Hak cipta (c)Sulaiman
Djaya (2015)
Di jaman ini, alias di era internet atau jaman cyberspace,
sains tentulah tidak lagi eksclusif milik komunitas para ilmuwan semata, di
saat jagat informasi mudah diakses oleh siapa saja dengan hanya perlu jarak
dari ujung jari-jemari tangan pada keyboard. Begitu pun, sedapat mungkin upaya
mengkomunikasikan sains dapat diminimalisir dari dominasi rumus-rumus rumit
matematis yang tak dijangkau publik luas, apalagi bagi mereka yang ingin
membaca dalam rangka rehat dan mencari kesenangan di waktu luang, termasuk
tentang yang berbau kuantum, sebagaimana esai singkat ini.
Baiklah kita mulai dengan pertanyaan yang umum dan
sederhana yang lazimnya ingin diketahui orang tentang sesuatu: Apa itu teori
kuantum, yang belakangan meramaikan jagat sains? Fisika kuantum awalnya
dikembangkan oleh Max Planck untuk mengenali sifat atom. Mulanya, pengembangan
kuantum dilakukan sebagai upaya untuk menjawab berbagai fenomena yang tidak
mampu dijelaskan oleh Fisika Klasik yang dipelopori Sir Isaac Newton melalui
teori gravitasinya yang terinspirasi dari musibah kecil saat ia tertimpa buah
apel ketika tengah duduk di bawah pohon tersebut. Namun, seiring perkembangan
waktu, teori ini justru menjadi fenomena baru yang mendorong ke arah fisika
modern.
Demikianlah selanjutnya, seorang fisikawan jenius yang
kemudian amat masyhur di abad ke-20, yaitu Albert Einstein, memperkenalkan
teori relativitas yang awalnya berbentuk teori relativitas khusus (disebut
khusus karena dibatasi oleh karakter tertentu agar dapat berlaku) menjadi teori
relativitas umum. Teori relativitas umum mampu menjelaskan berbagai fenomena
alam semesta terkait gravitasi dan menjawab pertanyaan mengenai “Orbital
Merkurius” yang cenderung berbeda dengan planet-planet lainnya di tata-surya.
Tak disangka, fenomena teori relativitas memunculkan
penjelajahan baru dan luas di bidang fisika dimana ukuran materi penelitian
berada pada skala atomik. Sejumlah fisikawan lain pun, seperti Niels Bohr,
Wolfgang Pauli, Erwin Schrodinger, Werner Heisenberg, kemudian memunculkan
alias melahirkan ragam teori baru yang membuka cakrawala akan pemikiran pada
skala atomik tersebut.
Seiring dengan perkembangan teori dan hasil penelitian
di bidang kuantum inilah, para ilmuwan kuantum mendapati fakta yang sulit
diterima akal sehat dimana energi kuantum mengandung unsur probabilistik, tidak
memenuhi konsep separabilitas dan lokalitas. Dan Albert Einstein, sang jenius
yang merupakan salah satu dedengkot atawa salah seorang pioneer penelitian
kuantum itu pun, tidak bisa menerima kenyataan bahwa teori kuantum ternyata
tidak bersifat deterministik sebagai ungkapannya yang masyhur: “Tuhan tidak
sedang bermain dadu”.
Dan selanjutnya di kemudian hari, Albert Einstein pun
menerbitkan sebuah makalah tentang percobaan imajiner dengan meminta kita
membayangkan setumpuk serbuk mesiu, karena ketidakstabilan beberapa partikel,
akan terbakar suatu ketika. Di sini, persamaan mekanika kuantum menjelaskan
paduan antara sistem yang belum dan sudah meledak. Namun, kenyataannya, belum
tentu seperti itu. Karena, sebagaimana dimaklumi, tidak ada kondisi perantara antara
meledak dan belum meledak.
Syahdan, analogi serbuk mesiu tersebut ternyata
mendorong alias memotivasi kuriositas Erwin Schrodinger mengeluarkan ide
eksperimen yang ternyata lebih meyakinkan dibanding analogi serbuk mesiu-nya
Albert Einstein. Dan berikut eksperimen imajiner ala Erwin Schrodinger itu:
“Anggaplah terdapat seekor kucing yang terkurung dalam
ruang baja, bersama alat pencacah Geiger (pengukur radiasi ionisasi) yang
diberi sedikit zat radioaktif yang sangat sedikit. Dalam satu jam, salah satu
atom meluruh, tetapi juga kemungkinan tidak. Jika atom meluruh, tabung pencacah
tersebut melepas muatan zat yang melalui relasi yang terhubung sehingga
mendorong palu di dalam ruang baja untuk memecahkan tabung percobaan kecil
berisi asam hidrosianida. Jika ruang baja tersebut dibiarkan selama satu jam,
kita akan mengatakan bahwa kucing itu masih hidup jika saat itu tidak ada atom
yang luruh. Fungsi-psi seluruh sistem tersebut akan menunjukkan hal ini dengan
kucing mati dan hidup yang tercampur atau tumpang tindih di dalamnya.”
Eksperimen imajiner Erwin Schrodinger ini pun tak
pelak lagi menjadi fenomena yang mengejutkan di dunia fisika karena
mempertanyakan realitas teori kuantum yang cenderung tidak rasional terhadap
dunia nyata. Berdasarkan pemahaman teori kuantum yang saat itu sedang
berkembang, kucing akan berada pada kondisi hidup dan mati sekaligus sampai
diamati kondisi yang sebenarnya terjadi pada kucing.
Dan seperti kita tahu, hingga saat ini, sebenarnya,
belum pernah dilakukan eksperimen sesungguhnya yang berbentuk kucing, tikus,
kelinci, atau bahkan kutu (yang biasanya hidup makmur di rambut lebat manusia
dan bulu rimbun para binatang). Namun pemikiran Erwin Schrodinger tersebut
telah mendorong eksperimen lain di bidang fisika kuantum untuk membuktikan
karakter fisika kuantum sebenarnya berdasarkan rekonstruksi
eksperimen-eksperimen imajiner yang dilakukan oleh Einstein dan Schrodinger.
Singkatnya, terdapat berbagai interpretasi atawa
tafsir eksplanatif terhadap eksperimen analogi yang dilontarkan Erwin
Schrodinger. Teori ini menimbulkan paradoks yang bahkan menimbulkan pemikiran
ruang dan waktu yang bersifat paradoks pula, dimana setiap kejadian memiliki
alternatif kejadian berikut yang berbeda. Pemahaman tersebut memungkinan
seseorang memiliki berbagai alternatif jalan hidup dengan kombinasi cerita yang
berbeda-beda.
Begitupun, Kucing Schrodinger acapkali dilibatkan
dalam karya seni populer seperti komik, film, kartun, serial televisi, hingga
sastra kontemporer. Dan dalam hal ini, kita barangkali hanya bisa berdoa,
semoga kucing Schrodinger tetap baik-baik saja alias tidak mati atau terluka
meskipun berkali-kali digunakan dalam eksperimen imajiner para ahli fisika,
bahkan para penulis dan seniman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar