Oleh Allamah Mohammad Husain Thabathabai
Dengan sejenak menilik kembali keadaan
umum masa itu, kita dapat menjelaskan dasar keputusan dan perlawanan al-Husain,
penghulu para syahid, terhadap kekuasaan Muawiyah. Masa-masa paling hitam dan
getir yang dijalani keluarga Nabi SAW dan para pengikutnya sepanjang sejarah
umat Islam ialah selama dua puluh tahun pemerintahan anak-anak Umayyah.
Segera setelah merebut kekhilafahan
Islam dengan segala cara dan menjadi penguasa negeri-negeri Islam yang luas,
Muawiyah menghimpun kekuatan besar untuk memperkukuh kekuasaannya dan menumpas
habis Ahlulbait Nabi SAW. Penumpasan yang tidak sekedar genocide tetapi hingga
diusahakan agar nama-nama dan citra mereka tidak lagi membekas dalam ruang
ingatan dan ruas lidah umat Islam.
Dalam rangka itu, Muawiyah merekrut
sekelompok sahabat Nabi SAW yang disegani dan dipercaya kalangan luas kaum
Muslimin dari berbagai penjuru serta diajak bekerja sama untuk merancang
hadis-hadis palsu yang menguntungkan kaum sahabat dan merugikan Ahlulbait Nabi
SAW. Tak pelak lagi, ia pun memerintahkan supaya mimbar-mimbar di seluruh
pelosok negeri Islam mencaci-maki dan melaknat Ali bin Abi Thalib layaknya
sebuah kewajiban agama.
Melalui pembantu-pembantunya seperti
Ziyad bin Ubay, Samurah bin Jundub, dan Bisr bin Arthaah, Muawiyah tak
segan-segan mengakhiri hidup para pengikut Ahlulbait Nabi di mana pun mereka
ditemukan. Hal itu ia usahakan dengan berbagai cara: mengumbar janji, menyuap,
menipu, memaksa, dan mengancam sejauh yang mungkin ia lakukan.
Sudah barang tentu, masyarakat Muslim,
dalam suasana dan lingkungan seburuk itu, sangat benci menyebut nama Ali dan
keluarganya. Dipihak lain, orang-orang yang menyimpan kecintaan kepada
Ahlulbait dalam nadi dan hati sudi memutuskan segenap hubungan dengan mereka
ketimbang mendapatkan ancaman serius yang mengintai jiwa, harta dan kehormatan
diri mereka.
Kenyataan dibalik itu semua bisa
dibongkar dari hal berikut, yakni bahwa imamah (kepemimpinan Ilahi) al-Husain
berlangsung selama kurang lebih sepuluh tahun, kurun waktu yang -kecuali
beberapa bulan terakhir -semasa dengan kekuasan Muawiyah. Selama kurun waktu
tersebut, ironisnya tidak ada satu hadis pun yang berkaitan dengan
masalah-masalah hukum fikih Islam yang pernah dinukil dan direferensikan kepada
al-Husain selaku juru bicara hukum-hukum dan ajaran-ajaran Islam. Maksudnya,
kita tidak menemukan satu hadis pun yang pernah diriwayatkan masyarakat dari
al-Husain sebagai bukti kepercayaan mereka kepada beliau, bukan hadis yang
diriwayatkan oleh keluarga beliau sendiri, seperti oleh para imam yang datang
setelah beliau.
Hal di atas ini cukup untuk menyingkap
bahwa pintu-pintu rumah Ahlulbait Nabi SAW, pada masa itu, sudah disegel dan
kepercayaan masyarakat kepada mereka turun sampai titik nol.
Keadaan mencekik dan tekanan yang terus
dipaksakan dalam lingkungan Muslim tidak mengizinkan al-Husain untuk
melanjutkan kebangkitannya melawan Muawiyah. Ketika itu, perlawanan apa pun
akan menjadi sia-sia karena hal-hal sebagai berikut.
Pertama, Muawiyah telah mengambil baiat
(pengakuan) dari al-Husain. Adanya baiat ini membuat orang tidak siap bergerak
bersama beliau.
Kedua, Muawiyah sendiri meyakinkan
dirinya di hadapan umat Islam sebagai salah satu sahabat besar Nabi SAW,
penulis wahyu, dan pembantu kepercayaan tiga Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar,
Umar, dan Usman). Lebih dari sekadar itu, ia mengatasnamakan khaal al-mu’minin
(paman umat Islam) sebagai sebuah gelar suci untuk dirinya.
Ketiga, dengan trik-triknya yang khas,
Muawiyah amat bisa membunuh al-Husain lewat tangan orang-orangnya untuk
kemudian tampil bersih sebagai penuntut darah al-Husain dan mengadakan
majelis-majelis duka cita untuk al-Husain.
Pada masa hidup al-Husain, Muawiyah
sedemikian rupa memperlakukan kehidupan saudara al-Husain ini sehingga tidak
lagi menyisakan sedikit pun keamanan di dalam kehidupan pribadinya. Pada
akhirnya, tatkala meminta umat Islam untuk membaiat anaknya, Yazid, Muawiyah
pun meracuni Imam Hasan lewat tangan istri beliau dan al-Hasan pun wafat
sebagai syahid.
Al-Husain sendiri, yang bangkit melawan
Yazid segera setelah kematian Muawiyah dan mengorbankan diri beserta mereka
yang menyertainya -termasuk bayinya yang masih merah, tidak mampu melakukan
pengorbanan tersebut pada usia imamahnya terhadap Muawiyah. Hal itu disebabkan
perlawanan dan kesyahidan tidaklah berarti apa-apa di hadapan kelicikan dan
muslihat yang memperlihatkan “kebenaran” berada di pihak Muawiyah, belum lagi
baiat yang telah didapatkan Muawiyah.
Inilah kilasan kondisi pahit yang
dipaksakan Muawiyah atas masyarakat Muslim. Ia mengunci mati pintu kediaman
Rasulullah SAW serta melucuti Ahlulbait dari segala busana pengaruh, kesan, dan
citra.
Kematian
Muawiyah dan Kekuasaan Yazid
Tusukan terakhir yang dilesakkan
Muawiyah ke tubuh Islam dan Muslimin ialah menjungkirbalikkan kekhilafahan
Islam menjadi kekuasaan dinasti yang diktator dan mengangkat sang putra
mahkota, Yazid, sebagai penggantinya. Padahal, Yazid bukanlah anak yang
memiliki kepribadian dan karakter agamis dan bahkan tidak berusaha
menunjukkannya dengan berlaga dan berpura-pura suci. Umurnya dihabiskan untuk
menikmati hiburan tembang, musik, minuman arak, permainan atraktif kera, dan
lain-lain tanpa menghormati hukum-hukum agama.
Terlebih lagi, Yazid tidak mempercayai
agama dan ajarannya. Hal ini tampak tatkala sejumlah tawaran dari keluarga Nabi
SAW dan sederetan kepala para syahid yang penggal di padang Karbala diarak
memasuki kota Damaskus. Pada saat itu, ia muncul untuk menonton arak-arakan
prajuritnya. Ketika terdengar olehnya gaok parau burung gagak, segera ia
berkata sebagai berikut (Dinukil oleh al-Alusi dalam tafsirnya, Ruuhul Ma’aani,
jilid 26/66, dari Tarikh Ibn al-Wardi dan Kitab al-Wafi bi al-Wafiyya):
Gagak itu telah menggaok
Kujawab, biar kau katakan sesuatu
atau tidak
Kini aku telah mengambil penuh
Tuntutanku atas sang Rasul
Ketika semua tawanan dari keluarga Nabi
dan kepala para syahid dihadapkan kepada Yazid, ia melantunkan bait-bait syair
yang diantaranya sebagai berikut:
Telah
bermain (Bani) Hasyim dengan kekuasaan
Meski
tidak ada berita yang datang
Pun
wahyu yang turun
Pemerintahan Yazid sebagai kepanjangan
tangan politik Muawiyah telah berhasil memperlakukan Islam dan Muslimin,
diantaranya, dengan menghilangkan hubungan Ahlulbait Nabi SAW dengan umat Islam
dan para pengikutnya dari ingatan mereka.
Dalam kondisi demikian ini, sebuah cara
dan langkah yang paling dapat memastikan terkuburnya Ahlulbait dan runtuhnya
asas kebenaran ialah bahwa Sayidus Syuhada, al-Husain, menyatakan
baiatnya kepada Yazid dan mengakuinya sebagai khalifah Rasulullah SAW yang
berdaulat dan harus ditaati.
Imam
Husain Terhadap Baiat Yazid
Bersandar pada khalifah sejati
sebelumnya, al-Husain tidak siap membaiat Yazid: baiat yang berakibat fatal dan
akan menginjak-injak agama dan ajaran sucinya. Baginya, tidak ada lagi taklif
(kewajiban agama) selain menolak baiat. Sikap inilah yang hanya direstui oleh
Tuhan.
Dari sisi lain, sikap penolakan
al-Husain tersebut malah meninggalkan resiko yang menyakitkan sebab kekuatan
besar yang begitu tangguh untuk dilawan saat itu mengarahkan segenap wujudnya
dalam meminta baiat (yakni, merebut baiat atau memenggal kepala), dan tidak
akan puas selain mendapatkan baiat. Oleh karena itu, kematian al-Husain dibalik
penolakan baiatnya kepada penguasa adalah kepastian yang tidak bisa ditawar.
Al-Husain dengan mempertimbangkan
kemaslahatan Islam dan Muslimin mengambil keputusan tegas untuk tidak
memberikan baiatnya dan siap dibunuh. Begitu mantapnya beliau memilih mati ketimbang
hidup.
Keputusan dan pilihan ini beliau ambil
sesuai dengan kewajiban Tuhan atasnya untuk menolak baiat dan memilih mati.
Pada titik inilah, kita memahami isyarat yang tekandung dalam sejumlah riwayat,
yakni tatkala Rasulullah berkata kepada sang cucu, al-Husain, dalam mimpinya,
“Sesungguhnya Allah ingin melihatmu terbunuh.” Pernyataan yang sama terdapat
dalam jawaban beliau kepada mereka yang menahan keputusan kebangkitannya,
“Bahwasanya Allah ingin melihatku terbunuh.”
Bagaimanapun, maksud keinginan Allah ini
adalah kehendak tinta (tasyri’i), bukan kehendak cipta (takwini) karena
kehendak cipta Allah -sebagaimana yang sudah dijelaskan pada tempatnya -tidak
berpengaruh dalam kehendak dan tindakan.
Memilih
Kematian di atas Kehidupan
Memang, pemuka para syuhada (Sayyidus
Syuhada), al-Husain, telah mengambil keputusannya untuk menolak berbaiat kepada
Yazid dan menerima resiko kematiannya. Ia mengutamakan kematian daripada
kehidupan dunia. Rangkaian kejadian yang menyusul setelahnya membuktikan ketetapan
keputusan beliau tersebut karena kesyahidannya, yang berlangsung dalam keadaan
yang menggetirkan rasa dan dengan cara yang begitu keji, menandaskan
ketertindasan Ahlulbait SAW dan keberpihakan mereka kepada kebenaran. Lebih
lagi, sepanjang dua belas tahun pasca-kesyahidannya, berbagai kebangkitan dan
perlawanan yang dihadapi dengan penumpasan berdarah datang silih berganti.
Sampai akhirnya, rumah itu -yang tak
seorangpun mengetuk pintunya semasa hidup al-Husain -menjadi relatif tenang
pada masa Imam Muhammad Baqir dan mulai kembali dibanjiri para pengikut dan
pecinta dari berbagai pelosok. Sejak saat itu, jumlah pengikut Ahlulbait, dari
hari ke hari, terus membesar dan menebarkan kebenaran serta kegemilangan mereka
di banyak negeri. Semua itu berawal dari kebenaran dan ketertindasan Ahlulbait
yang dipelopori oleh Imam al-Husain.
Kini, memperbandingkan kondisi Ahlulbait
Nabi SAW dan kadar kepercayaan kepada mereka pada masa hidup al-Husain dengan
kondisi pasca-kesyahidannya sepanjang empat belas abad yang terus segar dan
mengakar dari tahun ke tahun, menyingkapkan kebenaran dan ketetapan keputusan
beliau.
Atas dasar ini pula, Muawiyah
mewasiatkan kepada Yazid bahwa jika Husain bin Ali menolak baiat, maka biarkan
dia dan jangan sampai membuatnya terusik. Ia tahu bahwa Husain bukanlah orang
yang bisa bernegosiasi untuk berbaiat dan bahwa sekiranya Yazid membunuhnya,
itu sama artinya ia sendiri telah mengangkat Ahlulbait sebagai pihak yang
mazluum ‘tertindas’. Hal inilah yang membahayakan dan mengancam Dinasti Umayyah.
Pada saat yang sama, hal itu membuka jalan sosialisasi dan kemajuan yang paling
efektif bagi Ahlulbait Nabi SAW.
Berbagai
Isyarat Imam Husain pada Kewajibannya
Al-Husain mengetahui dan meyakini adanya
kewajiban Tuhan agar menolak baiat. Beliau menyadari -lebih daripada masyarakat
yang ada -Kekuatan besar dan ketangguhan Bani Umayyah serta awak Yazid. Beliau
juga benar-benar mengetahui bahwa konsekuensi penolakannya ialah kematian dan
pelaksanaan tugas Ilahi akan berakhir pada kesyahidannya. Kesadaran yang dalam
ini beliau nyatakan dalam berbagai kesempatan dan ungkapan.
Dalam pertemuannya dengan gubernur
Madinah yang memintanya untuk berbaiat, Imam al-Husain mengatakan, “Orang
sepertiku tidak akan membaiat orang seperti Yazid.”
Ketika pada malam hari keluar dari
Madinah, ia menyampaikan hadis yang diterimanya dari datuknya, Rasulullah SAW,
dalam mimpinya, “Sesungguhnya Allah menghendaki (yakni, dalam rangka takiif)
bahwa aku akan dibunuh.” Pernyataan yang sama beliau sampaikan dalam khutbahnya
saat bergerak dari Makkah untuk menjawab keinginan orang-orang agar beliau
mengurungkan niat menuju Irak.
Salah satu pemuka Arab dengan keras
meminta Imam al-Husain agar membatalkan perjalanannya menuju Kufah (Irak) dan
berusaha memperingatkan resiko kematian kepadanya. Namun, beliau menjawab,
“Resiko ini bukan tidak jelas bagiku, hanya saja mereka tidak akan
membiarkanku. Kemanapun aku pergi dan dimana pun aku berada, mereka akan
membunuhku.”
Selain itu, ada sebagian riwayat, yang
kendati bertentangan dengan yang lainnya atau lemah (dha’if) sanadnya, dengan
merujuk kepada kondsi saat itu dan menganalisis kasus-kasus tersebut, malah
menguatkan isyarat-isyarat al-Husain di atas.
Strategi
Al-Husain Sepanjang Perlawanan
Tentunya, apa yang kami katakan bahwa
tujuan kebangkitan al-Husain ialah kesyahidan dan Tuhan menuntut kesyahidannya,
tidak berarti bahwa Tuhan menghendaki agar beliau menolak baiat kepada Yazid
lalu bergegas memberitahu orang-orang Yazid supaya datang membunuhnya sehingga,
dengan cara yang ‘lucu’ ini, beliau menyelesaikan tugas Ilahinya sembari
meyebut cara itu sebgai suatu perjuangan.
Sesungguhnya tugas al-Husain ialah
kebangkitan melawan kekuasaan busuk Yazid dan menolak baiat kepadanya.
Penolakan tegas ini, yang berakhir dengan kesyahidannya, harus dituntaskannya
sesempurna mungkin melalui cara yang mungkin ia tempuh.
Dari sinilah, kita bisa melihat
bagaimana strategi dan taktik al-Husain sepanjang perlawanannya begitu luwes
menurut perkembangan kondisi. Sejak awal pergerakannya yang ditekan oleh Gubernur
Madinah, al-Husain bergerak dari kota itu pada malam hari menuju Makkah, Kota
kehormatan Allah dan keamanan agama. Disanalah, beliau berlindung selama
beberapa bulan. Selama itu pula, beliau diawasi agen rahasia penguasa, sampai
saatnya usaha pembunuhan terhadapnya diputuskan oleh sekelompok utusan di musim
haji atau penangkapan atasnya untuk segera diserahkan ke pusat kekuasaan di
Syam (Syiria).
Pada saat yang bersamaan, banjir surat
terus mengalir deras dari masyarakat Irak kepada beliau. Lewat ratusan dan
ribuan surat itu, mereka mengundang beliau untuk datang ke sana sambil
menyatakan jaminan dan ikrar setia untuk membelanya. Al-Husain pun mengambil
keputusan tegas untuk memulai perlawanan bersenjata tatkala surat terakhir dari
penduduk Kufah (Irak) yang melengkapi kebulatan tekad mereka tiba ditangan
beliau. Sebagai upaya menyempurnakan Hujjah atas mereka, pertama-tama al-Husain
mengutus Muslim bin Aqil selaku delegasinya ke kota itu. Selang beberapa waktu,
beliau menerima surat dari Muslim yang menerangkan bahwa kondisi kota dan
masyarakat di sana mendukung rencana beliau.
Dengan menimbang dua faktor tersebut,
yakni masuknya orang-orang penguasa Syam secara rahasia dalam rangka membunuh
atau menangkap beliau dan kehormatan Baitullah (Rumah Allah) serta kesiapan
penduduk Kufah untuk menyertai perlawanannya, al-Husain bergerak menuju kota
itu (Kufah). Ditengah perjalanan, beliau menerima berita terbunuhnya Muslim dan
Hani secara kejam. Lalu, beliaupun mengubah taktik perlawanan dan perang
agresifnya menjadi perlawanan defensif dan segera melakukan penyeleksian atas
jamaah yang melingkunginya. Hanya orang-orang yang setialah yang dapat bertahan
bersama sang penghulu para syahid, hingga darah penghabisan untuk kemudian
menjumpai kesyahidan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar