“Di antara kau dan
aku, ada kematian yang telanjang” (Sulaiman Djaya, Rubayyat Dua Matsnawi)
Oleh
Lutfi Mardiansyah*
Kamis
tanggal 18 April 2013 yang lalu, sekitar pukul setengah sebelas sebelum dzuhur,
saya menembus hujan sendirian dari Jatinangor menuju Bandung untuk menghadiri
acara launching buku kumpulan puisi Mazmur Musim Sunyi karangan penyair asal
Banten, Sulaiman Djaya di Auditorium B FPBS UPI. Begitu sampai, sebelum masuk
ruangan, saya membeli dulu buku tersebut serta mengambil makalah dari dua
pembicara, yakni Faisal Syahreza dan Heri Maja Kelana. Saya telat beberapa
menit, diskusi telah dimulai. Saya mengambil tempat duduk di sudut kiri dan
mulai memperhatikan jalannya diskusi.
Alih-alih
fokus pada pembahasan buku tersebut oleh kedua pembicara, saya malah
memperhatikan ruangan tempat acara tersebut digelar. Ruang yang elegan. Full
AC. Betapa nikmatnya di sini. Di kampus saya sendiri, tidak pernah ada acara
seperti ini. Diskusi pun hanya melingkar di selasar koridor kampus, itu pun
susah sekali mencari kawan berdiskusi. Mahasiswa kuliah dan pulang. Kampus
sepi.
Acara
terus berjalan. Selesai pembahasan dari kedua pembicara, kemudian dibuka sesi
tanya jawab. Pada satu giliran saya ditunjuk untuk bertanya. Maka saya bertanya.
Kemudian acara diakhiri dengan pembacaan puisi. Saya juga diminta untuk membaca
puisi. Maka saya membaca puisi.
Singkat
hikayat, seusai acara saya kembali pulang ke Jatinangor dengan menumpang angkot
Cicaheum-Ledeng hingga terminal Cicaheum, lalu dilanjut dengan bis jurusan
Bandung-Cirebon. Di dalam bis, di Smoking Area saya buka kembali buku Mazmur
Musim Sunyi. Saya menemukan puisi berjudul “Monolog”. Ada bagian menarik di
puisi itu, seperti berikut:
Saya tahu
seorang penyair harus belajar
menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku.
menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku.
Saya
merenungi kalimat tersebut. Seorang penyair harus belajar menulis puisi yang
kata pertamanya bukan aku. “Aku” ini, aku sebagai kediriankah? Jika memang
demikian, saya setuju. Penyair harus bisa menulis puisi yang tidak hanya
berkutat dengan kediriannya, sebab ada banyak hal di luar diri yang juga
penting dan esensial untuk dituliskan. Hampir selalu penyair menulis puisi
awalnya dengan tema-tema kedirian. Abang kita itupun, Chairil Anwar, banyak
menulis puisi tentang kedirian. Tetapi jika melulu bergulung-tema di situ, akan
jadi belenggu sendiri, belenggu yang menirai pandangan si penyair dari dunia di
luar dirinya.
Saya
lanjut membaca lagi dan menemukan puisi dengan judul “Rubayyat Dua Matsnawi”.
Puisi ini yang saya baca di diskusi tadi. Larik pertama yang mengawali puisi
ini mengejutkan saya, begini bunyinya:
Di antara kau
dan aku, ada kematian yang telanjang,
Begini
cara saya menafsirkan larik tersebut, pertama-tama saya meletakkan diri saya
sebagai aku-lirik, maka jadilah aku-Lutfi atau katakanlah aku-lelaki, dengan
begitu kau-lirik yang muncul pada larik tersebut saya bayangkan sebagai
kau-perempuan, yang kemudian meletakkan relasi aku-kau ini sebagai relasi
jantan-betina, lelaki-perempuan, dapat konteks hubungan apapun, cinta misalnya.
Lalu diksi “telanjang” itu saya baca sebagai sebuah kondisi “terbuka” yang
mengakibatkan tersingkapnya segala yang tersembunyi. Maka saya bayangkan tubuh
telanjang, tentu saja tubuh perempuan, supaya lebih bergairah. Ketika seorang perempuan
misalnya, dalam keadaan mengenakan pakaian, ada bagian-bagian tertentu dari
tubuhnya yang tak dapat kita terawang, sebabnya jelas karena terhalang oleh
pakaian yang ia kenakan. Tapi cobalah lepas segala pakaian itu dan perempuan
tersebut berdiri telanjang di depan kita, maka bagian-bagian yang tertutup tadi
akan dapat kita pandang, misalnya buah dadanya, putingnya, perutnya, rambut
kemaluannya, dan lain-lain, dan lain-lain.
Mungkin
akan timbul gugatan, “itu aurat!” Nah, bagus. “Aurat” ini saya tarik menjadi
padanan “hakikat”. Ketika seseorang telanjang, maka tampaklah auratnya.
Berpadan dengan ketika seseorang telah disingkapkan hijabnya, maka tampaklah
hakikatnya.
Kemudian
soal diksi “kematian” yang dipasangkan dengan “telanjang” tersebut, menjadi terbaca
sebagai “hakikat kematian”. Kematian yang dicirikan dengan hilangnya nyawa,
kadang oleh sebagian orang dipandang sebagai berakhirnya kehidupan. Betulkah
sampai pada kematian kehidupan itu berakhir? Justru kematian hanya gerbang,
jalan yang membukakan “aurat” ke kehidupan yang sesungguhnya, yang abadi dan
kekal, yang tak tersentuh oleh kesementaraan.
Setelah
menafsirkan seperti itu, saya jadi mengubah subjek aku-kau sebelumnya,
aku-lelaki dan kau-perempuan menjadi aku-makhluk dan kau-Khalik, yang jika
keduanya ingin patrap dalam makrifat, tentu harus melewati jalan kematian
terlebih dahulu, jalan yang akan menyingkap “aurat” kehidupan yang
sesungguhnya.
Puisi
yang sekilas seperti puisi cinta ini mendadak menampakkan wajah lain kepada
saya: wacana teologi, wabil khusus ihwal sufisme. Saya tahu penyairnya,
Sulaiman Djaya, adalah salah satu pemerhati tarekat yang hafal betul
wacana-wacana tersebut. Memang kita disuguhi puisi-puisi cinta lembut di dalam
Mazmur Musim Sunyi ini, tetapi puisi-puisi itu tidak lantas berhenti sampai di
situ. Tidak, puisi cinta selalu menyelam lebih dalam. Lebih dalam lagi.
*Penyair, tinggal di Sukabumi (Sumber: Rima News, Mon, 29/04/2013 – 09:05 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar