Disampaikan oleh Sulaiman Djaya pada Diskusi Kubah
Budaya dan Tabloid Kaibon 12 September 2008 pukul 16.00 WIB di Sekretariat
Kubah Budaya
“Dari tangisan orang-orang, mataku dipenuhi
penderitaan. Melihat bagaimana mereka mencari-Mu, akan jadi apa orang-orang
itu?” (Hafiz).
“Dibandingkan dengan tipu-muslihat, maka keyakinan yang berlebihan dan buta
adalah musuh yang lebih berbahaya untuk kebenaran” (Nietzsche).
Ketika saudara Arundanu Katong selaku ketua panitia
diskusi meminta saya untuk menjadi pemateri tentang Sastra Islam, dalam benak
saya muncul beberapa pertanyaan:
[1] Bilakah yang dimaksud Sastra Islam adalah
karya-karya kesusasteraan yang ditulis para penulis muslim atau para penulis
yang kebetulan beragama Islam?
[2] Apakah yang disebut Sastra Islam adalah
karya-karya sastra yang mendedikasikan fokus bentuk dan isi-nya pada doktrin
dan nilai-nilai Islam? Terlepas apakah karya-karya tersebut hanya terjebak pada
heroisme dan moralisme yang dangkal dan artifisial alias tidak mendalam.
[3] Lalu apa yang membedakannya dengan karya sastera
pada umumnya?
[4] Adakah atau tidak persamaannya dengan
karya-karya yang tidak menyebut dirinya sebagai Fiksi Islami? Sebab pada
kategori yang telah umum dimaklumi, kesenian pada umumnya atau pun
kesusasteraan pada khususnya seringkali ingin keluar atau bahkan melampaui
pakem dan vakum formalisme keagamaan, doktrin fiqhiyah yang dirasa membatasi dan
kadang tidak peka pada perubahan yang niscaya, dan dogmatisme mazhab keagamaan
yang seringkali menindas bagi kemungkinan-kemungkinan kreativitas estetik.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dalam diri saya
karena saya percaya dalam kesenian pada umum-nya, keunikan dan otentisitas
seorang seniman atau pun penulis seringkali karena kebebasan dan keberaniannya
untuk menerobos batas-batas yang dianggap benar dan selesai.
Bukankah agama dan imajinasi adalah dua wilayah
konsentrasi yang berbeda? Bukankah karya sastera menjadi unik karena merayakan
konotasi, ambivalensi, dan polifoni demi menghidupkan watak simbolik sastera
itu sendiri dengan mengoptimalkan metafor, alegori, personifikasi, hiperbola,
ironi, dan lain sebagainya? Bukankah sastera menjadi unik karena terus-menerus
bersimpati pada ironi dan subjektivitas bukannya objektivitas?
Juga sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sastera
yang melukiskan segi-segi umum dan kebanyakan hanya akan berujung pada
kegagalan etos dan watak sastera itu sendiri. Ia tak ubahnya ilmu sosial.
Sastera menjadi hidup justru karena menghidupkan polisemi kata, memaksimalkan
konotasi, dan menggalakkan ironi, dan tentu saja tidak hanya menciptakan
kebaruan makna referensial, tetapi juga makna tekstual. Dalam hal ini, fungsi bahasa
bukan hanya untuk menjelaskan, tetapi juga untuk menyembunyikan.
Sastera menjadi unik bukan karena verbalisme-nya,
melainkan karena kelihaiannya untuk menyembunyikan makna. Umberto Eco akan
menyebutnya sebagai Opera Aperta atau The Open Work (karya terbuka), di mana
suatu teks sastera menjadi kaya dan unik karena teks tersebut menciptakan suatu
dunia, suasana, dan peristiwa yang bisa ditafsirkan secara bebas (heterogen)
oleh pembacanya dan lebih informatif ketimbang traktat sains.
Sementara pada tingkatan yang lebih ekstrem Derrida
menyebutnya sebagai disseminasi, di mana makna tidak selalu berkaitan dengan
referensi, nilai dan keyakinan metafisis, penanda transendental dan rujukan
moral, tetapi oleh kumungkinan jalinan kata dan bahasa dalam teks itu sendiri.
Dengan demikian citra dalam sastera selalu bersifat
simbolik, seringkali menerobos formalisme bahasa dan menjadikannya sebagai
ekspressi yang personal. Milan Kundera akan menyebutnya dengan polifoni-teks.
Mikhail Bakhtin akan menyebutnya dengan heteroglosia dan carnaval. Walter
Benjamin dan Clifford Geertz akan menyebutnya sebagai teks yang bertumpuk dan
berlapis.
Kemudian saya pun lagi-lagi bertanya:
[1] Tidakkah penamaan Sastra Islam hanya akan
mengakibatkan penyempitan kerja kesenian pada umumnya dan kesusasteraan pada
khususnya?
[2] Selanjutnya yang juga tak kalah penting, apakah
seni atau karya-karya sastera yang menamakan diri sebagai Fiksi Islami itu
merepresentasikan nilai-nilai, doktrin, dan semangat Islam?
[3] Atau malah sebaliknya?
Sebab saat ini banyak karya-karya sastera yang
menyebut dirinya sebagai Fiksi Islami, tapi malah terjebak simbol-simbol tanpa
isi dan miskin bentuk, artifisial, dan hanya menjadikan kata Islam sebagai
label semata. Yang lebih ironis malah banyak pembaca mendapatkan pemahaman yang
sempit tentang Islam itu sendiri, ketika Islam hanya direduksi hanya menjadi
slogan-slogan semata. Ketika teks-teks yang ditawarkannya cenderung menggurui,
bukannya menggugah dengan teknik ironi, pergulatan subjektif yang unik, permenungan,
dan bahkan gugatan. Ketika karya-karya tersebut cenderung monofonik (baca:
miskin tekhnik dan bentuk), verbal (baca: menggurui), dan tertutup bagi
kemungkinan heterogenitas (baca: kekayaan) dan polisemi penafsiran (baca:
pembacaan) ketika karya tersebut dibaca.
Bilasaja kita sepakat bahwa bahwa Sastra Islam adalah
karya-karya yang ditulis para penulis muslim, maka akan banyak karya-karya
penulis muslim yang menggugah dan berkualitas dibanding karya-karya yang
menyebut dirinya Fiksi Islami itu. Meski mereka tidak menyebut karya-karya
mereka sebagai Fiksi Islami, namun faktanya karya-karya mereka menjadikan Islam
sebagai khasanah dan arena pergulatan isu yang ditulisnya.
Dan bila kita sepakat bahwa apa yang kita maksud Fiksi
atau Sastera Islam adalah sebuah karya atau ikhtiar penulisan yang memfokuskan
pencarian bentuk dan isi-nya pada spirit Islam –atau minimal yang dekat dengan
nilai dan doktrin Islam, maka pada konteks ini yang paling pas disebut Sastra
Islam adalah Sufisme atau karya-karya para penulis yang menjadikan sufisme
sebagai khasanahnya.
Di sini kita bisa mengambil contohnya semisal Diwan
(Hafiz, Persia), The Conference of the Birds alias Manthiq al Thoyr (Attar,
Persia), Rubayyat (Omar Khayyam, Persia), Matsnawi (Rumi, Persia), Qays Wa Layla
dan Khusrau Wa Syirin (Nizami, Persia), Yusuf Wa Zulaikha (Jami, Persia),
Tarjuman al Asywaq (Ibn Arabi, Andalusia-Cordoba), dan Asrar I Khudi dan Bang I
Dara (Iqbal, India-Pakistan-Bangladesh). Atau karya-karya yang sejenisnya
semisal Tamhidat (Ayn al Qudat Hamadani), Rawh al Arwah (Sam’ani), dan lain
sebagainya yang berada pada genre karya literasi sekaligus intelektual kaum
sufi.
Dan akhirnya, seringkali sastera yang menyebut dirinya
Fiksi Islami itu hanya melakukan category-mistake (salah berpikir) ketika
mengangkat makna referensial seperti masalah-masalah sosial dan politik.
Seringkali problem sosial dianggap sebagai problem moral dan keagamaan. Dan
acapkali sastera yang mengaku diri sebagai Fiksi Islami itu melakukan
moralisasi dan estetisasi. Yang pertama kegandrungan pada kecenderungan untuk
melihat masalah-masalah sosial bukan dengan menggunakan konsep-konsep
sosiologis, tetapi dengan klaim moral yang kadang dogmatis dan tanpa
pemeriksaan dan permenungan terlebih dahulu. Yang kedua adalah kegandrungan
pada kecenderungan untuk mengaburkan dan mengganggap sesuatu yang tidak estetis
sebagai sesuatu yang estetis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar