Di
zaman Imam Musa al Kadzim, masyarakat dari berbagai penjuru berdatangan untuk
bertemu dengan beliau. Seorang bernama Zaid datang dari tempat yang jauh untuk
bertemu Imam Kadzim di kota Madinah. Ia mendengar Imam sering mendatangi dan
beribadah di Masjid Nabawi. Zaid bergegas menuju masjid dengan mengenali
tanda-tanda Imam Kadzim yang ia dengar dari orang lain.
Ketika
itu Imam Musa sedang shalat di dekat makam Rasulullah Saw. Di sekitarnya
orang-orang berkumpul mengitari Imam. Tapi tiba-tiba sejumlah tentara Khalifah
Harun memasuki mesjid untuk menangkap Imam Musa dan memindahkannya ke penjara
Baghdad. Serempak masyarakat di sekitar Imam menghalangi maksud pasukan Harun
tersebut. Tapi dengan arogan dan represif, pasukan Harun membubarkan massa dan
secara paksa membawa Imam Kadzim.
Kejadian
itu sulit diterima oleh para pecinta Ahlul Bait. Zaid berteriak, "Mengapa
kalian berbuat zalim terhadap Ahlul Bait Rasulullah Saw. Saya datang dari jauh
untuk bertemu dengan Imam Musa Kadzim." Ketika itu, pandangan penuh kasih
sayang Imam Kadzim tertuju ke arah Zaid. Zaid berkata, "Sayang sekali saya
hanya beberapa menit bertemu dengan Imam dan mengambil berkah dari
beliau."
Warga
Madinah terutama para pencinta Ahlul Bait merasa kehilangan atas kepergian Imam
Musa Kadzim yang berpindah ke Baghdad dan mendekam di penjara Harun. Imam
menjalani penderitaan dalam tahanan dengan penuh kesabaran. Rezim Abbasiyah
memenjarakan Imam Musa Kadzim hingga syahid supaya pengaruh spiritual beliau
tidak menyebar di tengah masyarakat.
Di
era Harun Rasyid, Imam Musa as hidup selama tiga dekade dari usianya. Ketika
itu rezim Abbasiyah melancarkan tekanan keras terhadap siapa pun yang membantu
Imam as dan Ahlulbait Nabi Saw, tak berbeda dengan perlakuan Rezim Muawwiyah
dan keturunannya. Intimidasi dan represi yang sama juga dihadapi mereka yang
berani berdiri sebagai oposan Harun Rasyid.
Kala
itu, pemenjaraan dan pembunuhan sudah menjadi cara biasa yang ditempuh rezim
lalim. Imam Musa dalam menjalankan kepemimpinan Ilahi bergerak sesuai dengan
metode Rasulullah Saw dan Ahlul Baitnya, demi menjaga autentisitas risalah
Tuhan dari kehancuran dan interpolasi kepentingan politik golongan.
Di
sisi lain, Imam pun tak lupa menegaskan urgensi dan signifikansi prinsip amar
ma’ruf dan nahi munkar di hadapan penguasa lalim dan sewenang-wenang. Madrasah
Imam Musa as sebagai kelanjutan madrasah Imam Shadiq, terus berperan dalam
mengembangkan tradisi intelektual.
Imam
Musa Kadzim juga membina para ulama dan murid-murid yang telah menorehkan
prestasinya meninggikan peradaban Islam di antara peradaban-peradaban lainnya.
Bahkan, peradaban-peradaban cemerlang lainnya banyak berhutang kepada para
sarjana terkemuka dan mujtahid yang lahir dari madrasah Imam Shadiq, yang
dilanjutkan Imam Musa.
Aktivitas
pendidikan Imam Musa terbukti mampu menjaga dan mewariskan metode berpikir yang
lurus kepada kelompok orang-orang yang saleh dan mencintai kebenaran. Penataan
terus dilakukan demi masa depan umat Islam. Para perintis dari madrasah
Ahlulbait ini tak tinggal diam dalam menjaga dan mengembangkan warisan
pencerahan Rasulullah Saw pada masa yang penuh dengan fitnah dan kecemasan.
Terbukti madrasah-madrasah dan aktivitas-aktivitas keilmuan keturunan suci Nabi
saw ini melampaui pencapaian sekolah-sekolah mana pun pada masa itu hingga
sekarang.
Imam
Musa Kadzim selama hidupnya senantiasa menjadi penerang dan pembimbing
masyarakat menuju kesempurnaan. Imam Musa hidup di bawah bimbingan langsung
sang ayah, Imam Ja'far Shadiq selama dua dekade dari usianya yang penuh
keberkahan. Dia menikmati keluasan ilmu sang ayah yang dikenal di kalangan umat
Islam sebagai gurunya para guru; tempat bertanya manusia; pendiri madrasah; dan
pelita penerang bagi dunia keilmuan Islam. Sang ayah, Imam Shadiq, pun
mengalami kekejaman penguasa lalim. Pada 25 Syawal 148 H, Manshur, ikut andil
dalam kejadian terbunuhnya Imam Shadiq.
Imamah
dan kepemimpinan Ilahi pun berganti kepada Imam Musa Kadzim. Terbunuhnya Imam
Shadiq membuat situasi dan kondisi yang menimpa Ahlulbait Nabi menjadi teramat
sulit, termasuk semakin terancamnya hidup Imam Musa. Jauh-jauh hari, sang ayah,
Imam Shadiq, telah berpesan kepadanya untuk menjaga dan melanjutkan gerakan
risalah Ilahi. Meskipun keadaan politik kian mengancam, pohon kehidupan dan
kenabian harus tetap tegak di bumi Tuhan. Udara kebebasan dan ruh kebenaran
harus tetap bisa dihirup dan dinikmati umat manusia. Keteguhan, ketakwaan, dan
kesabaran Imam Musa al-Kadzim As dalam merespon intimidasi dan represi rezim
Abbasiah telah menjadi gerbang bagi masyarakat untuk mengidentifikasi, mana
cahaya dan kegelapan, mana emas dan mana loyang.
Pada
tanggal 17 Dzulqa'dah 179 H, Imam Musa diasingkan dari Madinah ke Irak atas
perintah Harun al-Rashid, Khalifah Abbasiah. Beliau tiba di Irak pada tanggal 7
Dzulhijjah dan langsung dijebloskan ke dalam penjara oleh penguasa lalim ketika
itu. Imam Musa Kadzim mendekam dalam penjara di era kekuasaan Isa bin Ja'far
penguasa Basrah hingga beberapa waktu. Namun, kemudian Isa bin Ja'far menulis
surat kepada Harun al-Rashid yang isinya meminta agar Imam dipindahkan ke
penjara yang dikelola gubernur lain.
Isa
bin Ja'far beralasan bahwa setelah memeriksa Imam Kadzim As, ia tidak menemukan
bukti yang memberatkannya agar dipenjara. Membaca surat Isa bin Ja'far, Harun
al-Rashid kemudian memerintahkan agar Imam Musa Kadzim As dipindahkan ke
Baghdad dan meminta kepada menterinya, Fadhl bin Rabi' agar membunuh Imam Musa
Kadzim As, namun permintaan ini ditolak oleh Fadhl bin Rabi'.
Imam
tidak diperkenankan untuk terus membimbing dan menjaga risalah Rasulullah
hingga beliau syahid pada 25 Rajab 184 H akibat racun yang direkayasa oleh
pihak-pihak yang menjalin kolusi dengan penguasa imperium Abbasiah. Sindi bin
Syahik membunuh Imam Musa Kadzim as atas perintah Yahra bin Khalid Barmaki,
seorang menteri yang diperintah oleh Harun al-Rashid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar