Pusaka
Keramat
Saat itu, di ibukota Banten Girang,
Prabu Sri Jayabupati telah berhasil menguasai pusaka yang telah cukup lama
tersimpan di kotak miliknya itu setelah berhasil dengan sekuat tenaga dan
konsentrasinya menggenggam pusaka tersebut yang mulanya cukup menyerap tenaga
dari tubuhnya. Saat itu, Prabu Sri Jayabupati belum menyadari bahwa selain pada
sebuah pusaka yang kini telah diserahkan kepada Aria Wanajaya, pusaka yang kini
telah ia kuasai itu tersimpan ajian milik Mpu Ranabaksa, yang seketika saat ia
menggenggam pusaka itu telah berpindah ke tubuh Prabu Sri Jayabupati sendiri
lewat tangan kanan yang menggenggam pusaka tersebut. Begitu pula, Prabu Sri
Jayabupati mulanya merasa lemas sesaat setelah menggenggam pusaka tersebut.
Namun anehnya, setelah ia berhasil berjuang dengan sekuat tenaga dan
konsentrasinya itu, tubuhnya tiba-tiba merasa lebih bugar dan awas dibanding
sebelum-sebelumnya.
"Pastilah guruku itu telah
menyimpan sesuatu dalam pusaka ini, yang sebagiannya telah berpindah ke
tubuhku."
Demikian ia bergumam.
Segera saja ia menyelipkan pusaka
tersebut di balik pakaiannnya dan kembali ke lingkungan pura dan balairung di
mana istrinya masih tertidur pulas malam itu. Sedangkan di sebuah tempat yang
tak jauh dari deburan ombak Laut Lor, beberapa jam sebelum Prabu Sri Jayabupati
membuka pusakanya itu, seorang lelaki masih tampak khusuk dalam tapanya.
"Hampura kawula, Ki
Betara,"
ujar Aria Wanajaya dengan sedikit lantang, "bila aku mengganggu olah
kewaskitaan Ki Guru."
"Aku tak tidur!" Balas Sang
Betara yang tengah khusuk bertapa itu dengan tak kalah lantang, menjawab
sopan-santun Aria Wanajaya. "Sebelum kau menyampaikan maksud
kedatanganmu itu, aku terlebih dahulu ingin mengujimu, agar aku tahu siapa
gerangan yang telah mengajar dan mendidikmu sebelum menjadi seorang ksatria
kepercayaan Prabu Sri Jayabupati." Lanjut Si Betara.
Saat itu juga muncul sesosok lelaki,
yang tak lain dan tak bukan adalah Ki Kanta, yang segera menuruti perintah Sang
Betara untuk menyerang Aria Wanajaya. Dengan cepat, dan rupa-rupanya Ki Kanta
kali ini lebih mumpuni ketimbang di saat ia menantang dan bertarung dengan Ki
Purba di alas Banten Girang itu, hampir-hampir mendaratkan pukulan tangan
kanannya ke wajah Aria Wanajaya. Tetapi, tak kalah sigap dengan lawan yang
mengujinya tersebut, Aria Wanajaya segera melesatkan tubuhnya ke samping kiri
tubuhnya, dan langsung menggerakkan tangannnya yang itu pun segera ditangkis
oleh Ki Kanta. Tak ayal lagi, meski pertarungan itu adalah pertarungan ujicoba,
mereka bertempur layaknya rivalitas yang sama-sama memendam kesumat, sebelum
akhirnya dihentikan langsung oleh Si Betara yang dengan cepat dan tak disadari
oleh Ki Kanta dan Aria Wanajaya telah berada di tengah-tengah mereka.
"Sekarang aku tahu siapa
gurumu,"
Ucap Si Betara, "tak lain sahabatku Mpu Ranabaksa dari Gilinggaya yang
bijak dan penyabar itu. Meskipun demikian, yang akan menyertaimu kembali
ke Banten Girang adalah lawan yang baru saja bertempur denganmu, sebab saya
sendiri masih memiliki tugas yang belum kuselesaikan. Berangkatlah malam ini
juga dan katakan yang sebenarnya kepada Prabu Sri Jayabupati."
Dengan hanya memegang nyala obor di
tangan masing-masing, Ki Kanta dan Aria Wanajaya pun akhirnya berangkat
bersama-sama, dengan melewati jalur lebih cepat dan lebih dekat yang dikenal
oleh Ki Kanta. Dalam perjalanan itu, sebenarnya ada sedikit rasa enggan dan
kegusaran yang masih kuat dipendam Ki Kanta karena ia tahu ketika ia sampai di
ibukota Banten Girang yang tengah ditujunya itu, pastilah ia akan bertemu Ki
Purba yang pernah ia tantang dan ia lawan di Alas Banten girang, yang
sebenarnya berlangsung belum lama itu. Meskipun demikian, demi menghormati
Betara dan Pertapa yang telah menyelamatkan nyawa dan hidupnya itu, rasa segan
dan gusar itu tetap ia tahan dan ia pendam. Dan kelak, ketika mereka telah
sampai di ibukota Banten Girang itu ia masih belum bisa melupakan kejadian
tersebut, meski Prabu Sri Jayabupati dan Aria Wanajaya belum mengetahui adanya
pertarungan di antara Ki Kanta dan Ki Purba, yang memang sengaja mereka
rahasiakan itu.
****
Dengan hanya bertemankan selampu damar,
Nhay Mas Dandan begitu khusuk membaca lembar-lembar gulungan yang ia pegang
dengan kedua tangannya itu.
"Ini adalah sebuah cerita yang
pernah dikisahkan guruku. Di sebuah negeri yang bernama Salakanagari atau
Negeri Perak, hiduplah seorang perempuan belia yang meski tak teramat cantik,
namun berparas manis dan lembut. Orang-orang di negeri tersebut memanggilnya
Nhay Larasati. Beberapa tahun kemudian, sebuah kapal dari negeri Cankala nun
jauh tiba dan mendarat di negeri itu, setelah mereka menempuh pelayaran selama
beberapa hari, dan meski mulanya mereka tak meniatkan untuk sengaja mendatangi
Salakanagari, mereka mendaratkan kaki mereka dengan perasaan gembira.
Salah-seorang dari mereka kemudian jatuh cinta kepada Nhay Larasati. Setelah
itu mereka mulai membangun lingkungan tempat-tempat ibadah dan sebuah ibukota
yang dikhususkan oleh orang-orang yang menjadi pejabat pemerintahan. Para
pendatang itu, yang segera dapat berbaur dan menyatu dengan para penduduk awal
di negeri itu, bekerja sebagai para petani dan pengrajin."
Itulah salah-satu paragraf yang dibaca
Nhay Mas Dandan dengan hanya bertemankan selampu damar itu.
"Namun bertahun-tahun kemudian,
sebuah bencana mahadahsyat menimpa negeri itu. Gunung-gunung yang ada di negeri
itu meletus dan memuntahkan lahar-lahar membara mereka secara bersamaan, hingga
bumi retak dan akhirnya terpecah dengan dahsyatnya, hingga menimbulkan gelombang
air yang begitu tinggi dari laut di sekitarnya. Peristiwa itu terjadi di jaman
yang menurut guruku adalah jaman Kala Brawa." Nhay Mas Dandan semakin
bertambah khusuk ketika ia terus membaca baris-baris cerita yang dibacanya itu. "Banyak
orang-orang yang tak dapat menghindar dari bencana tersebut, sementara yang
berhasil menyelamatkan diri mendirikan sebuah kerajaan dan negeri
bertahun-tahun setelahnya, yang mereka namakan dengan nama Tarumanagari. Karena
bencana mahadahsyat itulah negeri Salakanagari yang menurut guruku, Mpu
Ranabaksa itu, tenggelam dan menjelma selat dan lautan yang kini memisahkan
Swarnabhumi dan Yawadwipa. Namun anehnya, begitulah guruku bercerita,
bertahun-tahun kemudian gunung-gunung yang sebelumnya meletus dan memuntahkan
lahar mereka secara bersamaan itu bermunculan dari balik lautan. Beberapa orang
pun mulai memberanikan diri untuk menghuni gunung-gunung yang keluar dari laut
itu, dan mereka menamakan salah-satunya dengan nama Agnynusa."
Sikap khusuk Nhay Mas Dandan saat
membaca cerita yang ditulis oleh kekasihnya, yang tak lain Aria Wanajaya itu,
tak lain karena cerita tersebut telah membangkitkan sesuatu yang ada dalam
dirinya yang sebelumnya hanya bisa ia bayangkan sendiri. Alasan lainnya adalah
karena cerita itu, seperti yang dikisahkan oleh Aria Wanajaya kekasihnya itu,
terjadi sebelum orang-orang di negeri mereka datang ke sebuah negeri yang
mereka tempati dengan bekerja sebagai para pengrajin keramik, tembikar dan
perhiasan tersebut. Ia pun, yang mungkin karena seakan-akan tengah mendengar
langsung cerita kekasihnya itu, sesekali tersenyum, dan sesekali menahannya
demi memindahkan rasa bahagia di hatinya saat ia membaca kisah tersebut dengan
seksama. Tak dirasanya bahwa ketika itu malam mulai terasa dingin, dan beberapa
kelompok angin yang berhembus telah berhasil berebut masuk di kamarnya saat ia
tengah dalam kesendirian tersebut.
"Mulanya, Nhay Larasati
dirundung rasa ragu ketika salah seorang lelaki dari negeri Cankala yang jauh
itu melamar dirinya. Demi menghilangkan rasa ragu dan gundahnya itu, ia pun
memberanikan diri berbicara kepada ayahnya, sebuah tindakan yang tak pernah ia
lakukan sebelumnya, karena memang wataknya yang pemalu dan patuh kepada orang
tua.
Rupa-rupanya, gulungan yang tengah
dipegang kedua tangan Nhay Mas Dandan itu berjumlah tujuh belas lembar, hingga
hampir saja membuat Nhay Mas Dandan menunda untuk membacanya, meski ia selalu
urung untuk melakukan hal tersebut, sebab Nhay Larasati yang diceritakan Aria
Wanajaya itu seakan-akan adalah dirinya. Tentu saja hal itu bukanlah sesuatu
yang sepenuhnya keliru, sebab Aria Wanajaya sendiri menginginkan kisah yang
diceritakannya itu memang mengenai seorang perempuan yang ingin ia pinang
sebagai istrinya setelah ia meminta pendapat langsung dari Prabu Sri
Jayabupati. Demikianlah, ketika Aria Wanajaya dan Ki Kanta telah tiba di
ibukota Banten Girang, Prabu Sri Jayabupati mengutus Ki Purba untuk mewakili
lamaran Aria Wanajaya, yang tak butuh lama, ketika keesokan harinya Nhay Mas
Dandan dan Aria Wanajaya dinikahkan di sebuah pura yang terletak di
tengah-tengah lingkungan istana ibukota Banten Girang.
Sejak saat itulah mereka menempati
salah-satu pondokan yang ada di dalam lingkungan istana. Dan tak butuh menunggu
waktu lama, di malam setelah mereka melangsungkan pernikahan itu, mereka bak
sepasang kekasih yang tak sanggup membendung gejolak cinta mereka, hingga
akhirnya merasa lelah dan terlelap hingga fajar. Tetapi, seperti yang kelak
akan terjadi dan akan menimpa mereka, Nhay Mas Dandan dan Aria Wanajaya akan
menjalani hari-hari yang mengharuskan kekuatan tekad dan kesabaran angan-angan
mereka ketika ribuan pasukan dari dua kerajaan di seberang lautan untuk
menyerang dan meluluhlantakkan ibukota Banten Girang yang dilindungi benteng
dan parit-parit yang dalam tersebut.
Tetapi, sebelum huru-hara yang melanda
ibukota Banten Girang akan terjadi, Prabasena dan Sudamala telah memulai
kembali perjalanan mereka dari Gilinggaya dengan membawa serta Santanaya, yang
akan ditanyai oleh Prabu Sri Jayabupati tentang ciri-ciri sekelompok orang yang
telah membunuh dan menggantung Mpu Ranabaksa yang malang dan bersahaja
tersebut. Kali ini, dengan tidak merasa khawatir seperti saat mereka diserang
oleh sepasukan prajurit mata-mata yang terjadi sebelumnya, mereka menempuh rute
dan jalan yang sama dengan mengendarai kuda yang langsung diberikan oleh Ki
Artasena sendiri setelah penghulu Gilinggaya itu membaca langsung gulungan yang
dititipkan Prabu Sri Jayabupati kepada Sudamala dan Prabasena. Tak hanya itu,
dalam perjalanan tersebut Sudamala dan Prabasena pun membawa serta tujuh kuda
tanpa penunggang beserta mereka, yang mereka bawa dengan cara mengikatkan
sejumlah tali yang terhubung dengan kuda-kuda yang dikendarai oleh Sudamala,
Prabasena, dan Santanaya.
Butuh waktu setengah hari bagi mereka
untuk sampai di ibukota Banten Girang dengan mengendarai dan membawa serta
kuda-kuda tersebut, sebab mereka tak dapat menunggangi kuda-kuda mereka dengan
berlari di saat mereka harus membawa serta tujuh kuda lainnya yang tak
berpenumpang tersebut. Dan pada sebuah hari ketika matahari siang baru saja
tergelincir dari angka jam satu siang untuk waktu saat ini, mereka semua telah
berkumpul di balairung ibukota Banten Girang, di lingkungan istana yang dilindungi
benteng dan parit-parit yang kelak akan disulap menjadi parit-parit api
tersebut.
(Sulaiman Djaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar