Beberapa tahun belakangan,
setidak-tidaknya sejak tahun 2000-an, banyak penulis dan sastrawan menjadikan
“Banten” sebagai isu dan tema dalam karya sastra mereka, seperti ‘orang-orang
Banten, watak dan kultur-nya’ yang coba diangkat dan dinarasikan dalam buku
kumpulan cerita pendek Sepasang Maut karya (alm) Wan Anwar. Sementara itu, dari
sisi kultural dan ‘kosmologis’, salah-satu hal yang paling banyak diangkat dan
coba dinarasikan oleh sejumlah penulis adalah aspek-aspek magis dan mistis
dalam lanskap sosial-budaya masyarakat Banten.
Setidak-tidaknya,
tepatnya pada 15-18 November 2013 lalu, aspek magis & mistis lanskap sosial-budaya
masyarakat Banten ini telah pula coba diangkat dan diwacanakan dalam Temu
Sastrawan Mitra Praja Utama yang diselenggarakan di Kota Serang dan di kawasan
perkampungan Baduy Banten.
Dalam Temu
Sastrawan Mitra Praja Utama yang diselenggarakan di Banten pada tahun 2013 itu,
tema umum yang dipilih adalah “Mistisisme dalam Kesusastraan”. Tentu saja,
dipilihnya tema tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan, yang meski tak
terhindar dari subjektivitas, namun tidak terlepas dari upaya untuk mengangkat
wacana dan khasanah yang paling dekat dengan “kultur” Banten sebagai tuan
rumah. Martin van Bruinessen, misalnya, menyebut Banten secara kultural dan
mistis dengan julukan “surga-nya khazanah dan praktek magis di Nusantara”. Yang
dimaksud Bruinessen dengan pernyataannya tersebut adalah budaya-budaya
masyarakat Banten semisal Silat dan Debus atau praktik-praktik kesaktian,
kedigdayaan, dan “ngehikmah” ala orang Banten yang memang sudah populer di
Nusantara.
Apa yang
dikemukakan Bruinessen tersebut hanya sekeping contoh kecil tentang khazanah
mistis dan magis di Banten, meski tentu saja Bruinessen belum menyebut
keseluruhan secara utuh kultur mistis dan magis masyarakat Banten yang mewujud
dalam ragam khazanah dan living culture, semisal kesastraan magis yang hidup di
Banten Selatan, seperti tradisi pantun dan mantra magis Sunda-Baduy yang telah
banyak dikaji itu, namun masih menyimpan potensi untuk terus dikaji ulang. Dan
juga Seni Dodod Banten Selatan di Pandeglang yang merupakan seni ritual pantun Sunda
Banten yang telah berakulturasi dengan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam
prakteknya. Dalam dua contoh seni tradisi tersebut, yang tentu saja menarik dan
tak bisa diabaikan, adalah adanya unsur kesastraan puitik yang dalam hal ini
pantun dan mantra yang dibacakan dalam ritual dan upacara adat dan tradisional
tersebut.
Hal lain yang
menarik adalah, meski secara linguistis dan geografis Banten terbagi menjadi
Banten Utara yang didominasi penggunaan bahasa Jawa Banten dalam keseharian dan
Banten Selatan yang didominasi penggunaan Bahasa Sunda, namun memiliki kekhasan
umum yang sama dalam kecendrungan kulturalnya, baik dari sisi budaya, adat, dan
sastra. Khusus di Banten Utara, misalnya, kita bisa mengkaji khazanah penulisan
dan kesusastraan yang menggunakan Bahasa Jawa Banten, semisal kitab-kitab
kuning yang diajarkan di pesantren-pesantren dan sastra lokal pantun dolanan
dan sindiran yang menggunakan Bahasa Jawa Banten yang juga akrab dengan
khazanah mistis dan magis dalam konteks lanskap umum kultur Banten. Kekayaan
itu akan semakin bertambah bila kita mengkajinya secara historis. Di sini kita
dapat mencontohkan warisan-warisan penulisan dan kesastraan Banten masa silam
di era Kesultanan Banten dan di era Banten pra-Islam.
Begitulah
“Mistisisme dalam Kesusastraan” dipilih sebagai tema penyelenggaraan MPU VIII
di Banten, yang selain ingin menggali bahan-bahan dan pengkajian baru khazanah
sastra yang belum maksimal dieksplorasi, juga dimaksudkan sebagai upaya untuk
menimba dan menggali kearifan lokal atau local wisdom yang diharapkan akan
memberi wawasan, pintu, dan khazanah baru bagi kreativitas dalam dunia sastra
dan penulisan, dan kebudayaan pada umumnya. Dan seperti kita tahu, kearifan
lokal ini menyebar di seluruh negeri, etnik, dan provinsi di seluruh Indonesia.
Hingga, dapat dikatakan, pemilihan tema ini sebenarnya lebih merupakan
“covering” semata dalam rangka menjadi semacam “cermin” dan “contoh” yang
ditawarkan dan disajikan Banten sebagai tuan rumah. Berkat kerja semua pihak,
termasuk para peserta anggota Mitra Praja Utama itu sendiri, perhelatan ini
berhasil dilaksanakan dengan sukses dan baik, di mana perhelatan Temu Sastrawan
MPU tersebut diharapkan dapat menjadi cermin bagi komitmen dan kepedulian kita
dalam rangka melakukan pembangunan intelektual dan kekuatan kultural bangsa
kita.
Di tahun 2015
ini, salah-satu penulis (sastrawan) nasional (yang kebetulan lahir dan besar di
Banten), Niduparas Erlang, juga coba mengangkat soal-soal kosmologis masyarakat
Banten yang sifatnya magis, mistis, dan bahkan yang fatalis-nya, melalui
sejumlah cerita pendeknya yang terkumpul dalam buku Penanggung Tiga Butir Lada
Hitam di Dalam Pusar yang diterbitkan Berjaya Buku Tahun 2015.
Upaya Niduparas
Erlang untuk mencoba menggali, mengkritisi, membaca ulang, dan menarasikan
kosmologi Banten, baik menyangkut watak, budaya, dan keadaan sosial masyarakat
Banten, baik yang di Utara Banten maupun di Selatan Banten, dapat dibaca di
sejumlah cerpen-cerpennya yang ada dalam buku tersebut, seperti Sirubahung
(yang coba mengangkat dan ‘mengkritisi’ mitos Gantarawang, sebuah tempat di
Banten yang dipercaya sebagai tempat yang angker dan ‘mistis’ oleh beberapa
orang itu), Seruncing Hangat Cengkeh dan Oray Tutug Wak Gijir dan sejumlah
cerpen lainnya yang ada dalam buku yang telah disebutkan itu.
Ikhtiar Niduparas
Erlang yang berusaha dan dapat dikatakan ‘cukup berhasil’ untuk menghadirkan
‘Kosmologi Banten’ dalam sastra-prosa melalui buku kumpulan cerita pendeknya
yang terkumpul dalam buku Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar yang
diterbitkan Berjaya Buku Tahun 2015 dan memenangkan Siwa Nataraja Award
tersebut sesungguhnya harus mendapatkan apresiasi yang setimpal dari kita
(serta tentu saja dari pembaca atau audiens sastra) sebagai seorang penulis
(yang dalam hal ini sebagai seorang cerpenis) yang berusaha ‘merawat’ lanskap dan
kosmologi sosial-kultural Banten melalui dokumentasi kebudayaan, yang dalam hal
ini melalui sastra prosa, lebih khususnya melalui prosa cerita-cerita pendek
yang ditulisnya. Terlebih, hingga saat ini, belum banyak para penulis di Banten
sendiri yang dapat dikatakan cukup berhasil untuk mewacanakan Banten dan
mengangkat kosmologi masyarakat Banten dalam sastra prosa seperti yang
dilakukan oleh Niduparas Erlang.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar