Apa
yang kira-kira terbesit pertama kali saat kita mendengar nama Rachel Aliene
Corrie, mahasiswi yang mengalami tragedi karena membela kemanusiaan di
Palestina itu? Tentu, jika kita membaca kisahnya, kita akan tahu ia adalah
seorang pribadi yang menjadi bukti tentang keberanian dan keteguhan hati
seorang manusia, seorang anak manusia yang kini menjadi simbol solidaritas
kemanusiaan.
Rachel Aliene Corrie adalah bukti nyata bahwa humanisme atau spirit dan nilai-nilai kemanusiaan itu melampaui batas-batas agama, ras, bangsa, bahasa, bahkan negara yang kadang menjadi dinding pemisah bagi manusia untuk merasakan empati manusia yang lain.
Ia telah melabrak batas-batas tersebut, bahkan dengan mengorbankan dirinya demi membela warga Palestina yang telah berpuluh-puluh tahun tertindas dan hidup dalam represi.
Demikian pula, arti penting apa yang telah dilakukan Rachel Corrie bagi martabat kemanusiaan, bagi nilai dan makna peradaban kita di dunia hingga detik ini, bahkan membuat Edward W. Said, sang intelektual organis jempolan itu, menulis esai khusus yang menggugah dan mencerahkan tentang keteladanannya.
Mungkin untuk sebagian orang, Rachel Aliene Corrie adalah nama yang asing, atau barangkali bagi kita di Indonesia, tapi tidak untuk rakyat Palestina yang telah lama mengalami diskriminasi sosial dan politik di negeri mereka sendiri sejak kehadiran rezim apartheid Zionis Israel.
Bagi rakyat dan bangsa Palestina, Rachel Corrie adalah seorang martir alias seorang syuhada, meskipun dia sendiri tidak pernah ingin dianggap seperti itu, tak lain karena perjuangan demi kemanusiaan itu adalah murni panggilan jiwanya.
Kalimat-kalimat yang ia tulis dalam surat-suratnya yang ia layangkan kepada sahabat dan keluarganya telah menunjukkan hal tersebut, sebagaimana ia menyatakannya dengan lantang dan tanpa ragu: “Kusaksikan pembantaian yang tak kunjung putus dan pelan-pelan menghancurkan ini, dan aku benar-benar takut….Kini kupertanyakan keyakinanku sendiri yang mendasar kepada kebaikan kodrat manusia, ini harus berhenti.” Demikian tulisnya dalam email yang bertanggal 27 Februari 2003 silam itu.
Sebagai warga Amerika dan pembayar pajak, ia menuduh atau merasa dirinya sendiri bersalah secara tidak langsung atas apa yang terjadi di Palestina, terlebih lagi negaranya, Amerika, yang setiap tahunnya selalu mengucurkan dana bantuan untuk Israel dan dukungan kepada Ariel Sharon kala itu atas setiap okupasi dan penguasaan semena-mena atas tanah Palestina.
Karena ketergerakan hati dan jiwa solidaritasnya itu, ia datang langsung ke Palestina memenuhi panggilan jiwanya tersebut, dan tepatnya pada Januari 2003 ia tiba di Tepi Barat dan bergabung bersama International Solidarity Movement, sebuah grup pegiat kemanusiaan anti penjajahan yang berkeyakinan bahwa kemerdekaan adalah hak rakyat Palestina berdasarkan hukum internasional dan resolusi PBB, dengan aksi langsung tanpa kekerasan.
Kemudian ia tiba di Raffah, dan saat itulah dengan matanya sendiri ia melihat bagaimana tentara Zionis meluluhlantakkan pemukiman penduduk dengan buldozer–buldozer dan tentara dengan senapan di tangan di kiri kanan mereka.
Dalam surat kepada ibunya, kepada keluarganya di Amerika, contohnya, ia menggambarkan perasaannya dengan ungkapan yang terasa emosional: “Ngeri dan tak percaya, itulah yang kurasakan. Kecewa. Sama sekali bukan ini yang aku minta ketika aku datang ke dunia ini, bukan ini dunia yang Mama dan Papa inginkan buat diriku ketika kalian memutuskan untuk melahirkanku”.
Dan di Rafffah itulah, Rachel Corrie yang berani dan memiliki panggilan solidaritas dengan segenap jiwanya tinggal beberapa hari di sebuah rumah keluarga bernama Nasrallah, demi menegaskan tekadnya bersama rakyat Palestina memperjuangkan kemerdekaan. Selain itu, ia juga sengaja tinggal di sana agar tentara Zionis mengurungkan niat untuk membuldozer pemukiman warga Palestina tersebut, dengan keberadaan dirinya di dalam rumah keluarga Nasrallah terebut.
Pengalamannya tersebut ia ungkapkan juga lewat email kepada Mama-nya, dan menceritakan secara terus-terang kondisi yang dialaminya: “Dua kamar depan rumah mereka tak dapat digunakan. Dinding-dindingnya hancur ditembus peluru Israel. Seluruh anggota keluarga; tiga anak dan dua pasang suami istri tidur di ruang tengah. Aku tidur di lantai bersama anak perempuannya, Iman, dalam satu selimut”.
Dalam hal ini, rasanya kita perlu mengenal sekilas siapa Rachel Corrie, perempuan pemberani yang memiliki jiwa solidaritas bagi kemanusiaan ini. Ia lahir tanggal 10 april 1979 di Olympia, di dekat teluk selatan negara bagian Washington, Amerika. Ia adalah seorang mahasiswi, yang sesungguhnya memiliki masa depan cerah dan membentang, sebelum bulldozer Israel merenggut nyawanya.
Dan sore itu sekitar jam 5 sore 16 Maret 2003 silam tersebut, dengan jaket kuningnya ia berdiri di Raffah, Palestina, sebuah kota dekat perbatasan Mesir. Ia berdiri di sebuah kota yang jaraknya ribuan kilometer dari tanah kelahirannya, di Washington, Amerika sana.
Ia berdiri dengan berani dan tak gentar sedikit pun untuk mengundurkan niatnya membela kemanusiaan, di depan rumah Nasrallah yang beberapa hari didiaminya. Ia berdiri dengan tegak di depan buldozer Israel yang siap meluluhlantakkan pemukiman warga Palestina tersebut.
Dia hadang buldozer yang siap melindas rumah itu, dia berdiri di atas gundukan tanah yang cukup tinggi setelah dikeruk pisau tajam dan berat bulldozer Israel tersebut agar sang tentara yang mengoperasikan bulldozer melihatnya. Namun sang serdadu yang telah mendapat perintah kebijakan Israel itu tak peduli, dan bulldozer jenis D9R milik Israel itu pun terus melaju.
Saat itulah Rachel Corrie terbanting, dan lalu terseret pisau bulldozer yang semula dihadangnya tersebut, tubuhnya pun remuk dilindas rantai rantai baja sang bulldozer.
Demikianlah, Rachel Corrie meninggal 16 Maret 2003 pada usia 23 tahun di tanah asing yang sangat jauh dari rumahnya, ia mati demi orang lain dan ia mati demi sebuah harapan di mana masih ada kemampuan manusia untuk tetap menjadi manusia.
Rachel Aliene Corrie adalah bukti nyata bahwa humanisme atau spirit dan nilai-nilai kemanusiaan itu melampaui batas-batas agama, ras, bangsa, bahasa, bahkan negara yang kadang menjadi dinding pemisah bagi manusia untuk merasakan empati manusia yang lain.
Ia telah melabrak batas-batas tersebut, bahkan dengan mengorbankan dirinya demi membela warga Palestina yang telah berpuluh-puluh tahun tertindas dan hidup dalam represi.
Demikian pula, arti penting apa yang telah dilakukan Rachel Corrie bagi martabat kemanusiaan, bagi nilai dan makna peradaban kita di dunia hingga detik ini, bahkan membuat Edward W. Said, sang intelektual organis jempolan itu, menulis esai khusus yang menggugah dan mencerahkan tentang keteladanannya.
Mungkin untuk sebagian orang, Rachel Aliene Corrie adalah nama yang asing, atau barangkali bagi kita di Indonesia, tapi tidak untuk rakyat Palestina yang telah lama mengalami diskriminasi sosial dan politik di negeri mereka sendiri sejak kehadiran rezim apartheid Zionis Israel.
Bagi rakyat dan bangsa Palestina, Rachel Corrie adalah seorang martir alias seorang syuhada, meskipun dia sendiri tidak pernah ingin dianggap seperti itu, tak lain karena perjuangan demi kemanusiaan itu adalah murni panggilan jiwanya.
Kalimat-kalimat yang ia tulis dalam surat-suratnya yang ia layangkan kepada sahabat dan keluarganya telah menunjukkan hal tersebut, sebagaimana ia menyatakannya dengan lantang dan tanpa ragu: “Kusaksikan pembantaian yang tak kunjung putus dan pelan-pelan menghancurkan ini, dan aku benar-benar takut….Kini kupertanyakan keyakinanku sendiri yang mendasar kepada kebaikan kodrat manusia, ini harus berhenti.” Demikian tulisnya dalam email yang bertanggal 27 Februari 2003 silam itu.
Sebagai warga Amerika dan pembayar pajak, ia menuduh atau merasa dirinya sendiri bersalah secara tidak langsung atas apa yang terjadi di Palestina, terlebih lagi negaranya, Amerika, yang setiap tahunnya selalu mengucurkan dana bantuan untuk Israel dan dukungan kepada Ariel Sharon kala itu atas setiap okupasi dan penguasaan semena-mena atas tanah Palestina.
Karena ketergerakan hati dan jiwa solidaritasnya itu, ia datang langsung ke Palestina memenuhi panggilan jiwanya tersebut, dan tepatnya pada Januari 2003 ia tiba di Tepi Barat dan bergabung bersama International Solidarity Movement, sebuah grup pegiat kemanusiaan anti penjajahan yang berkeyakinan bahwa kemerdekaan adalah hak rakyat Palestina berdasarkan hukum internasional dan resolusi PBB, dengan aksi langsung tanpa kekerasan.
Kemudian ia tiba di Raffah, dan saat itulah dengan matanya sendiri ia melihat bagaimana tentara Zionis meluluhlantakkan pemukiman penduduk dengan buldozer–buldozer dan tentara dengan senapan di tangan di kiri kanan mereka.
Dalam surat kepada ibunya, kepada keluarganya di Amerika, contohnya, ia menggambarkan perasaannya dengan ungkapan yang terasa emosional: “Ngeri dan tak percaya, itulah yang kurasakan. Kecewa. Sama sekali bukan ini yang aku minta ketika aku datang ke dunia ini, bukan ini dunia yang Mama dan Papa inginkan buat diriku ketika kalian memutuskan untuk melahirkanku”.
Dan di Rafffah itulah, Rachel Corrie yang berani dan memiliki panggilan solidaritas dengan segenap jiwanya tinggal beberapa hari di sebuah rumah keluarga bernama Nasrallah, demi menegaskan tekadnya bersama rakyat Palestina memperjuangkan kemerdekaan. Selain itu, ia juga sengaja tinggal di sana agar tentara Zionis mengurungkan niat untuk membuldozer pemukiman warga Palestina tersebut, dengan keberadaan dirinya di dalam rumah keluarga Nasrallah terebut.
Pengalamannya tersebut ia ungkapkan juga lewat email kepada Mama-nya, dan menceritakan secara terus-terang kondisi yang dialaminya: “Dua kamar depan rumah mereka tak dapat digunakan. Dinding-dindingnya hancur ditembus peluru Israel. Seluruh anggota keluarga; tiga anak dan dua pasang suami istri tidur di ruang tengah. Aku tidur di lantai bersama anak perempuannya, Iman, dalam satu selimut”.
Dalam hal ini, rasanya kita perlu mengenal sekilas siapa Rachel Corrie, perempuan pemberani yang memiliki jiwa solidaritas bagi kemanusiaan ini. Ia lahir tanggal 10 april 1979 di Olympia, di dekat teluk selatan negara bagian Washington, Amerika. Ia adalah seorang mahasiswi, yang sesungguhnya memiliki masa depan cerah dan membentang, sebelum bulldozer Israel merenggut nyawanya.
Dan sore itu sekitar jam 5 sore 16 Maret 2003 silam tersebut, dengan jaket kuningnya ia berdiri di Raffah, Palestina, sebuah kota dekat perbatasan Mesir. Ia berdiri di sebuah kota yang jaraknya ribuan kilometer dari tanah kelahirannya, di Washington, Amerika sana.
Ia berdiri dengan berani dan tak gentar sedikit pun untuk mengundurkan niatnya membela kemanusiaan, di depan rumah Nasrallah yang beberapa hari didiaminya. Ia berdiri dengan tegak di depan buldozer Israel yang siap meluluhlantakkan pemukiman warga Palestina tersebut.
Dia hadang buldozer yang siap melindas rumah itu, dia berdiri di atas gundukan tanah yang cukup tinggi setelah dikeruk pisau tajam dan berat bulldozer Israel tersebut agar sang tentara yang mengoperasikan bulldozer melihatnya. Namun sang serdadu yang telah mendapat perintah kebijakan Israel itu tak peduli, dan bulldozer jenis D9R milik Israel itu pun terus melaju.
Saat itulah Rachel Corrie terbanting, dan lalu terseret pisau bulldozer yang semula dihadangnya tersebut, tubuhnya pun remuk dilindas rantai rantai baja sang bulldozer.
Demikianlah, Rachel Corrie meninggal 16 Maret 2003 pada usia 23 tahun di tanah asing yang sangat jauh dari rumahnya, ia mati demi orang lain dan ia mati demi sebuah harapan di mana masih ada kemampuan manusia untuk tetap menjadi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar