“Buku-buku acapkali membicarakan
buku lain….kala membaca buku Thomas Aquinas, aku jadi tahu apa yang dikatakan
oleh Averroes (Ibn Rusyd)” (Umberto Eco, The Name of the Rose). “Jika dua hal
tidak cocok namun Anda mempercayai keduanya, dan Anda berpikir sesuatu telah
tersembunyi, maka yang menghubungkan ketiganya adalah iman” (Umberto Eco,
Foucault’s Pendulum)
Adalah William dari
Baskerville dan muridnya, Adso dari Melk, dua orang novis Katolik yang
ditugaskan menyelidiki terjadinya pembunuhan seorang tukang lukis (lay-outer
atau desainer) halaman buku di sebuah biara Benediktin yang terpencil –jauh dari
hiruk pikuk kehidupan kota dan metropolitan kala itu.
Sesampainya di sana,
mereka dikejutkan dengan kemegahan kompleks biara tersebut, bukan hanya karena
bangunan gerejanya yang indah-berukir serta kaya akan pusaka luar biasa, namun
juga karena keberadaan Aedificium nan menjulang tinggi, yang akan mengingatkan
kita pada kisah Menara Babel di Babilonia yang telah musnah ribuan tahun silam
itu.
Aedificium ini bahkan
menyimpan permata yang luar biasa sangat berharga: naskah, buku, dan perkamen
kuno dari Yunani, Andalusia, Romawi, dan pelosok Eropa. Di dalamnya, mereka
menemukan berbagai risalah kuno yang diduga telah lama hilang, buku-buku sains
dan ilmu pengetahuan dari negeri kafir (Arab-Persia), serta lembar-lembar Injil
(Bible) yang paling pertama.
Namun, teka-teki dan pesona
serta misteri kedua keburu muncul tanpa mereka duga, dan tak sempat mereka
antisipasi. Sesosok rahib ditemukan tewas tenggelam dalam kuali penuh darah,
kemudian rahib lain ditemukan meninggal di bak penampungan air. Keduanya
memiliki ciri yang sama, jari dan lidahnya menghitam. Hari keempat, sang ahli
herbal ditemukan meninggal juga, ia dipukul sampai mati oleh seseorang, yang
tak diketahui identitasnya. William dan Adso harus bergegas menemukan siapa
pembunuhnya, sebelum korban lain jatuh, dan sebelum petaka lain datang menyusul.
Maka, malam-malam keduanya
pun dipakai untuk menjelajahi labirin sekaligus perpustakaan misterius di
Aedificum. Di antara pekatnya misteri dan suasana pembunuhan, keduanya
menemukan berbagai buku berharga sebagai saksi kejayaan dari berbagai bangsa
dan kerajaan di masa silam.
Di sana mereka menemukan
simpanan naskah-naskah kuno yang pasti membuat para pustakawan pingsan:
berbagai kitab ilmu karya Averroes (Ibn Rusyd dari Andalusia), Ibnu Haitham dan
Al-Khawarizmi dari Persia, perkamen para ahli zaman Yunani kuno, hingga potongan-potongan
yang mungkin merupakan bagian dari Injil yang asli.
Tetapi, bagaimanapun, misteri
dan teka-teki yang telah banyak merenggut nyawa itu harus dituntaskan segera
oleh William dan Adso, karena pada hari kelima terjadi lagi pembunuhan dengan
ciri yang sama sebagaimana kematian-kematian misterius sebelumnya. Hanya ada
satu petunjuk, dan keduanya, William dan Adso yang tak ubahnya pasangan
detektif swasta Sherlock Holmes dan Watson rekaan Sir Arthur Conan Doyle itu,
yakin bahwa ada sebuah buku yang menyebabkan kelima orang di biara tersebut
mati.
Ketika akhirnya mereka
berhasil memasuki ruang rahasia di labirin dan menemukan buku itu, semuanya
telah terlambat. Korban keenam telah jatuh dan korban ketujuh adalah si
penjahat yang mengorbankan dirinya demi kesalihan. Bencananya tidak cukup
sampai di situ. Perpustakaan itu, segala buku-buku kuno yang tersimpan di
dalamnya, tersuulut api dan membara dalam sebuah kebakaran akbar yang tak
terpadamkan.
Maka begitulah, lenyap
sudah buku yang menjadi sumber dari semua malapetaka ini, yang keberadaannya telah
meyakinkan seseorang untuk mengambil segala daya dan upaya yang ia bisa, agar
buku itu tidak jatuh ke tangan yang salah. Maka, dengan dalih melindungi
kemurnian Kerajaan Kristus, ia dengan tega telah bermain racun dan melenyapkan
jiwa-jiwa malang yang “terlalu ingin tahu.”
Membaca novel The Name of
the Rose yang ditulis Umberto Eco yang kemudian diangkat ke layar lebar ini,
memang tak ubahnya kita membaca kisah-kisah penyelidikan dan petualangan
menyingkap misteri yang dilakukan oleh tokoh Sherlock Holmes dan sahabatnya,
Watson, dalam lembar-lembar kisah yang ditulis oleh Sir Arthur Conan Doyle itu,
meski The Name of the Rose-nya Umberto Eco, tentu saja, meletakkan dan
menempatkan dirinya dalam isu-isu filsafat dan kemanusiaan yang terkait dengan
minat penulisnya pada isu-isu keagamaan dan pemikiran.
Umberto Eco sendiri
dikenal sebagai pakar semiotika dan pembaca filsafat dan buku-buku teologi para
penulis Kristen Abad Pertengahan. Minatnya pada teologi dan filsafat, cukup
kentara terlihat, misalnya, dalam dialognya dengan Cardinal Carlo Maria Martini,
yang salah-satu pokok pembicaraannya adalah bagaimana agar orang-orang beriman
dan orang-orang yang tak beriman tetap melakukan dialog dan diskusi konstruktif
demi menciptakan kondisi hidup manusia yang lebih baik –dengan sama-sama
bersikap rendah hati di antara keduanya, di antara mereka yang beriman dan
mereka yang tak beriman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar