(The Ancient Port of Banten by Micha Rainer Pali)
Kembali
Ke Gilinggaya
Setelah berembug di antara mereka,
akhirnya diputuskanlah bahwa yang akan berangkat kembali ke Gilinggaya tak lain
adalah Sudamala dan Prabasena. Dan setelah mereka menyiapkan diri, beserta
beberapa perbekalan yang diserahkan langsung oleh Prabu Sri Jayabupati, mereka
pun berpamitan dan segera menghilang dari balik gerbang benteng ibukota Banten
Girang yang teduh itu, ketika udara sebenarnya masih terasa dingin dan merembes
ke pori-pori tubuh mereka. Hal yang sama juga dilakukan Aria Wanajaya, meski
sebelum berangkat, ia sempat menitipkan segulung surat kepada seorang prajurit
untuk diserahkan kepada Nhay Mas Dandan, kekasihnya tercinta.
Jarak yang harus mereka tempuh sama-sama
jauh dan sama-sama harus menempuh setapak-setapak di antara beberapa hutan yang
masih dihidupi oleh sejumlah binatang buas yang siap memangsa kapan saja. Namun
itu bukan ihwal yang menggentarkan mereka dengan kanuragan dan disiplin latihan
keprajuritan yang telah mereka pelajari cukup lama dari guru mereka
masing-masing. Di waktu malamnya, sebelum akhirnya berangkat di pagi buta
tersebut, Aria Wanajaya memang sempat menulis sebuah sajak cerita, sebuah
mantra, yang ia persembahkan kepada Nhay Mas Dandan, yang berkat pendidikan
orang tuanya yang berkebangsaan Yunan, telah membuatnya sama terpelajarnya
dengan Aria Wanajaya.
Hari itu adalah sebuah hari yang untuk
kesekian kalinya menjadi takdir perjalanan sepi Aria Wanajaya, meski kali ini
dengan beban dan tugas yang tak lagi sama. Dalam perjalanannya itu ia juga
sesekali bertanya dan menerka-nerka siapa gerangan seseorang yang hendak
ditemuinya atas perintah Sri Jayabupati tersebut, hinggga Prabu Sri Jayabupati
begitu menyakralkannya.
“Pastilah reksi itu bukan
sembarang reksi.” Bathinnya,
sampai-sampai ia hampir tak sadar dan waspada ketika seekor ular raksasa persis
telah berada di depannya. Dengan menyiagakan badan dan mengambil ancang-ancang,
Aria Wanajaya berhasil menghindar dari gerak ular raksasa tersebut, hingga
akhirnya ia untuk beberapa kali berhasil menusukkan senjata miliknya yang
beracun itu ke leher si ular yang tak ragu telah membuat ular itu langsung
lumpuh setelah muntah, dan akhirnya tergelepar tak sadarkan diri.
Sejenak, sebelum akhirnya ia meneruskan
perjalanannya, ia mengamati kalau-kalau ular raksasa itu masih hidup dan
bernyawa. Namun tanpa ia duga, jasad ular tersebut mencair menjadi lendir yang
segera meresap ke tanah setelah sebelumnya membasahi rumput-rumput dan ilalang
di sekitarnya. Berbeda dengan yang dialami Aria Wanajaya, sekelompok orang
bersenjata dan mengenakan topeng di wajah mereka, tanpa dikira oleh Prabasena
dan Sudamala, telah mengepung mereka. Tanpa ada basa-basi di antara mereka,
mereka saling bergerak dan menyerang satu sama lain. Pertarungan yang tak
imbang dari segi jumlah tersebut hampir-hampir membuat Prabasena dan Sudamala
mendapatkan celaka, jika saja kedua pemuda dari Gilinggaya itu tak gesit
menghindar dan membalas serangan yang datang dan menyerang ke arah mereka
berdua. Dengan sigap, tangan-tangan Sudamala dan Prabasena menerbangkan
jarum-jarum beracun kepada para penyerang yang akhirnya berhasil mereka
kalahkan tersebut.
Setelah mereka berhasil mengalahkan para
penyerang itu, Prabasena dan Sudamala mengambil beberapa senjata milik para penyerang
dan beberapa benda lainnya yang digunakan para penyerang untuk kemudian
diserahkan kepada Prabu Sri Jayabupati ketika mereka kembali ke ibukota Banten
Girang. Meski kelelahan akibat pertarungan tersebut, Prabasena dan Sudamala
tetap sampai di negerinya, di Gilinggaya, tepat waktu, yaitu yang kira-kira
untuk saat ini, adalah ketika adzan magrib baru saja berkumandang. Sesampainya
di negerinya itu, mereka pun langsung menuju tempat tinggal Ki Artasena demi
menyampaikan apa yang diinginkan Prabu Sri Jayabupati kepada Ki Artasena.
“Begitulah, Ki, yang diinginkan
Prabu Sri Jayabupati ketika kami menghadap.” Ujar Prabasena.
“Baiklah jika begitu. Tak butuh
waktu lama, esok, bahkan ketika fajar belum sempat menampakkan wujudnya, kalian
akan dapat membawa si pemuda yang bernama Santanaya itu.” Kata Ki
Artasena.
“Sementara itu, kalian tunggulah
di sini.” Lanjut
Ki Artasena saat ia keluar dari teras rumahnya itu. Hanya butuh waktu satu jam
lebih, Ki Artasena pun telah kembali dengan membawa serta Santanaya.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar