Oleh Ayatullah Murtadha Muthahhari
Kajian kita kali ini masih berkenaan
dengan upaya untuk menghidupkan pemikiran Islam. Para reformis dan para pemikir
besar Islam yang hidup pada abad terakhir, sangat menaruh perhatian besar
terhadap masalah ini. Saat ini, cara berpikir mayoritas kaum muslimin terhadap
Islam mengalami banyak penyimpangan. Minggu lalu, saya telah menyampaikan
bagaimana suatu aliran pemikiran atau aksi yang pada dasarnya hidup diterima
oleh masyarakat. Boleh jadi suatu aliran pada dasarnya memberikan kehidupan,
namun diapresiasi oleh masyarakat melalui cara berpikir yang keliru.
Atas dasar itu, saya akan menyatakan
bahwa penyimpangan pola pikir kaum muslimin dewasa ini terhadap Islam
berhubungan erat dengan cara mereka menerima ajaran Islam. Jika hendak menelaah
pola pikir semacam ini, kita harus berperan sebagai seorang dokter. Hal pertama
yang akan dilakukan seorang dokter adalah mendiagnosis pasien guna mengetahui
jenis penyakit apa yang dideritanya. la akan menanyakan kepada pasien tentang
apa yang dilakukan sebelumnya, gejala-gejala apa yang dirasakannya, dan
bagaimana keadaan sebelumnya. Upaya-upaya ini dilakukan untuk menentukan jenis
penyakit apa yang dideritanya. Baru setelah itu ia melakukan pengobatan terhadap
pasiennya.
Jika ingin membenahi pola pikir kita
yang keliru, kita harus menengok kembali sejarah Islam di masa silam. Apakah
akar penyimpangan tersebut berasal dari masa silam? Yang jelas, kondisinya
pasti berbeda-beda. Sebagian mungkin terjadi dalam dua, tiga, empat, atau lima
abad yang lalu. Namun, penyimpangan pemikiran telah muncul sejak abad kedua
Islam. Pada malam ini, saya ingin menjelaskan dua materi pembahasan yang
berhubungan dengan abad pertama Islam. Dan pada abad modern ini, telah nampak
juga berbagai akar penyimpangan baru.
Salah satu penyimpangan pemikiran yang
terjadi pada permulaan abad Islam adalah adanya anggapan bahwa pengaruh
perbuatan akan menghalangi proses penciptaan kebahagiaan manusia. Dengan kata
lain, seseorang harus menanggalkan cara berpikir yang realistis, untuk kemudian
menggunakan pemikiran imajinatif. Padahal, apabila seseorang merujuk kepada
al-Quran —yang merupakan rujukan dan sandaran pertama kita— serta sunah Nabi
dan para imam suci, maka akan nampak dengan jelas bahwasnya Islam merupakan
agama yang amat menekankan pengikumya untuk senantiasa beramal (shalih).
Dasar pengajaran dan pendidikan Islam
adalah beramal atau berupaya. Islam senantiasa mengarahkan pengikutnya untuk
bekerja (beramal). Takdir menetapkan bahwa manusia harus beramal. Ini merupakan
pola pikir yang sesuai dengan kenyataan, bersifat rasional, dan juga sesuai
dengan rahasia penciptaan.
Berapa banyakkah jumlah kisah al-Quran
yang diungkap dalam bahasa yang memukau mengenai keharusan beramal? Sungguh, ayat-ayat
yang berkenaan dengannya memiliki ungkapan yang indah dan luar biasa. Misalnya
ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya manusia tidak akan
mendapatkan apapun kecuali apa yang telah ia upayakan.”[2] Maksudnya,
kebahagiaan manusia amat bergantung pada amal perbuatannya. Dalam ayat lain
disebutkan: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat (biji)
dzarahpun, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan seberat (biji) dzarahpun, niscaya ia akan melihat balasannya pula.”[3]
Ajaran ini merupakan yang terbesar bagi
kehidupan suatu bangsa. Pada saat suatu bangsa memahami bahwa takdir yang ada
di tangannya menentukan dirinya harus beramal, maka pada saat itulah mereka
akan senantiasa beramal dengan kekuatannya sendiri. Bangsa tersebut sadar bahwa
segala sesuatu tidak akan bermanfaat kecuali diamalkan oleh dan kekuatannya
sendiri. Hal itu menjadi motivasi yang kuat bagi mereka untuk mengarungi
bahtera kehidupan.
Jika Anda menengok sejarah permulaan
Islam, betapa mereka senantiasa gigih berupaya dengan kekuatannya sendiri dalam
meraih suatu tujuan. Itu dikarenakan pemikiran mereka ditopang oleh
prinsip-prinsip ajaran ini. Mereka senantiasa mengikuti ajaran ini dan, sampai
sekarang, tak pernah menyeleweng darinya. Prinsip pemikiran mereka adalah,
dengan beramal dan bekerja keras, dirinya pasti akan meraih keuntungan (amal
perbuatan seorang muslim tidak terbatas pada perbuatan lahiriah semata, namun
harus dibarengi pula dengan niat dan iman yang benar).
Kita bisa lihat, betapa ajaran ini mampu
menumbuhkan kepercayaan yang kuat dalam diri manusia dan menjadikarinya
bertumpu di atas kekuatannya sendiri!! Namun sayang, ajaran ini sekarang
menjadi salah satu ajaran Islam yang sedikit banyak telah mengalami
penyimpangan. Dan penyimpangan pemikiran semacam ini semakin hari semakin
menjadi-jadi.
Secara berangsur-angsur, apa yang
disebut dengan beramal mulai diremehkan dan dianggap tidak berguna. Bersamaan
dengan itu, dalam upayanya mengkonstruksi kebahagiaan manusia, masyarakat mulai
menanggalkan pola pikir yang realistis untuk kemudian mengandalkan pola
pemikiran yang bersifat imajinatif. Sejarah membuktikan bahwa akar pemikiran
semacam ini diciptakan dinasti Bani Umayyah.
Pokok permasalahan yang berkembang di
kalangan teolog (ulama kalam) saat itu; apakah dasar agama adalah iman? Apa
yang dimaksud dengan iman? Sejarah menunjukkan bahwa khalifah Bani Umayyah
terdiri dari orang-orang fasik dan pembuat kerusakan. Mereka tak mampu menutupi
kebejatan dan keburukan perbuatan mereka dari mata masyarakat, yang pada saat
bersamaan justru mengetahuinya. Pemikiran ini yang mereka sebar luaskan
menyatakan bahwa dasar agama adalah keimanan. Apabila iman yang dimiliki sudah
benar, maka amal perbuatan menjadi tidak penting.
Dikarenakan memiliki kekuasaan dan harta
kekayaan, pemerintahan Bani Umayyah mampu menyebarkan ajaran ini, sekalipun
dengan cara memaksa. Para ulama bayaran juga turut berperan serta dalam
menciptakan serta menyebarluaskan ajaran ini. Mereka mengatakan bahwa dasar
agama adalah keimanan. Iman yang benar tidak lagi memerlukan amal perbuatan.
Ajaran ini ditujukan untuk mencuci
bersih noda kejahatan yang melekat pada tubuh kekuasaan bani Umayyah sehingga
masyarakat yang memiliki kepekaan sosial politik tidak sampai mengecam sang
khalifah dan juga tidak memiliki anggapan bahwa para ulama (istana) merupakan
pelaku kerusakan. Pada abad kedua Islam, dalam bidang teologi (ilmu kalam)
lahir sebuah ajaran baru yang kemudian menyebut dirinya aliran Murji’ah. Akidah
yang mendasari aliran ini bertujuan untuk melindungi seluruh kejahatan bani
Umayyah.
Lantas bagaimana pandangan orang-orang
Syi’ah saat itu? Perintah apa yang diinstruksikan para imam suci? Pelajaran apa
yang kita peroleh dari Imam Ali as? Ketika ditanya tentang tentang makna iman,
para imam mengatakan: “Iman adalah keyakinan dalam hati, pemyataan
dengan lisan, dan beramal dengan anggota tubuh.”[4] Para Imam tidak
memisahkan amal dan iman. Orang yang tidak beramal adalah orang yang tidak
memiliki iman. Tentunya tidak logis, apabila orang yang tidak beramal, demi
menyenangkan hatinya, mengatakan bahwa dirinya memiliki iman. Jika Anda
perhatikan, pujian yang disampaikan al-Quran ditujukan kepada orang-orang
mukmin, bukan kepada orang-orang yang hanya memiliki keyakinan namun tidak
menjalankan amal perbuatan. Dalam setiap ayat yang menyertakan pujian terhadap
orang-orang beriman, dijelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang
mengucapkan dua kalimat syahadat, memiliki keyakinan dalam hati, serta beramal
dengan anggota tubuh mereka.
Syi’ah dan Murji’ah
Pada masa itu, pemikiran sesat yang diusung
aliran Murji’ah hanya menimpa kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Namun pada masa
sekarang, mazhab Syi’ah yang sesungguhnya mendapatkan ajaran dari para imam
suci dan pada awalnya paling keras menentang aliran Murji’ah, tak pelak juga
telah terpengaruh pemikiran tersebut.
Di tengah-tengah ajaran yang diperoleh,
ternyata kita meremehkan amal perbuatan. Misalnya, kita beranggapan bahwa untuk
menjalin hubungan dengan Ali bin Abi Thalib, cukup dengan mengatakan: Ya Ali!
Selain itu, kita juga sudah merasa puas hanya dengan menyandang nama Syi’ah dan
namamu tencantum dalam daftar orang-orang yang berduka atas Imam Husain.
Kemudian kita menghimbau masyarakat untuk menjadi anggota partai tertentu,
dengan anggapan bahwa Imam Husain juga aktif dalam partai. Ada yang mengatakan,
barang siapa yang telah mengedarkan kartu anggota (majelis) di sini, akan
memperoleh keselamatan. Orang yang mengatakan semua itu sama sekali tidak
memahami filsafat kesyahidan Imam Husain.
Makna filosofis dari kesyahidan tersebut
adalah demi menghidupkan ajaran Islam sampai pada tingkat amaliahnya.
“Saya bersaksi bahwa engkau telah
mendirikan sholat, menunaikan zakat, memerintahkan kebaikan,
mencegah perbuatan munkar, dan kamu telah berjuang di jalan
Allah dengan sebaik-baiknya jihad.”[5]Maksudnya,
engkau wahai Imam Husain, terbunuh untuk menghidupkan Islam dalam bentuk
perbuatan.
Namun bertolak belakang dengan itu, kita
malah mengatakan bahwa kesyahidan ditempuh Imam Husain demi mematikan amal
perbuatan dalam Islam dan menciptakan keterikatan serta hubungan lahiriah. Saya
teringat pada sebuah kisah yang sepuluh tahun silam telah saya kemukakan dalam
salah satu pertemuan bulanan.
Abu al-Faraj al-Isfahani memiliki buku
yang sangat terkenal, berjudul Al-Aghânî, yang berisikan
lagu-lagu dan nada-nada musik. Salah satu peristiwa yang secara bertahap
terjadi dalam dunia Islam adalah bahwa para khalifah senantiasa menampilkan
hiburan dan lagu-lagu. Jika keadaan seperti ini terus menyebar luas ke dalam
tubuh setiap bangsa, maka itu akan mengantarkannya ke ambang kehancuran. Dalam
tubuh bangsa tersebut akan muncul berbagai praktik prostitusi, legalisasi
minum-minuman keras, tari-tarian eksotis, musik, serta bermacam-macam lagu.
Akibatnya kemudian, di dunia Islam mulai banyak bermunculan para musikus dan
seniman. Sosok Abu al-Faraj al-Isfahani merupakan
seorang Umawi dan tergolong sejarahwan yang terampil dan
obyektif. Beliau menulis buku yang berjudul Maqâtil at Thâlibiyîn (Pembunuhan
terhadap keluarga Abu Thalib). Buku yang relatif obyektif tersebut dijadikan
pegangan oleh kaum muslimin, termasuk ulama Syi’ah. Bisa dikatakan bahwa buku
ini ditulis secara netral tanpa berpihak kepada siapapun.
Buku Al-Aghânî terdiri
dari 18 jilid dan kebanyakan berhubungan dengan masa lalu para seniman, artis,
dan musikus dalam dunia Islam.
Buku ini banyak mengutip berbagai kisah
yang aneh. Salah satunya dikatakan dalam buku tersebut: Pada suatu ketika,
seorang Syi’ah dan seorang Murji’ah membicarakan masalah amal perbuatan. Orang
murji’ah mengatakan bahwa dasar agama adalah memiliki iman. Keimanan tetap ada
kendati tidak terdapat amal (perbuatan). Sementara orang syi’ah mengatakan
bahwa iman dan amal tidak dapat dipisahkan. Jika tidak ada amal (perbuatan),
maka iman juga tidak akan eksis. Keduanya kemudian terlibat dalam perdebatan
yang sengit dan masing-masing tidak puas terhadap lawan bicaranya.
Untuk menghentikan perdebatan, mereka
sepakat untuk menanyakan persoalan itu kepada orang yang pertama kali melewati
gang tempat mereka berdebat, demi mengetahui mana yang benar dan mana yang
keliru. Kebetulan, lewatlah seorang musikus (sehubungan dengan masalah inilah
cerita tersebut dikutip dalam buku Al-Aghânî). Dikarenakan
kesepakatan tadi, mereka pun lantas bertanya kepadanya. Orang Murji’ah sangat
senang dan beruntung dengan kedatangan musikus tersebut. Kemudian keduanya
menerangkan pembicaraan mereka sebelumnya kepada sang musikus tersebut. Orang
Syi’ah mengatakan akidahnya meyakini bahwa amal dan iman tidak terpisah satu
sama lain dan kebahagiaan manusia tergantung pada amal perbuatannya. Sementara
orang Murji’ah mengatakan bahwa amal perbuatan tidak ada harganya. Kebahagiaan
manusia, katanya, bergantung pada iman dan akidah. Setelah itu, keduanya
bertanya kepada si musikus: “Apa akidahmu?”
Musikus tersebut berpikir sejenak, lalu
mengatakan: “Dari ujung rambut sampai pinggang saya orang Syi’ah
dan dari pinggang ke bawah saya orang Murji’ah.” Maksud orang
itu, pemikiran saya condong pada pendapat Syi’ah, namun secara praktik saya
orang Murji’ah.
Dalam konteks kekinian, banyak orang
yang mengaku Syi’ah, termasuk diri kita, akan menjumpai dirinya seperti si
musikus tadi; mulai dari pinggang sampai ujung kaki sebagai Murji’ah. Kita
selalu mencari-cari alasan untuk tidak beramal, bahkan kita telah menciptakan
surga dengan alasan-alasan pula (bukan dengan amal perbuatan, —peny.). Ada
yang mengatakan bahwa nikmat surga tidak diberikan dengan “harga”, melainkan
dengan “alasan”. Siapa yang mengatakan demikian? Imam Ali menyampaikan sebuah
ungkapan bahwa surga adalah “harga”, yaitu surga merupakan “harga” dari amal
perbuatan Anda. Namun kita malah mengatakan bahwa surga diberikan tanpa
“harga”. Kita tak mungkin bisa meraih surga tanpa amal perbuatan. Tentunya,
alasan untuk masuk surga haruslah tepat. Ini merupakan contoh dari bentuk
pemikiran yang keliru dan spekulatif.
Sehubungan dengan masalah ini, masih
banyak hal yang perlu dibicarakan lebih lanjut. Bila kita merujuk pada
al-Quran, persoalannya akan nampak semakin jelas. Al-Quran gusar terhadap
orang-orang Yahudi yang menganut pemikiran semacam ini (bahwa iman terpisah
dari amal, —pent.). Orang-orang Yahudi yang menganggap dirinya
makhluk paling mulia di sisi Allah berkeyakinan bahwa jika mereka melakukan
kejahatan, Allah tidak akan menghukum kejahatannya. Namun jika mereka melakukan
kebaikan, Allah akan mengganjarnya berlipat ganda. Pada dasarnya, konsep
semacam ini —sebagaimana acapkali disebutkan dalam al-Quran— bersumber dari
pemikiran orang-orang Yahudi. Dalam pandangan orang Yahudi, apapun dosa serta
kejahatan yang kita lakukan, tidak akan menyebabkan kita masuk neraka. Kita
adalah makhluk yang mulia. Kalaupun kita dijerumuskan ke dalam siksa neraka,
itu hanya bersifat sesaat dan segera terbebas darinya. Surga adalah milik
kita. “Dan mereka berkata: ‘Kami sekali-kali tidak akan disentuh api
mraka, kecuali selama beberapa hari saja.”[6] Coba Anda simak
bagaimana penjelasan al-Quran tentang orang-orang Yahudi tersebut.
Dalam beberapa kitab tafsir disebutkan
bahwa pada masa Nabi, orang-orang Yahudi dan Nasrani tinggal di Madinah. Saat
itu acap terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, orang-orang
Nasrani, dan Yahudi. Kaum muslimin mengatakan, kita sekarang telah masuk Islam
sehingga Allah memberikan kemuliaan kepada kita. Setiap perbuatan buruk yang
kita lakukan akan dimaafkan oleh Allah. Orang Nasrani balik mengatakan, tidak,
kamilah orang-orang yang mulia. Demikian pula halnya dengan orang-orang Yahudi.
Coba Anda perhatikan bagaimana jawaban
yang diberikan al-Quran berkenaan dengan masalah ini: “Pahala dari
Allah itu bukan menurut angan-angan kamu yang kosong dan tidak pula
menurut angan-angan ahli kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan,
niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.”[7]
Allah tidak membeda-bedakan keberadaan
satu kaum dengan yang lainnya. “Barang siapa yang
mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan
kejahatan itu.” Coba Anda simak, bagaimana al-Quran dengan jelas
membantah angan-angan yang pada gilirannya menjadi pemicu terjadinya dekadensi
di kalangan muslimin tersebut. Al-Quran seakan-akan mengatakan, perbaikilah
amal perbuatan kalian!
Kita menyaksikan bahwa di masa para
imam, pemikiran semacam ini tersebar luas ke tengah-tengah komunitas Syi’ah.
Para imam dengan upaya maksimal memerangi pemikiran tersebut. Saya akan
mengutip dua buah cerita yang berhubungan dengan masalah ini. Salah satunya
sebagai berikut:
Suatu ketika, khalifah Makmun meminta
kepada Imam Ali bin Musa ar-Ridha as untuk menerima jabatan calon pengganti
raja (waliy al-‘ahd). Namun beliau menolaknya. Lantaran terus
menerus dipaksa, akhimya Imam menerimanya secara lahiriah. Bagi orang yang
cermat dalam menganalisis masalah ini, akan diperoleh pemahaman bahwa pada saat
Imam Ali Ridha menolak jabatan tersebut, beliau akan dianggap sebagai pembelot
sehingga dirinya tidak lagi leluasa dalam bergerak. Kemudian, Makmun membentuk
suatu pertemuan yang dihadiri banyak orang, di mana Imam berbicara di hadapan
mereka.
Imam Ali Ridha memiliki seorang saudara
yang bernama Zaid bin Musa bin Ja’far, yang terkenal dengan julukan Zaid
an-Nâr. Zaid bin Musa pernah mengadakan perlawanan terhadap Makmun, namun
gagal. Makmun telah memaafkan perbuatannya lantaran dirinya menghormati Imam
Ali Ridha. Dalam pertemuan tersebut, Zaid bin Musa juga hadir.
Saat itu, terdapat dua orang yang
bernama Zaid putra imam. Selain Zaid bin Musa, ia adalah Zaid bin Ali bin
Husain, saudara Imam Muhammad al-Baqir. Di antara keduanya, Zaid bin Ali
merupakan orang yang sangat mulia. la (dianggap sebagai) imam oleh para
pengikut aliran Syi’ah Zaidiyyah. Pengikut Syi’ah di wilayah Yaman ini meyakini
bahwa Zaid bin Ali adalah sosok imam setelah Imam Ali Zainal Abidin as.
Berdasarkan keyakinan kita sebagai
penganut Syi’ah Imamiyah dan juga dari berbagai riwayat yang disampaikan para
imam, Zaid bin Ali merupakan orang yang sangat mulia dan tidak pernah mengaku
sebagai imam. Pengakuan sebagai imam berasal dari orang lain. Namun Zaid an-Nâr
berbeda dengannya. Di saat Imam Ali Ridha as berbicara di hadapan masyarakat
umum, beliau memperhatikan Zaid yang saat itu tengah duduk di pinggir dan
berbicara dengan orang sekitarnya. Imam mendengar Zaid seringkali menyebut kata-kata
“kami Ahlul Bait”. Maksudnya, “Kami ahlul Bait seperti ini, kami keluarga suci
Nabi begitu, begini cara Allah memperlakukan kami Ahlul Bait,” dan seterusnya.
Zaid banyak membanggakan kemulian-kemulian yang tidak semestinya.
Di tengah-tengah pidatonya kepada
khalayak, Imam Ali Ridha memotong pembicaraannya dan memandang ke arah Zaid bin
Musa, seraya berkata:
“Wahai Zaid! Omong kosong apa yang kamu
sampaikan kepada masyarakat? Keutamaan-keutaman yang kamu sebutkan, apakah kamu
kira karena Allah fanatik terhadap kita? Apakah dikarenakan kita sebagai
keluarga suci Nabi berarti kita dekat dengan Allah? Jika kamu berkata seperti
ini, bahwa karena kita keluarga Nabi, jika melakukan perbuatan buruk, niscaya
Allah akan memaafkan. Surga kita sudah dijamin dan kita pasti aman dari siksa
neraka. Jika ucapanmu ini benar, berarti kamu lebih mulia dari ayahmu Musa bin
Ja’far lantaran engkau telah mendapat jaminan surga. Engkau pasti masuk surga
dan ayahmu Musa bin Ja’far juga masuk surga. Ayahmu menghabiskan umurnya dengan
beramal, bekerja keras, bersungguh-sungguh dalam berbuat, dan beribadah.
Sedangkan kamu hanya menghabiskan umur dengan menganggur. Berdasarkan ucapanmu,
seharusnya kamu dan ayahmu Musa bin Ja’far termasuk orang-orang yang didekatkan
ke sisi Allah. Jadi kamu lebih mulia dari ayahmu, karena dia menghabiskan
umurnya untuk ibadah supaya sampai ke surga sedangkan engkau mencapainya tanpa
beribadah.”
Untuk menyadarkannya, Imam ar Ridha
segera memandang ke arah Wisya’, seorang perawi hadis yang berasal dari Kufah.
Wisya’ termasuk ulama dan ahli hadis Kufah —pada masa itu pemikiran yang keliru
dan menyimpang telah tersebar luas di kalangan ulama, di mana Imam Ali Ridha
mengetahui hal tersebut dan bermaksud menyinggungnya). Imam berkata kepadanya:
“Wisya’! Bagaimana penafsiran penduduk Kufah sehubungan dengan ayat al-Quran
yang mengisahkan Nabi Nuh dan putranya. Dalam ayat tersebut Nabi Nuh berseru
kepada Allah: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan
sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar.”[8] Kemudian bagaimana
kelanjutan firman Allah itu?” Wisya’ memahami maksud Imam dan berkata: “Wahai
Imam, sebagian ulama di Kufah membaca ayat selanjumya sebagai berikut: “Sesungguhnya
ia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan),
sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak baik.”
Ketika Nabi Nuh as berseru kepada Allah;
“Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, ampunilah
dia (hati Nabi Nuh merasa iba terhadap putranya, sedangkan anaknya
seorang pendosa). Ya Allah perkenankanlah aku menaikkan putraku ke
atas bahtera agar ia tidak tenggelam. Kemudian turun ayat yang
berbunyi: “Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang
dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak
baik.” Wisya’ mengatakan bahwa sebagian orang Kufah membaca ayat di
atas sebagai berikut: Nabi Nuh as berseru kepada Allah; Tuhanku dia adalah
anakku, ampunilah dosanya demi aku. Namun, kemudian penduduk Kufah membengkokan
pengertian yang sebenarnya dari ayat tersebut, sehingga seolah-olah Allah
mengatakan kepada Nabi Nuh as: “Wahai Nuh! Kamu keliru, dia bukan anakmu. Jika
dia memang benar anakmu, Aku akan mengampuninya demi kamu. Aku tidak akan
membuat susah seorang Nabi gara-gara perbuatan anaknya. Tapi kamu keliru, dia
bukan dari keturunanmu. Dia bukan dari hasil perbuatanmu. Dia bukan putramu.
Dia anak orang jahat dan fasik.”
Tafsiran seperti ini merupakan
penghinaan terhadap kedudukan seorang nabi. Orang-orang akan mengatakan kepada
nabi tersebut bahwa istrimu di rumah telah berselingkuh, dan anak yang
dilahirkannya bukanlah anakmu.
Wisya’ mengatakan bahwa tafsir yang
dihasilkan sebagian penduduk Kufah tersebut menjatuhkan nama baik Nabi Nuh as.
Imam Ali Ridha mengatakan: “Yang mereka katakan adalah kebohongan.” Mereka
telah menyimpangkan ayat al-Quran. Ayat yang sebenarnya berbunyi: “…sesungguhnya perbuatannya
perbuatan yang tidak baik.” la telah melakukan perbuatan yang tidak
baik meskipun ia adalah anakmu. Secara genetis, ia memang anakmu. Namun
secara maknawi (spiritual), ia tidak termasuk keluargamu.
Wahai Nuh, mengapa kamu ingin memberi syafa’at kepada anak yang jahat dan fasik
ini? Permohonan Nabi Nuh as agar Allah mengampuni dosa anaknya, tidak terkabul.
Dalam riwayat disebutkan bahwa selama bertahun-tahun, Nabi Nuh as meratapi dan
menangisi serta memohon ampunan atas permohonannya ini.
Imam Ali Ridha lantas berkata: “Apakah
anak Nabi Nuh as bukan putra seorang Nabi? Wahai Zaid, mengapa Allah tidak
mengabulkan permohonan seorang Nabi yang menginginkan supaya anaknya diampuni?
Bahkan Allah mengatakan perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan yang tidak
baik. Apakah kamu mempunyai argumentasi yang lebih baik darinya?”
Pada kesempatan ini, saya juga akan
membacakan riwayat lainnya. Dari riwayat sebelumnya bisa diketahui bahwa pada
masa itu banyak terjadi penyimpangan terhadap keberadaan hadis dan riwayat.
Seseorang mendatangi Imam Ja’far as
seraya berkata: “Orang-orang banyak meriwayatkan hadis dari Anda. Saya ingin
mengetahui apakah hadis tersebut benar atau keliru. Hadis tersebut sehubungan
dengan masalah wilâyah dan amal perbuatan. Apakah benar Anda
mengatakan: ‘Jika pengetahuan kamu tentang imâmah sudah benar,
maka berbuatlah sekehendak hatimu.’”
Imam Ja’far mengatakan: “Benar, saya
pernah menyampaikan hadis tersebut.” Lalu orang tersebut menambahkan: “Apakah
yang Anda maksud bahwa jika seseorang mengetahui imamnya secara benar, ia boleh
berbuat sekehendak hatinya, meskipun dengan berzina dan mencuri?”[9] Imam terkejut mendengar
itu. Kemudian beliau berkata: “Celakalah kamu! Seperti inikah kamu memahami
ucapan saya? Maksud ucapan saya tidaklah identik dengan yang engkau pahami.
Maksud ucapan saya adalah ketika seseorang mengenal imamnya dan mengetahui
pengertian imamah secara benar, ia boleh mengerjakan perbuatan
baik sekehendak hatinya.
Karena di saat mengenal imam, engkau
akan mengetahui bagaimana cara melakukan perbuatan baik. Engkau sudah menemukan
prasyarat bagi diterimanya amal perbuatan. Engkau sekarang telah mengenal imam.
Engkau mengenal Imam Ali bin Abi Tbalib as, dan Imam Husain as. Kini seluruh
perbuatan baik yang ingin engkau kerjakan, kerjakanlah! Kapankah saya
mengatakan bahwa pada saat engkau mengenal imam, pada saat itu pula engkau
bebas mengerjakan setiap perbuatan jahat dan kefasikan?”
Coba Anda perhatikan, ketika kita
merujuk kepada al-Quran, sunah Nabi, dan riwayat para Imam, akan nampak bahwa
seluruh amal perbuatan memiliki dasar yang kokoh. Kita juga akan menyaksikan
bahwa kebahagiaan manusia amat tergantung pada amal perbuatan. Maksudnya,
manusia harus mewujudkan kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya.
Penyimpangan Pemikiran
Apabila kita menelaah pemikiran kaum
muslimin di abad kontemporer ini, kita akan menjumpai bahwa amal perbuatan
telah dilecehkan sedemikian rupa. Amal perbuatan hanya dianggap sebatas
formalitas dan konsep belaka. Kita menyaksikan bahwa bangsa kita tidak menaruh
perhatian yang serius terhadap amal perbuatan. Umpama, seseorang beranggapan
bahwa apabila kelak dirinya meninggal dunia dan kuburannya berdampingan dengan
makam Imam Ali Ridha as atau Imam Husain as, maka seluruh dosanya akan
terampuni. Apakah pemikiran seperti ini sesuai dengan ajaran Islam? Apakah
masyarakat bisa menjamin bahwa jika mereka mengerjakan amal selama hidupnya,
dan setelah meninggal dunia dimakamkan di bawah kaki Imam Ali Ridha, maka semua
dosa-dosanya akan terampuni dan mereka akan mencapai kebahagiaan abadi di alam
akhirat? Jika engkau ingin dimakamkan di bawah kaki Imam Ali Ridha as agar
dosa-dosamu terampuni, maka Harun Ar-Rasyid (ahli maksiat) akan terpelihara
dari siksa Allah lantaran ia dimakamkan persis di bawah kaki Imam Ali Ridha.
Namun mengapa ketika hendak dimakamkan
di atas kepala Imam Ali Ridha as, jasad Harun tidak bisa diletakkan ke dalam
liang lahat? Itu dikarenakan Harun dan putranya (Makmun) merupakan orang-orang
yang terkutuk. Semua itu merupakan pemikiran yang menyimpang dan mati. Kita
telah mengatakan sebelumnya bahwa kita hendak menelaah “upaya menghidupkan
kembali pemikiran Islam”, yang salah satunya berkenaan dengan masalah
“beramal”. Pemikiran kita harus hidup dan dinamis. Kita harus memahami bahwa
Islam merupakan agama praktik, bukan agama yang berhubungan dengan imajinasi.
Masalah Kekebalan Hukum
Dalam Islam, sama sekali tidak terdapat
kekebalan hukum. Dahulu kala, memang terdapat kekebalan hukum bagi sejumlah
individu. Bila seseorang melakukan kejahatan dan pihak aparat hendak
menangkapnya, ia bisa meminta perlindungan dari tokoh agama yang sangat
berpengaruh. Dengan demikian, pihak aparat berwajib tidak akan mampu
menangkapnya.
Kejahatan telah dilakukan dan menurut
ketetapan undang-undang pelakunya harus dijatuhi hukuman, namun ketika
pelakunya berlindung di balik pribadi seorang tokoh berpengaruh, pihak
pemerintah tidak akan berani menghukumnya dikarenakan kekebalan hukum yang
dimiliki tokoh tersebut. Kadangkala kita menyangka bahwa dalam ajaran Allah
terdapat pula konsep kekebalan hukum. Padahal, kekebalan hukum sama sekali
tidak termaktub dalam ajaran Islam.
Imam Husain atau Imam Ali Ridha as
tidaklah memiliki kekebalan hukum. Bahkan, kekebalan hukum akan bertolak
belakang dengan pemikiran Imam Husain dan Imam Ali as. Sepanjang hidupnya,
mereka tidak pernah menerima konsep kekebalan hukum. Lantas, apakah setelah
wafat (syahid, — peny.), mereka akan menerima konsep tersebut?
Jika Anda mempelajari kitab Nahjul Balâghah, Anda akan menjumpai dua perkara
yang acapkali disebutkan secara berulang-ulang, yaitu masalah “takwa” dan
“”amal shaleh”. Anehnya, kita malah menutup mata dari kedua perkata penting
tersebut bahkan menolak keduanya. Kita tidak meyakini nilai amal shalih dan
ketakwaan. Kita hanya menghabiskan umur tanpa melakukan amal shalih (perbuatan
baik), namun kemudian mewasiatkan kepada ahli waris apabila kelak meninggal
dunia, kita ingin dimakamkan di Najaf berdampingan dengan makam Imam Ali as.
Perbuatan seperti ini jelas tidak dibenarkan dalam Islam.
Saya akan membacakan dua hadis sekaitan
dengan masalah di atas. Pada hari pengangkatan kenabian (yaumul bi’tsah), turunlah
ayat yang berbunyi: “Dan berikanlah peringatan kepada keluarga
dekatmu.”[10]
Setelah ayat ini turun, Rasulullah SAWW
mengumpulkan anggota keluarga Bani Hasyim dan berkata di hadapan mereka: “Wahai
Bani Hasyim! Wahai Bani Muthalib! Janganlah kalian datang kelak pada hari
kiamat dengan mengandalkan hubungan kekeluargaan denganku, sedangkan
manusia datang pada hari itu dengan membawa bekal amal perbuatan baik
mereka. Hubungan kekeluargaan pada hari kiamat tidak akan berguna.”
Terdapat pula riwayat lain yang
berhubungan dengan putri Nabi, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, seorang wanita
suci yang disebut Rasulullah SAWW sebagai “bagian dari tubuhku”. Berkenaan
dengan Sayyidah Fathimah as, Rasulullah SAWW pemah mengatakan: “Wahai
putriku Fathimah as, beramallah untuk dirimu sendiri, karena aku tidak bisa
membantumu kelak di akhirat. Hubungan kekeluargaan denganku tidak akan
bermanfaat pada hari itu. Terimalah ajaran yang aku sampaikan dan amalkanlah.
Jangan kamu mengatakan ayahku seorang Nabi. Ucapan ‘ayahku seorang Nabi’ tidak
akan berguna pada hari kiamat. Yang berguna adalah mengamalkan perintah dan
ajaran ayahmu.”[11]
Anda harus mempelajari biografi
kehidupan Sayyidah Fathimah as. Pada saat Anda mengkaji kehidupan wanita suci
ini, Anda akan mengetahui bahwa beliau tidak pernah membanggakan diri sebagai
putri Nabi akhir zaman.
Terdapat riwayat yang menyebutkan,
setiap kali Sayyidah Fathimah as berdiri di mihrabnya untuk menunaikan sholat,
tubuhnya senantiasa bergetar. Itu dikarenakan beliau akan menghadap Allah Swt,
beliau menangis lantaran takut (siksa) Allah. Setiap malam Jumat, beliau tidak
pernah tidur dan menghabiskan malam itu untuk menangis dan meratapi dosa-dosa.
Saya juga mempersilahkan Anda untuk menyaksikan kehidupan Imam Ali bin Abi
Thalib as. Saya tidak tahu, mengapa kita seperti ini? Jika amal perbuatan
memang tidak ada manfaamya dan tidak menimbulkan pengaruh (dalam menciptakan
kebahagiaan), maka Sayyidah Fathimah as lebih layak untuk tidak beramal.
Demikian pula halnya dengan Imam Ali
Zainal Abidin as, Imam Hasan as, Imam Husain as, dan Imam Ali bin Abi Thalib as
yang setiap tengah malam selalu tenggelam dalam rasa takut terhadap (siksa)
Allah. Apa yang menyebabkan semua itu? Apakah Imam Ali as lupa bahwa dirinya
merupakan orang yang pertama kali masuk Islam? Apakah Imam lupa kalau dirinya
adalah menantu Nabi dan memiliki hubungan batin yang kuat dengan Rasulullah?
Inilah ajaran Islam.
Lantaran ajaran Islam telah disampaikan
kepadanya dengan benar, maka kendati beliau putra Nabi, namun beliau tidak
pernah mengandalkan hubungan nasabnya. la lebih mengedepankan kualitas amal
perbuatannya sendiri. Prinsip yang dijunjungnya adalah menjalankan ajaran Nabi.
Inilah salah satu musibah pemikiran yang
menimpa kaum muslimin pada permulaan Islam. Akan tetapi, kadar musibah yang
menimpa tersebut sangatlah lemah lantaran orang-orang Syi’ah dan sebagian besar
penganut Ahlussunnah menentang pemikiran itu (pemikiran bahwa amal tidak
memberikan pengaruh dalam menciptakan kebahagiaan manusia, —pent.). Banyak
terdapat faktor yang menyebabkan tersebarnya pemikiran yang menyimpang.
Sehubungan dengan persoalan ini, ada sejumlah mimpi serta kejadian yang pernah
saya kemukakan beberapa kali di sejumlah universitas.
Di kalangan ulama Syi’ah, Muqaddas Ardibili
dikenal sebagai ulama yang zuhud dan bertakwa. la termasuk salah seorang tokoh
yang berilmu tinggi dan pakar dalam bidang fikih. Syeikh Anshori menyebutnya
dengan Muhaqqiq Ardibili. Beliau orang yang sangat bertakwa
dan begitu zuhud. Banyak orang yang menuturkan bahwa beliau memiliki berbagai
karamah. la merupakan orang yang rajin beramal.
Pernah pada suatu ketika, seseorang
melihat Muqaddas Ardilibi dalam mimpinya. Orang tersebut
bertanya kepada beliau: “Apa yang Allah lakukan terhadapmu?” Beliau mengatakan:
“Allah menyayangiku dan memperlakukanku dengan baik.” Kembali orang tersebut
bertanya: “Apa yang menyelamatkanmu dari siksa-Nya?” Beliau menjawab: “Saya
melihat pasar amal perbuatan begitu sunyi (di hari kiamat).” Apa maksud dari
ungkapan tersebut? Bahwa pasar amal perbuatan begitu sepi di hari kiamat,
sedangkan Al-Quran menyatakan bahwa di hari kiamat, pasar amal perbuatan
manusia sangatlah ramai (pada hari kiamat Allah membeli amal perbuatan manusia,
di mana amal perbuatan yang baik dibayar Allah dengan pahala surga dan amal
perbuatan buruk akan dibayar Allah dengan siksa neraka. Ungkapan ini merupakan
ungkapan kiasan, —pent.). Namun menurut kisah dalam mimpi tersebut,
pasar amal perbuatan akan sepi di hari kiamat. Jika pada hari kiamat, pasar
amal ,perbuatan bakal sepi, lantas apa yang menjadikannya ramai oleh para
pembeli? Pemikiran seperti ini ibarat penyakit yang menggerogoti kulit dan
tubuh sedemikian rupa sampai-sampai ia hanya menyisakan tulang belulang. Pemikiran
semacam ini justru akan merusak akidah.
Saya juga akan menyampaikan riwayat dari
Imam Muhammad Baqir sebagaimana yang tercantum dalam kitab al-Kâfî.
Imam Muhammad Baqir pernah berpesan
kepada orang-orang Syi’ah dengan mengatakan: “Sampaikanlah pesanku kepada
Syi’ah (pengikut) kami….” Ucapan tersebut mencerminkan bahwa beliau mengetahui
adanya pemikiran yang menyimpang yang sedang menyebar di tengah-tengah
pengikumya. Beliau mengatakan: “Bukan termasuk pengikut kami, kecuali
orang yang wara’ (orang yang berhati-hati dalam
menjalankan agamanya), orang yang bertakwa, dan orang yang
bersungguh-sungguh dalam perbuatannya, berusaha keras, aktif, dan beramal.
Selain dari itu tidak kami terima sebagai pengikut kami (Ahlul Bait).”
Dalam kitab Nahjul Balâghah disebutkan
adanya seseorang yang mengunjungi Imam Ali as untuk meminta nasihat. Imam
mengatakan: “]anganlah kamu menjadi orang yang mencintai akhirat, akan
tetapi kamu tidak mau beramal. Janganlah kamu menjadi orang yang mengharapkan
taubat namun kamu berangan-angan panjang. Janganlah kamu menjadi orang yang
berbicara dengan pembicaraan orang yang tidak memperhatikan dunia, namun dalam
perbuatan, kamu beramal layaknya orang yang rakus terhadap dunia dan tertipu
olehnya.”[12]
Apabila pada hari ini kita meminta
nasihat kepada Imam Ali as, beliau pasti akan menyampaikan hal ini. Ucapan Imam
yang berbunyi:
“Janganlah kamu menjadi orang
yang mengharapkan (kebahagiaan) akhirat tanpa beramal.” Maksudnya,
seluruh harapan dan angan-angan tak lebih dari kebohongan belaka.
“]angan menjadi orang yang
mengharapkan taubat namun kamu berangan-angan panjang.” Maksudnya,
janganlah kamu mengulur-ulur taubat dan mengatakan bahwa untuk bertaubat belum
terlambat dan waktu untuk itu masihlah panjang. Tatkala Imam Ali as mengatakan:
“Wahai manusia, janganlah kamu
menjadi orang yang mencintai akhirat akan tetapi kamu tidak mau
beramal,” beliau
kemudian menjelaskan maksudnya dalam ungkapan berikut:
“Janganlah kamu menjadi orang
yang berbicara dengan pernbicaraan orang yang tidak memperhatikan dunia,
namun dalam perbuatan, kamu beramal layaknya orang yang
rakus terhadap dunia dan tertipu olehnya”.
Pemikiran Dinamis dan Kejumudan
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu
kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”[13]
Salah satu persoalan yang disebutkan
dalam al-Quran menyangkut topik kematian dan kehidupan. Masalah ini dalam semua
tingkatannya dipaparkan dalam al-Quran untuk berbagai macam tujuan dan maksud.
Seperti yang berkenaan dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, juga
manusia. Ini bukanlah pembahasan kehidupan secara umum, namun hanya berkenaan
dengan jenis tertentu darinya yang kita sebut dengan kehidupan manusia.
Sedangkan untuk bagian-bagian kehidupan lain tidak akan kita bahas, mengingat
jenis kehidupan manusia lebih banyak dipefhatikan oleh al-Quran.
Banyak orang yang beranggapan bahwa
ketika jantung seseorang berdetak, urat syarafnya aktif, urat nadinya
berdenyut, dan bisa bergerak, maka ia bisa dikatakan hidup. Dalam keadaan
bagaimanakah seseorang dikatakan mati? Pada saat dokter meletakkan stetoskop di
atas dadanya dan mengatakan bahwa jantungnya telah berhenti berdetak. Inilah
anggapan kebanyakan orang mengenai kematian. Padahal, kehidupan seperti ini
bukanlah kehidupan manusia yang sebenarnya. Kehidupan semacam itu tak jauh
berbeda dengan kehidupan satwa pada umumnya (zendegi-e hewâni-e
ensân). Manusia jelas harus memiliki pula kehidupan yang identik
dengan kehidupan semua binatang. Umpama, seekor anj ing. Kehidupannya tentu
memiliki ciri-ciri semacam ini; memiliki jantung, urat syaraf, otot-otot, darah
yang mengalir, dan anggota tubuh. Namun, al-Quran menerangkan pula adanya jenis
kehidupan lain yang khas bagi manusia, yang berbeda dengan kehidupan dalam
tingkat binatang. Menurut logika al-Quran, boleh jadi manusia hidup, berjalan
di tengah-tengah masyarakat, jantungnya berdenyut, urat syarafnya bekerja, dan
darahnya mengalir, namun pada waktu bersamaan (sesungguhnya) dia mati (mati
dalam hidup, —pent.). Ungkapan ini berasal dari al-Quran. Dalam
sebuah ayat difirmankan: “Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan
kepada orang-orang yang hidup (hatinya)… .”[14]
Keberadaan masyarakat manusia terbagi
menjadi dua bagian; masyarakat yang hidup dan yang mati. Al-Quran hanya akan
memberikan pengaruhnya kepada orang-orang yang memiliki hati yang hidup. Adapun
masyarakat manusia yang hatinya mati sama sekali tidak akan terpengaruh
al-Quran.
Lantas, apa sebenamya yang dimaksud
dengan kematian dan kehidupan? Dalam ayat lain, al-Quran menjelaskan bahwa
setiap bayi yang dilahirkan ke dunia membawa fitrah ketuhanan. Fitrah tersebut
adalah fitrah pencari kebenaran, pencari hakikat, dan rasa ingin tahu. Namun
dalam diri sebagian orang, cahaya fitrah tersebut padam. Pada saat cahaya
fitrah tersebut padam, manusia akan berubah menjadi makhluk yang mati. Bentuk
jasmaninya memang masih hidup, namun ruhnya telah mati.
Dalam ungkapannya yang lain, al-Quran
menyatakan bahwa orang-orang yang dalam dirinya terdapat kehidupan akan
memiliki lahan jiwa (ruh) laksana padang rumput yang subur.
Pada saat al-Quran ditanamkan di
dalamnya, ia akan segera tumbuh dan berkembang. Sebelumnya, keberadaan jiwa
ibarat tanah atau lahan yang siap ditanami, yang setelah itu berubah menjadi
kebun yang rimbun dengan pohon-pohon, tanaman, bunga-bunga, serta berbagai
macam tanaman lainnya. Ini sesuai dengan ungkapan al-Quran, yang salah satunya
berbunyi: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian kami hidupkan
(dengan perantaraan al-Quran)?”[15]
“…dan Kami berikan kepadanya
cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di
tengah-tengah masyarakat manusia.”[16]
Sewaktu berjalan di tengah-tengah
masyarakat manusia, ia akan memancarkan cahaya yang terang dan bergerak dalam
sinarnya yang benderang.
Apakah orang seperti ini “serupa
dengan orang yang berada dalam gelap gulita yang sekali’kali tidak dapat
keluar dari padanya?”[17]
Di bagian yang lain, terdapat ayat yang
mengklasifikasikan keberadaan komunitas manusia ke dalam dua bagian; komunitas
yang hidup dan yang mati. Ayat tersebut menjelaskan bahwa al-Quran merupakan
faktor kehidupan dan para Nabi merupakan muhyi (orang yang
memberikan kehidupan). Ayat yang saya bawakan pada permulaan pembicaraan ini
barangkali merupakan ayat yang paling jelas untuk menerangkan persoalan
tersebut. Ayat yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
seruan Al-lah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang
memberi kehidupan kepada kamu.”[18]
Betapa ungkapan tersebut sangat indah,
luar biasa, dan amat jelas pengertiannya! Ayat tersebut mengatakan: “Hai
orang-orang yang bEriman dan yang membenarkan Nabi ini (Nabi Muhammad) serta
ajarannya, penuhilah seruannya apabila dia menyeru kalian kepada sesuatu yang
memberi kehidupan kepada kalian.”
Islam merupakan ajaran yang memberikan
kehidupan bagi umat manusia. Nabi Muhammad datang membawa kehidupan bagi kalian
(umat manusia). Kini kalian tengah berada dalam kematian dan dalam keadaan
tidak memahami diri kalian sendiri. Karenanya, tunduklah kalian pada dokter
spiritual ini agar mengetahui bagaimana ia memberikan kehidupan kepada kalian.
Apa arti kehidupan? Kehidupan memiliki
arti penglihatan dan kemampuan. Pada titik inilah letak
perbedaan kehidupan dan kematiah.
Setiap kali tingkat penglihatan dan
kemampuan berubah menjadi lebih besar, maka kehidupan pun akan menjadi lebih
besar. Mengapa kita menyebut Tuhan dengan nama Hayyun (Zat
Yang Maha Hidup)? Seperti dalam ayat:
“Dialah Allah yang tiada Tuhan
selain Dia Yang Maha Hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya”[19] atau ayat yang
berbunyi: “Dialah Zat Yang Maha Hidup dan tidak pernah mati”.[20]
Mengapa kita katakan Allah Maha Hidup?
Apakah yang dimaksud dengannya adalah bahwa Tuhan memiliki jantung dan darah
yang mengalir? Bukan, bukan seperti ini pengertian dari hidupnya Tuhan. Allah
tidak memiliki jantung, urat, darah, dan tubuh.
Makna dan Syarat-syarat Kehidupan
Apakah yang dimaksud dengan hidup adalah
bernafas dan menghirup udara? Semua itu bukanlah pengertian dari hidup,
melainkan sebagai syarat-syaratnya. Arti hidup itu sendiri adalah penglihatan
yang berarti pengetahuan dan kemampuan. Dari aspek inilah kita dapat katakan
bahwa Allah Hayyun (Maha Hidup), Maha Mengetahui, dan Maha
Kuasa secara absolut. Kita menyebut Allah Maha Hidup yang memberikan kehidupan
dari Zat-Nya yang Suci. Dia Maha Lembut, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dengan begitu, hidup identik dengan pengetahuan dan kemampuan. Ajaran Islam
adalah ajaran pengetahuan dan kemampuan. Ajaran inilah yang telah diterapkan
selama berabad-abad. Islam agama kehidupan. Dan agama kehidupan tidak identik
dengan ketidaktahuan dan kelemahan.
Hal ini bisa dijadikan perbandingan
untuk memahami Islam. Dalam pertemuan sebelumnya, (telah saya kemukakan) bahwa
salah satu unsur kehidupan dalam pemikiran Islam adalah beramal. Islam
mengharuskan seseorang untuk berusaha dan berupaya gigih. Dalam ajaran Islam
dijelaskan bahwa takdir manusia amat bergantung dari amal perbuatannya.
Maksudnya, manusia bergantung pada dirinya sendiri. Islam mengatakan, wahai manusia,
kebahagiaan kamu tergantung pada amal perbuatanmu, demikian pula dengan
kesengsaraan kamu, juga bergantung kepadanya. Apakah perbuatan manusia
bergantung pada sesuatu? Perbuatan manusia bergantung pada keinginan dan
kehendaknya sendiri. Kesimpulannya, manusia adalah makhluk yang bergantung pada
diri dan perbuatannya sendiri, yang darinya ia akan memiliki kepribadian
sendiri. Apakah kalian berpikir al-Quran sekadar bergurau saat mengatakan:
“Dan bahwasannya manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”[21]
Diri manusia sendirilah yang menjadi
faktor penggerak, kebangkitan, penglihatan, dan kemampuan.
Rasa Percaya Diri
Pada masa sekarang, pakar pendidikan
telah berusaha keras untuk menumbuhkan rasa percaya diri manusia. Rasa percaya
diri yang ditumbuhkan Islam adalah menghilangkan harapan yang tidak berasal
dari perbuatannya. Apabila seseorang hendak mewujudkan harapannya, ia harus
mengusahakannya sendiri. Seperti inilah keterkaitan antara manusia dengan
segala sesuatu maupun manusia lainnya. Keterkaitan itu terjadi melalui amal
perbuatan. Anda tidak bisa menyatu dengan Imam Ali bin Abi Thalib as atau dengan
Sayyidah Fathimah as kecuali melalui amal perbuatan. Maksudnya, Islam menutup
semua pintu keterkaitan dan hubungan dengan Rasulullah SAWW dan Ahlul Baitnya,
kecuali melalui pintu beramal.
Saya teringat sebuah hadis Nabi yang
pernah saya baca sekitar 17-18 tahun silam. Hadis tersebut membuat saya sangat
terkesan. Saya benar-benar melihat kehidupan Nabi nampak sebagai sebuah
gambaran kehidupan yang luar biasa, yang tak seorang pun memiliki gambaran
kehidupan dan sisi-sisi keagungan seperti itu. Ketika seseorang berpikir dan
melihat bagaimana orang yang buta huruf yang hidup dalam lingkungan jahiliyah
bisa melontarkan berbagai kalimat yang sedemikian indah dalam hidupnya, tentu
ia akan hanyut dalam kekaguman dan mengakui bahwa itu merupakan perbuatan yang luar
biasa.
Hadis ini telah saya ungkapkan pula
dalam kitab Dastân-e Rastân (telah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dengan judul, Orang-orang Bijak, —peny.). Dalam
hadis tersebut dikatakan:
Pada suatu ketika, Nabi melakukan
perjalanan bersama para sahabatnya (dalam riwayat tidak di sebutkan perjalanan
yang mana). Setelah memasuki waktu Zhuhur, beliau memerintahkan kafilah untuk
turun. Para sahabat kemudian turun dari tunggangannya, dan Nabi pun juga turun
dari ontanya. Beliau kemudian pergi menuju ke suatu arah. Para sahabat berpikir
bahwa Nabi akan melakukan sesuatu. Semua sahabat segera turun dari tunggangan
masing-masing. Setelah agak jauh dari ontanya, para sahabat melihat Nabi
kembali. Para sahabat menduga, Nabi tidak merasa cocok dengan tempat tersebut
dan akan memerintahkan mereka pergi mencari tempat lain. Namun, tatkala kembali
ke tunggangannya, Nabi tidak berbicara apapun kepada mereka. Para sahabat
melihat Nabi membuka tempat perbekalannya yang menggantung di punggung ontanya
dan serta merta mengeluarkan seutas tali. Kemudian beliau mengikat ontanya dan
kembali menempuh arah sebelumnya. Para sahabat terheran-heran melihat Nabi
kembali hanya untuk mengikat ontanya. Padahal, itu merupakan pekerjaan yang
sepele! Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, jika kamu kembali hanya untuk
melakukan pekerjaan ringan ini, mengapa engkau tidak menyuruh kami? (Mereka
merupakan para sahabat setia yang apabila Rasulullah menyuruhnya menyeberangi
lautan api, mereka pasti akan melakukannya. Kebanggaan mereka adalah menjalankan
perintah Rasulullah). Mereka juga mengatakan: “Wahai Rasulullah, untuk
pekerjaan remeh ini, mengapa engkau tidak memberikan perintah, padahal kami
pasti akan melakukannya?” Beliau menjawab: “Hendaknya kalian jangan
minta tolong orang lain dalam melakukan pekerjaan sekecil apapun meskipun
hanya untuk mengambilkan sikat gigi (siwak).”
Lakukanlah pekerjaan yang bisa kalian
lakukan dan jangan sampai menginginkan orang lain untuk melakukan pekerjaanmu.
Lihat, betapa indahnya ungkapan tersebut! Jika kata-kata Nabi ini diucapkan di
atas mimbar, tentu itu tidak akan menimbulkan pengaruh apa-apa. Beliau
mengucapkan kalimat ini sambil mempraktikkannya. Tujuan saya menyampaikan ini
adalah ingin mengingatkan bahwa salah satu pilar dari ajaran Islam adalah menghidupkan
pemikiran Islam. Salah satunya adalah dengan beramal dan bergantung pada amal
sendiri. Saya juga ingin menyampaikan materi yang berhubungan dengan moralitas
serta beberapa dasar pendidikan Islam lainnya.
Masalah pendidikan merupakan masalah
yang sensitif dan rawan. Maksudnya, apabila masalah ini diajarkan dengan baik
dan benar, maka akan timbul hasil yang sangat luar biasa. Namun jika sedikit
saja terjadi penyimpangan, maka secara seratus persen, ia akan menimbulkan
pengaruh yang sebaliknya. Sejauh yang saya telaah, khususnya dengan bersandar
pada perspektif al-Quran, ternyata hampir sebagian besar pengajaran moral dan
pendidikan Islam dilakukan secara terbalik dan menyimpang, sehingga berpengaruh
besar terhadap pemikiran kaum muslimin dewasa ini.
Tawakal, Konsep Pemberi Hidup dan
Semangat
Konsep tawakal merupakan konsep akhlak
dan pendidikan Islam. Pada dasarnya, Islam menghendaki kaum muslimin untuk
bertawakal kepada Allah. Jika Anda mengkaji masalah tawakal dalam al-Quran
(saya senantiasa mencatat ayat al-Quran yang bicara tentang ketakwaan), maka
Anda akan menjumpai keserasian yang luar biasa di dalamnya. Dalam al-Quran,
konsep tawakal disebut sebagai konsep yang menganugerahkan hidup dan semangat
kepada manusia. Setiap ayat yang memerintahkan manusia untuk beramal dan
menghilangkan rasa takut, senantiasa dibarengi dengan ungkapan: “…jangan
takut dan bertawakallah kepada Allah”. Bergantunglah kamu kepada Allah
dan melangkah majulah ke depan. Bergantunglah pada Allah dan sampaikanlah
kebenaran. Bergantunglah pada Allah dan janganlah gentar menghadapi musuh yang
banyak jumlahnya.
Jika Anda mempelajari konsep tawakal di
tengah-tengah pemikiran kaum muslimin pada jaman modern ini, Anda akan
menjumpainya sebagai konsep yang mati dan kering. Kita hanya mulai bertawakal
tatkala kita menginginkan kehidupan yang tenang, tidak memiliki aktivitas, dan
menjauhkan diri dari tanggung jawab. Padahal, konsep tawakal yang benar harus
sesuai dengan apa yang diajarkan al-Quran. Saya harus diberi kesempatan untuk
membacakan ayat-ayat tentang ketakwaan untuk Anda secara satu-persatu, serta
membuktikan bahwa konsep tawakal dalam al-Quran merupakan konsep yang luar
biasa. Konsep yang memberikan semangat dan kehidupan, yang merupakan
manifestasi dari ayat di bawah ini:
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu
kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”
Terdapat konsep lain yang akan saya
kemukakan pula pada pertemuan kali ini.
Pengertian Zuhud
Tidak ada istilah dalam al-Quran yang
menyatakan bahwa manusia harus bersikap zuhud. Istilah tersebut hanya terdapat
dalam hadis Nabi dan ucapan para imam suci.” Kendati tidak diragukan lagi bahwa
inti pengertian dari zuhud juga terkandung dalam al-Quran. Namun, secara khusus,
pengertian zuhud banyak disampaikan dalam berbagai ucapan Amirul Mukminin Ali
as.
Istilah zuhud telah sangat populer di
kalangan kita. Namun, jika kita ingin mencari orang zuhud yang sesuai dengan
kriteria hadis dan riwayat, tentunya kita akan sangat kesulitan. Yang kita
jumpai dalam kenyataan malahan akan amat berbeda. Julukan zuhud acapkali
dinisbahkan kepada banyak individu secara sembarangan. Kadangkala, seseorang
mengatakan bahwa si fulan adalah orang yang sangat zuhud. Namun, pada saat kita
telusuri orang tersebut, akan nampak kenyataan bahwa ia hanya menjalani
kezuhudan secara negatif. Artinya, ia termasuk orang yang hanya merasa puas
dengan kehidupan yang dijalaninya. Karenanya, kita lantas mengatakan bahwa
orang yang merasa puas dalam kehidupannya disebut sebagai orang zuhud. Padahal,
pengertian zuhud yang sebenarnya bukanlah seperti ini.
Salah satu prasyarat kezuhudan adalah
merasa puas dengan kehidupan pribadi yang dijalani dan dimilikinya. Pengertian
semacam ini memiliki makna filosofis yang sangat mendalam. Namun, temyata tidak
setiap orang yang merasa puas dengan apa yang dimilikinya bisa disebut sebagai
orang yang zuhud.
Kezuhudan berkaitan erat dengan harta,
materi, dan kedudukan duniawi. Jika Anda bertanya, apakah dalam pandangan
Islam, keberadaan harta dan materi merupakan sesuatu yang baik atau buruk?
Jawabannya jelas tergantung pada tujuan penggunaan harta dan materi? Kekayaan
merupakan kekuasaan.
Demikian juga dengan kedudukan. Apa
tujuan dan maksud yang Anda inginkan dari kekuatan tersebut? Anda adalah anak
Adam, hamba sahaya, dan tawanan hawa nafsu sendiri. Apakah kekuatan berupa
harta dan materi akan Anda gunakan untuk memuaskan hawa nafsu pribadi? Jika
Anda telah menjadi tawanan hawa nafsu, Anda akan diatur dan didikte olehnya.
Anda akan menjadi rakus terhadap harta dan kekayaan. Anda juga akan menjadi
seseorang yang gila pangkat dan kedudukan. Demikian seterusnya. Segala sesuatu
yang digunakan semata-mata untuk memenuhi selera hawa nafsu merupakan
keburukan.
Namun, jika Anda mulai memperbaiki diri,
tidak menjadi penyembah berhala hawa nafsu, menjauhkan egoisme dari dalam diri,
memiliki tujuan sosial, menjadi seorang religius yang taat pada Tuhan, maka
harta dan kekayaan yang merupakan kekuasaan, akan Anda gunakan untuk tujuan
suci dan mulia. Ini merupakan ibadah. Begitu pula jika Anda menginginkan
pangkat dan kedudukan demi maksud-maksud spiritual. Apa yang saya kemukakan ini
bukanlah berasal dari pribadi saya sendiri, melainkan ungkapan dari Imam Ja’far
Shadiq as.
Pada masa Imam Ja’far Shadiq as, banyak
bermunculan ulama zuhud yang bodoh. Mereka berdebat dengan Imam Ja’far.as
tentang masalah zuhud. (Imam Ja’far mengatakan): “Jika pengertian zuhud seperti
yang kalian sampaikan, lantas bagaimana dengan Nabi Yusuf yang menurut al-Quran
adalah Nabi dan hamba Allah yang shalih. Mengapa ketika terbukti tidak bersalah
dan dikeluarkan dari penjara, Nabi Yusuf malah berkata kepada penguasa Mesir:
“Jadikanlah aku bendaharawan
negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga,
lagi berpengetahuan.”
Ternyata Nabi Yusuf menghendaki jabatan
tinggi dalam pemerintahan. Beliau mengatakan: “Serahkanlah padaku seluruh
pengaturan keuangan yang ada.” Mengapa al-Quran menceritakan kisah Nabi Yusuf
tersebut dan tidak menganggap tindakannya sebagai sebuah tabu? Lagi pula,
mengapa al-Quran tidak menyatakan beliau sebagai orang yang rakus dunia? Semua
ini dikarenakan Nabi Yusuf bukan penyembah materi. Sejak awal kehidupannya,
beliau telah menjadi penyembah Allah, bukan seorang hedonis atau penyembah
harta dunia. Segenap pangkat dan jabatan yang dikehendaki Nabi Yusuf as akan
digunakannya untuk mencapai tujuan-tujuan spiritual dan religius. Dikarenakan
menghendaki tujuan spiritual dan religius, maka apa yang beliau lakukan tidak
bisa disebut dengan upaya mencari pemenuhan kepentingan duniawi. Sebaliknya,
upaya beliau justru ditujukan untuk kepentingan eskatologis (ukhrawi atau
keakhiratan).
Masalah Kedudukan Penguasa Zalim
Para ulama Islam mengatakan bahwa
kedudukan (wilayah) penguasa zalim hukumnya haram. Seseorang yang hendak
mengabdi pada pemerintah zalim sesungguhnya telah melakukan kejahatan dan dosa
besar. Namun, apabila seseorangmenerima kedudukan tersebut dengan tujuan
menyelamatkan orang-orang tertindas, tentu itu bukanlah perbuatan dosa. Bahkan
berdasarkan fatwa sebagian ulama, perbuatan tersebut tergolong mustahab
(sunah). Lebih dari itu, menurut pendapat sebagian ulama lainnya, hukumnya
malah wajib. Menerima kedudukan dari pemerintah zalim untuk mengabdi (pada masyarakat),
menentang kezaliman, dan menyelamatkan orang-orang tertindas bukanlah perbuatan
yang haram. Bahkan, sebagaimana tadi dikemukakan, menurut sebagian pendapat,
mengupayakan hal tersebut hukumnya wajib atau mustahab.
Demikian pula dengan kepemilikan harta
kekayaan. Untuk tujuan apakah Anda mengumpulkan harta kekayaan? Apa tujuan Anda
mencari kekuatan ini? Pada saat moralitas Anda sudah terbina, dan Anda
membutuhkan hal itu demi mencapai tujuan spiritual yang mulia, Anda harus
melakukannya! Jika tidak, berarti Anda telah berbuat dosa!
Kezuhudan Cermin Kekuatan Jiwa
Islam merupakan pendukung kekuatan:
kekuatan jiwa dan ekonomi. Islam merupakan pendukung kekuatan jiwa. Dengan
demikian, sebagai orang muslim, Anda harus kokoh dari segi akhlak dan moral.
Anda tidak boleh memfokuskan diri pada materi. Anda tidak boleh menjadi hamba
sahaya serta tawanan materi. Betapa agung ucapan Amirul Mukminin: “Kezuhudan
semuanya terletak di antara dua kata dalam al-Quran.”[22]
Imam Ali as menafsirkan kezuhudan dari
sisi kekuatan jiwa dengan mengatakan: “ Allah menjelaskan dalam
al-Quran: ‘(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”[23]
Saat Anda secara spiritual telah
mencapai kedudukan ini, yakni Anda dianugerahi seluruh ihwal kehidupan duniawi,
Anda tidak serta merta menjadi budak hawa nafsu. Dan apabila seluruh ihwal
kehidupan duniawi direngut, Anda tidak merasa kalah dan frustasi. Dalam kondisi
seperti ini, Anda disebut sebagai orang yang zuhud. Islam mendukung dua jenis
kekuatan; kekuatan yang berhubungan dengan kezuhudan dan keduniawian. Jiwa kita
harus tegar sehingga tidak diperbudak oleh harta dan kekayaan dunia. Dari
perspektif ekonomi, kita harus bekerja keras untuk mencari harta dan kekayaan.
Namun upaya tersebut harus didasari oleh tuntunan syariat sehingga kita bisa
benar-benar memanfaatkan kekuatan materi dan ekonomi.
Ketika mengetahui bahwa Islam mendukung
kekuatan tersebut (moral dan ekonomi), Anda bisa melihat bahwa sesungguhnya
kita tergolong orang-orang zuhud yang mendukung sekaligus memiliki kelemahan
(terhadap kedua faktor tersebut, —peny.).
Apabila kita menjadi orang zuhud yang
senantiasa menjauh dari ekonomi dan kekayaan, itu artinya kita lebih memilih
kelemahan. Masyarakat yang tidak memiliki kekayaan, tidak akan mampu
melaksanakan tugas-tugas ekonomi dan harus mengulurkan tangan untuk mengemis
kepada orang lain. Kita juga mempunyai kelemahan dari sisi moralitas. Sebab,
pada saat mendidik diri untuk menjauh dari harta dan kehidupan dunia, kita
menyangka bahwa diri kita sudah menjadi zuhud. Namun, tatkala kehidupan dunia
menghampiri mereka, kita akan saksikan bagaimana mereka mengabaikan nilai-nilai
kezuhudan. Kita menyadari bahwa kita tidak memiliki kemampuan dari segi ruhani
maupun ekonomi. Jadi, kezuhudan dalam Islam merupakan kekuatan dan kemampuan
jiwa. Dengan kekuatan dan kemampuan tersebut, harta, kekayaan, dan segala hal
yang bersifat duniawi, tidak akan berbahaya jika berada dalam genggaman Anda.
Bahkan semua itu akan menjadi kekuatan Anda.
Beberapa ulama pernah mengunjungi Imam
Ja’far dan menentang pendapat beliau. Padahal, mereka sesungguhnya tidak
memahami filsafat kezuhudan. Mereka mendengar bahwa Imam Ali bin Abi Thalib
merupakan orang yang zuhud pada jamannya. Mereka menyangka Imam Ali mendukung
orang yang hidup dengan berpakaian compang-camping dan memakan roti kering.
Mereka tidak memahami filsafat memakan roti kering. Imam Ja’far kemudian
memberi penjelasan sampai mereka memahami filsafatnya. Mengapa Imam Ali hidup
zuhud? Sebabnya, beliau ingin menjadi manusia. Imam Ali bukan orang zuhud yang
hanya duduk-duduk di sudut ruangan. Beliau bahkan menganggap pengucilan diri
bukan sebuah kezuhudan.
Dalam kehidupannya, Imam Ali as
senantiasa berbaur dengan masyarakat dan melakukan berbagai kegiatan sosial
serta memproduksi kekayaan melebihi siapapun. Namun, beliau tidak menggenggam
kekayaan tersebut di telapak tangannya. Beliau mengumpulkan harta, namun tidak
menyimpannya. Pekerjaan produktif manakah yang tidak dikerjakan Imam Ali pada
masa itu? Beliau melakukan perniagaan, bercocok tanam, berkebun, menanam pohon,
dan menggali lubang. Beliau juga ahli dalam bidang kemiliteran. Namun pada
waktu yang bersamaan, beliau merupakan orang yang zuhud. Imam Ali pernah
bekerja di kebun-kebun kota Madinah milik ahli kitab dan non-muslim. Beliau
bekerja, membantu, dan memperoleh gaji dari mereka. Kemudian beliau menukar
upah yang didapatkan dengan roti. Terkadang beliau membawa gandum dan tepung ke
rumahnya. Kemudian Sayyidah Fathimah sendiri yang menggiling gandum tersebut
dan memasaknya. Mereka pernah didatangi orang-orang yang membutuhkan, yakni
orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. Imam Ali as merupakan pribadi
yang lebih mementingkan orang lain ketimbang dirinya. Tanpa pikir panjang lagi,
beliau akan segera memberikan santapannya. Seperti inilah kezuhudan Imam Ali.
Orang zuhud seperti inilah yang harus Anda jumpai.
Dalam kezuhudannya, Imam Ali senantiasa
menyertakan dirinya dalam kedukaan (orang lain, —peny.). Menyertakan
diri dalam kedukaan (orang lain) merupakan keadaan yang manusiawi. Kendati
memperoleh gaji negara, namun beliau tidak memanfaatkan semuanya demi memenuhi
kepentingan pribadi. Beliau hanya mengambil sedikit haknya dari baitul mal (kas
negara). Meskipun demikian, beliau tetap merasa puas. Ketika makan, beliau
tidak sudi perutnya berada dalam keadaan kenyang. Mengapa? Karena jiwa, hati,
dan nuraninya tidak mengizinkan beliau untuk berbuat demikian. Beliau berkata:“Apakah
saya akan berbaring dengan perut kenyang sementara di sekitar saya mungkin
ada orang yang resah dan gelisah lantaran perut yang lapar dan dahaga?
Atau apakah saya akan menjadi seperti yang dikatakan sang penyair,
Cukuplah bagi Anda untuk punya
suatu penyakit,
bahwa Anda berbaring dengan perut
penuh,
sementara di sekitar Anda,
mungkin ada orang yang sangat
mermdukan kulit kering.”
Beliau tidak hanya memperhatikan para
tetangga, namun juga keseluruhan umat manusia. Dalam hal ini, beliau sering
mengatakan: “Dan keserakahan membawa saya untuk memilih makanan yang
bagus-bagus, sementara di Hijaz atau di Yamamah (dekat teluk Persia), mungkin
ada orang yang tak mempunyai harapan untuk mendapatkan roti, atau tidak
memiliki cukup makanan untuk dimakan sampai kenyang.” Inilah pengertian zuhud
yang sesungguhnya. Apabila Anda menjumpai orang seperti ini, maka kemanusiaan
akan bangga terhadapnya. Bukan seperti kezuhudan yang kita jalani; kezuhudan
yang mati dan tak bergerak serta menganggap diri sendiri sebagai zuhud.
Kezuhudan bukanlah seperti ini. Kezuhudan (sejati) identik dengan kezuhudan
Imam Ali as. “Apakah saya akan berbaring dengan perut kenyang sementara di
sekitar saya mungkin ada orang yang resah dan gelisah karena perut yang lapar
dan haus? Atau apakah saya akan menjadi seperti yang dikatakan sang penyair,
Cukuplah bagi Anda untuk punya
suatu penyakit,
bahwa Anda berbaring dengan perut
penuh,
sementara di sekitar Anda,
mungkin ada orang yang sangat merindukan
kulit kering.
Kita harus menjalani kezuhudan
sebagaimana yang dipraktikkan Rasulullah SAWW. Meskipun berada di senja
usianya, Rasulullah tetap memiliki kekuatan dan hatinya tetap hidup. Beliau
orang yang lebih mengutamakan orang lain dan memiliki sifat pemaaf. Dikarenakan
itulah, diturunkan ayat yang khusus diperuntukkan bagi beliau. Ayat tersebut
berbunyi: “Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi
tercela dan menyesal.”[24] (Maksud ayat
tersebut, “janganlah kamu terlampau kikir, dan jangan pula terlampau pemurah, —pent.)
Pada suatu ketika, Rasulullah tidak
datang (ke masjid) di waktu shalat. Setelah itu diketahui bahwa tatkala waktu
shalat akan tiba, seseorang yang tidak mengenakan pakaian mendatangi rumah
beliau SAWW. Saat itu, Nabi SAWW tidak memiliki apapun kecuali baju kasar yang
melekat di tubuhnya. Namun, beliau tetap memberikannya kepada orang tersebut.
Dikarenakan itulah, Nabi menjadi berhalangan untuk datang ke masjid. Inilah
bentuk kezuhudan dan kemanusiaan.
Rasulullah menyuruh seseorang membeli
baju untuk beliau. Orang itu kemudian membeli baju yang cukup bagus seharga dua
belas dirham. Setelah itu, ia segera kembali. Rasulullah SAWW memandang ke arah
orang tersebut seraya mengatakan: “Saya lebih puas mengenakan pakaian yang
lebih murah dari ini.” Kemudian Rasulullah sendiri yang pergi menukarkan
kembali pakaian tersebut dengan yang lebih murah. Di tengah jalan, beliau
menjumpai seorang budak perempuan kecil yang sedang menangis. Kemudian Rasul
menghampirinya dan berkata: “Mengapa kamu menangis?” Gadis kecil itu menjawab:
“Saya telah menghilangkan uang majikan saya.” Rasulullah segera memberinya
empat dirham, lalu pergi. Dengan uang sebanyak empat dirham, Rasulullah membeli
dua buah baju yang salah satunya diberikan kepada orang yang membutuhkan. Dalam
perjalanan pulang, Rasulullah melihat budak perempuan kecil tadi masih duduk
dan menangis. Rasulullah kembali bertanya: “Mengapa kamu masih menangis?” Dia
menjawab: “Karena terlambat, saya tidak berani pulang ke rumah, mereka pasti
akan memukuli saya.” Beliau berkata: “Saya akan mengantarmu pulang.” Setelah
gadis kecil tersebut menunjuk pintu sebuah rumah, Rasulullah mengucapkan: “Assalamu
‘alaikum, wahai penghuni rumah.” Kebiasaan Rasulullah ketika hendak
masuk rumah orang lain adalah mengucapkan salam (ini juga merupakan perintah
al-Quran yang melarang masuk ke rumah tanpa izin). Sebagimana sikap kita
(orang-orang Iran, —pent.) yang senantiasa mengucapkan: “Ya
Allah.” Ucapan tersebut merupakan zikir. Alangkah baiknya jika ingin
memberi tahu orang lain, kita mengucapakan kata “ya Ilahi”.
Rasulullah kemudian mengeraskan ucapan
salamnya. Mendengar suara Nabi, hati penghuni rumah tersebut berdebar-debar.
Rasulullah kembali mengucapkan salam, namun penghuni rumah tidak juga
menjawabnya. Sampai pada salam yang ketiga, akhirnya mereka menjawab: “Wa’alaikassalam
ya Rasulullah. Silahkan masuk.” Rasulullah bertanya: “Apakah kalian
tidak mendengar salam pertama saya?” Mereka menjawab: “Ya, kami mendengar,
namun kami ingin Anda mengulangi ucapan salam, karena hal itu memberi berkah
kepada keluarga kami. Apabila kami menjawab salam pertama Anda, maka kami tidak
akan mendapatkan (berkah) salam kedua dan ketiga. Karena kami tahu bahwa Anda
akan mengucapkan salam sebanyak tiga kali, dengan sengaja kami tidak menjawab
salam Anda.” Rasulullah memasuki rumah tersebut seraya berkata: “Kedatangan
saya ingin membantu gadis kecil yang datang terlambat ini. Semoga tidak
merepotkan kalian.” Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, dikarenakan
kedatanganmu, kami membebaskannya.” Rasulullah kembali berkata: “Segala puji
bagi Allah, dengan dua belas dirham saya memberi pakaian orang yang telanjang
dan membebaskan seorang budak!”
Inilah kezuhudan (yang sebenarnya).
Inilah filsafat kezuhudan yang Islami, yang membuat hati, kemanusiaan, dan
menyertakan diri dalam kedukaan (orang lain) menjadi hidup.
[1] Al-Anfâl: 24.
[2] An-Najm: 39.
[3] Az-Zalzalah: 7-8.
[4] Jâmi’ al-Akhbâr, bab
XVIII, hal.42; Al-Khishâl, hal.l78-119; Bihâr
al-Anwâr, Jilid ke 69, hal. 64-73.
[5] Mafâtih al-Jinân,
Bab Ziarah Imam Husain pada Idul Fitri dan Idul Adha.
[6] Al-Baqarah: 80.
[7] An-Nisâ’: 123.
[8] Hûd: 45.
[9] Ushûl al-Kâfî, Jilid
IV, hal. 207.
[10] Asy-Syu’arâ`: 214.
[11] Bihâr
al-Anwâr, Jilid 43, hal. 38, 54, 76, dan 80.
[12] Nahj Al-Balâghah,
Faidh al-Islam, Hikmah ke-142, hal. 1160.
[13] Al-Anfâl: 24.
[14] Yâsîn: 70.
[15] Al-An’âm: 122.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Al-Anfâl: 24.
[19] Al-Baqarah: 255.
[20] Ibid.
[21] An-Najm: 39.
[22] Nahj
al-Balâghah, “Faidhul Islam”, Hikmah ke-34, hal. 1291.
[23] Al-Hadîd: 23.
[24] Al-Isrâ`: 29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar