Antara Ateisme dan Lanskap Religius


2006--

Di waktu-waktu tertentu, meski tidak terlampau lama, kadangkala saya merenungi diri benarkah saya orang beriman? Jika pertanyaan itu disebut sebagai skeptisisme, keraguan yang justeru terus-menerus mengoreksi sekaligus mempertanyakan ulang apa yang didoktrinkan dan diajarkan kepada saya sebagai sesuatu yang mungkin saja harus dipertanyakan dan diragukan, maka dengan itu pula saya selalu menganggap diri saya sebagai orang yang mungkin saja tidak “beriman”. Pertanyaan itu sendiri senantiasa menjebak saya di antara kehendak untuk mempercayai sekaligus keinginan untuk mengingkari pada saat yang sama.

Adakah iman yang dikatakan sebagai penerimaan tanpa keraguan lebih bisa dikatakan sebagai dogma dan kemalasan bathin? Meski arti dan makna semantik yang saya pahami tersebut lebih relevan untuk orang-orang terdidik yang gelisah, bukan untuk orang-orang sederhana yang tidak merasa penting untuk menyibukkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan seperti yang saya kemukakan itu, karena hati dan pikiran mereka lebih disibukkan pada persoalan bagaimana memenuhi kebutuhan mendesak keseharian mereka.

Meskipun demikian, harus diakui pula bahwa pengertian yang saya tawarkan tersebut lebih saya maksudkan untuk para elite yang mengaku diri sebagai pemilik otoritas religius, orang-orang yang sebenarnya menurut saya seringkali juga memanipulasi doktrin-doktrin religius ketika mereka dihadapkan pada tuntutan-tuntutan kepentingan politis mereka. Sementara iman dan panggilan kesalehan itu sendiri bagi saya tetaplah berkenaan dengan relung-relung subjektif yang sifatnya individual, yang hanya mereka sendiri yang mengalami dan merasakannya. Dengan demikian kita sebenarnya tidak akan mampu dan tidak juga berhak untuk menghakimi kadar keimanan seseorang.

Barangkali, nilai subjektivitas iman itu pula yang kadangkala lepas dari kategori-kategori formal sebuah agama yang telah kehilangan kepekaannya, kepekaan yang menurut Kierkegaard menyebutnya sebagai penghayatan dan keintiman yang sifatnya teramat pribadi. Ia dipercayai dan dihidupi oleh keunikan bathin seseorang itu sendiri, yang tentu saja akan berbeda kadar dan pemaknaannya dalam diri tiap orang. Orang-orang miskin sebagai contohnya akan selalu mengharapkan pertolongan Tuhan dalam kadar pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk memperbaiki nasib dan kekurangan material kehidupan mereka. Tuhan yang mereka harapkan adalah Tuhan yang diinginkan untuk merubah nasib mereka. Tuhan yang diakrabi oleh orang-orang papa tersebut adalah figur yang terasa dekat dan diharapkan dalam kepasrahan dan kemiskinan mereka, misalnya.

Tuhan yang dipersepsi dan diakrabi orang-orang papa itu akan berbeda dengan Tuhan yang dipersepsi dan diakrabi para intelektual, sekedar sebagai contoh yang lain dan yang berbeda. Bahkan, dan ini hanya sebuah kasus kecil, orang-orang yang sibuk mengulas dan memikirkan kembali sejumlah ajaran dan doktrin itu dalam banyak sisi kehidupan mereka sebenarnya tidak terlampau direpotkan dengan persoalan eksistensi Tuhan itu sendiri, tetapi lebih disibukkan oleh fungsionalitas dan relevansi sosial politik dan ekonomis doktrin-doktrin kepercayaan dan keyakinan religius yang masih dipegang dan dipercayai oleh banyak orang.   

Bila Tuhan yang dipersepsikan oleh orang-orang papa adalah Tuhan yang diharapkan dapat merubah nasib kemiskinan mereka menjadi kesejahteraan, Tuhan yang teramat berkuasa di saat mereka hanya mampu pasrah dan tak berdaya, maka Tuhan yang dipersepsikan para intelektual mapan adalah Tuhan yang sudah memberikan kebebasan kepada manusia untuk merubah nasib mereka sendiri oleh masing-masing manusia itu sendiri. Perbedaan persepsi dan sikap tersebut pada akhirnya akan banyak mempengaruhi cara menyikapi dan menjalani hidup. Wajar saja bila Marx menganggap agama lebih merupakan candu penenang orang-orang papa yang menurutnya lebih mengarahkan mereka pada sikap melarikan diri dari kehidupan nyata dalam kepapaan dan kekalahan mereka. Namun, perspektif Marx pun, harus diakui, sudah terisolasi cara pandang ekonmis dan politiknya.

Di sini, bagi saya kebenaran axiomatik yang dikemukakan Marx tersebut bisa juga dibaca lentur dan ironik untuk memunculkan dan mengupayakan cara pandang yang lainnya, seperti bahwa berkat kepercayaan kepada Tuhan dan hari pembalasan pula mereka bisa menjalani kemalangan mereka dalam ketabahan, tidak putus asa, dan terus-menerus membangun cakrawala optimisme di masa depan, sebagai contohnya. Dalam tradisi biblical, lanskap tersebut dinamakan “harapan” dan messianisme. Harapan yang juga memungkinkan mereka bertahan hidup dan memelihara keberlangsungan kehidupan keseharian mereka. Ketabahan menjalani keseharian kehidupan yang mendatangkan kekaguman pada saya.  

Karena itu juga saya menaruh perhatian yang amat takjub pada fungsi utopia dan eskatologia sebagai kosmologi dan cakrawala bathin naluri pemeliharaan diri manusia dalam kemalangan dan malapetaka. Utopia dan eskatologi mampu membuat manusia bertahan hidup dalam katastrofi dan peristiwa-peristiwa tak terduga yang merugikan dan memunculkan kesulitan hidup mereka. Orang-orang religius lebih bisa bertahan hidup dan optimis, tabah dan sabar di saat-saat tertimpa kejadian dan peristiwa yang tidak menyenangkan dan tidak mereka harapkan. Mereka tidak putus asa dan berhasil merubah kemalangan dan bencana menjadi visi dan peluang untuk masa depan. 

Lebih lanjut, saya ingin kembali berbicara tentang iman, yang berbeda dengan sains yang harus menghasilkan ketepatan. Sementara itu iman tidak memiliki inferensi dan kesimpulan. Sebaliknya, agama yang telah kehilangan kepekaan dan spirit religiusnya, di sisi lainnya, telah menetapkan suatu batas dan mengingkari aspek pencarian yang tak berkesudahan dalam kefanaan. Dan tentu saja kefanaan atau yang fana ini sebagai sesuatu yang historis dan menyejarah senantiasa digeser, diganti, dan diperbarui oleh temporalitasnya sendiri yang tak pernah berhenti. Dalam hal ini, tak jarang, agama pun mengalami kontaminasi (Sulaiman Djaya).  


Tidak ada komentar: