oleh Ayatullah
Murtadha Muthahhari (teolog dan filsuf)
“Kezuhudan orang
arif berbeda dengan kezuhudan orang yang tidak arif” (Ibn Sina)
Salah-satu ajaran
Islam yang memberikan kehidupan adalah konsep kezuhudan. Namun, boleh dikatakan
bahwa dewasa ini kezuhudan tampil dalam maknanya yang mati, atau menyimpang
serta berubah dari makna aslinya. Dalam pertemuan sebelumnya, telah saya
sampaikan dua macam pengertian zuhud. Kedua pengertian tersebut ternyata tidak
relevan dengan ajaran Islam. Arti zuhud adalah perasaan puas dengan kehidupan
yang serba sederhana dalam hal makan, berpakaian, dan bertempat tinggal. Dalam
semua aspek kehidupannya, orang zuhud akan merasa puas dengan kehidupan yang
serba sederhana.
Namun, perbuatannya
tersebut harus dilakukan berdasarkan hikmah dan filosofi tertentu, bukan
berdasarkan keyakinan bahwa urusan dunia terpisah dari urusan akhirat. Juga
bukan didasari pengertian bahwa kenikmatan duniawi dan ukhrawi bersifat
kontradiktif dan saling bertolak belakang satu sama lain. Orang menjalani
kezuhudan (hidup dalam kesederhanaan) dikarenakan kondisi dan keadaan tertentu
yang di hadapinya —sebagaimana yang telah saya kemukakan, hal ini berhubungan
dengan masalah mementingkan orang lain (îtsâr).
Tatkala seseorang
menjumpai orang miskin yang membutuhkan, sementara dirinya mampu memberikan
bantuan serta kebaikan, tentu ia akan segera membantunya. Tindakan ini muncul
dikarenakan ia memiliki sikap lebih mementingkan orang lain (terlebih fakir
miskin) ketimbang dirinya sendiri. Tindakan berkorban demi orang lain
semacam itu jelas memiliki kemuliaan serta makna filosofis yang amat dalam.
Kenikmatan serta kenyamanan yang dimilikinya dikorbankan demi kenikmatan dan
kenyamanan orang lain. Perbuatan semacam ini mendapat pujian dari Al-Quran,
yang salah satunya tercantum dalam surat Al-Insan (hal atâ), yang
diungkapkan dengan bahasa yang sangat menyentuh.
Dalam sejarah terdapat
kisah yang sangat populer berkenaan dengan sikap mementingkan orang lain. Imam
Ali dan keluarganya yang suci memberikan makanan (untuk mereka berbuka puasa) kepada
orang miskin (pada malam pertama), anak yatim (pada malam kedua), dan tawanan
perang (pada malam ketiga). Disebabkan nilai keagungan dan pentingnya
sifat îtsâr, diturunkanlah ayat yang memuji perbuatan tersebut:
“Dan mereka memberikan
makanan yang mereka cintai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan
perang. Sesungguhnya kami memberi makan kalian semata mengharap
keridhaan Allah dan kami tidak mengharapkan balasan dari kalian dan ucapan
terima kasih.”[1]
Mereka justru
memberikan makanan yang dibutuhkan pada saat melihat orang lain lebih
membutuhkan (seperti orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang tersebut).
Mereka melupakan diri mereka sendiri dan memberikan makanannya kepada orang
lain. Untuk apa semua itu dilakukan? Semata-mata hanya mengharapkan ridho
Allah!
Inilah kezuhudan yang
memiliki makna filosofis yang agung dan sekaligus menjadi tanda kehidupan jiwa
manusia. Sedangkan pengertian zuhud lainnya yang pernah saya sampaikan, tak
lebih dari konsep kezuhudan yang mati dan kering kerontang. Kedua konsep zuhud
tersebut bersumber dari pemikiran yang keliru serta tidak menunjukkan kehidupan
manusia. Mereka menyangka perhitungan dunia dan akhirat terpisah satu sama
lain. la tidak menyadari bahwa ibadah yang dilakukannya tidak hanya memberikan
pengaruh pada kehidupan akhirat, tapi juga terhadap kehidupan dunia.
Sebagaimana berpengaruh bagi kehidupan dunia, ihwal keduaniawian juga berpengaruh
kepada kehidupan akhirat. Pemikiran yang keliru telah menjadikan manusia keliru
pula dalam melangkah.
Pemikiran tersebut
akan membentuk manusia menjadi makhluk yang tidak berperasaan dan memiliki hati
yang mati. Orang yang salah kaprah dalam
mengartikan zuhud akan meninggalkan urusan dunia dan kehidupan duniawi. la akan
pergi ke gua atau puncak gunung untuk duduk menyendiri, bersemedi, dan
mengasingkan diri. la menyangka, melalui cara ini dirinya akan memperoleh
kebahagiaan di akhirat. Pada akhirnya, ia tidak merasakan kenikmatan duniawi,
juga kenikmatan ukhrawi. Dirinya tidak lagi memiliki perasaan dan kepekaan
terhadap lingkungannya serta tidak memiliki pengaruh bagi manusia lain. Semua
itu merupakan pengertian zuhud yang salah kaprah.
Pengertian keliru
lainnya bersumber dari prasangka bahwa Tuhan bakhil. Tuhan akan memberikan
kenikmatan duniawi kepada orang yang meninggalkan kenikmatan akhirat.
Sebaliknya, Allah akan memberikan kenikmatan akhirat kepada orang yang
meninggalkan kenikmatan duniawi. Kita menyangka bahwa mustahil manusia bisa
hidup bahagia sekaligus di dunia dan di akhirat.
Pada akhirnya, kita
lantas mengharamkan kenikmatan duniawi atas diri kita sendiri agar bisa
mencicipi kenikmatan ukhrawi. Ini juga merupakan pengertian zuhud yang absurd.
Keberadaan orang yang berkeyakinan seperti ini tak lebih dari seonggok makhluk
yang sudah mati.
Keridhaan Allah Swt
akan dijumpai seseorang dalam berbuat kasih sayang, saling mengasihi, serta
mengabdi kepada makhluk-Nya. la akan menemukan keridhaan Allah dalam ayat yang
berbunyi: “… dan mereka mengutamakan orang-orang muhajirin atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan…”[2] bahwa dirinya mesti meninggalkan kenikmatan duniawi untuk diri
sendiri, dan memberikannya kepada orang lain. Dengan sikap seperti ini, ia akan
menjelma menjadi makhluk hidup yang memiliki kedudukan tinggi. Orang seperti
inilah yang akan menjadi hidup –tepatnya lagi, menjadi manusia yang paling
hidup.
Telah saya katakan
bahwa salah satu doktrin filosofis kezuhudan adalah menjalani kebersamaan dalam
merasakan penderitaan. Manusia harus hidup dengan merasakan penderitaan orang
lain. Perbedaan kasta yang membedakan antara kelompok “perahu-perahu
kenikmatan” (orang-orang kaya) dengan “lautan penderitaan” (orang-orang
miskin), merupakan ajaran yang keliru. Saya tidak mengatakan bahwa manusia
harus hidup dalam satu tingkatan. Tidak. Ini bukanlah pendapat yang benar.
Taraf hidup manusia berbeda-beda berdasarkan potensi, kemampuan, dan upaya
masing-masing. Kehidupan merupakan ajang perlombaan. Setiap orang yang lebih
keras dalam bekerja akan meraih untung yang lebih banyak dan lebih baik. Untuk
memperoleh kekayaan, seseorang tidak boleh menempuh jalan diskriminasi dan
berbagai tindak kejahatan. la harus menempuhnya dengan cara yang layak serta
kerja keras dan ketekunan. Demikian pula, jangan sampai seseorang menderita
kemiskinan dikarenakan kemalasan dirinya — bukan disebabkan tidak adanya
penolong.
Imam Ali
berkata: “Apabila orang-orang tidak datang kepada saya, dan para
pendukung tidak mengajukan hujjah, dan apabila tak ada perjanjian
Allah dengan ulama bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam keserakahan
si penindas dan laparnya orang tertindas, tentu saya sudah
melemparkan kekhalifahan dari bahu saya, dan memperlakukan orang
yang terakhir sama seperti terhadap orang yang pertama.”
Imam Ali berbicara
tentang kekhalifahan yang beliau terima pasca terbunuhnya Utsman bin Affan.
Beliau menerima kekhalifahan dalam kondisi yang benar-benar tidak
menguntungkan. Sebelumnya beliau enggan menerima tanggung jawab kekhalifahan.
Waktu itu, ketika didesak agar berkenan menerima kekhalifahan, beliau
berkata: “Tinggalkanlah saya dan carilah omng selain saya, kita akan
menghadapi berbagai macam kejadian dan peristiwa di masa yang akan datang.”
Atas dasar
pengetahuannya tentang berbagai kejadian yang akan muncul di masa datang,
beliau menolak menerima tanggung jawab tersebut. Namun, pada akhirnya, beliau
menganggap hal itu sebagai suatu kewajiban bagi dirinya, dan kemudian berkenan
menerimanya. Kewajiban apa? Pada dasarnya, Allah telah memegang janji para
ulama, di mana Dia kemudian menetapkan tugas yang harus mereka emban. Apa tugas
ulama? Salah satunya adalah memimpin kebangkitan tatkala di tengah-tengah
masyarakat terdapat sejumlah orang yang perutnya kenyang lantaran terlampau
banyak makan, namun tidak membuat kenyang perut orang lain. Dalam kondisi
seperti ini, ulama wajib bangkit untuk membuat orang-orang yang kelaparan
menjadi kenyang dan menghapuskan diskriminasi yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat.
Apakah cuma itu tugas
ulama? Tidak. Selain itu, ulama harus merasakan penderitaan orang lain.
Seseorang yang memiliki taraf hidup tertentu harus merasakan penderitaan orang
yang taraf hidupnya lebih rendah. Kadangkala, apapun yang kita upayakan tidak
juga mampu meningkatkan taraf hidup (orang lain). Karenanya, yang bisa kita
lakukan hanyalah turut merasakan penderitaan orang yang hidup sengsara.
Di masa Imam Ja’far,
terjadi musim kemarau yang cukup panjang. Kondisi saat itu sangatlah kritis.
Saat itu masyarakat menjadi gelisah. Orang-orang mulai membeli makanan dan
menyimpannya. Dan untuk berjaga-jaga, mereka kebanyakan menyimpan cadangan
makanan dua kali lipat lebih banyak dari kebutuhan. Imam Ja’far Shodiq kemudian
bertanya kepada pegawainya: “Apakah kita menyimpan makanan di rumah?” Pegawai
tersebut menduga bahwa Imam akan menyuruhnya menyimpan makanan lebih banyak
lagi mengingat masa sulit yang akan berlangsung selama bertahun-tahun. Di luar
dugaannya, Imam mengeluarkan perintah: “Berapapun gandum yang kita miliki,
bawalah ke pasar dan jual kepada masyarakat.” Pegawai tersebut berkata: “Apakah
tuan tidak tahu, jika kita menjualnya, kita tidak akan mampu lagi membelinya.”
Imam berkata: “Apa yang dilakukan masyarakat umum?” Pegawai itu menjawab:
“Setiap hari mereka membeli roti yang terbuat dari gandum yang dicampur
dengan sya’ir (sejenis gandum) di pasar.” Imam Ja’far berkata:
“Juallah semua gandum yang ada, dan mulai besok, belilah roti untuk kita, sebab
kita tidak bisa menjadikan masyarakat mampu memakan gandum seperti kita
lantaran kondisi yang tidak memungkinkan, namun paling tidak kita bisa meniru
kondisi hidup yang mereka hadapi dan merasakan penderitaan mereka sehingga
tetangga kita akan mengatakan: ‘Biarlah saya memakan roti yang terbuat
dari sya’ir karena Imam Ja’far juga memakannya, padahal dia mampu
membeli roti gandum.’” Mengapa kita memilih kehidupan seperti ini? Tak lain
dikarenakan kita ingin turut serta merasakan penderitaan orang lain.
FAKTOR KEBEBASAN DAN KEMERDEKAAN
Makna filosofis
kezuhudan yang ketiga adalah kebebasan dan kemerdekaan. Al-Quran tidak pernah
mengharamkan kenikmatan yang halal bagi manusia. “Katakanlah:
‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telah dikeluarkari-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik?”[3] Al-Quran
tidak pernah melarang manusia untuk memanfaatkan kenikmatan yang halal demi
mencapai kebahagiaan ukhrawi. Terdapat topik lain yang perlu saya sampaikan di
sini, yakni tentang orang-orang yang memiliki harapan untuk hidup bebas dan
mendapatkan kebebasan, yang senantiasa berusaha keras untuk melepaskan belenggu
yang mengikat tangan dan kakinya, tentunya sebatas kemampuan yang dimiliki.
Coba Anda perhatikan!
Kita hidup di dunia ini dengan memiliki mata rantai kebutuhan dan keperluan.
Berdasarkan hukum penciptaan, kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak bisa kita
hilangkan. Kita membutuhkan makan dan sampai batas terjauh dari kemampuan kita
pun, kita tidak hjsa membebaskan diri dari kebutuhan tersebut. Dengan demikian,
kita tetap harus makan. Tubuh amat memerlukan pengganti dari segenap hal yang
sudah dicerna. Kita tidak bisa membebaskan diri dari udara yang digunakan untuk
bernafas. Juga tidak bisa terbebas dari air, atau sampai batas tertentu, dari
pakaian. Semua itu merupakan ukuran keterikatan penciptaan dan alam yang
berakar dalam diri kita.
Di samping itu,
terdapat pula mata rantai pengekang yang ada dalam diri manusia. Mau tidak mau,
manusia akan terikat olehnya, dan menjadikan kebebasan tercabut dari dirinya.
Salah satunya, mata rantai kebiasaan. Dalam jaman modern ini, kita menjumpai
berbagai bentuk kebiasaan. Barangkali teramat jarang orang yang tidak memiliki
kebiasaan. Rata-rata dari kita, minimal, memiliki satu kebiasaan. Setidaknya
kita memiliki kebiasaan meminum teh. Saat tidak meminum air teh, kita akan
merasa gelisah. Banyak orang yang punya kebiasaan merokok. Jika tidak merokok,
mereka tidak bisa berkonsentrasi. Tak sedikit pula orang yang memiliki
kebiasaan yang berbahaya dan diharamkan, misalnya kecanduan opium, atau bahkan
lebih buruk dari itu.
Semakin sering
terbiasa terhadap sesuatu, seseorang akan lebih terikat dan tertawan kebiasaan
tersebut. Pada saat tertawan, manusia tak lagi memiliki kebebasan. Persoalan
ini bukan hanya berkenaan dengan kebiasaan minum teh, merokok, dan menggunakan
opium. Tapi juga dengan kebiasaan tidur di atas kasur dan bantal yang empuk.
Apabila dalam kondisi tertentu, orang yang memiliki kebiasaan seperti ini harus
tidur di atas karpet atau tanah, ia tentu sama sekali tidak akan bisa terlelap.
la sudah terikat dengan kebiasaannya.
Sebaliknya, Anda bisa
melihat bagaimana orang yang hidup sederhana di dunia tanpa mengharamkan
kenikmatan Tuhan atas dirinya dan tidak menganggapnya haram, serta tidak
meninggalkan urusan kehidupan (duniawi). Mereka senantiasa berada dalam
kehidupan, namun hati mereka menghendaki kehidupan yang serba sederhana. Mereka
ingin mengenakan baju yang paling sederhana, menyantap makanan yang paling
sederhana, rumah dan kendaraan yang juga paling sederhana. Mengapa? Alasannya,
mereka tidak ingin menukar kebebasannya dengan sesuatu yang lain. Sedikit saja
mengikatkan diri kepada sesuatu, mereka dengan serta merta akan menjadi
tawanannya. Pada saat menjadi tawanan sesuatu, mereka layaknya orang yang
terkekang oleh ribuan rantai pengikat. Orang semacam ini tak bisa hidup bebas.
Karena itu, kehidupan
para nabi yang agung dan tokoh-tokoh masyarakat akan senantiasa diliputi
kesederhanaan. Apabila sebaliknya, di mana kehidupan mereka dilumuri dengan
perhiasan (yaitu kehidupan yang halal dan diperbolehkan), mereka mau tak mau
harus meninggalkan kursi kepemimpinan. Kehidupan yang dipenuhi perhiasan tidak
sesuai dengan prinsip kepemimpinan yang mengharuskan hidup sederhana. Kehidupan
sederhana akan menjadikan seseorang leluasa dan bebas bergerak.
Kita membaca
keterangan tentang kondisi Rasulullah SAWW yang menyatakan bahwa ‘Rasulullah
hidup sederhana’. Pertama kali yang kita akan saksikan dalam sejarah Nabi
SAWW adalah sesosok pribadi yang gemar memberikan bantuan. Mulai dari pakaian
dan makanannya, cara duduk dan berdirinya, serta bekal perjalanan yang beliau
miliki sangatlah sederhana.
BATASAN DAN IKATAN
Lihatlah bagaimana
seluruh pengikat yang diciptakan manusia untuk dirinya sendiri telah menghambat
kemajuan dirinya. Keterikatan dalam diri seseorang akan menginjak-injak dirinya
sendiri. Saya akan memberikan contoh seperti ini; misalnya saya seorang tokoh
agama yang terkenal. Saya seorang Hujjatul Islam atau Ayatullah. Apakah saya
harus pergi berziarah ke Masyhad? Saya berpikir, tidak mudah untuk pergi ke
Masyhad. Bagaimana caranya agar saya bisa memasuki (makam Imam Ali Ridha as)?
Dari pintu manakah saya harus masuk (ke makam)? Bagaimana jika orang-orang
melihat saya? Saya berpikir ini dan itu. Anda akan melihat bahwa waktu terus
berjalan sedangkan saya tetap tidak melakukan hajat yang paling sederhana
sekalipun (pergi berziarah ke makam Imam Ridha, —peny.), apalagi untuk
suatu kepergian yang sifamya wajib seperti menunaikan haji ke Makkah. Saya
telah terbelenggu pelbagai persyaratan dan ikatan. Karenanya, saya tidak bisa
pergi dengan leluasa.
Rasulullah justru
memiliki kehidupan yang sederhana sekali. Jika kehidupan beliau tidak mudah dan
ringan, tentu beliau tidak akan mampu memimpin umatnya. Pada saat berpuasa,
apakah beliau harus memanaskan poci untuk minum teh yang mana jika tidak maka
beliau akan dipersalahkan? Tak ada perbedaan antara hari puasa atau hari biasa.
Kadangkala Nabi baru pulang ke rumahnya setengah jam setelah usai menunaikan
shalat Isya. Anas bin Malik, budak Nabi, mengatakan; “Makanan Rasulullah
biasanya segelas susu dan sekerat roti. Sewaktu pulang ke rumah, Nabi memakan
makanan yang sederhana ini, dan setelah itu Nabi melakukan pekerjaannya.
Nabi makan sedikit dan
beristirahat selama dua jam sudah cukup baginya. Setelah bangun tidur, beliau
beribadah kepada Allah. Menurut nash al-Quran, Rasulullah tidak tidur selama
dua pertiga malam.”
Al-Quran diturunkan di
suatu tempat yang bisa disaksikan banyak orang. Jika tidak, maka lawan akan
mengingkarinya dan kawan pun tidak akan mempercayainya, dan mengatakan: “Yang
kita lihat, Nabi tidak terjaga, mengapa al-Quran mengatakan beliau tidak tidur
pada dua pertiga malam? Menurut al-Quran, Nabi minimal terjaga dan melakukan
ibadah pada sepertiga malam, dan terkadang pada pertengahan malam atau dua
pertiga malam. Pribadi mulia ini tidak beristirahat barang sebentar pun mulai
dari waktu subuh hingga akhir malam. ‘Rasulullah hidup sederhana’. Saya
pernah membaca syair Parsi yang ditulis Atsiruddin Akhsitegi sehubungan dengan
masalah ini. Isi syair tersebut sungguh luar biasa:
Di tengah-tengah lautan
peristiwa,
tanggalkanlah pakaian
Anda,
dengan telanjang Anda
dapat mengarunginya.
Jika Anda ingin
menyelam ke dalam lautan peristiwa, pertama-tama Anda harus menelanjangi diri
dulu agar dapat berenang. Orang yang mengenakan baju yang memiliki bobot yang
berat (seperti jubah, sorban, dan sejenisnya), akan tenggelam ketika ia
berupaya menyelam di dalam sungai besar. Itu dikarenakan beratnya beban baju
yang dikenakan. Orang seperti ini tidak bisa mengarungi lautan peristiwa.
Syarat pertama untuk bisa mengarungi lautan peristiwa adalah bertubuh
telanjang. Orang yang tidak ingin terjatuh atau menyengaja terjun ke dalam
sungai “peristiwa”, dan hanya ingin hidup di “pinggiran” kehidupan masyarakat,
pada dasarnya adalah orang yang tidak memiliki keinginan untuk memperbaiki
masyarakatnya. Dengan demikian, orang semacam ini bebas mengenakan baju yang
dikehendakinya. Sementara, orang yang ingin terjun ke dalam lautan masyarakat, harus
terlebih dahulu menelanjangi dirinya, baru setelah itu ia bisa mengarungi
lautan peristiwa kemasyarakatan. Orang yang terbelenggu oleh banyak hal, tidak
akan bisa memasuki lautan masyarakat, apalagi memimpinnya.
Bagaimana dengan
kehidupan pribadi Imam Ali as? Dalam khotbahnya yang termasyhur, beliau
menyifati Nabi:
“Rasulullah memiliki
kehidupan yang sangat sederhana. Demikian pula dengan para Nabi yang berkuasa,
seperti Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as. Meskipun memiliki kekuasaan dan
fasilitas, kehidupan pribadi Nabi Daud as sangatlah sederhana. Beliau membuat
baju besi, yang kemudian dijual sendiri ke pasar. Dengan cara inilah beliau
hidup.” Tentang Nabi Isa as, Imam Ali mengatakan: “Begitu sederhana dan
bebasnya hidup Nabi Isa, sampai-sampai kendaraan beliau adalah kedua kakinya.
Pelita beliau di malam hari adalah sinar rembulan.”
Nabi Isa bukanlah
tawanan pelita atau kendaraan tunggangan. Seperti inilah kehidupan seluruh para
Nabi. Mereka menjalani kehidupan seperti itu agar bisa memimpin masyarakat.
Dengan demikian, kezuhudan yang memiliki makna filosofis yang mendalam adalah
kezuhudan seperti ini, dan bukan kezuhudan yang didasari atas keyakinan bahwa
kenikmatan dunia bertentangan dengan kenikmatan akhirat, atau anggapan bahwa
kehidupan duniawi terpisah dari ibadah. Kezuhudan demikian jelas keliru dan
mematikan. Adapun zuhud para Nabi adalah zuhud yang menghidupkan.
(Mahatma) Gandhi
merupakan seorang tokoh yang berasal dari India. Sewaktu ingin memimpin dan
membebaskan empat ratus juta (400.000.000) rakyat India dari cengkeraman
penjajah, ia tidak mempunyai jalan lain kecuali meneladani model kehidupan para
Nabi. la memilih hidup sederhana untuk dirinya sendiri. la mengenakan kain
sederhana yang melekat ditubuhnya seraya mengatakan: “Dengan ini saya bisa
hidup.”
Apa filosofi kezuhudan
Gandhi? Dari satu sisi, Gandhi terjun ke dalam kehidupan masyarakat, serta
berkeinginan untuk membebaskan masyarakat dari cengkeraman cakar penjajah. Dari
sisi yang lain, ia hidup zuhud sedemikian rupa dan hanya memiliki kain
sederhana yang melekat di tubuhnya. Dalam pada itu, ia menyeru kepada rakyat
India: “Jika kalian ingin terbebas dari cengkeraman penjajah, hiduplah secara
zuhud.” Maksudnya, hiduplah dalam kesederhanaan supaya Anda bisa terbebas.
Setelah Anda bebas, dan ingin memperindah hidup Anda, silahkan lakukan, tapi
jangan sampai diri Anda terbelenggu dan kembali tidak bebas. Jenis kezuhudan
semacam ini mengandung filosofi kebebasan dan kemerdekaan.
ZUHUD DAN TUNTUTAN JAMAN
Terdapat topik lain yang
akan saya kemukakan kepada Anda, yang berkenaan dengan kezuhudan dan tuntutan
jaman. Keadaan jaman senantiasa berbeda-beda. Pada suatu jaman, kehidupan zuhud
menjadi tugas bagi manusia, dan tidak pada masa yang lain. Jika kita menelaah
kehidupan mulia Rasulullah SAWW dan Imam Ali as, kita akan menjumpai bahwa
bentuk kehidupan mereka berdua sedikit berbeda dengan bentuk kehidupan Imam
Muhammad Baqir as dan Imam Ja’far as. Kehidupan Rasulullah SAWW dan Imam Ali as
lebih sederhana dan lebih zuhud dibandingkan dengan kehidupan Imam Muhammad
Baqir as, Imam Ja’far Shadiq as, Imam Musa bin Ja’far as, dan Imam Ali Ridha
as. Bahkan kehidupan para imam tersebut juga berbeda dengan kehidupan Imam
Hasan Mujtaba as.
Dari mana datangnya
perbedaan tersebut? Sesuai dengan keterangan sebelumnya, jawaban atas
pertanyaan tersebut menjadi sangat jelas. Imam Ja’far telah menjawabnya dengan
gamblang. Pada paruh tengah abad kedua, seorang sufi mendatangi Imam Ja’far
Shadiq. la melihat Imam mengenakan pakaian indah dan halus. Kemudian ia
mengatakan: “Wahai putra Rasulullah, mengapa Anda mengenakan pakaian mahal dan
mewah?” Imam menjawab: “Silahkan duduk dan dengarkan jawaban saya. Kadangkala
Anda berbuat suatu kekeliruan dalam bertindak (bukan dengan sengaja) dan
kadangkala Anda mengerti (makna sebenarnya dari zuhud) akan tetapi Anda hendak
menipu orang-orang awam. Jika Anda memang tidak ada keinginan untuk menipu
masyarakat dengan menggunakan bentuk penampilan sederhana, duduklah dan saya
akan berbicara denganmu.”
Imam Ja’far berbicara
panjang lebar dengannya dan sedikitpun ia tidak mampu membantah ucapan Imam.
Setelah itu dia pergi dan taklama kemudian kembali lagi bersama serombongan
sahabatnya.
Kisahnya sangat
panjang. Saya ingin memfokuskannya hanya pada satu noktah penting. Rombongan
yang datang melontarkan protes atas penampilan Imam dengan mengatakan: “Mengapa
Anda mengenakan pakaian mewah?” Imam Ja’far menjawab: “Mungkin Anda berpikir,
jika mengenakan pakaian mewah merupakan perbuatan baik, mengapa Rasulullah SAWW
dan Imam Ali as tidak mengenakannya? Dan apabila itu merupakan perbuatan buruk,
mengapa Anda mengenakannya?” Mereka menjawab: “Benar, itu yang akan kami
katakan.” Kembali Imam menjelaskan: “Kalian tidak mengikuti perkembangan jaman.
Menurut pandangan Islam, mengenakan pakaian mewah bukanlah sebuah dosa. Allah
menciptakan semua kenikmatan duniawi untuk dimanfaatkan manusia. Dan Allah
tidak menciptakan segala kenikmatan ini untuk dijauhi manusia. Allah
menciptakannya supaya kita bisa memanfaatkannya. Namun, terkadang, dikarenakan
kondisi dan tujuan (filsafat) tertentu kita diharuskan berpaling dari
kenikmatan-kenikmatan tersebut. Salah satunya jika kita berada dalam suatu
kondisi kehidupan masyarakat yang sedang sangat kesulitan dan kritis. Dengan
kata lain, kita hidup di tengah masyarakat yang tengah mengalami krisis
ekonomi. Jika hidup dalam masyarakat seperti ini, sementara kita memiliki
fasilitas hidup mewah, kita tidak boleh hidup secara mewah. Sebab, jika kita
hidup mewah, berarti kita tidak merasakan penderitaan saudara-saudara kita yang
lain. Namun, kadangkala kita hidup dalam masyarakat yang memiliki kondisi
ekonomi yang sangat baik. Dalam kondisi demikian, kita tidak memiliki alasan
untuk menutup mata dari pakaian yang indah.”
Kemudian Imam Ja’far
menambahkan: “Rasulullah dan Imam Ali hidup dalam kondisi dan masa di mana
keadaan ekonomi masyarakat sangatlah buruk. Rasulullah tinggal di Madinah, di
mana di dalamnya terdapat sekelompok orang yang terlantar (ashhâb
ash-shuffah). Mereka adalah orang-orang yang sangat fakir dan miskin.
Tambahan lagi, Madinah saat itu tengah berada dalam situasi peperangan. Negara
atau kota yang sedang berperang dengan negara atau kota lain, mau tak mau akan
mengalami kesulitan ekonomi, terlebih jika pada saat bersamaan mereka dilanda
musim kemarau dan paceklik. Madinah acapkali mengalami kondisi seperti itu.
Dikarenakan keadaan semacam itu, para sahabat yang datang dari luar
Madinah (ashhâb ash-shuffah) terpaksa tinggal di samping
masjid Nabawi. Kehidupan mereka sangat sulit dan menderita, sampai-sampai tidak
memiliki pakaian untuk datang ke masjid dan bergabung dengan jamaah lainnya.
Saking jarangnya pakaian yang dimiliki, mereka terkadang harus bergantian dalam
mengenakan pakaian. Apabila salah seorang usai menunaikan shalat, baju yang
tadi dikenakannya kemudian digunakan orang lain, juga untuk shalat. Dalam
kondisi seperti ini, tidak dibenarkan bagi seorang mukmin mengenakan baju
mewah, meskipun itu dibeli dari hartanya sendiri.
Pernah pada suatu
ketika Rasulullah berkunjung ke rumah putrinya, Sayyidah Fathimah Zahra as.
Ketika sampai, beliau melihat lengan putrinya dibalut gelang perak dan pintu
rumahnya dilapisi tirai berwarna warni. Melihat keadaan putrinya seperti itu,
Rasulullah langsung pulang sebagai isyarat kekurangsenangannya terhadap
penampilan putrinya. Sayyidab Fathimah langsung memahami sikap ayahnya. Dengan
serta merta; beliau melepaskan gelang perak dari tangannya dan menanggalkan
tirai dari pintu rumahnya. Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk menyerahkan
semua itu kepada ayahandanya. “Sampaikan salamku pada ayahku dan katakan bahwa
putrinya yang mengirimkan semua ini untuk digunakan menurut yang terbaik bagi
Rasulullah.” Kemudian Rasulullah memerintahkan seseorang untuk
membagi-bagikannya kepada ashhâb ash-shuffah. Dalam kondisi
seperti ini, seorang mukmin memiliki tugas yang lain (yakni turut merasakan
penderitaan orang lain).
Kepada orang-orang
yang mengkritiknya, Imam Ja’far mengatakan: “Saya sekarang hidup dalam kondisi
yang berbeda dengan kondisi Rasulullah. Jika saya hidup dalam kondisi seperti
kakekku, Rasulullah SAWW, niscaya saya akan bersikap seperti beliau. Dan jika Rasulullah
hidup di masa saya sekarang ini, di mana kondisi ekonomi masyarakat sudah
membaik dan lebih mapan, tentu Rasulullah akan hidup dan (berpenampilan)
seperti saya.” Inilah salah satu filosofi yang lain dari kezuhudan.
ZUHUD DAN KENIKMATAN SPIRITUAL
Filosofi kezuhudan
lainnya adalah suatu keadaan di mana manusia yang tenggelam dalam kenikmatan
material (sekalipun itu halal) tidak akan pernah merasakan kenikmatan
spiritual.
Manusia memiliki
kenikmatan spiritual yang akan mengangkat kekuatan maknawiah dirinya.
Orang yang terbiasa bertahajud dan shalat malam adalah orang yang
tergolong shâdiqîn (orang-orang yang benar), yang bersabar, dan orang
yang memohon ampunan di waktu pagi (al-mustaghfirîna bil ashâr). Mereka
adalah orang-orang yang memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan dari shalat
malam. Kenikmatan yang diperoleh seseorang yang melakukan shalat malam adalah
kenikmatan yang hakiki dan riil. la mendapatkan kenikmatan dari ucapan “astaghfirullâh
wa atûbu ilaihi” (Aku memohon ampunan Allah dan kembali kepada-Nya).
la merasakan nikmat ketika berzikir “al-afwa” (ya Allah, aku mohon
maaf-Mu). la sangat menikmati detik-detik ketika sedang mendoakan sedikimya
empat puluh orang mukmin. la amat menikmati ucapan “ya
rabbi. …ya rabbi” (wahai Tuhan Pemeliharaku… wahai Tuhan
Pemeliharaku….). la tidak pernah merasakan kenikmatan seperti ini dari hal-hal
yang bersifat material. Kenikmatan orang yang mengerjakan shalat malam
sangatlah lezat dan memberikan kekuatan serta semangat hidup.
Akan tetapi, jika kita
tenggelam dalam kenikmatan duniawi, kita tidak akan pernah merasakan kehangatan
spiritualitas yang terkandung dalam shalat malam. Pada permulaan malam,
umpamanya, kita hanya mengobrol, tertawa terbahak-bahak, menggunjing orang lain
yang merupakan perbuatan haram, bersenda gurau, dan setelah itu membentangkan
hidangan untuk makan sampai kita kesulitan bernafas lantaran kekenyangan.
Berpikir dan bergurau membuat kita lelah dan akhirnya tertidur pulas di atas
ranjang. Apakah dalam keadaan seperti ini kita memiliki kesempatan untuk bangun
dari tidur dan kemudian menunaikan shalat subuh, sementara waktu fajar tinggal
dua jam lagi? Dan apakah setelah itu kita mampu mengucapkan dari lubuk jiwa
yang paling dalam, ya rabbi. . . ya rabbi. . .? Kita sama sekali
tidak bisa bangun untuk melaksanakan shalat. Kalaupun bangun, kita akan berada
dalam keadaan yang mirip dengan orang yang sedang mabuk, yang baru meminum
segelas minuman keras.
Jadi, apabila manusia
ingin merasakan kenikmatan spiritual dalam kehidupan di dunia ini, tak ada
jalan lain kecuali harus meninggalkan kenikmatan material dan duniawi. Pada
saat bangun di waktu pagi, Imam Ali as merasakan suasana yang sangat
menakjubkan. Seketika itu juga beliau memandang ke arah-langit yang ditaburi
bintang-bintang ciptaan Allah, seraya mengatakan:
“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda
kebesaran Allah bagi orang-orang yang berpikir, yaitu orang-orang yang mengingat
Allah di saat berdiri, duduk dan berbaring, dan memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi seraya mengatakan: ‘Wahai Tuhan kami, tidak
Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau
dan selamatkanlah kami dari siksa neraka.”[4]
Pada malam hari, insan
beriman ini bangun dari tidurnya dan menghayati kenikmatan bersama Tuhannya
tatkala pandangannya menumbuk bintang di langit, seraya membacakan ayat yang
merupakan suara kebenaran dan kemudian menyatu dengan alam wujud. Kenikmatan seperti
ini tak akan tertandingi oleh seluruh kenikmatan material di jagat alam. Insan
semacam ini tidak bisa hidup seperti kita. Beliau tidak bisa duduk di hadapan
hidangan yang menyajikan berbagai macam makanan, beragam masakan daging, minyak
hewani dan minyak nabati, aneka rupa roti-rotian, serta seluruh makanan yang
mengundang selera. Semua itu, lambat laun akan menjadikan jiwa manusia mati.
Orang yang duduk dan menyantap banyak makanan sampai kekenyangan tidak akan
mampu bangun tengah malam. Kalaupun mampu, kemudian menunaikan shalat tahajud,
ia tidak bisa menikmati spirit dari ibadah tersebut.
Karena itu,
orang-orang yang mendapat bimbingan (hidayah) untuk menikmati ibadah
tidak akan pernah memperdulikan seluruh kenikmatan materi. Tak ada salahnya
saya mencoba mengenang masa hidup kakek saya. Seingat saya, kira-kira empat
puluh tahun yang silam, saya melihat orang besar dan mulia ini setiap malam
membutuhkan waktu untuk tidur selama tiga jam. Beliau makan pada permulaan
malam dan tidur selama tiga jam. Minimal, selama dua jam menjelang terbimya
fajar subuh, beliau bergegas bangun untuk melaksanakan ibadah. Setiap tengah
malam Jumat, beliau senantiasa terjaga dan beribadah selama tiga jam sebelum
terbitnya fajar subuh. Sekarang, kakek saya telah berusia seratus tahun, namun
saya belum pernah melihat beliau tidak nyenyak dalam tidurnya. Kenikmatan maknawi yang
beliau rasakan menjadikan jiwanya tenang dan bahagia. Bukan hanya satu-dua
malam saja kakek mendoakan ayah dan ibu saya. Nenek mengatakan bahwa kakek sangat
menyayangi diri saya. Tiap malam beliau senantiasa berdoa. Dalam berdoa, beliau
senantiasa mengingat keluarga, serta kerabat dekat maupun jauh. Semua hal
inilah yang menghidupkan hati orang tersebut. Siapapun yang ingin memperoleh
kenikmatan seperti ini, harus menjaga jarak dari berbagai kenikmatan material.
Apabila itu sungguh-sungguh diupayakan, niscaya ia akan bisa merasakan
kenikmatan spiritual yang sangat lezat.
PANDANGAN IBNU SINA
Ibnu Sina pernah
mengatakan: “Kezuhudan orang arif berbeda dengan kezuhudan orang yang
tidak arif. Kegiatan ritual dan kezuhudan orang arif merupakan olah batin
dan persiapan kekuatan rasional, imajinasi, dan empiris. Karena pada
saat dia hendak menghadapkan cermin jiwanya ke hadapan alam malakut, kekuatan-kekuatan
tersebut tidak menjadi beban dan penghalang hingga seseorang mampu berdiri
di hadapan Allah.”
Sayang, saya tidak
ingat lagi kalimat selanjutnya. Namun, inti pemyataannya termaktub dalam
ungkapan di atas. Inilah filosofi dari kezuhudan.
Sekarang, berdasarkan
berbagai filosofi yang telah saya sebutkan, apakah kezuhudan sanggup
menghidupkan jiwa, atau sebaliknya menjadikannya mati? Seseorang menjadi zuhud
dikarenakan ingin mengutamakan kepentingan orang lain serta ingin merasakan
penderitaan orang lain. Selain pula disebabkan dirinya melihat kondisi
perekonomian masyarakat yang sedemikian morat-marit, atau juga dikarenakan
ingin menjadi orang bebas di tengah-tengah masyarakat. Seseorang menjadi orang
zuhud lantaran dirinya menginginkan jiwa kemanusiaannya terbebas sehingga bisa
bermunajat kepada Tuhannya. Apakah dengan kezuhudan semacam ini, jiwa manusia
akan hidup ataukah mati? Jawabannya, justru itu akan membuat jiwa manusia lebih
hidup. Kezuhudan Imam Ali as dilandasi oleh alasan di atas sehingga menjadikan
beliau manusia paling hidup dan pal-ing aktif sepanjang sejarah kemanusiaan.
Imam Ali as merupakan orang yang benar-benar zuhud, pemberani, dan memiliki
kebesaran jiwa.
Sebagai orang zuhud,
Imam Ali as adalah orang yang adil. Sebagai orang zuhud, Imam Ali as adalah
orang yang arif. Sebagai orang zuhud, Imam Ali as adalah pemimpin masyarakat
pada masanya.
Dengan demikian,
seluruh kezuhudan yang dipraktikan orang-orang yang tidak memahami makna sejati
kezuhudan, hanya identik dengan tidak berbicara dengan orang lain, tidak
mencampuri urusan orang lain, harus berdiam diri, datang ke suatu tempat dari
arah sini dan keluar dari arah yang lain (berusaha menutupi diri dari pandangan
orang lain, —pent.), menutupi kepala dengan jubah supaya tidak dikenali,
dan tidak bergaul dengan siapapun. Kezuhudan seperti ini tidak sesuai dengan
ajaran Islam dan akan membunuh jiwa. Islam sama sekali tidak mendukung
bentuk-bentuk kezuhudan semacam ini.
Catatan:
[1] Al-Anfâl:
24.
[2] Al-Insân:
8-9.
[3] Al-Arâf:
32.
[4] Âli
‘Imrân: 48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar