oleh Andre
Vltchek (diterjemahkan
oleh Fitri Bintang Timur dan disunting oleh Rossie Indira)
Kalau anda naik
kereta api di Jakarta, berhati-hatilah: pemandangan yang anda lihat di balik
jendela mungkin akan membuat resah anda yang bukan wartawan perang atau dokter.
Terlihat ratusan ribu orang merana tinggal di sepanjang jalur kereta. Rasanya
seperti seluruh sampah di Asia Tenggara ditumpahkan di sepanjang rel kereta;
mungkin sudah seperti neraka di atas bumi ini, bukan lagi ancaman yang
didengung-dengungkan oleh ajaran agama.
Memandang keluar dari jendela kereta yang
kotor, anda akan melihat segala macam penyakit yang diderita oleh manusia. Ada
luka-luka yang terbuka, wajah terbakar, hernia ganas, tumor yang tak terobati
dan anak-anak kurang gizi berperut buncit. Dan masih banyak pula hal-hal buruk
yang bisa anda lihat yang bahkan sulit untuk digambarkan atau difoto.
Jakarta, ibu kota negara yang oleh media Barat
diberi predikat ‘demokratis’, ‘toleran’ dan ‘perekonomian terbesar di Asia
Tenggara’ sebenarnya adalah tempat dimana mayoritas penduduknya tidak memiliki
kendali atas masa depan mereka sendiri. Dari dekat makin nyata bahwa kota ini
punya indikator sosial yang levelnya lazim ditemui di Sub-Sahara Afrika, bukan
di Asia Timur. Selain itu, kota ini juga semakin keras dan tidak toleran
terhadap kaum minoritas (agama maupun etnik), termasuk mereka yang menuntut
keadilan sosial. Perlu kedisiplinan yang luar biasa untuk tidak menyadari ini
semua.
Slavoj Zizek, filsuf Slovenia, menulis dalam
bukunya The Violence: “Disini kita temui perbedaan Lacanian antara kenyataan
(reality) dan yang Nyata (the Real)…..‘kenyataan’ (‘reality’) yang dimaksud
disini adalah kenyataan sosial dari orang-orang yang benar-benar terlibat dalam
interaksi dan dalam proses produksi, sementara yang Nyata (the Real) adalah
sesuatu yang ‘abstrak’ yang tak dapat ditawar, logika menakutkan dari ibukota
yang menentukan apa yang terjadi dalam kenyataan sosial. Kita dapat melihat
kesenjangan ini secara jelas ketika kita pergi ke suatu negara yang kehidupan
masyarakatnya berantakan. Banyak kita lihat kerusakan lingkungan dan
penderitaan manusia. Namun, yang bisa kita baca hanyalah laporan dari para
ekonom bahwa kondisi ekonomi negara ini ‘baik secara finansial’ – realitas
tidak penting, yang penting adalah kondisi di ibukota…”
Kondisi di ibukota dan para elitnya baik-baik
saja, meskipun dibalik itu negara dalam kondisi morat-marit. Tapi mari kita
lihat lagi masalah kereta api kita.
Saya memutuskan untuk naik kereta api ekspres
dari Stasiun Manggarai ke Tangerang (tempat di mana beberapa tahun lalu
diterapkan hukum syariah yang walaupun tidak konstitutional namun tetap
berjalan dengan absolut impunitas), untuk satu alasan saja: melihat apakah ada
upaya nyata dalam ‘melawan/mengatasi’ apa yang disebut keruntuhan total
infrastruktur Jakarta, alias kemacetan total (total gridlock) .
Seperti halnya berbagai masalah di Indonesia,
kemacetan punya sejarah yang menarik: Sejak tahun 1965 (tahun dimana terjadi
kudeta militer brutal yang didukung oleh Amerika Serikat yang membawa Jendral
Soeharto ke puncak kekuasaan dengan menghabisi nyawa 800,000 hingga 3 juta
jiwa. Mereka yang terbunuh antara lain dari golongan kiri, kaum intelektual,
masyarakat minoritas Cina, serikat pekerja dan kaum ateis atau sederhananya
bisa saja mereka yang pada waktu itu memiliki istri yang lebih cantik, tanah
yang lebih luas atau sapi yang lebih gemuk), pemerintah Indonesia bekerja keras
untuk menjamin bahwa kota-kota di Indonesia tidak memiliki transportasi publik,
tidak memiliki taman yang luas dan tempat pejalan kaki. Ruang publik secara
umum dianggap sangat berbahaya karena bisa saja disana masyarakat akan
berkumpul untuk mendiskusikan isu-isu ‘subversif’ seperti rencana menggulingkan
pemerintahan.
Taman-taman publik diambil alih oleh
kontraktor untuk dijadikan lapangan golf pribadi untuk kaum elit. Tempat
pejalan kaki juga dihilangkan karena tidak menguntungkan dan dianggap ‘terlalu
sosial’. Pada akhirnya, transportasi publik menjadi milik swasta dengan
kualitas yang turun menjadi angkot dan metromini yang mengeluarkan asap hitam
dari knalpotnya dan bajaj India bekas yang bahkan sudah tidak dipakai lagi
selama beberapa dekade di negara asalnya.
Itu terjadi di Jakarta. Kota-kota lain dengan
jumlah penduduk antara 1 hingga 2 juta jiwa seperti Palembang, Surabaya, Medan
dan Bandung tidak memiliki transportasi publik yang berarti, selain angkot
kecil, kotor berkarat dan bis yang kotor dan bau.
Tentu saja semua ini sudah direncanakan:
produsen mobil diberikan lisensi untuk memproduksi mobil model lama dari Jepang
dan menjualnya dengan harga gila-gilaan (mobil di Indonesia dijual antara
50-120 persen lebih mahal daripada di Amerika Serikat), kemudian memaksa penduduk
Indonesia – yang termasuk paling miskin di Asia Timur – untuk membeli mobil
pribadi. Mobil yang pertama dibawa masuk, lalu sepeda motor yang lebih
berbahaya, fatal untuk lingkungan hidup dan sama sekali tidak efisien. Di
kota-kota besar di Cina dan banyak kota Asia lainnya sepeda motor sudah
dilarang masuk ke kota.
Pejabat pemerintah dan wakil rakyat di DPR
diam-diam secara konsisten mendapat suap dari industri mobil. Lobi mobil ini
menjadi sangat berpengaruh dan menghambat segala upaya untuk memperbaiki angkutan
kereta api maupun kapal laut antar pelabuhan di Jawa, salah satu pulau yang
paling padat di dunia.
Pada tanggal 14 Agustus 2011, koran Jakarta
Post menulis: Anggota Partai Demokrasi Indonesia Pejuangan (PDIP) Nursyirwan
Soedjono yang juga Wakil Komisi V DPR untuk mengawasi bidang transportasi,
telah lama mempertanyakan ketidakmauan pemerintah untuk mengalokasikan lebih
banyak dana untuk memperbaiki jaringan rel kereta di negara ini. Mereka
menyalahkan ketakberdayaan mereka pada lobi politis ‘tingkat-tinggi’ yang
diatur oleh industry otomotif yang menerima keuntungan langsung dari
pembangunan jalan di negara ini.
“Tidak ada tuh cerita bahwa kami [Komisi V]
menolak rencana anggaran pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur rel
kereta api,” Nusyirwan mengatakan pada Jakarta Post. “Namun tampaknya ada
‘kelompok berpengaruh’ yang selalu menolak segala upaya untuk meningkatkan jasa
transportasi umum, khususnya kereta api.”
Seperti di banyak masyarakat fasis yang
ekstrem ataupun masyarakat feodal, kaum ‘elit’ menikmati naik mobil limosin
sementara orang yang tidak punya patah kaki ketika mereka jatuh ke got karena
tidak ditutup, diperkosa di kendaraan umum dan menghirup asap knalpot ketika
naik angkot, atau otak mereka berhamburan di atas trotoar karena naik motor di
atas trotoar yang tidak rata setelah frustasi naik motor di antara mobil dan
truk yang agresif di jalanan.
Namun para pengambil keputusan di pemerintahan
menikmati adanya impunitas selama beberapa dekade ini dan mereka telah
mengambil hampir semua ruang publik di kota Jakarta. Dengan impunitas
pemerintah selain memang tidak kompeten dan malas, mereka menjadi semakin tidak
punya motivasi serta beritikad untuk menutup semua solusi jangka panjang bagi
kota Jakarta.
Kita lihat saja kenyataan bahwa panjang rel
kereta api di sini malah menyusut sejak masa penjajahan Belanda; Jakarta dengan
penduduk lebih dari 10 juta jiwa (bahkan lebih di hari kerja) menjadi
satu-satunya kota (dengan jumlah penduduk yang hampir sama) di dunia yang tidak
memiliki sistem angkutan massal.
Beberapa tahun lalu ada upaya membangun dua jalur monorel walaupun
bukan sistem angkutan massal yang paling efektif untuk kota Jakarta.
Jalan-jalan ditutup, debu dan kotoran dimana-mana, penduduk diminta untuk
bersabar dengan alasan bahwa ‘pembangunan ini untuk mereka’, namun kenyataannya
tidak lah demikian, karena ternyata tujuan utama sistem transportasi ini adalah
untuk mengeruk laba.
Proyek ini diberikan pada konsorsium swasta
dan akhirnya, sudah dapat diduga, uang publik disalahgunakan. Pembangunan
tiba-tiba berhenti, menyisakan pilar-pilar beton yang memancang di tengah
jalan. Tidak ada yang dibawa ke pengadilan dari proyek yang membawa skandal
ini, dan media amat disiplin untuk hanya melaporkan pernyataan resmi
pemerintah, seolah-olah walaupun uang sudah lenyap tapi mereka yang
bertanggungjawab tidak layak untuk diganggu hidupnya oleh penyelidikan polisi.
Supaya kita tidak hanya melihat dari satu sisi
saja, memang ada pula upaya untuk menyelamatkan Jakarta, misalnya mencoba
transportasi air dengan perahu di kanal-kanal yang sebenarmya sangat tercemar.
Sayangnya sampah-sampah yang ada di kanal-kanal itu merusak mesin perahu,
ditambah dengan bau menyengat dari kanal yang selalu dipenuhi sampah dan benda
beracun sehingga ‘proyek’ ini gagal total dalam beberapa minggu saja.
Banjir Kanal Timur seharusnya bisa membawa
perubahan berarti bila dilakukan dengan revolusi seluruh pendekatan pekerjaan
publik yang tujuannya agar pembangunan kota Jakarta sesuai dengan standar Asia
di abad ke-21. Selama beberapa dekade, Jakarta telah mengalami banjir besar;
pernah 2/3 kotanya terendam banjir. Hal ini disebabkan kanal-kanal yang
tersumbat, lahan hijau yang hilang dan pembangunan yang membabi-buta. Akhirnya
diambil keputusan untuk membebaskan tanah dan membangun kanal bankir untuk
menyalurkan air berlebih ke laut. Pada saat perencanaan, dijanjikan akan
dibangun taman-taman publik atau paling tidak tempat pejalan kaki di pinggir
kanal. Juga dijanjikan adanya jalur khusus untuk pengendara sepeda, tempat
berolahraga, juga transportasi air, bahkan angkutan dengan tram listrik.
Bagi mereka yang masih punya harapan untuk
Jakarta akhirnya dibenturkan pada kenyataan yang jauh dari apa yang dijanjikan.
Di tahun 2010 dan 2011, saat pembangunan kanal masih jauh dari penyelesaian,
kenyataan pahit mulai terlihat.
Kualitas konstruksi kanalnya sangatlah buruk,
bahkan sebelum pembangunan selesai, sampah telah menutup proyek kanal tersebut.
Kejutan berikutnya: pemerintah mengatakan bahwa mereka memang tidak berencana
untuk menyelenggarakan transportasi publik di pinggir/atas kanal itu. Seperti
biasa, mereka meyakinkan publik bahwa tidak akan akan ada ruang publik disana.
Di awal tahun 2012, lahan di sepanjang kanal dijadikan jalan raya (walaupun
menggunakan kata jalan inspeksi) yang langsung digunakan oleh pengendara sepeda
motor. Bahkan sejak sebelum selesai dengan sempurna, namun secara resmi sudah
beroperasi, kanal banjir ini kelihatannya hanya akan menjadi tempat pembuangan
sampah dan menambah harapan tinggi para pelobi motor/mobil.
Bayangkan berapa kilo meter ruang kota yang
terbuang (meski secara resmi pemerintah menganggap proyek ini sukses)! Tidak
ada sedikitpun tempat bagi pejalan kaki dan tidak ada satupun taman bermain
untuk anak-anak.
Bagaimana para pejabat pemerintah bisa
menghindar dari tanggung jawabnya walaupun ada bukti nyata dari perampasan hak
rakyat disini? Di negara lain, hal ini bisa dianggap sebagai ‘pengkhianatan’
kepada bangsa dan negara.
Hal ini bisa terjadi karena dalam ‘demokrasi
Indonesia’ tidak ada akuntabilitas. Tidak ada akuntabilitas sama sekali!
Korupsi terjadi dimana-mana dan warga negara tidak memiliki mekanisme untuk
mengorganisir protes (obsesi dengan jaringan sosial seperti Facebook pada
umumnya hanya untuk status semata). Bahkan pembunuhan orang yang berbeda
kepercayaan dengan kader kelompok agama garis keras tidak membuat masyarakat
‘berpendidikan dan kalangan menengah’ turun ke jalan untuk berdemonstrasi.
Yang terasa adalah bahwa di seluruh negara,
termasuk di ibukota, masyarakat telah putus asa sejak lama. Orang-orang menjalani
hidupnya dalam kota megapolitan tanpa perlu menuntut, memprotes atau
berkeluh-kesah.
Masalahnya, di Indonesia berkeluh-kesah,
menuntut atau berdemo jarang atau sama sekali tidak membawa hasil. Surat-surat
yang ditujukan kepada wakil rakyat di DPR tidak dijawab, bahkan banyak yang
tidak dibuka, sementara surat ke media massa dimuat hanya jika isinya berada
dalam batas-batas yang tidak tertulis namun tersirat ‘Proyek’ tidak terbuka
untuk didebat (karena melibatkan banyak uang dan ada pembagian uang jarahan
tersebut antara pemerintah dan perusahaan swasta dengan aturan dan formula yang
telah mereka sepakati bersama) dan tidak diberikan jalan untuk masyarakat bisa
intervensi karena akan ada resiko merusak sistem yang ada. Rakyat hanya
sesekali diberi informasi tentang apa yang akan dibangun, kapan dan di mana.
Jika ada uang yang raib – hal yang amat sering terjadi – tidak ada konsekuensi
yang ditanggung pelaksananya. Jika rencana ‘berubah’ atau jika jadwal tidak
terpenuhi, tidak ada yang dipaksa bertanggungjawab.
Indonesia adalah contoh dimana diktator bisa dipilih melalui
pemilihan umum yang dilangsungkan secara periodik (para pemilih dapat memilih
dengan bebas antara satu kandidat korup dengan kepentingan bisnisnya dengan
kandidat lain yang juga korup dengan kepentingan bisnis yang lain) dan memimpin
dengan dikontrol dan disponsori oleh kepentingan Barat serta sama sekali tidak
ada kekuasaan yang diberikan pada rakyat.
Jika ada penumpang yang jatuh karena lantai
kereta api yang berkarat dan meninggal atau mereka yang jatuh di lubang galian
proyek, jangankan dapat kompensasi, dapat permohonan maaf pun tidak.
Ketika diminta untuk membandingkan Indonesia
dengan Cina, Profesor Dadang M Maksoem, mantan pengajar di University Putra
Malaysia (UPM) yang sekarang bekerja untuk pemerintah daerah Jawa Barat,
memberikan jawaban dengan berapi-api: “Sederhana saja: mereka [orang Cina]
berkomitmen untuk melakukan yang terbaik untuk negara mereka. Pendidikan disana
tidak seperti di sini. Bagaimana sih kok pemerintah tidak bisa memberikan
transportasi publik yang layak? Rakyat dipaksa untuk untuk membeli sepeda motor
mereka sendiri untuk mengangkut diri mereka sendiri dan mereka dipaksa untuk
membahayakan jiwa mereka di kondisi lalu-lintas yang parah. Sekarang kemacetan
lalu-lintas ada di mana-mana. Entah apa yang bisa saya katakan. Orang-orang
disini itu bodoh, idiot, mati otak, atau rakus Sih? Pilih saja jawabannya!”
Tapi jawaban seperti ini bukan yang
ditampilkan di media populer di Barat. Secara resmi Barat memuja Indonesia.
Bagaimana tidak: penguasa dan elit Indonesia yang taat pada mereka berani
mengorbankan rakyat, pulau-pulau, bahkan ibukota mereka sendiri untuk
kepentingan dan keuntungan perusahaan-perusahaan multi-nasional dan penguasa
dunia. Perusahaan asing dan pemerintah mana yang tidak menghargai kemurahan
hati penguasa dan elit Indonesia ini?
Tapi marilah kita kembali ke masalah transportasi publik lagi.
Pada masa pemerintah dan swasta merencanakan
proyek pembangunan monorel (atau setidaknya ini yang mereka katakan pada
masyarakat), kota ini mulai membangun apa yang disebut ‘busway’ atau jalur
khusus bus, yaitu proyek yang awalnya adalah kesalahan dalam memahami konsep
transportasi publik di kota Bogota yang terletak nun jauh di Kolombia, Amerika
Selatan.
Alih-alih membangun sistem transportasi kereta
api massal yang bisa mengangkut jutaan penumpang setiap harinya, Jakarta
‘membangun’ jalur busway yang mengambil dua jalur dari jalur yang sudah ada di
jalan-jalan utamanya, kemudian mengoperasikan kendaraan bus sempit dimana para
penumpang duduk menyandar dinding sambil menghadap satu sama lain. Setiap bus
hanya punya satu pintu untuk penumpang naik dan turun. Halte dan jalan masuk ke
halte dibuat dari logam yang mudah berkarat dan sekarang pelat lantainya sudah
banyak yang lepas dan meninggalkan lubang di jalan masuk itu. Hampir semua
pintu otomatis di halte sudah tidak beroperasi dengan baik dan akhirnya ada
orang yang terdorong ke jalan hingga meninggal atau luka parah.
Seperti moda transportasi lain di Jakarta,
sistem ini tidak dirancang untuk meningkatkan hajat hidup orang banyak, dalam
hal ini untuk mengurangi kemacetan dan mengangkut berjuta orang secara aman dan
nyaman. Busway dirancang sebagai proyek untuk memperkaya perusahaan yang
memiliki saham dan para pejabat yang korup.
Sistem busway tidaklah efisien, tidak
memperhatikan keindahan dan tidak mempersatukan kota – malahan lebih
memecah-belahnya. Hampir tidak ada tempat pejalan kaki di dekat halte busway.
Penumpang yang sampai di halte busway harus beresiko kehilangan nyawanya untuk
menyeberang jalan untuk sampai ke tempat tujuan atau naik angkutan umum lain.
Bahkan ketika halte busway dibangun di dekat
stasiun kereta, perencana kota menjamin bahwa tidak ada jalan langsung ke sana.
Selama beberapa dekade, para penguasa Jakarta telah memastikan tidak adanya
interkoneksi antara moda transportasi, termasuk dengan stasiun kereta
peninggalan jaman Belanda. Kota ini hampir tidak memiliki tempat pejalan kaki,
hampir tidak ada tempat penyeberangan di bawah tanah (hanya ada satu di seluruh
kota yaitu dekat stasiun Kota yang pembangunannya membutuhkan waktu beberapa
tahun) yang menghubungkan stasiun dengan jalan raya. Dan kenyataannya Jakarta
tidaklah memiliki banyak jalan raya – kebanyakan dari jalan raya ini hanyalah
replika buruk dari jalanan di pinggiran kota Houston: dengan jalan tol (layang
atau bukan), tidak ada tempat pejalan kaki dan fasilitas-fasilitas yang
dipisahkan oleh pagar-pagar, tidak langsung bisa diakses dari jalanan.
Kebodohan dalam perencanaan kota ini hanya
bisa disamai oleh ketidakcerdasan pembangunan negara secara keseluruhan –
Jakarta adalah sebuah contoh dunia kecilnya. Contohnya, untuk putar-balik di
jalanan saja, seseorang harus berkendara satu kilometer atau lebih dan hal ini
tentunya menambah kemacetan, konsumsi bahan-bakar dan polusi. Kota ini
dirancang sedemikian rupa sehingga orang harus naik mobil hanya untuk
menyebrang jalan karena memang hampir tidak ada tempat pejalan kaki dan sarana
penyebrangan yang memadai. Sarana transportasi di kota ini berjalan
sendiri-sendiri. Tidak ada interkoneksi. Rakyat dipaksa untuk mengemudikan
mobil atau skuter murah yang semakin populer belakangan ini (warga lokal
menyebutnya motor) untuk kemudian membusuk di tengah kemacetan yang legendaris.
Hal ini bisa terjadi karena pelobi mobil mampu menyuap pemerintah dan hasilnya
adalah ketidakmauan pemerintah untuk membangun jaringan transportasi publik
yang efisien.
Sangat jelas terlihat bahwa ada banyak
kepentingan ekonomi yang terlibat. Untuk dapat menganalisa Indonesia, penting
untuk diingat bahwa pertimbangan dan prinsip moral yang ‘normal’ sudah
menghilang dari kamus para penguasa.
Sekelompok kecil pengusaha dan politisi telah
menjarah sebagian besar sumber daya alam negara ini; mereka menghancurkan
banyak hutan tropis dan mengubah negara kepulauan ini menjadi bencana bagi
lingkungan hidup. Mayoritas penduduk Indonesia tidak pernah mencicipi
keuntungan dari kerusakan yang terjadi di negara mereka.
Penduduk Jakarta tak terkecuali. Kota ini
dibangun ‘bukan untuk rakyat’, sebagaimana dikatakan oleh seniman Australia
George Burchett pada saat mengunjungi kota ini lebih dari dua tahun lalu.
Penduduk yang tidak mendapatkan informasi yang benar menjadi apatis setelah
melewati kampanye cuci-otak pro-bisnis selama beberapa dekade. Setelah tidak
ada lagi pemikiran kritis di kota ini, hasilnya adalah tidak ada bioskop yang
khusus memutar film-film seni, tidak ada teater permanen, tidak ada media yang
berorientasi sosial ataupun galeri yang memamerkan tragedi Indonesia melalui
seni, sampai sekarang ini. Yang terjadi malah milyaran sampah sosial
berterbangan dari satu unit Blackberry ke unit lainnya ketika kaum elit saling
mengobrol dan mendengarkan musik pop jaman dulu atau memuaskan diri dengan
makanan Barat dan Jepang murahan. Memang tidak banyak hal lain yang dapat
dilakukan di kota ini. Di satu sisi kota ini hampir hancur karena sudah
diselimuti asap beracun dan punya banyak sekali kawasan kumuh yang ada di antara
berbagai mall raksasa dan perkantoran. Tidak ada lagi air bersih di
kanal-kanalnya yang dulu mengalir deras – yang tinggal hanya racun.
Yang paling menakutkan di kota ini adalah
sepertinya tidak ada tempat lagi bagi manusia. Manusia menjadi tidak relevan.
Anak-anak juga jadi tidak relevan: tidak ada tempat bermain dan taman untuk
mereka. Kalau kita bandingkan dengan kota Port Moresby yang miskin, ibu kota
Papua Nugini ini memberikan fasilitas yang jauh lebih baik kepada warganya.
“Persetan dengan bantuanmu!” teriak Presiden
Sukarno kepada duta besar Amerika Serikat di depan publik lebih dari setengah
abad yang lalu. Pembalasan yang kejam segera datang. Setelah kudeta yang
disponsori oleh AS dan rejim fasis berkuasa hingga hari ini, Jakarta telah
berubah menjadi tempat dengan motto “Persetan dengan rakyat!”
“Saat saya pulang ke Jakarta, saya tidak ingin
keluar rumah”, kata Nabila Wibowo, seorang putri diplomat Indonesia. Dia
memutuskan untuk tinggal di Portugal setelah masa tugas ibunya berakhir. “Tidak
ada budaya di sini, tidak ada konser, tidak ada musik yang asik. Bahkan saya
tidak bisa berjalan kaki atau pergi dengan aman dan nyaman di dalam kota. Tidak
ada tempat pejalan kaki. Akhirnya, saya hanya pulang sebentar saja, mengunci
diri di dalam kamar dan membaca buku.”
Sekarang ‘katanya’ kota ini akan membangun
MRT, kereta bawah tanah yang diharapkan memiliki dua trayek saat selesai
dibangun. Proyek ini sudah tertunda selama beberapa dekade, namun kalaupun
akhirnya berjalan, banyak analis termasuk beberapa professor dari ITB (Institut
Teknologi Bandung) yang takut untuk membayangkan hasilnya, mengingat track
record aparat pemerintah kota dan kualitas proyek lainnya di negara ini.
Kelihatannya dapat dipastikan bahwa uang yang
dialokasikan untuk proyek ini akan disalahgunakan lagi. Di Indonesia, hampir
pasti tidak ada mekanisme untuk menjamin transparansi dan pengawasan yang tak
berpihak. Tentunya hal ini sangatlah kontras jika dibandingkan dengan apa yang
terjadi di negara lain seperti India di mana kereta bawah tanah New Delhi
dibangun sesuai rencana dan menghabiskan uang dibawah anggaran.
Tampaknya banyak orang di Indonesia yang
berbakat dalam penyalahgunaan uang publik. Dalam hal ini, Indonesia nomor satu.
Dan rakyat juga tidak serius menuntut untuk
menghentikan kegilaan ini. Hingga kini rakyat sudah terbiasa hidup susah, mati
dini karena polusi, tinggal di perkampungan kumuh tanpa air bersih dan sanitasi
dasar, atau duduk berjam-jam di kemacetan. Mayoritas penduduk Jakarta belum
pernah ke luar negeri dan oleh karenanya mereka tidak tahu bahwa ‘ada
alternatif dunia lain’, bahwa sebenarnya ada kota-kota yang dibangun untuk
rakyat. Kaum elit yang suka pergi ke luar negeri tahu benar tentang hal ini,
namun mereka memilih untuk tidak mengatakannya.
Kita selalu lihat ada lingkaran setan: proyek
baru diumumkan, kemudian diluncurkan, dan akhirnya berantakan setelah banyak
dompet oknum-oknum terisi padat. Rakyat tidak diberi apapun tapi mereka pun
tidak menuntut apa-apa. Tapi bukannya memang dari dulu sudah seperti ini?
Mungkin berbeda sedikit disana dan sedikit disini dari jaman penjajahan Belanda
dulu. Meskipun demikian, sebelum meninggal penulis besar Indonesia Pramoedya
Ananta Toer mengatakan pada saya bahwa “situasi waktu dulu tidak pernah seburuk
sekarang”.
Mereka yang tahu atau seharusnya tahu apa yang
ada di balik layar adalah mereka yang terlibat atau tidak mau berhadapan dengan
kenyataan.
Pada bulan Februari 2012 saya bertanya pada
Ibu Ririn Soedarsono, profesor di perguruan tinggi terkenal ITB, apakah proyek
MRT memiliki kemungkinan untuk selesai.
“Kami akan mulai membangun MRT tahun ini,”
ujarnya. “Pada akhir tahun 2013, tahap pertama akan selesai. Secara teknis
harusnya tidak ada masalah. Namun saya tidak tahu bagaimana iklim politik pada
saat itu…”
2013? Bahkan di negara-negara yang
teknologinya berkembang seperti Jepang, Cina atau Chile, satu jalur kereta
bawah tanah dapat memakan waktu 4 hingga 10 tahun pembangunan, tergantung pada
situasi daerahnya. Tapi mungkin saja saya salah tangkap mengenai definisi
‘tahap pertama’.
Sebetulnya angkutan kereta api di Jakarta
masih lebih baik daripada di Nairobi. Banyak gerbong kereta yang memiliki alat
pendingin karena walaupun bekas tapi diimpor dari Jepang. Namun kelihatannya
kereta-kereta ini cenderung menua secara cepat karena kurangnya perawatan: satu
tahun saja di Jakarta dan kereta berusia 30 tahun asal Jepang yang datang dalam
kondisi sempurna akan berakhir dengan pintu rusak, kursi tersayat dan sistem
pendingin udara yang tersumbat kotoran.
“Kami naik kereta dua kali seminggu,” jelas
Ibu Enny dan Ibu Susie dari Bogor. “Kami jarang naik di hari kerja, terutama di
jam-jam padat. Hampir tidak ada tempat untuk berdiri. Buat kami perempuan,
sebetulnya naik kereta pas jam padat amatlah menakutkan, apalagi ketika para
penumpang berebut memasuki gerbong.”
Namun demikian, keunggulan sistem kereta api
di Jakarta (yang disebut-sebut sebagai ‘keajaiban kapitalis dan demokrasi’)
dari Nairobi (sebagai ibu kota dari salah satu negara paling miskin di dunia)
mungkin tidak akan bertahan lama. Di awal tahun 2013 Nairobi sudah bersiap
untuk memperbaharui jaringan rel kereta api lamanya dan menambah jalur modern
yang pertama, diikuti dengan yang kedua di tahun 2014. Stasiun-stasiun
keretanya akan memiliki tempat parkir, toko-toko dan fasilitas modern, serta
akan menghubungkan area yang ditempati oleh kelas menengah dan bawah.
Perusahaan-perusahaan konstruksi dari Cina
membangun jalan raya, jalan layang dan proyek infrastruktur lainnya di Afrika
Timur. Mereka juga membangun tempat pejalan kaki, rel kereta api dan dalam dua
tahun mereka berencana untuk membangun jalan kereta api ke Bandara
Internasional Jomo Kenyatta di Nairobi. Bandara Sukarno Hatta di pinggiran
Jakarta yang dulu megah sudah menunggu selama beberapa dekade untuk dihubungkan
dengan jalan kereta api ke Jakarta, namun sejauh ini baru mendapatkan tambahan
jalur jalan tol saja.
Beberapa pertanyaan logis dari yang dipaparkan
diatas adalah: Mengapa Indonesia bisa jauh tertinggal dari kota-kota seperti
Kairo, Nairobi, Johannesburg dan Lagos ataukah ada hal lain yang terjadi?
Mungkinkah kaum elit Indonesia mengorbankan puluhan bahkan ratusan juta orang
hanya untuk keuntungan mereka sendiri? Mereka sudah pernah melakukan itu
sebelumnya, apakah mungkin mereka melakukannya lagi?
Sekarang ini apa yang banyak kita lihat di
sepanjang rel kereta api adalah anak-anak kecil dan balita yang setengah
telanjang bermain dengan sampah dan gorong-gorong terbuka. Di sini sampah
dibakar di ruang terbuka karena Jakarta tidak memiliki sistem pembuangan sampah
komprehensif. Pengumpulan dan pengurusan sampah adalah hak publik, oleh
karenanya tidak menciptakan laba dan tidak menyenangkan pejabat. Hanya
segelintir penduduk Jakarta memiliki akses atas air yang benar-benar bersih,
dan hanya 30 persen yang dapat sanitasi dasar.
Hidup di sepanjang jalan kereta api ini sudah
seperti hidup di neraka, dengan gerbong-gerbong yang terus menerus lewat dari
satu stasiun ke stasiun lainnya.
Membaca apa yang ditulis mass media Indonesia
yang ahli dalam seni mengelabui akan membuat anda bahwa Jakarta sudah punya
sistem perkereta-apian dan hanya perlu sedikit penyempurnaan. Bahkan Anda dapat
menemukan semacam peta dari ’sistem’ transportasi itu di internet. Tapi cobalah
datang ke stasiun, coba naik keretanya, dan coba interkoneksinya, maka anda
akan berpikir ulang apakah sebenarnya sistem ini ada dan mencukupi sebagai
salah satu pilihan angkutan massal.
Beberapa masalah yang saya temui antara lain:
Tidak ada jadual dan informasi yang disediakan dan mudah dimengerti penumpang;
Petugas yang kurang tanggap, lamban dan tidak efisien dalam penjualan tiket
secara manual. Tidak mudah untuk dapat sampai ke peron yang dituju. Padahal
orang-orang yang menggunakan kereta api adalah mereka dari kelas menengah
Indonesia.
Harus dicatat, ini adalah kelas menengah yang
didefinisikan secara lokal, menggunakan angka-angka dari Bank Dunia dan
pemerintah Indonesia: menurut mereka, kelas menengah adalah mereka yang hidup
lebih dari US$2 (atau sekitar Rp. 18.000) per hari. Menurut mereka ini berlaku
bahkan di kota yang merupakan salah satu kota paling mahal di Asia Timur.
Menurut batasan di atas, mayoritas penduduk
kota Jakarta berasal dari ’kelas menengah’. Namun kalau kita lihat
kenyataannya, sebagian besar dari mereka hidup di lokasi yang di belahan dunia
lain disebut sebagai ’kawasan kumuh’. Kawasan dimana mereka tidak memiliki
akses terhadap air bersih dan hidup dalam kondisi kebersihan yang tak layak.
Banyak orang dari ’kelas menengah’ ini naik ke
atap kereta karena mereka tidak mampu membayar harga tiket; beberapa orang
tersengat listrik setiap tahunnya, beberapa lainnya meninggal karena terjatuh.
Untuk mencegah mereka naik ke atas, pemerintah yang baik hati mulai membangun
bola-bola beton yang digantung di atas jalur kereta api untuk menghancurkan
kepala mereka yang naik di atas atap kereta api, kadang-kadang petugas merazia
mereka dengan menyemprot mereka dengan cat, bahkan dengan kotoran manusia.
Beberapa stasiun, termasuk Manggarai, menempelkan kawat berduri di atap rel
sehingga orang-orang yang mencoba melompat ke atap akan tersayat.
Herry Suheri – penjual rokok di Stasiun
Manggarai masih berpikir bahwa orang-orang tidak akan takut dengan upaya
pencegahan yang drastis tersebut: ”Masih ada saja orang yang naik ke atap
kereta ekonomi, apalagi saat jam-jam padat. Bukan hanya untuk tumpangan gratis,
tapi karena jumlah kereta yang ada tidak mencukupi untuk penumpang yang harus
sampai ke rumah atau ke tempat kerja.”
Sistem kereta api, ’dareah penghijauan’,
’rencana perbaikan kota’ – semua palsu, hanya ada di angan-angan. Kenyataan
yang ada amatlah brutal namun jelas: Jakarta tidak bisa dikategorikan dalam
definisi kota apapun. Kota ini adalah sebuah laboratorium, sebuah eksperimen
fundamentalisme pasar. Binatang percobaannya adalah masyarakat. Mereka sedang
dipelajari: seberapa besar ketidaknyamanan yang dapat mereka tahan, seberapa
banyak lingkungan tak sehat yang masih bisa mereka hadapi, dan seberapa banyak
pemandangan buruk di kota ini yang akhirnya dapat membuat mereka melarikan
diri?
Saat ini, lebih baik buat kita untuk tidak
menggantungkan harapan pada kota Jakarta. ’Kota besar yang paling tidak layak
untuk ditinggali di Asia-Pasifik’ ini tidak akan jadi lebih baik dalam waktu
dekat ini, juga mungkin tidak dalam jangka waktu yang lama. Tidak akan ada
perubahan di bawah pemerintahan sekarang ini. Tidak di bawah rejim ini.
Di Amerika Latin, kelompok sayap kanan dulu
meneriakkan: ”Jakarta akan datang!” untuk menakut-nakuti pemerintahan
sayap-kiri di Chile dan di berbagai tempat lain di dunia. Namun Jakarta sekarang
ada di sini, dalam kondisi prima sebagai monumen keberhasilan kapitalisme yang
tidak terkontrol; sebuah monster, sebuah peringatan, dan contoh kasus bagi
mereka yang ingin tahu seberapa besar keserakahan dan keegoisan kaum elit.
Andre Vltchek adalah seorang penulis
novel, analis politik, pembuat film dan jurnalis investigatif. Dia hidup dan
bekerja di Asia Timur dan Afrika. Buku non-fiksi terakhirnya ”Oceania”
menggambarkan neo-kolonialisme Barat di Polinesia, Melanesia dan Mikronesia. Penerbit
Pluto di Inggris akan menerbitkan buku kritiknya atas Indonesia (”Archipelago
of Fear”) di bulan Agustus 2012. Dia dapat dihubungi lewat situs internetnya
di http://andrevltchek.weebly.com/
Fitri Bintang Timur adalah peneliti, penulis
dan penikmat tulisan bagus. Dia menyepi dari Jakarta selama sepuluh bulan
setelah lima tahun lebih naik kereta api di kota itu. Ia akan kembali suatu
hari nanti.
Rossie Indira adalah penulis dan
konsultan. Buku terakhirnya ’Surat Dari Bude Ocie’ diterbitkan oleh Penerbit
Buku Kompas. Buku tentang perjalanannya ke 10 negara ASEAN akan selesai tahun
ini. Dia dapat dihubungi lewat situs internetnya di http://rossie-indira.weebly.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar