Oleh Ali
Syariati (Filsuf dan Sosiolog)
Secara tegas saya katakan bahwa Imam
Husein adalah pewaris Islam, pewaris revolusi yang diledakkan oleh kakeknya,
pewaris gerakan perubahan menyeluruh yang dipertahankan oleh sang ayah dan
saudara tercinta. Sayangnya, beliau tidak mewarisi pasukan, senjata atau harta.
Oleh karena itu, tidak ada lagi sisa-sisa kekuatan yang bisa beliau andalkan.
Bahkan, beliau pun tidak mendapatkan warisan kelompok yang punya komitmen yang
cukup.
Semua ini menunjukkan bahwa pada awal
mulanya kepemimpinan Imam Husein merupakan modal dan basis utama. Sebagaimana
keberadaan setiap pemimpin yang mengimani keharusan perjuangan, bangkit dan
melakukan perlawanan bagi beliau bukan sebuah pilihan yang bebas. Namun, beliau
harus tunduk pada segala situasi dan kondisi yang tengah berkembang, termasuk
dalam mengambil pola peperangan yang harus beliau hadapi.
Situasi dan kondisi tersebut adalah
sebuah keadaan yang telah didominasi oleh segenap syarat kekuatan dan kelemahan
musuh, kemudian dilakukan usaha untuk dapat menentukan sikap yang harus
diambil. Oleh karenanya, kita tidak dapat memahami dengan benar cara yang
dipilih Imam Husein as dalam memperjuangkan revolusinya kecuali setelah kita
memahami ihwal kondisi umum dan khusus yang beliau hadapi, serta faktor-faktor
yang mengharuskan beliau memilih cara tersebut.
Gerakan Imam Husein as. dimulai pada
tahun 60 H, di saat ummat sedang menunggu sosok pemimpin yang akan mengemban
tugas kepemimpinan serta meneruskan revolusi yang dicetuskan oleh Muhammad bin
Abdullah Saw, dimana panji-panjinya mulai runtuh lantaran serangan dan pukulan
Bani Umayyah serta kroni-kroninya.
Dari sinilah kita dapat memahami bahwa
masa Imam Husein as. adalah masa yang begitu sulit, sedemikian mencekik, karena
memang sebuah masa yang akan menjadi tonggak sejarah. Beliau telah melihat apa
yang terjadi di sekitar beliau serta kondisi yang meliputi beliau, maka beliau
menyadari dirinya akan sebuah tanggung jawab melindungi revolusi yang telah
kehilangan asas-asasnya dan runtuhnya benteng terakhir serta nilai-nilai
misinya. Bahkan, tidak lagi tersisa -sejak wafatnya sang kakek dan sang ayah
sebagai wajah Islam, kebenaran dan keadilan- satu pedang atau satu orang pun.
Kondisi sosial-politik umat pada
awal-awal tahun 60 adalah sebagai berikut; bahwa telah berlangsung beberapa tahun,
dimana Bani Umayyah merongrong Revolusi Islam dan fondasi sosialnya serta
berusaha menumbangkan para pemimpinnya, satu persatu. Di sisi lain, orang-orang
Quraisy memanfaatkan segala hasil dan berkah Revolusi tersebut untuk
kepentingan pribadi mereka. Sedangkan para pejuang Revolusi dan para generasi
penerusnya yang pernah mengenyam pendidikan langsung Rasulullah berada di
ambang keruntuhan pusat kekuatan Revolusi tersebut.
Mereka dapat terpecah ke dalam
tiga kelompok:
Pertama, mereka yang tidak dapat tinggal
diam dengan sabar melihat nilai-nilai Islam yang agung diinjak-injak dan
dihinakan. Untuk itu, mereka bangkit, menegakkan sholat, berperang, dll. Di
dalam kelompok ini kita temukan Abu Dzar, Ammar bin Yasir, Abdullah bin
Mas’ud, Haitsam, Hijr bin ‘Adiy, dll yang telah memilih jalan untuk
dapat meneguk cawan syahadah. Mereka adalah orang-orang unggul dalam kelompok
pertama ini.
Kedua, mereka yang menganggap bahwa
jalan menuju surga tidak hanya terbatas pada berjuang di bawah kilatan pedang,
bahwa jihad bukanlah satu-satunya pintu surga. Menurut mereka, banyak jalan
lain yang lebih mudah dan lebih aman yang dapat ditempuh untuk mencapai surga,
yaitu hidup dengan zuhud, ibadah dan menyendiri dari keramaian khalayak. Kelompok
ini dipelopori oleh Ibnu Umar atau Abdullah bin Umar. Ironisnya, lahirnya
kelompok ini diprakarsai oleh segolongan sahabat yang pernah mendapat didikan
langsung Rasulullah Saw dan memahami makna jihad serta perjuangan dan
pengorbanan dalam rangka membela dan mempertahankan kebenaran. Sungguh
mengherankan. Mereka mengisi kehidupan mereka di masa-masa yang sulit –yang
menuntut adanya orang-orang yang meneriakkan suara mereka demi keadilan- dengan
menghindari medan pertempuran antara hak dan bathil. Mereka lebih
mengkonsentrasikan jiwa dan pikirannya di sudut-sudut masjid dan rumah-rumah
kosong. Mereka mengira dirinya telah mengorbankan pribadi-pribadi pilihan
menjadi pahlawan kebenaran dalam rangka kebaikan penguasa dan mereka yang
menginginkan untuk kembali pada suasana sebelum Islam. Apalagi di saat itu
banyak dari kalangan ummat yang berada di bawah tarian cambuk Bani Umayyah,
menunggu sikap yang tegas dari mereka yang dapat melawan berbagai penyimpangan
dan kedzaliman. Kelompok kedua ini
sesungguhnya telah mementingkan keselamatan diri sendiri ketimbang peduli pada
arti pengorbanan dan jihad.
Ketiga, mereka yang pernah mengantongi
curicullum vitae yang gemilang dan seabrek prestasi serta kemuliaan jihad
bersama Rasulullah di sejumlah peperangan seperti; Badar, Uhud dan Hunain.
Mereka pernah mendapatkan kemuliaan berkorban di Madinah, kota Hijrah dan
Jihad. Sialnya, mereka sendiri yang telah menjual kecemerlangan kemarin dengan
kekerdilan, kehinaan dan kesenangan sementara di 'istana hijau' Muawiyah.
Mereka memungut harta dan melakukan praktek busuk suap-menyuap. Mereka tak
segan-segan lagi menempuh cara-cara yang dilakukan Abu Hurairah, yakni
memproduksi hadits dalam rangka memberikan pembenaran atas apa yang dilakukan
oleh Muawiyah terhadap Keluarga Rasul, Revolusi Rasul dan nilai-nilai Rasul Saw.
Selanjutnya saya akan mengajak Anda menganalisa lebih dalam kelompok ke dua dan
ke tiga ini. Segera akan kita lihat analisa kita berujung pada pengecaman
terhadap mereka.
Pada kelompok kedua yang
meninggalkan perjuangan serta lari mendekam di tempat-tempat ibadah di
saat-saat yang sulit seperti ini, sesungguhnya tangan mereka berlumuran darah
suci. Cairan merah kental yang menetes dari tangan mereka adalah darah-darah
suci para pahlawan yang syahid. Para syahid Karbala itu adalah para pahlawan ini.
Hal itu karena setiap orang atau setiap pribadi mukmin yang memahami tanggung
jawabnya dengan baik serta punya kemampuan untuk mengambil sikap, namun
membiarkan kebenaran dikorbankan di bawah kebatilan serta meninggalkan
perjuangan serta meluluhkan keteguhan kepercayaannya yang hakiki pada jihad
serta perjuangan, pada dasarnya mereka telah mengorbankan kehidupan para pahlawan yang
berkorban di di medan pertempuran itu demi kenyamanan penguasa yang dzalim.
Adapun kelompok ketiga, mereka itu
kelompok yang lebih kerdil, busuk dan lebih berbahaya. Bagaiamana tidak?
Merekalah yang mendagangsapikan nilai-nilai Rasulullah dan kemulian amanah
beliau dengan segerincing receh dirham yang bisa dibilang. Mereka telah menukar
kemuliaan dengan kehinaan. Mereka adalah segolongan sahabat Rasul yang pernah
berjuang bersama beliau.
Apa yang dapat Anda katakan jika sahabat
seperti Abu Hurairah yang menimba ilmu dan hadits yang begitu banyak dari
Rasulullah, kemudian meratifikasi hadis suci hanya untuk membela kepentingan
Muawiyah. Bahkan, dia pula yang mengusahakan desakan cinta Yazid yang terkenal
itu pada istri Abdullah bin Salam?
Orang-orang seperti mereka adalah
generasi pascarevolusi Islam, generasi kedua yang mayoritas relatif muda.
Mereka tidak pernah melihat kegemilangan Islam di masa-masa awal revolusi.
Sepatutnya, mereka mendengar riwayat kebesaran Islam dari mulut generasi
sebelumnya yang berada di dalamnya dan menyaksikan langsung. Justru sebaliknya,
yang mereka dapatkan adalah tersungkurnya para tokoh revolusi ini, satu persatu
jatuh ke jurang kehinaan dan keterpurukan! Kekecewaan apakah, kepahitan yang
mana, dan kehancuran yang bagaimana yang akan mereka rasakan di hadapan
cita-cita besar yang disebut 'Islam', sementara mereka melihat riwayat hitam jajaran
elit Islam yang lahir di dalam masyarakat madani Rasulullah dan revolusinya.
Kebangkitan Hijir Bin Adiy
Namun, harapan belumlah pupus!
Kabar-kabar gembira revolusi lahir dari rahim generasi ini sendiri! Yaitu
pergerakan. Meskipun belum sempurna syarat-syarat kematangan mereka, namun
melalui sosok seorang pemimpin yang bernama Hijir Bin Adiy, atmosfir politik
dan sosial revolusi Al-Husein telah mulai menyelimuti Kufah setelah gugurnya
para pahlawan mereka di Karbala.
Oleh karena itu, di dalam barisan
generasi ke dua ini terdapat gerakan yang dibicarakan dari mulut ke mulut, di
lorong-lorong Kufah. Hijir bin Adiy-lah yang menjadi pelopor gerakan ini. Ia
adalah seorang sahabat mulia. Ia sempat bertemu Nabi Saw. Ketika masih
kanak-kanak ia ikut berperang bersama Imam Ali pada usia yang relatif muda.
Pada zaman Imam Hasan, ia menunjukkan kematangannya sebagai seorang politikus
yang cerdas, yang mengalirkan ide-ide cemerlang dan kesadaran yang dalam akan
tanggung jawabnya. Pada awalnya, ia “menyalahkan” keputusan Imam Hasan yang
telah mennndatangani perdamaian dengan Muawiyah. Tidak lama setelah itu, Imam
Hasan berhasil memuaskannya dan membuatnya puas untuk menerima akan kebenaran
apa yang beliau lakukan menghadapi kebusukan Muawiyah.
Hijir adalah seorang yang kuat
pendiriannya. Dia tidak pernah membiarkan kedzaliman dibangkitkan. Ia tidak
pernah mengatakan “Ya” demi kehinaan dan politik kotor. Tidak mudah menerima
logika taqiyyah dan gerakan “bawah tanah” yang digagas oleh Imam Hasan as. Pada
saat yang sama, Hijir tidak siap hidup secara terhina dan menyaksikan wabah
kedzaliman, dominasi kejahatan, kediktatoran, kebebasan nafsu di segala bidang,
pemerkosaan hak, sikap masabodoh terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang telah
dihasilkan oleh revolusi Islam.
Maka itu, sewaktu Hijir bangkit untuk
menyatakan perlawanan terhadap rezim Bani Umayyah di Irak, dan dengan cepat
meluas ke seluruh penjuru negeri itu, segera dia arahkan laras dan ledakan
revolusi tepat di jantung kejahatan mereka yang telah mencekik seluruh nilai
kebebasan dan keadilan. Namun apa boleh dikata, revolusi Hijir tidak mencatat
kemenangan sebagaimana ia mencatat syahadah para pahlawannya. Sebab, tidak lama
kemudian Hijir gugur meneguk cawam syahadah setelah rezim Bani Umayyah
mengeluarkan fatwa palsu. Akibatnya, fatwa itulah yang menyeret Hijir ke dalam
acara pemenggalan kepalanya dan kepala-kepala para sahabatnya di kota Marj
Adzra’ dekat Damaskus. Hukuman itu mereka terima dalam rangka membayar komitmen
mereka pada nilai-nilai Ali, ajaran-ajarannya serta butir-butir pendidikan
madrasahnya. (*)
(Diterjemahkan oleh Abdullah Beik, dari
Al-Syahadah, Ali Syariati, Darul Amir lil Staqofah, Beirut, 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar