Sebenarnya,
hadits tsaqalain yang tsabit dan shahih adalah hadits yang berakhir dengan wa ahli baity.
Sedang yang berakhir dengan kata-kata wa sunnaty itu bathil (salah) dari sisi
matan dan sanadnya.
Inilah Fatwa
Al-Alim Al-Alamah As-Sayyid Al Habib Hasan Bin Ali Bin Hasyim Bin Ahmad Bin
Alwy Ba’agil Al-Alawy (Mufti Mazhab Syafi’i Di Makkah
Almukarramah yang Wafat Tahun 1335 H)
Jawaban
Mengenai Hadits, “Aku tinggalkan pada kalian Ats-tsaqalain (dua pusaka),
yaitu Kitabullah (Alqur’an) dan Keluargaku (yaitu) Ahli Baitku”.
Saya pernah
ditanya mengenai hadits, “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian
tidak akan sesat setelah (berpegang teguh kepada) keduanya; kitabullah
(Alqur’an) dan ……..” apakah -kata penanya itu-hadits tsb shahih jika ditambah
dengan kata-kata (akhirnya) ‘itraty wa ahli baity (keluargaku yaitu ahli
Baitku) atau mungkin yang benar, wasunnaty (dan sunnahku). Dia berharap agar dapat
menjelaskan sanad hadits tsb.
Sebenarnya,
hadits yang tsabit dan shahih adalah hadits yang berakhir dengan wa ahli baity.
Sedang yang berakhir dengan kata-kata wa sunnaty itu bathil (salah) dari sisi
matan dan sanadnya.
Berikut
penjelasan mengenai sanad hadits tsb.Hadits tsb diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam shahihnya (IV: 1873 no. 2408 cetakan Abdul-Baqy) dari Sayyidina Zaid bin
Arqam r.a. Dia berkata; “Suatu hari Rasulullah s a w. Pernah berdiri
dihadapan kami seraya berkhutbah disuatu tempat (kebun) kosong diantara Makkah
dan Madinah. Beliau s a w memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya. Lalu menasehati
dan mengingatkan (ummatnya). Kemudian bersabda; “Amma ba’du (adapun sesudah
itu), ingatlah wahai sekalian manusia, sesunguhnya aku ini hanya manusia biasa,
hampir-hampir (sebentar lagi) akan datang utusan Tuhanku (yang akan memanggilku
ke Hadhrat-Nya), maka akupun (pasti) mengabulkannya. Dan aku akan meninggalkan
pada kalian dua pusaka. Pertama, Kitabullah itu dan peganglah teguh-teguh.”
Beliau s a w. Memerintahkan untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an sebagai
Kitabullah dan mendorong untuk mengamalkannya. Kemudian beliau saw bersabda,
“Dan Ahli Baitku (keluargaku).”
Itulah Lafadh
atau redaksi Imam Muslim.
Dan diantara
perawi lain yang meriwayatkan dengan redaksi seperti itu ialah Al-Darimy dalam
Sunan-nya (II : 431 – 432) dengan isnad shahih seperti (terangnya) matahari.
Ada juga perawi lain yang meriwayatkan hadits tsb seperti redaksi Imam Muslim
itu. Sedang riwayat Imam Turmudzi terdapat kata-kata, wa ‘itraty ahli baity
(dan keturunanku [yaitu] ahli baitku [keluarga rumahku]).” Dalam Sunan Turmidzi
(V: 663 no. 3788), Rasulullah s a w. Bersabda;
“Sesungguhnya
aku meninggalkan pada kalian apa yang jika kalian pegang (erat-erat) pasti
kalian tidak akan sesat sudah aku (tiada). Salah satunya lebih agung dari pada
yang lainnya, (yaitu) Kitabullah. Dia merupakan tali yang memanjang dari langit
ke bumi. Dan keturunanku (yaitu) ahli baitku. Kedua pusaka itu tidak akan
berpisah sehingga keduanya dapat mendatangkan haudh-telaga-kepadaku.
Perhatikanlah (berhati-hatilah dan pikirkanlah) bagaimana kalian memperlakukan
merekasepeninggalku.”
Hadits shahih.
ADAPUN
KATA-KATA WA SUNNATY (DAN SUNNAHKU), SAYA TIDAK MERAGUKAN KE-MAUDHU’-ANNYA
KARENA KE-DHA’IF-AN SANADNYA,dan faktor-faktor lainnya yang sangat mempengaruhi
kelemahannya.
Berikut ini
isnad dan matan Hadits tersebut:
Imam Al-Hakim
meriwayatkan hadits tsb dalam Al-Mustadrak (I :93) dengan isnad dari Ibnu Abi
Uwais dari ayahnya, dari Tsaur bin Zaid Al-Daily, dari Ikrimah, dari Ibnu
Abbas. Diantaranya dalam sanad hadits tsb terdapat Ibn Abi Uwais dan ayahnya.
Al-Hafidh Al-Mizzy dalam Tahdzib Al-Kamil (III : 127), mengenai biografi
Al-Ibn-Ibn Abi Uwais – dan aku akan mengutip perkataan orang yang mencelanya,
berkata Muawiyah bin Shalih dari Yahya bin Mu’in;
“Abu Uwais dan
putranya itu (keduanya) dha’if (lemah).” Dan dari Yahya ibn Mu’in juga, Ibn Abi
Uwais dan ayahnya (suka) mencuri hadits.” Dan dari Yahya juga, “Dia itu suka
mengacaukan (hafalan) hadits (mukhallith) dan suka berbohong, dia tidak mengapa
(dalam hadits).”Tetapi menurut Abi Hatim, Ibn Abi Uwas itu tempat kejujuran
(mahalluhu ash-shidq), dia terbukti lengah (dilengahkan / dibiarkan orang)
(mughaffal). Imam Nasa’iy menilai dia dha’if (lemah). Dan masih menurut Imam
Nasa’iy dalam kesempatan lain, dia tidak tsiqah. Menurut Abu Al-Qasim
Al-Alka’iy, “Imam Nasa’iy sangat jelek menilainya sampai ke derajad matruk (Ibn
Abi Uwais itu ditinggalkan orang)”. Menurut komentar Abu Ahmad binAdy, “Ibn Abi
Uwais itu meriwayatkan dari pamannya (khal-nya) (yaitu) Malik yaitu berupa
beberapa hadits gharib yang tidak diikuti oleh seorangpun (dari periwayat lain)
(tidak ada mutaba’ah-nya).Al-Hafizh Ibn Hajar dalam muqaddimah Al-Fath Al-Bary
(hlm. 391 terbitan Dar Al-Ma’rifah) mengenai Ibn Abi Uwais mengatakan, ” atas
dasar itu hadits dia -Ibn Abi Uwais-tidak dapat dipakai sebagai hujjah selain
yang terdapat dalam As-shahih, karena celain yang dilakukan Imam Nasa’iy dan
lain-lainnya …..”.
Al-Hafizh
Sayyid Ahmad bin As-Shadiq dalam Fath Al-Mulk Al-Aly (hlm 15) mengatakan,
“Berkata
Salamah bin Syabib, “Aku pernah mendengar Ismail bin Abi Uwais mengatakan,
“Mungkin Aku membuat hadits (adhu’u al-hadits) untuk penduduk Madinah jika
mereka berselisih pendapat mengenai sesuatu diantara mereka.”
Jadi, dia-Ibn
Abi Uwais – dituduh suka membuat hadits (maudhu’), dan Ibn Mu’in menilainya
sebagai pembohong. Dan haditsnya yang mengandung kata-kata wa sunnaty
tidak terdapat dalam salah satu dari Shahihain.
Adapun mengenai
ayahnya, Abu Hatim Ar-Razy mengatakan, sebagaimana disebutkan didalam
kitab anaknya Al-Jarh wa At-Ta’dil (V: 92), “Ditulis haditsnya, tetapi
tidak dapat dijadikan hujjah, dan dia tidak kuat.”
Dalam sumber
yang sama, Ibn Abi Hatim mengutip dari Ibn Mu’in bahwa dia berkata dalam kitab
Al-Jarh wa Ta’dil tsb, “Abu Uwais itu tidak tsiqah.”
Menurut saya,
sanad yang dimasuki atau dicampuri oleh dua orang yang telah kami paparkan itu
tidak dapat menjadi shahih kecuali jika ada unta yang dapat masuk ke lubang
jarum (mustahil). Apalagi jika telah terbukti bahwa apa yang telah mereka bawa
dan datangkan itu bertentangan dengan hadits tsabit dan shahih. Pikirkanlah
itu, semoga Allah memberikan hidayah pada kita semua.
Imam Al-Hakim
telah mengakui ke dha’if-an hadits tsb, sehingga dia tidak menshahihkannya
dalam Al-Mustadrak. Dia hanya menarik (mencarikan) syahid atau saksi
penguat bagi hadits tsb, tetapi tetap saja lemah (wahin) dan isnadnya jatuh
(saqith), sehingga tampaklah betapa sangat lemahnya hadits tsb. Kami telah
membuktikan bahwa Ibn Abi Uwais dan ayahnya sungguh -sungguh, salah satu
diantara keduanya telah mencuri (membuat) hadits. (Sehingga haditsnya disebut
maudhu’, dibuat-buat).
Al-Hakim
meriwayatkan (I : 93) hadits tsb, dia berkata, “Saya telah menemukan
syahid atau saksi penguat bagi hadits tsb dari hadits Abi Hurairah”. Kemudian
diriwayatkan dengan sanadnya melaui (jalan) Al-Dhaby: Telah menghaditskan
kepada kami Shalihbin Musa At-Thalhy dari Abdul Aziz bi Rafi’ dari Abu Shalih
dari Abu Hurairah – secara marfu’ (Rasulullah s a w bersabda), “Sesungguhnya
aku meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat
setelah keduanya. Kitabullah dan Sunnahku. Keduanya tidak akan berpisah
sehingga keduanya mendatangkan (mengembalikan) telaga (haudh) kepadaku”.
Menurut saya (Sayyid
Hasan) hadits tsb juga maudhu’ (dibuat-buat). Disini yang dibicarakan atau yang
dikomentari hanya satu orang yaitu Shaleh bin Musa Al-Thalhy.
Berikut ini
penilaian para imam pakar hadits dari kalangan Kibar Al-Huffazh (penghafal
terkenal) yang mencela Shaleh bin Musa Al-Thalhy sebagaimana terdapat dalam
kitab Tahdzib Al-Kamal (XIII : 96);
“Berkata Yahya
bin Mu’in, “Laisa bi-syai’in (riwayat [hadits] tsb bukan apa-apa).”
Abu Hatim
Ar-Razy berkata,
“Dha’if
Al-Hadits (Haditsnya dha’if).” Dia sangat mengingkari hadits dan banyak
kemungkaran terhadap perawi yang tsiqah.
Menurut
penilaian Imam Nasa’iy, haditsnya tidak perlu ditulis. Atau pada kesempatan
yang lain Imam Nasa’iy berkata;
“Dia itu matruk
al-hadits (haditsnya matruk / ditinggalkan).”
Al-Hafizh Ibn
Hajar Al-Asqalany dalam Tahdzib At-Tahdzib (IV: 355) menyebutkan;
“Ibn Hibban
berkata bahwa Shaleh bin Musa meriwayatkan dari tsiqat apa yang tidak
menyerupai hadits itsbat (yang kuat) sehingga yang mendengarkannya bersaksi
bahwa riwayat tsb ma’mulah (diamalkan) atau maqbulah (diterima) tetapi tidak
dapat dipakai untuk ber-hujjah.
Abu Nu’aim
berkata:
“Dia itu matruk
al-hadits, sering meriwayatkan hadits-hadits munkar.”Al-Hafizh dalam At-Taqrib
juga menghukuminya sebagai rawi matruk (yang harus ditinggalkan) (Tarjamah
2891).
Demikian pula
Al-Dzahaby dalam Kasyif (2412), yang menyebutkan bahwa dia wahin (lemah).
Menurut Al-Dzahaby dalam Al-Mizan (II : 302), hadits riwayat Shaleh bin Musa
tsb termasuk kemungkaran yang dilakukannya.Imam Malik menyebut hadits tsb dalam
Al-Muwaththa’ (I : 899 no. 3) tanpa sanad (jadi tidak ada asal-usulnya hadits
itu / la aslu -pen). Tetapi hal itu tidak ada artinya, karena mengenai
kelemahannya telah jelas.
Al-Hafizh Ibn
Abdilbar dalam At-Tahmid (XXIV : 331) menyebutkan sanad ketiga mengenai hadits
dha’if tersebut;
“Dan telah
menghaditskan kepada kami Abdurrahman bin Yahya, dia berkata, “telah
menghaditskan kepada kami Ahmad bin Sa’id, dia berkata, “telah menghaditskan
kepada kami Muhammad ibn Ibrahim Al-Daibaly, dia berkata, “telah menghaditskan
kepada kami Ali bin Zaid Al-Faraidhy, dia berkata, “telah mengahaditskan kepada
kami Al-Haniny dari Katsir bin Abdullah bin Amr bin Auf, dari ayahnya, dari
kakeknya (mengenai hadits tsb)”.
Sekarang kita
akan memperbincangkan satu illat atau penyakit saja, yaituKatsir bin Abdullah
yang terdapat dalam isnad hadits tersebut.
Menurut Imam
Syfa’iy Rahimahullah Ta’ala;
dia adalah
salah satu punggung kebohongan.
Sedang menurut
Abu Dawud Rahimahullah Ta’ala,
“dia adalah
salah satu pembohong.”
Ibn Hibban
berkata;
“Dia
meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya suatu nuskhah (teks) yang maudhu’
(dibuat-buat) yang tidak halal atau tidak pantas untuk dicantumkan didalam
berbagai kitab dan tidak perlu diriwayatkan kecuali untuk (sisi) ta’ajjub (aneh
karena keberaniannya dalam berbohong -pen).
Menurut
penilaian Imam Nasa’iy dan Al-Darulquthny;
”dia matruk
al-hadits (haditsnya ditinggalkan orang). Imam Ahmad berkata, “dia itu
pengingkar hadits, dia tidak (mempunyai peran) apa-apa.”
Demikian
pula menurut peniliaan Yahya bin Mu’in;
bahwa dia tidak
(bukan) apa-apa, (tidak ada apa-apanya), (bukan orang penting).
Saya (Sayyid
Hasan bin Ali) berpendapat, sungguh salah jika Al-Hafizh Ibn Hajar Rahimahullah
Ta’ala – dalam Taqrib menilainya sebagai dha’if saja, kemudian dia berkata,
“sungguh berlebihan jika ada orang yang menuduh sebagai pembohong.” Menurut
saya (Sayyid Hasan), hal itu sama sekali tidak salah dan tidak berlebihan.
Karena, seperti terlihat dari peniliaan para imam atau pakar hadits, dia memang
pendusta.
Bukankah
Al-Dzahaby juga telah menilai dia (dalam Al-Kasyif) sebagai wahin (lemah). Dan
memang dia demikian. Haditsnya maudhu’. Hadits tsb tidak cocok untuk diikuti
(mutaba’ah) dan tidak perlu dicarikan syahid (saksi penguatnya). Bahkan harus
dijauhi. Allah-lah yang memberi taufiq kepada kita semua.Menurut Tuan
Mutanaqidh – penentang atau sang kontroversial – dalam Dha’ifatih (IV : 361),
hadits shahih dan tsabit (kuat) yang menyebutkan, “Wa ‘itraty ahli baity (Dan
keturunanku yaitu ahli baitku) menjadi syahid (saksi) atas (kebenaran dan
keshahihan) hadits yang mengandung wa sunnaty (dan sunnahku).
Yang demikian
itu menurut saya (Sayyid Hasan bin Ali) termasuk yang layak untuk ditertawakan
saja. Hanya Allah yang memberi hidayah kepada kita semua. Tanbih / Peringatan
dari Alhabib Assayyid Hasan bin Ali. Sabda Rasulullah s a w., “Itraty Ahli
Baity (Keturunanku [yaitu] ahli baitku atau keluargaku), maksudnya adalah
istri-istrinya (?), keturunannya (dzurriyah-nya), dan yang lebih istimewa adalah
Sayyidah Fathimah, Sayyidina Ali r a. – semoga Allah memuliakannya di surga,
Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain a.s, dan semoga mereka mendapat ke
ridaan-Nya. Dalilnya adalah sabda Nabi Muhammad s a w. Dalam sebuah hadits
shahih dan tsabit. Diriwayatkan oleh Siti Aisyah r a. Dalam shahih Muslim (IV :
1883 no. 2424) dari Umar bin Abu Salamah, anak tiri Rasulullah s a w.,
sebagaimana dicantumkan dalam At-Turmudzi (V:663). Redaksinya dari beliau –
Rahimahullah Ta’ala – dan lain-lainnya dengan isnad-isnad shahih. Dia berkata,
“Ayat berikut ini turun kepada nabi s a w., Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu -hai ahli bait – dan membersihkan sebersih
bersihnya (QS. Al-Ahzab: 33).” Ayat tsb turun kepada Nabi s a w di rumah Ummu
Salamah r a. Lalu Nabi Muhammad s a w memanggil Sayyida Fathimah r a, Hasan dan
Husain. Lalu Raulullah s a w menutupi mereka dengan kiswah (baju, kain) sedang
Imam Ali r a. – wa karrama wajhah – ada dibelakang punggungnya (Nabi s a w).
Beliau s a w pun menutupi dengan pakaian (kiswah). Kemudian beliau s a w
bersabda, “Allahumma (ya Allah), mereka itu ahli baitku, maka hilangkanlah dosa
(kekejian dan kekotoran) dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya
(bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya).” Ummu Salamah r a berkata, “Dan
(apakah) aku beserta mereka wahai Rasulullah ?” Beliau bersabda, “Engkau
mempunyai tempat tersendiri, dan engkau menuju kepada kebaikan.”Siapa yang
membatasi Ahli Bait Rasulullah s a w hanya pada istri-istrinya saja, maka
sungguh keliru. Karena hal itu bertentangan dengan ijmak dan sunnah yang
shahih. Dengan penjelasan tsb, jelas bahwa hadits, Kitabullah wa ‘Itraty
(Kitabullah dan keturunanku) adalah hadits shahih dan tsabit yang terdapat pada
shahih Muslim.Kata-kata kitabullah wa sunnaty (kitab Allah dan Sunnahku) itu
bathil – dari sisi isnad – dan tidak shahih.
Maka saya
menganjurkan kepada para khatib, imam dan mubaligh untuk segera meninggalkan
pengucapan hadits-hadits yang tidak diriwayatkan dari Nabi Muhammad s a w. Dan
hendaknya mereka juga tidak segan-segan untuk mengungkapkan hadits shahih dari
Nabi Muhammad s a w yang terdapat dalam Shahih Muslim, yang antara lain
menyebutkan, “Kitabullah wa Itraty ahli baity atau wa ahli baity”. Kamipun
pesan kepada para penuntut ilmu (santri dan pelajar pada umumnya) untuk
mempelajari ilmu hadits. Dan hendaklah mereka juga mau menyediakan waktu untuk
mengenali hadits yang shahih dan dha’if sekaligus. Allah SWT memfirmankan yang
Hak dan benar. Dia menunjuki manusia dan makhluk-Nya ke jalan yang lurus dan
benar. Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
(Disadur dari
kitab Shahih Shifat Shalat An-Naby [Shalat Bersama Nabi s a w] karya Sayyid
Hasan bin Ali Ba’Agil).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar