Negeri
Watu Lawang
Setelah meminta pendapat Nhay Mas
Dandan, istri dan kekasih tercintanya itu, Aria Wanajaya akhirnya memantapkan
niatnya untuk pergi mengunjungi Reksi Budawaka di Watu Lawang, sementara yang
akan mengatakan kepergiannya itu kepada Prabu Sri Jayabupati adalah Nhay Mas
Dandan sendiri. Pagi itu, di pondokan mereka, cuaca cukup cerah meski udara
masih terasa dingin, yang diiringi dengan kicauan sejumlah beberapa burung di
sekitar tempat tinggal mereka dan dari sejumlah pohonan yang tak jauh dari
pondokan mereka. Tentu saja, maksud kepergian Aria Wanajaya ke Watu Lawang
tersebut demi menceritakan perihal apa yang sedang mengancam ibukota Banten
Girang, dan agar Reksi Budawaka ikut menyiapkan sejumlah pemuda untuk dijadikan
para prajurit demi menghadapi serangan dan gempuran yang datang dari kerajaan
yang memiliki lebih banyak pasukan dan kekuatan militer yang rupanya tergiur
dengan kemajuan dan kemakmuran Banten Girang yang telah dihuni orang-orang dari
negeri Keling dan Yunan itu, selain para penduduk awal negeri tersebut.
Sebagai keluarga para pengrajin dan
pedagang yang terhormat, keluarga Nhay Mas Dandan adalah keluarga yang memiliki
kekuatan ekonomi dan politik yang terbukti sangat penting bagi kekuatan Banten
Girang. Melalui seorang duta-dagang dari dinasti Song di Cina Selatan, ayah
Nhay Mas Dandan, Aki Gwan Sing, telah mengirimkan pesan dan menitipkan gulungan
untuk diserahkan kepada penguasa dan dinasti di negeri yang jauh dari Banten
Girang. Salah-satu isi pesan dalam gulungan itu antara lain meminta untuk
dikirimkan kebutuhan senjata dan beberapa perlengkapan perang lainnya yang
sebagai gantinya akan ditukar dengan lada yang dihasilkan oleh para petani dan
pekebun di Banten Girang.
Suasana di pondokan dan tempat tinggal
Nhay Mas Dandan dan Aria Wanajaya pun terasa syahdu ketika dengan kelembutan
yang dimiliki Aria Wanajaya, ksatria dan perwira yang anggun itu mengecup
kening dan kedua mata istrinya sebelum akhirnya berangkat menunggangi
salah-satu kuda yang telah didatangkan oleh Sudamala dan Prabasena dari
Gilinggaya sehari sebelumnya. Suasana seperti itu pastilah tercipta setelah di
waktu malamnya mereka memadu kasih dan asmara dengan gembira dan bergairah
laiknya sepasang suami-istri yang belum lama menyatu dalam kehidupan rumah
tangga. Sesaat setelah kejadian romantis itu, Nhay Mas Dandan pun segera
merapihkan diri untuk mengunjungi kedua orang tuanya di pedukuhan kutaraja,
tempat hidupnya para pengrajin dan orang-orang keturunan dari negeri Yunan dan
Keling yang jauh. Saat itu, Aria Wanajaya telah beberapa puluh kilometer
mengomandoi kuda kesayangannya, yang ia beri nama Aria Sentanu, dengan
bersemangat menyusuri setapak jalan menuju Watu Lawang di Gunung Karang.
Sedangkan hal yang berbeda dilakukan
oleh Ranubaya, Surajaya, Sudamala, Prabasena, dan Santanaya, ketika mereka
membagi diri mereka ke dalam dua kelompok sesuai dengan perintah Prabu Sri
Jayabupati untuk menyelusuri hutan-hutan di Gilinggaya dan Laut Lor untuk
mencari dan memerangi para pasukan dan prajurit mata-mata yang telah dikirim
oleh kerajaan dari seberang lautan Yawadwipa alias prajurit-prajurit sebuah
kerajaan yang datang dari Negeri Nusa Mandala atau Swarnabhumi, yang dengan
demikian bila para prajurit mata-mata itu berhasil mereka tangkap, maka mereka
tidak dapat memberi informasi tentang Banten Girang yang mereka dapatkan kepada
kerajaan yang telah mengutus mereka. Seperti saat pertarungan sebelumnya,
Sudamala dan Prabasena tak pernah alpa untuk membawa jarum-jarum beracun yang
ketika mereka lemparkan akan melesat dengan sangat cepat melebih kecepatan anak
panah dari para prajurit yang beberapa hari sebelumnya telah mencegat dan
mengeroyok mereka. Kemampuan mereka tersebut mereka dapatkan berkat latihan dan
disiplin dari dua orang ksatria yang datang dari negeri Yunan dan Keling yang
menetap di Gilinggaya atas permintaan langsung dari Mpu Ranabaksa dan Ki
Artasena.
Tetapi, di Kutaraja, di mana Nhay Mas
Dandan telah sampai di rumah kedua orang tuanya, ia segera memeluk ayah dan
ibunya sesaat setelah ia sampai di rumah kedua orang tuanya itu.
“Kau bahagia, Nhay Mas sayang!?” Demikian
ibunya, Nhay Ranamanti, menyapa putri kesayangannya itu.
“Aku sangat bahagia, ibu. Suamiku
orang yang santun dan tahu apa yang harus dilakukan kepada istrinya. Ia juga
tak segan-segan bertanya kepadaku bila aku tampak murung dan gelisah karena apa
yang harus ia lakukan untuk beberapa hari ini. Seringkali aku merasa khawatir
kebahagiaan kami akan ada yang merenggutnya.”
Begitulah tutur Nhay Mas Dandan kepada
ibunya tercinta itu. “Dan ibu,” lanjut Nhay Mas Dandan yang
berhati riang dan berparas kuning lembut itu, “aku harus melakukan sesuatu
yang telah diminta suamiku. Aku harus menemui Prabu Sri Jayabupati untuk
menyampaikan amanat dan pesan yang dititipkan suamiku sebelum berangkat
bersamaan dengan terbangunnya fajar tadi.”
Ketika anaknya hendak melangkahkan kedua
kakinya itu, Aki Gwan Sing pun menyelipkan sesuatu untuk diserahkan kepada
Prabu Sri Jaya Bupati. Sementara, Nhay Ranamanti memeluk anak kesayangannya itu
dengan perasaan sedikit enggan, terkesima dan mungkin dirundung rasa syahdu
yang hanya mampu ia pendam di dalam hati ketika anak semata wayangnya yang
masih belia ternyata harus segera memiliki rumahtangga dan kehidupan sendiri.
Dan, sementara Nhay Mas Dandan telah
melakukan tugas yang dimintanya sebelum berangkat itu, Aria Wanajaya telah
sampai di Watu Lawang, di sebuah pondokan gurunya. Ia segera menceritakan
maksud kedatangannya tersebut kepada Reksi Budawaka. “Jika memang itu semua
yang diminta dari ibukota Banten Girang, maka aku tak punya pilihan lain selain
melaksanakannya dengan segera, jika memang sebuah ancaman yang gawat tak lama
lagi akan datang.” Kata Reksi Budawaka kepada Aria Wanajaya. “Sementara itu,
Ki, aku tak bisa tinggal lama-lama di sini, sebab aku masih belum terbiasa
meninggalkan istriku.” “Tidak apa-apa, Ngger!” Balas Reksi Budawaka menanggapi
sopan-santun murid kesayangannya itu. “Lakukan saja apa yang menurutmu pantas
untuk dilakukan. Meski setelah Mpu Ranabaksa mangkat, tugas itu tentulah
sedikit terasa berat tanpa keberadaannya.”
(Sulaiman Djaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar