. 153-155;
at-Tirmidzi, IV, h. 157-158; Abu Dawud, M, h. 143-144; an-Nasa'i, VII, h. 132;
Ahmad ibn Hanbal, I, h. 4, 6, 9, 10; al-Baihaqi, VI, h. 300; Ibn Sa'd, II, h.
86-87; ath-Thabari, I, h. 1825; Târîkh al-Khamis, II, h. 173-174)
Selain Abu Bakar, tak ada seorang
pun lainnya yang mengetahui adanya ucapan yang ditunjukkan sebagai hadis Nabi
itu, dan tak seorang pun di antara para Sahabat Nabi yang peraah mendengamya.
Maka Jalaluddin 'Abdur-Rahman ibn Abu Bakar as-Suyuthi asy-Syafi'i (849-911
H./1445-1505 M.) dan Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad (Ibn Hajar) al-Haitsami
asy-Syafi'i (909-974 H./1504-1567 M.) menulis,
"Setelah wafatnya Nabi,
terdapat perselisihan pandangan tentang warisan itu, dan tak seorang pun
mempunyai suatu infonnasi dalam hal itu. Lalu Abu Bakar mengatakan bahwa ia
telah mendengar Rasulullah mengatakan bahwa 'Kami para nabi tidak mempunyai
ahli waris dan apa saja yang kami tinggalkan menipakan sedekah.'" (Târîkh
al-Khulafâ', h. 73; ash-Shawa'iq al-Muhriqah, h. 19)
Akal menolak untuk percaya bahwa
Nabi tidak mengatakannya kepada para individu yang dapat dianggap sebagai ahli
waris beliau bahwa mereka tidak akan menerima warisan, tetapi memberitahukan
kepada pihak ketiga yang sama sekali bukan keluarga bahwa mereka tidak akan
menjadi ahli waris beliau. Kemudian, cerita itu baru diumumkan ketika kasus
Fadak telah diajukan ke pengadilan dan ia sendiri menjadi pihak lawan. Dalam
keadaan demikian bagaimana pengajuannya akan sebuah hadis yang mendukung
dirinya, yang tak pemah didengar orang lain, dianggap sah. Apabila
diargumentasikan bahwa hadis ini harus diandalkan mengingat besarnya kedudukan
Abu Bakar, maka mengapa Fathimah tak dapat diandalkan mengklaim pemberian itu
karena kejujuran dan kebenarannya, lebih-lebih lagi bila kesaksian Amirul
Mukininin as dan Umm Aiman serta orang-orang lain juga mendukungnya? Apabila
dirasakan perlunya untuk memanggil kesaksian lebih banyak lagi dalam kasusnya,
maka kesakisan dapat pula diminta tentang hadis ini, khususnya karena hadis ini
bertentangan dengan ajaran-ajaran umum dalam Al-Qur'an tentang kewarisan.
Bagaimana mungkin sebuah hadis yang lemah dalam hal periwayatannya dan
dipertanyakan atas dasar fakta-fakta dianggap mengkhususkan suatu generalitas
dalam ajaran Al-Qur'an, karena masalah warisan para nabi jelas disebutkan di
dalam Al-Qur'an. Allah berfirman,
"Dan Sulaiman telah mewarisi
Dawud.... (QS. 27:6) Di bagian lain dinyatakan dalam kata-kata Nabi Zakariyya,
"... maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra yang akan mewarisi
aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya'qub...." (QS. 19:5-6)
Pada ayat-ayat di atas warisan itu
merujuk warisan dalam harta kekayaan; mengambilnya dalam arti pengetahuan
kenabian bukan saja aneh tetapi juga bertentangan dengan fakta, karena pengetahuan
dan kenabian bukanlah obyek pewarisan, dan tidak pula hal itu memiliki sifat
untuk transmisi melalui warisan, karena apabila demikian halnya maka seluruh
keturunan seorang nabi akan menjadi nabi. Tak ada maknanya dalam membuat
perbedaan bahwa keturunan sebagian nabi dapat mewarisi kenabian sedang yang
lainnya tidak mendapatkannya, Aneh bahwa teori tentang transmisi kenabian
melalui warisan disiarkan oleh orang-orang yang selalu menaruh keberatan
terhadap Syi'ah bahwa mereka memandang imamah dan kekhalifahan sebagai obyek
warisan dan terbatas pada satu famili saja. Tidakkah kenabian menjadi obyek
warisan dengan memandang warisan dalam ayat ini sebagai berarti suksesi dalam
kenabian?
Apabila dalam pandangan Abu Bakar
berdasarkan hadis ini tak mungkin ada ada waris dari Nabi, maka di manakah
hadis ini ketika suatu dokumen telah ditulis yang mengakui klaim Fathimah atas
warisan? Nuruddin ‘Ali ibn Ibrahmi al-Halabi asy-Syafi'i (975-1044 H./1567-1635
M.) mengutip dari Syamsuddin Yusuf (Sibth ibn al-Jauzi) al-Hanau (581-654
H./H85-1256 M.) meriwayatkan,
"Abu Bakar sedang di mimbar
ketika Fathimah datang kepadanya seraya berkata, 'Hai, Abu Bakar, Al-Qur'an
mengizinkan anak perempuan Anda mewarisi Anda, tetapi saya tak boleh mewarisi
dari ayah saya!' Abu Bakar menangis lalu turun dari mimbar. Kemudian ia menulis
untuknya (Fathimah) tentang Fadak. Pada saat itu 'Umar tiba dan menanyakan apa
itu. Abu Bakar menjawab, 'Itu dokumen yang telah saya tulis untuk Fathimah
tentang warisannya dari ayahnya.' 'Umar berkata, 'Apa yang akan Anda belanjakan
pada kaum Muslim sementara orang-orang Arab sedang melancarkan peperangan
melawan Anda, sebagaimana Anda lihat?' Lalu 'Umar mengambil dokumen itu dan
merobeknya." (as-Sirah al-Halabiyyah, 111, h. 361-362)
Setiap orang yang berpikiran wajar
yang melihat perilaku ini dapat dengan mudah menarik kesimpulan bahwa hadis itu
diada-adakan dan batil, dibuat-buat hanya untuk mendapatkan pemilikan atas
Fadak dan warisan-warisan lainnya. Akibatnya, Fathimah menolak 'hadis' itu
serta mengungkapkan kemarahannya dengan mewasiatkan tentang Abu Bakar dan 'Umar
bahwa keduanya tak boleh ikut serta dalam salat jenazahnya.
'A'isyah meriwayatkan,
"Fathimah as putri Nabi (saw)
meminta Abu Bakar (setelah ia menjadi khalifah sepeninggal Nabi) menuntut darinya
warisannya yang ditinggalkan Rasulullah dari apa yang telah dianugerahkan Allah
(secara khusus) untuk beliau di Madinah, dan Fadak, dan apa yang tertinggal
dari khumus dari (pendapatari tahunan yang diterima) dari Khaibar .... Abu
Bakar menolak untuk menyerahkan apa pun darinya kepada Fathimah. Kemudian
Fathimah menjadi marah kepada Abu Bakar dan meninggalkannya dan tidak berbicara
kepadanya hingga akhimya .... Ketika ia (Fathimah) meninggal, suaminya 'Ali ibn
Abi Thalib menguburkannya di waktu malam. la tidak memberitahukan kepada Abu
Bakar tentang kematiannya (Fathimah) dan ia mengurus jenazahnya sendirian
...." (al-Bukhari, V, h. 177; VIII, h. 185; Muslim, V, h. 153-155;
Al-Baihaqi, IV, h. 29; VI, 300-301; Ibn Sa'd, II, bagian ii, h. 86; Ahmad ibn
Hanbal, I, h. 9; ath-Thabari, I, h. 1825; Ibn Katsir, Târîkh, V, h. 285-286;
Ibn Abil Hadid, VI, h. 46; dan Wafâ’ al-Wafâ', 111, h. 995)
Sehubungan dengan ini Umm Ja'far,
putri Muhammad ibn Ja'far, meriwayatkan tentang permohonan Fathimah as kepada
Asma' binti 'Umais dekat sebelum matinya,
"Bilamana saya meninggal,
saya menghendaki Anda dan 'Ali memandikan saya, dan jangan mengizinkan siapa
pun masuk ke dalam (rumah) saya."
Ketika ia meninggal, 'A'isyah
datang hendak masuk. Asma' mengatakan kepadanya, "Janganlah masuk."
'A'isyah mengadu kepada Abu Bakar (ayahnya) seraya mengatakan, "Perempuan
dari suku Kats'am (Asma') itu menjadi perantara kita dengan putri Rasulullah
...." Lalu Abu Bakar datang dan berdiri di pintu seraya berkata, "Hai
Asma', apa yang membuat Anda menghalangi para istri Nabi memasuki (rumah) putri
Rasulullah?" Asma' menjawab, "Dia sendiri yang memerintahkan saya
supaya tidak membiarkan siapa pun memasuki (rumah)nya ...." Abu Bakar
berkata, "Lakukanlah apa yang diperintahkannya kepada Anda." (Hilyah
al-Auliya', II, h. 43; as-Sunan al-Kubra, fu, h. 396; IV, h. 334; Ansâb
al-Asyrâf, I, 405; al-lsti'ab, IV, h. 1897-1498; Usd al-Ghâbah, V, h. 524;
al-lshabah, IV, h. 378-379)
Fathimah as juga telah mengajukan
permohonan kepada Amirul Mukminin as agar ia dimakamkan di malam hari dan agar
tak seorang pun datang kepadanya, bahwa Abu Bakar dan 'Umar tak boleh
diberitahu tentang kematian dan penguburannya, dan bahwa Abu Bakar tak boleh
diizinkan salat atas jenazahnya. Ketika ia meninggal, ‘Ali
memandikannya dan menguburkannya dalam kesunyian malam, tanpa diberitahukan
kepada Abu Bakar dan 'Umar. Maka kedua orang ini tak mengetahui penguburannya.
Muhammad ibn Umar al-Waqidi
(130-207 H./747-823 M.) berkata,
'Telah dibuktikan kepada kami
bahwa 'Ali as melaksanakan salat jenazahnya dan menguburkannya di malam hari,
disertai oleh 'Abbas (ibn 'Abdul Muththalib), dan (putranya) al-Fadhl, dan
tidak memberitahukan kepada siapa pun (lainnya).
Sebab itulah tempat kuburan
Fathimah as tersembunyi dan tidak diketahui, dan tak seorang pun yakin tentang
hal itu. (al-Mustadrak, III, h. 162-163; al-Mushannaf, IV, h. 141; Ansâb
al-Asyrâf, I, h. 402-405; al-Isti'ab, IV, h. 1898; Usd al-Ghabah, V, h.
524-525; al-Ishabah, IV, h. 379-380; ath-Thabari, III, h. 2435-2436; Ibn Sa'd, VIII,
h. 19-20; Wafa' al-Wafa', III, h. 901-902, 904, 905;
Ibn Abil Hadid, XVI, h. 279-281)
Untuk mengatributkan
ketidaksenangan Fathimah pada sentimen dan dengan itu merendahkan pentingnya,
tidaklah tepat, karena apabila ketidaksenangan ini merupakan akibat sentimen,
maka Anurul Mukminin as tentu sudah melarangnya sebagai ketidaksenangan yang
salah kaprah, tetapi tak ada sejarah yang menunjukkan bahwa Anurul Mukminin as
menganggap ketidaksenangan ini sebagai salah kaprah. Di samping itu, bagaimana
mungkin ketidaksenangannya merupakan hasil perasaan pribadi atau sentimen
karena kesenangan atau ketidaksenangannya selalu sesuai dengan kehendak Allah.
Hadis Nabi yang berikut ini merupakan bukti atasnya.
"Hai Fathimah, sesungguhnya
Allah berang dalam kemarahan Anda dan rida dalam keridaan Anda."
(al-Mustadrak, III, h. 153; Usd al-Ghâbah, al-Ishabah, IV, h. 366; Tahdzîb
at-Tahdzîb, XII, h. 441; al-Khasha'ish al-Kubra, II, h. 265; Kanz al-'Ummal,
Xin, h. 96; XVI, h. 280; Majma' az-Zawa'id, IX, h. 203)
Sekilas Riwayat Fadak Sepeninggal
Fathimah
Motif yang mendorong kita
menelusuri sejarah Fadak dan kelanjutan peristiwa sesudahnya selama waktu tiga
abad dari teks-teks buku sejarah adalah untuk menjelaskan tiga hal:
a. Perintah untuk menghapus
warisan dari para nabi dilakukan oleh Nabi; dengan kata lain, harta Nabi adalah
bagian dari perbendaharaan umum dan menjadi milik seluruh kaum Muslim. Ini
diklaim oleh khalifah pertama Abu Bakar, dan ditolak oleh para penggantinya,
baik oleh kedua khalifah berikutnya ('Umar dan 'Utsman), maupun para khalifah
Bani Umayyah dan 'Abbasiah. Kita harus mempertimbangkan keabsahan dan kebenaran
kekhalifahan mereka tergantung pada kebenaran dan keabsahan tindakan dari
kekhalifahan khalifah yang pertama.
b. Amirul Mukminin ('Ali as) dan
keturunan Fathimah tidak pemah ragu-ragu mengenai kebenaran klaim mereka.
Mereka mendesak dan mengukuhkan bahwa Fathimah as benar dan bahwa klaim Abu
Bakar selalu ditolak, dan mereka tidak menyerah kepada klaim palsu itu.
c. Bilamana saja seorang khalifah
membuat keputusan untuk mengefektifkan perintah Allah, mengenai Fadak, untuk
melaksanakan keadilan dan kesamaan, dan memulihkan hak kepada yang berhak
sesuai dengan aturan Islam, ia mengembalikan Fadak kepada keturunan Fathimah as
dan menyerahkannya kepada mereka.
1. 'Umar ibn Khaththab adalah
orang yang paling kasar dalam melepaskan hak Fathimah as atas Fadak serta
warisannya, dan ia sendiri mengatakan,
"Ketika Rasulullah meninggal,
saya datang bersama Abu Bakar kepada 'Ali .ibn Abi Thalib seraya berkata, 'Apa
kata Anda tentang apa yang telah ditinggalkan Rasulullah?' la menjawab, 'Kami
yang paling mempunyai hak dengan Nabi.' Saya ('Umar) berkata, 'Bahkan harta
dari Khaibar?' la berkata, 'Ya, bahkan yang dari Khaibar.' Saya berkata,
'Bahkan yang dari Fadak?' la menjawab, 'Ya, bahkan yang dari Fadak?' Lalu saya
berkata, 'Demi Allah, kami katakan tidak, sekalipun Anda memotong leher kami
dengan gergaji.'" (Majma' az-Zawâ'id, IX, h. 39-40)
Dan sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya, 'Umar kemudian mengambil dokumen tentang Fadak lalu merobeknya.
Tetapi, ketika 'Umar menjadi khalifah (13-23 H./634-644 M.) ia mengembalikan
Fadak kepada ahli waris Nabi. Sejarawan dan geografis termasyhur, Yaqut
al-Hamawi (574-626 H./1178-1229 M.), dalam mengikuti peristiwa Fadak mengatakan,
"Kemudian, ketika 'Umar ibn
Khaththab menjadi khalifah dan beroleh kejayaan, dan kaum Muslim telah beroleh
kekayaan yang melimpah (yakni, perbendaharaan umum memenuhi kebutuhan
kekhalifahan), ia membuat keputusan yang bertentangan dengan pendahulunya, dan
(keputusan) itu ialah memberikannya (Fadak) kembali kepada ahli waris Nabi.
Pada waktu itu 'Ali ibn Abi Thalib dan 'Abbas ibn 'Abdul Muththalib
memperselisihkan Fadak.
'Ali berkata bahwa Nabi (saw)
telah memberikannya kepada Fathimah semasa hidup beliau. 'Abbas menolak hal ini
dan mengatakan, 'Ini dahulu berada dalam pemilikan Nabi (saw) dan saya ikut
serta memiliki dalam warisan beliau.' Mereka sedang memperselisihkan ini di
antara sesama mereka dan meminta 'Umar untuk menyelesaikan perkara itu. la
menolak mengadili di antara mereka seraya berkata, 'Anda berdua lebih sadar dan
mengetahui permasalahan Anda; tetapi saya hanya memberikannya kepada Anda
....'" (Mu'jam al-Buldan, IV, h. 238-239; Wafa' al-Wafa', fu, h. 999;
Tahdzîb al-Lughah, X, h. 124; Lisan al-'Arab, X, h. 473; Taj al-'Arus, VII, h.
166)
Penyebab 'Umar dan Abu Bakar
berusaha merebut Fadak adalah alasan ekonomi dan politik, bukan hanya urusan
keagamaan, karena episode sebelumnya menunjukkan, ketika keadaan ekonomi dan
politik kekhalifahan membaik, dan tidak diperlukan lagi pendapatan dari Fadak,
keputusan 'Umar pun berubah.
Bagian terakhir dari peristiwa
historis ini telah kami selipkan kemudian untuk menunjukkan hal warisan oleh
saudara dari yang telah meninggal, atau saudara dari si almarhum bilamana ia
tidak mempunyai putra. Problemanya adalah masalah perselisihan di antara
berbagai mazhab Islam. Pembahasan hukum dan fiqih menyimpang dari masalah kita.
Kami hanya membahas hal itu secara historis.
'Abbas tidak mempunyai klaim dalam
kasus ini karena ia tidak menunjukkan bahwa ia mempunyai bagian dalam harta ini
dan tidak pula keturunannya memandang (harta) itu sebagai aset mereka ketika
menjadi khalifah dan memerintah. Mereka menguasai kebun itu dalam kedudukan
mereka sebagai khalifah, atau mereka mengembalikannya kepada keturunan Pathimah
ketika mereka memutuskan menjadi pemerintah yang adil.
2. Ketika 'Utsman ibn 'Affan
menjadi khalifah (23-35 H./644-656 M.) sepeninggal 'Umar, ia memberikan Fadak
kepada Marwan ibn Hakam, sepupunya (as-Sunan al-Kubra, VI, h. 301; Wafa'
al-Wafa’, 111, h. 1000; Ibn Abil Hadid, I, h. 198) dan ini merupakan salah satu
penyebab rasa permusuhan di kalangan kaum Muslim terhadap 'Utsman (Ibn
Qutaibah, al-Ma'arif, h. 195; al-'Iqd al-Fand, IV, h. 283, 435; Abul Fida',
at-Târîkh, Ibn al-Wardi, I, h. 204) yang berakhir dengan pemberontakan dan
pembunuhannya. "Sedang sebelumnya Fathimah mengklaim-nya, kadang-kadang
sebagai warisannya dan kadang-kadang sebagai pemberian (dari ayahnya) ia diusir
dari (Fadak) itu," sebagaimana kata Ibn Abil Hadid dalam Syarh Nahjul
Balaghah. Secara ini Fadak jatuh ke dalam kekuasaan Marwan. la biasa menjual
penghasilannya sekurang-kurangnya 10.000 dinar setahun, dan bila dalam beberapa
tahun penghasilannya menurun, tidaklah berarti banyak. Ini merupakan
keuntungannya yang biasa sampai di masa Khalifah 'Umar ibn 'Abdul Aziz dalam
tahun 100 H./718 M. (Ibn Sa'd, V, h. 286, 287; Shubh al-A'sya, IV, h.291)
3. Ketika Mu'awiah ibn Abi Sufyan
menjadi khalifah (41-60 H./661-680 M.) ia menjadi mitra Narwan dan lain-lain
dalam pemilikan atas Fadak. la memberikan sepertiganya kepada Marwan dan
sepertiga kepada 'Amr ibn 'Utsman ibn 'Affan dan sepertiga kepada putranya
Yazid. Ini terjadi setelah wafatnya Hasan ibn 'AB as. "Untuk membuat marah
keturunan Nabi," kata al-Ya'qubi. (at-Tarikh, II, h. 199)
Fadak dimiliki ketiga orang
tersebut di atas sampai Marwan menjadi khalifah (64-65 H./684-685 M.) ketika ia
sepenuhnya mengambil alih kepemilikan atas Fadak. Kemudian ia memberikannya
kepada dua orang putranya, 'Abdul Malik dan 'Abdul 'Aziz. Kemudian 'Abdul 'Aziz
memberikan bagiannya kepada putranya 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz.
4. Ketika 'Umar ibn 'Abdul 'Aztz
menjadi khalifah (99-101 H./717-720 M.) ia berkhotbah seraya menyebutkan bahwa
"Sesungguhnya Fadak adalah di antara hal-hal yang dianugerahkan Allah
kepada RasulNya, dan tak ada kuda, dan tak ada unta yang digunakan terhadapnya
..." dan menyebutkan kasus Fadak di masa para khalifah yang lalu sampai ia
berkata, "Kemudian Marwan memberikannya (Fadak) kepada ayah saya dan
'Abduk Malik. la (Fadak) menjadi milik saya dan al-Walid dan Sulaiman (keduanya
putra 'Abdul Malik). Ketika al-Walid menjadi khalifah (86-96 H./705-715 M.)
saya meminta bagiannya dan ia memberikannya kepada saya. Saya meminta bagian
Sulaiman dan ia memberikannya kepada saya. Kemudian saya kumpulkan ketiga
bagian itu dan saya tidak mempunyai harta yang lebih saya senangi ketimbang
ini. Saksikanlah bahwa saya mengembalikannya kepada keadaannya yang asli."
la menuliskan hal ini kepada gubemumya di Madmah (Abu Bakar ibn Muhammad ibn
'Amr ibn Hazm) dan memerintahkannya untuk melaksanakan apa yang telah
dinyatakannya dalam khotbahnya. Kemudian Fadak menjadi milik anak-anak Fathimah.
"Ini merupakan penyingkiran kelaliman dengan mengembalikannya (Fadak)
kepada anak-anak 'Ali." (Abu Hilal al-'Askari, al-Awa'il, h. 209) Mereka
memilikinya selama pemerintahan khalifah itu.
5. Ketika Yazld ibn 'Abdul Malik
menjadi khalifah (101-105 H./720-724 M.) ia merebut Fadak dan anak-anak ‘Ali
kehilangan haknya. Fadak jatuh kepada Bani Marwan sebagaimana sebelumnya.
Mereka mengalihkannya dari tangan ke tangan sampai kekhalifahan mereka berakhir
dan jatuh kepada Bani 'Abbas.
6. Ketika Abul 'Abbas 'Abdullah
al-Saffah menjadi khalifah pertama dinasti 'Abbasiah (132-136 H./749-754 M.) ia
mengembalikan Fadak kepada anak cucu Fathimah dan menyerahkannya kepada
'Abdullah ibn Hasan ibn Hasan ibn ‘Ali ibn Abt Thalib.
7. Ketika Abu Ja'far 'Abdullah
al-Manshur ad-Dawamqi menjadi khalifah (136-158 H./754-755 M.), ia merebut
Fadak dari anak-anak Hasan.
8. Ketika Muhammad al-Mahdi ibn
al-Manshur menjadi khalifah (158-169 H./775-785 M.) ia mengembalikan Fadak
kepada anak cucu Fathimah.
9. Musa al-Hadi ibn al-Mahdi (169-170
H./785-786 M.) dan saudaranya Harun ar-Rasyid (170-193 H./786-809 M.)
merebutnya dari keturunan Fathimah dan Fadak dikuasai Bani 'Abbas sampai
al-Ma'mun menjadi khalifah (193-218 H./813-833 M.)
10. Al-Ma'mun al-'Abbasi
mengembalikannya kepada keturunan Fathimah (210 H./826 M.). Diriwayatkan
melalui al-Mahdi ibn Sabiq bahwa,
"Pada suatu hari al-Ma'mun
duduk sambil mendengarkan pengaduan rakyat dan mengadili perkara. Ucapan
pengaduan yang pertama yang diterimanya menyebabkan ia menangis ketika ia melihatnya.
la menanyakan di mana pengacara Fathimah putri Nabi. Seorang lelaki tua usia
berdiri lalu menghadap, berargumentasi dengan dia tentang Fadak, dan
al-Ma'munjuga mengajukan argumentasinya sehingga lelaki tua itu mengalahkan
al-Ma'mun (al-Awa'il, h. 209)
Al-Ma'mun memanggil para faqih dan
menanyakan kepada mereka tentang klaim Bani Fathimah. Mereka meriwayatkan
kepada al-Ma'mun bahwa Nabi memberikan Fadak kepada Fathimah dan bahwa setelah
wafatnya Nabi Fathimah menuntut kepada Abu Bakar untuk mengembalikan Fadak
kepadanya. Abu Bakar memintanya untuk mengajukan saksi mengenai klaim tentang
pemberian itu. Fathimah membawa 'Ali, Hasan dan Husain dan Umm Aiman sebagai
saksinya. Mereka memberikan kesaksian yang membenarkan Fathimah. Abu Bakar
menolak kesaksian mereka." Lalu al-Ma'mun bertanya kepada para faqih itu,
"Bagaimana pendapat Anda tentang Umm Aiman?" Mereka menjawab,
"la wanita yang mengenainya Nabi memberikan kesaksian bahwa ia penghuni
surga." Al-Ma'mun berdebat panjang lebar dengan mereka dan memaksa mereka
untuk menerima argumen dengan bukti-bukti, sampai mereka mengaku bahwa ‘Ali,
Hasan dan Husain serta Umm Aiman hanya memberikan kesaksian yang sebenaraya.
Ketika mereka sepakat menerima hal ini, ia memulihkan Fadak kepada keturunan
Fathimah. (al-Ya'qubi, at-Tarikh, 111, h. 195-196)
Kemudian al-Ma'mun memerintahkan
agar kebun Fadak itu didaftarkan di antara milik para keturunan Fathimah, dan
al-Ma'mun menandatanganinya.
Kemudian ia menulis surat kepada
gubemurnya di Madmah yang bernama Qutsam ibn Ja'far sebagai berikut:
"Ketahuilah bahwa Amirul
Mukminin, dalam melaksanakan wewenang yang diletakkan padanya oleh agama Ilahi
sebagai Khalifah, pengganti dan kerabat Nabi, telah memandang dirinya lebih
patut mengikuti sunah Nabi dan melaksanakan perintah-perintah beliau. Dan
(pemimpin lebih berhak) untuk memulihkan kepada orang-orang yang berhak hadiah
yang telah diberikan Nabi atau barang yang telah diberikan oleh Nabi kepada
seseorang. Keberhasilan dan keselamatan Amirul Mukminin adalah karena Allah dan
dia secara khusus merasa amat cemas untuk bertindak dalam suatu cara yang akan
mendapatkan keridaan Allah Yang Mahakuasa baginya.
"Sesungguhnya Nabi telah
menghadiahkan kebun Fadak kepada putri beliau Fathimah as. Beliau telah
mengalihkan kepemilikannya kepadanya. Hal itu adalah suatu fakta yang jelas dan
mapan. Tak seorang pun di antara kerabat Nabi yang berselisih pendapat.
Fathimah selalu mengakuinya, yang lebih patut (untuk dibenarkanj ketimbang
orang (Abu Bakar) yang perkataannya diterima. Amirul Mukminin memandang benar
dan pantas untuk memulihkan Fadak kepada para ahli waris Fathimah. Dengan ini
ia akan beroleh kedekatan kepada Allah Ta'ala dengan menegakkan keadilan dan
kebenaran-Nya. Akan beroleh penghargaan dari Nabi bila melaksanakan
perintah-perintah beliau. Amirul Mukminin telah memerintahkan bahwa pemulihan
hak atas Fadak ini harus didaftarkan secara mestinya. Perintah-perintah itu
harus diteruskan kepada semua pejabat.
"Kemudian, apabila,
sebagaimana biasanya, dimaklumkan kepada setiap jamaah haji setiap tahun,
menyusul wafatnya Nabi, bahwa kepada barangsiapa yang kepadanya Nabi telah
menjanjikan suatu pemberian, hendaklah ia maju ke depan, pemyataannya akan
diterima danjanji itu akan dipenuhi. Pastilah Fathimah as mempunyai hak yang
lebih unggul untuk diterima perayataannya dalam hal pemberian Fadak oleh Nabi
(saw) kepadanya.
"Sesungguhnya Amirul Mukminm
telah memerintahkaft kepada hambanya Mubarak ath-Thabari untuk memulihkan Fadak
kepada keturunan Pathimah putri Nabi dengan segala perbatasannya, hak-haknya
dan semua budak yang terpaut padanya, tanaman musiman dan lain-lain.
"Semua ini telah dipulihkan
kepada Muhanunad ibn Yahya ibn 'Abdullah ibn Hasan ibn 'Ali ibn Husain ibn 'Ali
ibn Abi Thalib.
"Amirul Mukminin telah
menunjuk keduanya sebagai pelaksana yang mewakili para pemilik tanah itu,
keturunan Fathimah. Maka ketahuilah bahwa ini pandangan Amirul Muknunin dan
bahwa Allah telah mengilhaminya untuk menaati perintah Allah dan mendapatkan
keridaan-Nya dan keridaan Nabi. Hendaklah pula bawahan Anda mengetahui hal ini.
Berlakulah terhadap Muhammad ibn Yahya dan Muhammad ibn 'Abdillah secara yang
sama sebagaimana Anda memperlakukan Mubarak ath-Thabari. Bantulah keduanya
dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kesuburan dan kemakmurannya serta
perbaikannya dalam kelimpahan panen dengan kehendak Allah. Wasalam."
SURAT itu ditulis pada hari Rabu
tanggal dua malam setelah Zulkaidah tahun 210 (15 Pebruari 826 M).
11. Selama masa kekhalifahan
al-Ma'mdn Fadak dikuasai keturunan Fathimah, dan ini berlanjut sampai dengan
kekhalifahan al-Mu'tashim (218-227 H./833-842 M.) dan al-Watsiq (227-232
H./842-847 M.).
12. Ketika Ja'far al-Mutawakkil
menjadi khalifah (232-247 H./847-861 M.), salah seorang di antara mereka yang
ditandai sebagai musuh bebuyutan keturunan Nabi yang masih hidup maupun yang
sudah mati, memberikan perintah untuk merebut kembali Fadak dari keturunan
Fathimah. (la merebutnya dan memberikannya kepada Harmalah al-Hajjam) dan
setelah matinya al-Hajjam ia memberikannya kepada al-Bazyar, penduduk
Thabanstan. (Kasyfal-Ghummah, 11, h. 121-122; al-Bihar, edisi pertama, Vfu, h.
108; Safinah al-Bihar, II, h. 351. Abu Hilal al-'Askari menyebut bahwa namanya
ialah 'Abdullah ibn 'Umar al-Bazyar seraya menambahkan, "Dan di dalamnya
(Fadak) ada sebelas batang pohon kurma yang ditanam oleh Nabi dengan tangan
beliau sendiri. Keturunan Abu Thalib dahulu biasa mengumpulkan buah-buah kurma
ini. Ketikajamaah haji memasuki Madinah mereka menghadiahkan buah-buah kurma
itu kepada para jamaah itu. Melalui ini mereka mendapatkan imbalan yang banyak.
Berita ini sampai kepada Mutawakkil. la memerintahkan kepada 'Abdullah ibn
'Umar untuk memotong buah-buah itu dan memerah sarinya. Dilaporkan bahwa ia
menjadikannya khamar. Sari buah kurma itu tak sampai ke Bashrah (dalam perjalanannya
kepada khalifah itu) ketika membusuk dan al-Muwakkil telah tewas
terbunuh." (al-Awa'il, h. 209)
13. Ketika al-Mutawakkil tewas dan
putranya al-Muntashir menggantikannya (247-248 H./861-862 M.), ia mengeluarkan
perintah untuk memulihkan lagi Fadak kepada keturunan Hasan dan Husain dan
memberikan sumbangan-sumbangan Abu Thalib kepada mereka, dan ini terjadi tahun
248 H./862 M. (Rujukan untuk No. 3-13: Futuh al-Buldan, I, h. 33-38; Mu'jam
al-Buldan, IV, h. 238-240; al-Ya'qubi, at-Tarikh, II, h. 199; III, h. 45,
195-196; Ibn Atsir, al-Kamil, II, h. 224-225; III, h. 457, 497; V, h. 63; VII,
h. 116; al-'Iqd al-Farid, IV, h. 216, 283,435; Wafa' al-Wafa; III, 999-1000;
ath-Thabagat al-Kabra, V, h. 286-287; Târîkh al-Khulafa', h. 231-232, 356;
Muruj adz-Dzahab, IV, h. 82; Ibn al-Jauzi, Slrah 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz, h.
110; Shubh al-A'sya, IV, h. 291; Jamharah Rasa'il al-'Arab, II, h. 331-332;
III, h. 509-510; 'A'lam an-Nisa', fu, h. 1211-1212; Ibn Abil Hadid, XVI, h.
277-278; Awa'il, h. 209; Kasyfal-Ghummah, II, h. 120-122; al-Bihar, VIII, h.
107-108)
14. Nampaknya Fadak direbut lagi
dari keturunan Fathimah setelah matinya Muntashir (248 H./862 M.), karena Abul
Hasan 'Alt ibn 'Isa al-Irbili (m. 692 H./ 1293 M.) menyebutkan bahwa
al-Mu'tadhid (279-289 H./892-902 M.) mengembalikan Fadak kepada keturunan Fathimah.
Kemudian ia menyebutkan bahwa al-Muqtafi (289-295 H./902-908 M.) merebutnya
dari mereka. Dikatakan pula bahwa al-Muqtadir (295-320 H./908-932 M.)
mengembalikannya kepada keturunan Fathimah. (Kasyf al-Ghummah, II, h. 122;
al-Bihar, Vfu, h. 108; Safinah, II, h. 351)
15. Dan setelah jangka waktu
panjang dalam rebutan dan pengembalian, Fadak dikembalikan kepada para
pencaplok dan para ahli waris mereka sebagaimana nampaknya, tidak lagi
disebut-sebut dalam sejarah dan layar pun turun.
"Apakah hukum Jahiliah yang
mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yaftg lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi orang-orang yang yakin?" (QS. 5:50)
Sumber: http://www.al-shia.org/html/id/books/nahjol-balahgee/surat/045.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar