oleh Sulaiman
Djaya, esais dan penyair.
“Indonesia tanah air beta…..tanah tumpah darah
para penguasa modal….Indonesia sejak dulu kala diperebutkan bangsa-bangsa…..”
Apakah elite-elite Negara bangsa ini memahami
dan mengamalkan falsafah, dasar Negara dan ideologi bangsa sendiri? Ataukah
mereka mengabaikan dan meninggalkannya, mengkhianatinya? Esai ini merupakan
refleksi kebangsaan dari seorang warga Negara yang ‘membaca’ bangsanya sendiri.
Indonesia sebagai sebuah nama bagi geografi
yang kemudian dicakup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentulah
saya ‘kenal’ ketika saya mulai menjalani pendidikan formal di Sekolah Dasar
(SD). Salah-satunya melalui materi sejarah, yang ketika itu disampaikan melalui
Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Meski kemudian saya tahu,
bersamaan dengan pembawaan otodidak saya, untuk membaca buku-buku di luar
kebutuhan materi kuliah di sebuah universitas di mana saya ikut duduk di kelas
bersama para mahasiswa/i yang lain, saya jadi tahu bahwa Indonesia sebagai
sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah buah dari ‘peristiwa’
politik dalam rentang 1945-1950an, karena sebelumnya geografi yang kini
tercakup dalam nama Indonesia adalah sebaran sejumlah kerajaan dan kesultanaan,
termasuk di era Pemerintah Hindia-Belanda.
Namun demikian, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang merupakan ‘penyatuan’ sejumlah warisan historis kerajaan dan
kesultanan di wilayah-wilayah yang kini tercakup dalam nama Indonesia,
merupakan bukti kecerdasan dan kearifan para bapak bangsa kita bahwa sebaran
kerajaan dan kesultanan itu pada hakikatnya adalah masih ‘saudara’ setanah-air
meski beragam suku, budaya, bahasa, ras, dan agama. Dan inilah keunikan
sekaligus keunggulan bangsa kita, yang kemudian ‘dipatenkan’ dalam Dasar Negara
(Pancasila) dan UUD 45 dengan ‘motto’ Bhinneka Tunggal Ika. Terbentuk dari
rajutan dan sulaman keragaman namun memiliki kesadaran bersama untuk menamakan
diri mereka sebagai ‘Bangsa Indonesia’. Sebuah ‘Bangsa’ yang kemudian sejak era
orde baru Soeharto, mulai ‘dikendalikan’ oleh kekuatan asing (Amerika) setelah
sebelumnya diatur oleh bangsa lain (Belanda).
Adapun tulisan ini bermula, atau saya
terdorong untuk menulis refleksi kebangsaan ini, tersulut ketika seorang teman
meminta pendapat dan pandangan ihwal kemunculan Partai Solidaritas Indonesia
(PSI), yang menurut saya, jika berbicara secara konseptual, partai yang baru
berusia seumur jagung tersebut masih ambigu dan boleh dikatakan reaksioner dan
mentah. Meski di belakangnya ada orang-orang hebat yang tidak mau menampakkan
diri. Dibanding banyak kekeliruan komentar dan pandangan yang dilontarkan
sejumlah tokoh muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI) saat merespon atau
menanggapi isu yang berkembang, misalnya, isu yang diangkat Partai Rakyat
Demokratik (PRD) lebih urgen untuk saat ini, seperti soal keadilan dalam
distribusi ekonomi, di mana saat ini memang harus diakui ‘demokrasi’ sedang
dibajak oleh oligarkhi lokal dan oligarkhi global.
Anak-anak muda di PRD (Partai Rakyat
Demokratik) lebih cerdas dan lebih paham konteks falsafah bangsa ketimbang
anak-anak PSI (Partai Solidaritas Indonesia) yang lahir dari rahim ‘world of
view’ ideologi liberal Amerika, yang sempat beberapa kali mengundang tawa
publik karena kekeliruan mereka ketika mengemukakan pendapat dan komentar
terkait isu dan persoalan yang berkembang dalam kehidupan bangsa ini. Sampai
pernah diplesetkan menjadi Partai Sawit Indonesia (PSI). Beberapa tokoh muda di
PSI juga tampak tidak paham geopolitik dunia saat ini, sampai si tokoh itu
memuji penjahat kemanusiaan yang bernama John McCain di akun medsosnya. Sebagai
orang yang kurang sependapat dengan penjiplakan mentah-mentah ‘world of view’
ideologi liberal Amerika untuk Indonesia, saya siap berdiskusi untuk adu
argumen, dan bila perlu dari buku-buku yang mereka baca, karena saya juga
membaca buku-buku yang mereka baca.
Saya memang saat ini tidak mempercayai partai
politik, elite elite negeri ini, mulai dari eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Karena bagi saya, mereka semua sama: tidak menjalankan visi
Pancasila dan amanat UUD 45, yang ada malah mereka berusaha mengamandemen UUD
45 yang sejalan dengan kepentingan kebijakan liberal. Sebagai warga Negara saya
berhak memiliki persepsi dan pandangan yang seperti itu berdasarkan pembacaan
subjektif saya, karena hakikat pendirian Negara bangsa adalah demi cita-cita
warga Negara. Namun kenyataannya bangsa dan Negara ini dikangkangi feodalisme
baru yang berbaju partai politik dan rutinitas suksesi. Bila saya memilih untuk
tidak memilih baik pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin atau Prabowo
Subianto-Sandiaga Salahudin Uno, itulah pilihan politik saya sebagai warga
Negara. Saya berhak, berdasarkan alasan dan argumen yang telah saya kemukakan
di atas, untuk tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dalam konteks
suksesi tahun 2019.
Kebijakan liberal itu, contohnya, tampak
tambah menguat di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, karena kebetulan Wakil
Presidennnya, yaitu Boediono dan salah-satu menteri di kabinetnya, yaitu Sri
Mulyani adalah orang-orang liberal. Yang saya maksud kebijakan liberal adalah
kebijakan yang tidak pro rakyat, tetapi lebih pro oligarkhi dan korporasi
global (Amerika dkk), seperti kebijakan pencabutan subsidi sosial dan
privatisasi aset-aset Negara. Berikut contoh regulasi (Undang-Undang) yang
disetir oleh kebijakan liberal (pro oligarkhi dan korporat global): UU
Penanaman Modal Asing, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan UU BUMN. Pengesahan UU
ini dilakukan dengan intervensi konsultan asing seperti New Democratic
Initiatives (NDI) dan United States Agency for International Development
(USAID).
Mereka contohnya bermain dengan menggunakan
tangan DPR dan para menteri, seperti dengan menggunakan tangannya Laksamana
Sukardi, Boediono, Sri Mulyani, Darmin Nasution, dan sejumlah think tanks dan
arsitek kebijakan liberal di negeri ini, yang juga masih aktif, seperti di
pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla saat ini. Bagi saya, Indonesia paska
Bung Karno memang masuk dalam jebakan permainan Amerika dan ambisi penjarahan
korporat global yang juga kebanyakan dari Amerika. Dan sejauh watak ambisi
oligarkhi dan korporat global (Amerika dkk) ini saya teringat apa yang pernah
diungkapkan Cecil Rhodes: Dunia sudah hampir seluruhnya terkotak-kotak, dan
yang tersisa sudah terbagi-bagi, dikuasai, dan diduduki. Membuatku berpikir
mengenai bintang-bintang yang kulihat di langit malam, dunia-dunia luas yang
tak terjamah. Aku akan mencaplok planet-planet itu kalau bisa, aku seringkali
berpikir mengenainya. Hatiku sedih melihat mereka, tapi begitu jauh tak
terjangkau” (Cecil Rhodes, Last Will and Testament 1902).
Saya tidak mengerti kenapa elite-elite bangsa
ini hanya menjadi pion-pion korporasi global (Amerika dkk)? Tapi jika merujuk
pada apa yang pernah diungkapkan John Perkins, salah-satu faktornya adalah
mental korup para petinggi negeri ini, termasuk di antaranya para jenderal (di
era Orde Baru). Dan sebelum saya memaparkan pendapat pribadi saya sendiri
terkait krisis politik, ideologi dan identitas bangsa ini, tidak ada salahnya
saya kutipkan pemaparan John Perkins yang ada dalam bukunya yang telah
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia: Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional,
Ufuk Press, Jakarta, Cetakan ke II Juni 2009:
“Dalam Confessions of Economic Hit Man, aku
menggambarkan hubunganku pada akhir 1980-an dan 1990-an dengan Stone and
Webster Company (SWEC), yang pada saat itu merupakan firma konstruksi dan
konsultan paling terhormat dan terbesar di AS. SWEC akan memberiku sekitar
setengah juta dolar asalkan aku menghentikan penulisan buku tentang kehidupanku
sebagai Bandit Ekonomi. Sesekali, perusahaan tersebut meminta aku benar-benar
mengabdi kepada mereka.
Suatu hari pada tahun 1995, seorang petinggi
SWEC menelepon untuk meminta bertemu denganku. Sambil makan siang, ia membahas
proyek pembangunan kompleks pemrosesan bahan kimia di Indonesia. Ia berusaha
meyakinkanku bahwa pembangunan itu akan menjadi salah satu proyek terbesar
sepanjang seabad sejarah perusahaan. Nilainya tak kurang dari 1 milyar dolar.
“Aku bertekad mewujudkan proyek ini,” katanya dan kemudian, sambil melirihkan
suaranya, ia mengaku, “tapi aku tak bisa melakukannya sebelum menemukan cara
membayar salah seorang anggota keluarga Soeharto sebesar 150 juta dolar.”
“Suap,” jawabku. Ia mengangguk. “Anda pernah
tinggal lama di Indonesia. Tolong beritahukan kepadaku bagaimana
mewujudkannya.” Aku katakan ada empat cara memberi “suap resmi”.
[1] SWEC bisa menyewa buldozer, mesin derek,
truk, dan peralatan berat lainnya dari perusahaan milik keluarga Soeharto dan
kroninya dengan harga yang lebih tinggi dari harga normal.
[2] Cara kedua dengan mengalihkan kontrak
beberapa proyek kepada perusahaan milik keluarga tersebut dengan harga tinggi.
[3] Ketiga, menggunakan cara serupa untuk
memenuhi kebutuhan makanan, perumahan, mobil, bahan bakar dan kebutuhan
lainnya.
[4] Dan keempat, mereka bisa menawarkan diri
untuk memasukan putra-putri para kroni orang Indonesia itu ke kampus-kampus
prestisius AS, menanggung biaya mereka, dan menggaji mereka setara dengan
konsultan dan pegawai perusahaan ketika berada di AS
Meski tahu bahwa barangkali dibutuhkan keempat
pendekatan di atas sekaligus, dan butuh waktu beberapa tahun untuk mengatur
uang sebanyak itu, aku meyakinkan dirinya bahwa aku sudah menyaksikan
keberhasilan siasat semacam ini, dan bahwa perusahaan dan eksekutif AS yang
melakukannya tak pernah terseret hukum. Aku sarankan juga agar ia memikirkan
usulan menyewa geisha untuk memuluskan rencana.
“Geisha,” katanya sambil menyerangi culas,
“itu saja pekerjaan sulit.” Selain itu, ia mengaku prihatin karena anak buah
Soeharto meminta “uang di muka secara terang-terangan.” Harus aku akui, aku
tidak tahu bagaimana menyediakan uang tunai sebanyak itu “di muka”. Setidaknya
secara ilegal. Ia berterimakasih kepadaku, dan aku tak mendengar kabar lebih
jauh darinya.
Pada 15 Maret 2006, The Boston Globe memuat
tajuk berikut ini dalam halaman depan segmen bisnisnya: MEMO SUAP DAN
BANGKRUTNYA STONE & WEBSTER. Artikel itu membeberkan kisah tragis bagaimana
perusahaan yang berdiri tahun 1889 dan memiliki sejarah cemerlang itu ambruk
dan mencatatkan kebangkrutannya pada tahun 2000. Ujung-ujungnya perusahaan ini
diakuisisi Shaw Group. Menurut Globe “lebih dari 1.000 karyawan di PHK, dan
tabungan mereka dalam bentuk saham Stone & Webster lenyap.” Wartawan Globe,
Steve Bailey menyimpulkan bahwa keruntuhan tersebut berpangkal pada “Memo
kritis (yang) membeberkan suatu usaha rahasia perusahaan secara detail. Yakni,
membayar suap senilai 147 juta dolar kepada seorang kerabat Presiden Soeharto
untuk mengamankan kontrak terbesar sepanjang sejarah Stone & Webster.
Insiden kedua bermula dengan email yang aku
terima dari putra seorang pejabat pemerintah Indonesia yang pernah
mempekerjakanku pada tahun 1970-an. Ia meminta bertemu denganku.
Emil (bukan nama sebenarnya) bertemu denganku
di sebuah restoran Thailand yang tenang di Upper West Side New York. Ia mengaku
terkesan dengan bukuku, Confessions of Economic Hit Man. Ayahnya mengenalkan
padaku di Jakarta saat usianya kira-kira sepuluh tahun. Seingatnya ia sering
mendengar namaku. Ia mengaku maphum bahwa ayahnya adalah salah seorang pejabat
korup yang aku gambarkan dalam buku itu. Lalu, sambil menatap lurus ke mataku,
ia mengaku telah mengikuti jejak ayahnya. “Aku ingin bertobat,” katanya. “Aku
ingin mengaku seperti Anda.” Ia tersenyum lembut. “Tapi aku mempunyai keluarga
dan akan kehilangan banyak hal. Aku yakin Anda mengerti maksudku.”
Aku meyakinkannya bahwa aku tak akan
memberitahukan namanya atau apa saja yang bisa membuat identitasnya terbongkar.
Kisah Emil sesungguhnya membuka pikiran kami.
Ia menegaskan bahwa militer Indonesia memiliki sejarah panjang mengumpulkan
uang dari sektor swasta untuk membiayai kegiatan-kegiatannya. Dia mencoba
menganggap enteng hal ini, mengabaikannya dengan tawa, karena sepengetahuannya,
hal semacam itu sudah biasa di negara Dunia Ketiga. Lalu ia menjadi serius.
“Sejak lengsernya Soeharto 1998, segalanya bahkan kian buruk. Soeharto
benar-benar diktator militer yang bertekad tetap mengendalikkan angkatan
bersenjata. Begitu kekuasaan berakhir, banyak tokoh Indonesia yang berusaha
mengubah hukum agar kedudukan sipil bisa lebih tinggi dibanding militer, tapi
sia-sia. Mereka pikir dengan mengurangi anggaran militer, tujuan akan tercapai.
Tapi para jenderal tahu kemana mereka harus meminta bantuan:
perusahaan-perusahaan pertambangan dan energi asing.”
Aku katakan kepada Emil bahwa ucapannya
mengingatkanku pada kondisi di Kolombia, Nigeria, Nikaragua, dan banyak negara
lain. Di negara-negara itu, milisi swasta digunakan untuk menambah angkatan
bersenjata nasional. Emil mengiyakan. ”Di Indonesia pun banyak tentara bayaran.
Tapi yang aku ceritakan ini lebih buruk. Dalam beberapa tahun terakhir angkatan
bersenjata kami dibeli oleh korporasi-korporasi asing. Dampaknya menakutkan
karena, seperti Anda lihat, sekarang korporasi memiliki angkatan bersenjata
sekaligus sumber daya alam kami.”
Saat aku bertanya mengapa ia membeberkan
informasi ini, ia menoleh dan memandang lalu lintas jalanan dari jendela
restoran. Akhirnya ia kembali menatapku. “Aku seorang kolaborator. Korupsi yang
aku lalukan bahkan lebih parah kalau dibandingkan ayahku. Aku satu diantara
orang yang mengatur, mengumpulkan uang dari perusahaan, dan menyerahkan kepada
militer. Aku malu. Yang bisa aku lakukan hanya berbicara dengan Anda dan
berharap Anda memberitahukannya kepada dunia.”
Berminggu-minggu setelah pertemuan itu, sebuah
artikel di website The New York Time menggelitik sanubariku. Tulisan itu
merinci kegiatan sebuah perusahaan yang berbasis di New Orleans,
Freeport-McMoRan Copper and Gold. Mereka “membayar 20 juta dolar untuk para
komandan dan unit militer di kawasan tersebut (Papua) selama tujuh tahun
terakhir sebagai imbalan perlindungan terhadap berbagai fasilitas mereka di
sana.” Selanjutnya ditegaskan, “Hanya sepertiga dana untuk angkatan bersenjata
Indonesia yang berasal dari anggaran negara. Selebihnya dikumpulkan dari sumber
“tak resmi” sebagai “biaya perlindungan”, sehingga administrasi militer bisa
berjalan mandiri, terpisah dari kontrol keuangan pemerintah.
Artikel tersebut mengantarkanku kepada dua
artikel lainnya yang pernah muncul di website The Times pada September 2004.
Keduanya mendeskripsikan dua kejadian baru-baru ini di tempat aku dahulu
bermain, Sulawesi, selain mendokumentasikan dugaan bahwa perusahaan penghasil
emas terbesar dunia, Newmont Mining Corp., yang berbasis di Denver, membuang
arsenik dan merkuri secara ilegal ke lautan di Teluk Buyat. Saat membaca, aku
teringat pekerjaanku –jaringan listrik, jalanan, pelabuhan, dan infrastruktur
lainya yang didanai Bandit Ekonomi dan dibangun kembali pada 1970-an. Semua itu
menciptakan kondisi yang memungkinkan Newmont menjalankan aktivitas penambangan
sekaligus meracuni laut. Sebagaimana ditegaskan manajer proyekku, Charlie
Illingworth, pada kunjungan pertamaku, kami dikirim ke Indonesia untuk
memastikan perusahaan minyak mendapatkan apa saja yang mereka perlukan. Tapi
sebentar kemudian aku paham bahwa misi kami tidak sebatas itu. Sulawesi menjadi
contoh utama bagaimana uang “bantuan” memberi keuntungan pada perusahaan
multinasional.
The Times menunjukan, “perseteruan dengan
Newmont telah menyulut kesan populer yang menguat bahwa perusahaan pertambangan
dan energi mengendalikan sistem regulasi Indonesia yang lemah. Banyak yang
menuding korupsi, kronisme, dan tidak berkembangnya struktur hukum adalah
kondisi yang diwariskan Jenderal Soeharto, diktator yang lengser pada 1998 dan
yang, demi sejumlah uang, membuka pintu bagi investasi asing.”
Saat menatap artikel-artikel itu, dugaan yang
dulu dilontarkan walikota “Desa Kelelawar” dan orang Bugis pembuat kapal,
muncul di layar komputer. Seolah para rasul yang disebutan kitab suci turun
kembali untuk menghantuiku. AS benar-benar telah mengirim kelelawarnya untuk
mengeksploitasi dan mencemari negeri-negeri asing. Para pelaut dan kapal-kapal
kuno, yang hanya bersenjatakan golok besar, tak punya banyak peluang untuk mempertahankan
negeri mereka dari kekuatan Pentagon, atau melawan angkatan bersenjata yang
menjadi antek perusahaan.”
Saya sengaja menyertakan kutipan dari apa yang
dipaparkan John Perkins tersebut lebih sebagai bahan instrospeksi dan refleksi
bagi bangsa ini tentang bagaimana perilaku elite-elite bangsa ini. Terlepas
jika misalnya tulisan John Perkins itu sekalipun dibumbui fiksi, tapi
rasa-rasanya apa yang dipaparkannya memang realitas kehidupan politik di era
Orde Baru Seoharto, yang sedikit-banyaknya masih mencerminkan kehidupan politik
bangsa saat ini, seperti perilaku para mafia dan kartel.
Hari ini memang pemahaman tentang politik
bersifat machiavelian, politik yang lebih dimengerti, dan pada kenyataannya
memang demikian, sebagai predatorisme oligarkhi dan korporasi global. Politik
dalam arti ‘keberpihakan kepada mayoritas warga’, kalau pun ada, lebih
merupakan kemasan halus kapitalisme global, di mana warga Negara lebih dipahami
sebagai konsumen komoditas mereka, bahkan hingga sumber daya dan fasilitas yang
mestinya dikelola Negara sekali pun, dikomoditaskan oleh oligarkhi dan
korporasi. Jika kita bertanya: Apakah elite-elite bangsa ini mengamalkan amanat
UUD 45 dan isi Pancasila? Maka jawabannya tidak. Dulu, barangkali, pengaruh dan
dominasi lembaga-lembaga global (Amerika) dkk itu masih sebatas berada di
halaman Negara bangsa kita, tapi saat ini sudah berada di dapur Negara bangsa
kita. Mereka bahkan mampu mengarahkan kebijakan apa dan keputusan seperti apa
yang akan diambil oleh anggota DPR dan para elite-elite eksekutif negeri ini,
dari tingkat presiden hingga menteri.
Sebagai contoh, terkait rezim saat ini,
misalnya, warga Negara yang tercerahkan akan mengajukan beberapa pertanyaan:
[1] Bagaimana sesungguhnya proses pengambilan
keputusan dan kebijakan para elite itu, mengingat misalnya, terkait kebijakan
ekonomi dan politik Darmin Nasution dan Sri Mulyani, yang membuka lebar-lebar
modal asing (100%) pada sektor-sektor yang seharusnya dikelola rakyat
[2] Atas dasar apa keputusan tersebut diambil,
mengingat banyak sekali kebijakan yang diambil Sri Mulyani, Darmin Nasution,
dkk lebih berpihak kepada oligarkhi dan korporasi global ketimbang pada
pemberdayaan usaha warga negara bangsa ini.
[3] Apakah, jika dilihat dengan kacamata
buruk-sangka, rezim saat ini memang sebuah Negara dengan banyak boss? Yang
kebetulan para boss itu tak ubahnya para don dari dunia sana yang seenaknya
saja menekan dan mengarahkan kebijakan Negara lain yang akan menguntungkan
mereka.
Kenyataan tersebut jangan sampai membuat
sejumlah kalangan menyimpulkan Joko Widodo adalah figur lemah dari sisi
leadership, yang lebih terlihat diatur sejumlah meterinya, ketimbang mengatur
para menterinya. Atas usulan siapakah Sri Mulyani masuk kabinet jika bukan atas
usulan kaum liberal Amerika. Barangkali memang benar, the king maker di
belakang rezim saat ini salah-satunya adalah Luhut Binsar Panjaitan, yang dalam
beberapa kasus cenderung mendukung kebijakan Darmin Nasution dan Sri Mulyani
meski beberapa elite dan intelektual sempat mengingatkan Presiden Joko Widodo
terkait sejumlah kebijakan yang cenderung liberal.
Kenapa Rizal Ramli, misalnya, yang merupakan
orang pilihan mendiang Gus Dur justru ditendang? Apakah karena Rizal Ramli
menolak kebijakan reklamasinya Ahok dan tidak disukai kaum liberal yang
berkiblat ke ideologi liberal Amerika? Mungkin proklamasi era millennial ini
cocok dengan krisis politik, ideologi dan identitas bangsa kita saat ini:
“Proklamasi………Kami elite-elite Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ini
menyatakan siap melaksanakan kebijakan liberal dan melayani keinginan korporasi
global Amerika dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
Tentu kita tidak boleh lupa bahwa tertulis
dalam UUD 45: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Namun sekarang Negara beserta para elitnya
ngangguk-ngangguk dan manut kepada lembaga-lembaga Amerika seperti World Bank,
IMF, NDI dan USAID untuk mengkhianati Pancasila dan UUD 45. Sehingga aset-aset
Negara diprivatisasi oleh korporasi global (Amerika dkk), usaha anak-anak
bangsa tumbang oleh mafia dan kartel internasional, bahkan ditumbangkan
kebijakan politik bangsa sendiri. Sampai bangsa ini tak lagi punya pemimpin,
yang ada adalah elite-elite yang menjadi pencuri-pencuri kecil yang melayani
pencuri-pencuri besar (korporasi global). Oh, sungguh itu adalah krisis
politik, ideologi dan identitas yang melanda bangsa yang bernama Negara
Kesatuan Republik Indonesia: kehilangan jatidiri dan martabat. Intelektual-intelektual
negeri ini ternyata para kolaborator ideologi liberal Amerika. Mafia Berkeley
Jilid II. Juru dakwah-juru dakwah yang menyiapkan jalan bagi kebijakan liberal.
Tak ketinggalan, media atau pers Indonesia pun
menjadi kolaborator mereka, dan saat ini sedang berlangsung, bagaimana media
dan pers Indonesia bekerja pula untuk mempertahankan status quo yang pro
kebijakan liberal. Dalam konteks suksesi dan pemilihan umum tingkat presiden,
oligarkhi dan korporasi ini acapkali bermain dua kaki. Masyarakat dan publik
dibuat gamang oleh mereka, dihasut setiap waktu dengan propaganda-propaganda
partisan yang tidak mendidik dan semakin menambah kebodohan warga Negara,
bukannya mencerdaskan. Tentu saja mereka, oligarkhi dan korporsai global ini,
seperti telah disebutkan, ‘membeli’ bos-bos media, karena media dapat menjadi
instrument komunikasi dan propaganda massif yang cepat dan efektif untuk
menyebarkan propaganda-propaganda yang sejalan dengan kepentingan mereka.
Terkait yang demikian, Professor James Petras
pernah mengungkapkan pernyataan yang menarik: “Hubungan antara teknologi
informasi, khususnya internet dengan politik merupakan isu penting yang menjadi
bagian dari gerakan sosial kontemporer. Banyak ilmuwan terdahulu mengembangkan
teknologi informasi untuk tujuan ganda, di satu sisi teknologi informasi
berhasil mengakselerasi aliran capital secara global khususnya capital
financial dan memfasilitasi agenda globalisasi ala imperialis”.
Jika kita ibaratkan dunia saat ini tak ubahnya
papan catur, maka rajanya adalah oligarkhi dan korporasi global, sedangkan para
punggawa dan pasukannya adalah para pemimpin Negara, militer, partai politik,
kongres, dan media. Dunia hari ini, jika saya meminjam metaforanya Hannah
Arendt dalam bukunya yang berjudul The Human Condition itu, adalah ketika yang
private (yang ekonomi) menguasai dan mengatur yang publik dan yang politis,
dalam arti para penguasa politik sesungguhnya adalah oligarkhi dan korporasi
global
Terkait maraknya sejumlah sikap partisan
menjelang Pilpres 2019 nanti, saya tentu punya pendapat sendiri, yang tentu
saja tak lepas dari pembacaan dan pengamatan saya selama berlangsungnya rejim
yang sedang berkuasa saat ini. Beberapa orang bilang ke saya: Presiden Joko
Widodo itu seorang Soekarnois. Apa yang mereka nyatakan itu saya tanya ulang:
Jika benar Presiden Joko Widodo seorang Soekarnois, mestinya ia mencegah
sejumlah kebijakan liberal dan neo-liberal yang dilakukan Sri Mulyani, Darmin
Nasution, dkk yang dibela Luhut Binsar Panjaitan dan mestinya tidak menendang
Rizal Ramli dari kabinetnya. Saya katakan juga, beberapa kebijakan itu,
bukannya malah mengkhianati slogan Revolusi Mental yang dulu ia kumandangkan?
Dan di mana Tri Sakti Soekarno yang telah diwujudkan oleh Presiden Joko Widodo?
Adalah sebuah kontradiksi ketika Anda
mengatakan bahwa ia melaksanakan prinsip berdikari tapi pada saat bersamaan
mengikuti IMF dan World Bank. Prosedur-prosedur dan kesepakatan-kesepakatan
yang dibuat kedua lembaga itu mengikat, dan mereka sanggup memainkan kartu
mereka, jika misalnya, klien mereka, tidak mematuhi motif dan tujuan mereka.
Sehingga, dengan sendirinya, mereka mengatur dapur Negara bangsa ini yang
seharusnya diatur sendiri. Jika demikian: di mana prinsip berdikari?
Sementara itu, para pendukung Prabowo Subianto
menyatakan bahwa Prabowo lebih mengutamakan keinginan untuk melakukan
kemandirian ekonomi Negara bangsa ini. Terkait itu, saya nyatakan: Prabowo
Subinato itu seorang pengusaha yang memiliki koneksi dengan sejumlah kaum
oligarkhi dan korporat global, sebagaimana di belakang Presiden Joko Widodo
juga terdapat sejumlah boss besar yang menyokongnya. Dan saya belum mendengar
dan membaca rumusan yang utuh dari Prabowo Subianto jika benar ia punya
keinginan untuk melakukan kemandirian ekonomi.
Barangkali saja sudah terbentuk kesan di
sejumlah kalangan bahwa secara leadership, Presiden Joko Widodo tidak memiliki
arah yang jelas terkait kebijakan ekonomi dan politiknya bagi Negara bangsa
ini, sebagaimana ketidakjelasan juga ada di pihak kandidat Prabowo Subianto.
Dalam arti, Presiden Joko Widodo selama ini lebih memainkan perannya sebagai
orang yang ‘mengikuti’ aspirasi dan bisikan sejumlah menteri dan think tanks di
belakangnya, yang ternyata beberapa dari mereka adalah para penganjur kebijakan
liberal dan neoliberal.
Tidakkah infrastruktur-infrastruktur dan
fasilitas-fasilitas yang ia bangun itu sebenarnya dalam rangka memenuhi
kebutuhan para investor atau para korporat dan kaum oligarkhi global yang
mengucurkan dananya melalui IMF dan World Bank, contohnya? Saya bertanya
demikian, karena jika berdasarkan dana APBN, tidak mungkin Presiden Joko Widodo
sanggup melakukan penyelenggaraan sejumlah mega project tersebut karena
kapasitas APBN Negara ini, karena pada saat bersamaan ternyata terdapat
sejumlah perusahaan global di wilayah sekitar pembangunan sejumlah fasilitas
dan infrastruktur tersebut.
Sementara, di sisi lain, kebijakan yang
berpihak kepada para petani, contohnya, belum terasakan dengan jelas. Juga, di
era rejim ini, terjadi kekerasan agraria di sejumlah tempat demi memenuhi
keinginan para pemodal dan para investor, yang acapkali tidak mempertimbangkan
masalah dampak ekologis, di mana masalah ekologis ini pun menurut saya belum
mendapatkan perhatian yang jelas baik dari pihak rejim saat ini maupun dari
pihak kandidat Prabowo Subianto.
Jika benar bahwa kepemimpinan Presiden Joko
Widodo yang tidak memiliki kejelasan arah kebijakan ekonomi dan politik,
sebagaimana ketidakjelasan serupa juga ada di pihak kandidat Prabowo Subianto,
adakah hal itu merupakan cerminan krisis ideologi dan identitas Negara bangsa
ini? Saya berhak mempertanyakan hal seperti itu karena saya adalah salah-satu
warga Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ratusan juta warga Negara
lainnya. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, watak predatorisme kaum
oligarkhi dan para korporat global yang memainkan kebijakan liberal ini, tak
segan-segan mengorbankan kepentingan rakyat dan hanya memandang warga Negara
sebatas sebagai konsumen. Rasa-rasanya saya perlu mengutip pernyataan Alvaro
Garcia Linera, sebelum saya mengajukan sejumlah pertanyaan lainnya, demi
sedikit menerangkan apa neoliberalisme itu, yaitu:
“PERTAMA-tama, neo-liberalisme menandakan
proses fragmentasi – disintegrasi struktural – terhadap jaringan dukungan,
solidaritas, dan mobilisasi kerakyatan. Di penjuru dunia, terutama di Eropa,
Amerika Latin, dan Asia neo-liberalisme berkembang dari penghancuran,
fragmentasi, dan disintegrasi terhadap gerakan pekerja yang lama, gerakan tani
yang lama, dan mobilisasi perkotaan yang berkembang di tahun lima-puluhan dan
delapan-puluhan.
Fragmentasi masyarakat dan penghancuran
jaringan solidaritas maupun ikatan-ikatan kohesif telah memicu konsolidasi
neo-liberalisme.
KEDUA, neo-liberalisme telah terbentuk,
termajukan, dan menerapkan dirinya di dunia melalui privatisasi, yakni
pengambil-alihan swasta terhadap kekayaan kolektif dan kepemilikan publik,
termasuk simpanan publik, tanah, mineral, hutan, dana pensiun. Neo-liberalisme
berkembang melalui privatisasi sumber-sumber daya tersebut.
KETIGA, masuknya neo-liberalisme disertai
dengan penyusutan dan deformasi negara, terutama aspek negara yang
baik-buruknya berhubungan dengan konsep kolektif atau ide-ide kesejahteraan. Neo-liberalisme
bertujuan menghancurkan pengertian negara sebagai kolektif atau penjamin
kesejahteraan, demi menerapkan tipe ideologi korporat yang menyerukan
pengambil-alihan dan penjarahan kekayaan kolektif yang diakumulasikan
berkali-kali oleh dua, tiga, empat, atau lima generasi.
KEEMPAT, penerapan neo-liberalisme menyebabkan
pembatasan partisipasi politik rakyat; demokrasi diritualkan menjadi pemungutan
suara setiap empat tahun. Warga pemilih tidak lagi turut serta dalam penentuan
keputusan. Segelintir kecil lingkaran elit politik mengutus dirinya sendiri
untuk mewakili rakyat. Inilah empat pilar neoliberalisme – fragmentasi terhadap
sektor-sektor pekerja dan organisasi pekerja, privatisasi sumber daya publik,
memudarnya peran negara, dan rintangan-rintangan terhadap pengambilan keputusan
oleh rakyat”.
Juga pembukaan pidatonya Fidel Castro, yang
berbunyi: “Globalisasi adalah realitas obyektif yang menggarisbawahi kenyataan
bahwa kita semua adalah penumpang dalam kapal yang sama – planet ini di mana
kita semua bertempat tinggal. Tapi penumpang kapal ini melakukan perjalanan
dalam kondisi yang sangat berbeda.
Sejumlah kecil minoritas melakukan perjalanan
dalam kabin mewah yang dilengkapi dengan internet, telepon seluler dan akses
terhadap jaringan komunikasi global. Mereka menikmati makanan yang bergizi,
berlimpah dan seimbang berikut persediaan air bersih. Mereka memiliki akses
terhadap pelayanan kesehatan yang canggih dan seni budaya.
Sejumlah besar mayoritas yang menderita
melakukan perjalanan dalam keadaan yang menyerupai perdagangan budak yang
menakutkan dari Afrika ke Amerika dalam masa kolonial kami yang lalu. Jadi, 85
persen penumpang kapal ini disesakkan ke dalam lambung kapal yang kotor,
menderita kelaparan, penyakit, dan tak mendapat pertolongan.
Tentunya, kapal ini mengangkut terlalu banyak
ketidak-adilan sehingga tidak akan terus mengapung, mengejar rute yang begitu
tak rasional dan tak masuk akal sehingga tidak akan selamat sampai di
pelabuhan. Kapal ini tampak ditakdirkan untuk karam menabrak bongkah es”.
DULU, para pejabat lokal negeri ini menjadi
‘pelayan’ Pemerintah Hindia-Belanda. Sekarang, mereka menjadi ‘pelaksana tugas’
keinginan dan motif kaum oligarkhi dan korporasi global dari dunia sana,
seperti dari Amerika Serikat (yang memang mendominasi kebijakan neoliberal saat
ini dan memaksakannya untuk dilaksanakan di Negara-negara lain), yang menjerat
mereka melalui lembaga-lembaga ekonomi dan finansial seperti IMF dan World
Bank.
Sejak Soekarno dikudeta dan dilengserkan oleh
CIA-Amerika dengan menggunakan dan memperalat TNI Angkatan Darat yang loyal
kepada Jenderal Soeharto, presiden-presiden Indonesia, kecuali K.H. Abdurrahman
Wahid, adalah orang-orang lemah yang mau ditekan dan diatur oleh
lembaga-lembaga yang dikendalikan oleh oligarkhi dan korporasi global (Amerika
dkk). Di masa Megawati Soekarno Putri yang konon ‘pembela’ wong cilik, terjadi
privatisasi BUMN. Begitu pun di era Susilo Bambang Yudhoyono, kebijakan
neoliberal mencengkeram Indonesia.
Jika mau dikatakan, Presiden Abdurrahman Wahid-lah
yang sesungguhnya Soekarnois, bukan Megawati Soekarno Putri atau pun Presiden
Joko Widodo sebagaimana yang didengungkan kaum fanatik pendukung Presiden Joko
Widodo, di mana di eranya (Era Gus Dur) dilakukan restorasi (pelurusan) sejarah
Indonesia yang selama ini dipalsukan oleh rejim Soeharto selama puluhan tahun.
Ia pula yang membubarkan dwi-fungsi ABRI dan memisahkan POLRI dari TNI.
Termasuk ia pula yang berani mengangkat Menteri Pertahanan dari sipil dan
menempatkan non-Angkatan Darat (AU dan AL) ke posisi-posisi strategis
pemerintahan setelah sebelumnya mereka disingkirkan, seperti untuk jabatan
Panglima Tertinggi TNI. Meski ia (Gus Dur) pun belum sepenuhnya lepas dari
‘jerat’ neoliberalisme.
Haruslah jujur dikatakan bahwa Indonesia,
tidak seperti sejumlah Negara Amerika Latin yang dulu justru ‘berguru’ pada
Indonesia era Soekarno, merupakan korban liberalisme Keynesian pada masa Orde
Baru Soeharto dan neoliberalisme oligarkhi dan korporasi global pada saat ini,
yang menjerat Indonesia lewat sejumlah lembaga global mereka, seperti contohnya
IMF dan World Bank. Dan elite-elite Negara bangsa ini kemudian menjadi
perpanjangan tangan mereka, mirip sejumlah pejabat dan birokrat lokal di era
kolonialisme Belanda dulu.
Bahkan, dengan pahit perlu dikatakan, agenda
dan program liberalisasi dijalankan elite-elite Negara bangsa ini, dari tingkat
presiden hingga para menteri, yang jauh lebih liberal dibandingkan
negara-negara kapitalis besar sekali pun. Jika, misalnya, di era Orde Baru,
kolonialisme mutakhir tersebut diwujudkan dalam “topeng” pembangunan, sekarang
ini ‘dikemas’ dalam kerangka globalisasi, pasar bebas, investasi, privatisasi,
dan yang sejenisnya.
Kita perlu merenungkan sejenak sejarah Negara
bangsa kita, suka atau tidak suka, yang ketika Soekarno memandang Uni Soviet
lebih bisa dipercaya ketimbang Amerika Serikat karena Uni Soviet belum pernah
menjadi negara kolonial di luar negeri, sebaliknya Inggris dan Perancis adalah
bekas negara-negara kolonial yang bersekutu dengan AS. Di era Soekarno pula, Indonesia
menentang usaha Amerika Serikat menjadikan negara-negara Asia Pasifik sebagai
bonekanya (dengan mendirikan pangkalan militer di wilayahnya masing-masing),
dan Indonesia ketika itu menjalin kerjasama dengan Uni Soviet dalam kedudukan
yang setara.
Kebijakan politik Indonesia di era Soekarno
itu bukan tanpa pertimbangan yang rasional dan kuat, karena ketika itu Soekarno
tahu Amerika Serikat terbukti membantu Belanda untuk menjajah kembali
Indonesia. Di sini-lah, kita juga sebenarnya tak perlu banyak bertanya lagi,
kenapa Amerika Serikat bernafsu untuk menumbangkan Soekarno dengan segala macam
cara manipulasi, seperti mempengaruhi para jenderal di Angkatan Darat dan
intelektual anti-Soekarno, semisal para intelektual Partai Sosialis Indonesia,
partai sosialisme gadungan itu. Amerika Serikat pula yang mempersenjatai
sejumlah pemberontakan dan gerakan separatis, seperti gerakan PRRI-Permesta dan
gerakan Darul Islam (gerakan kanan).
Sementara itu, terkait Orde Baru yang
merupakan ‘pintu gerbang’ masuknya jerat liberalisme dan neoliberalisme Amerika
Serikat atas Negara bangsa ini, David Ransom dalam “Mafia Berkeley dan
Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas di
AS Masuk ke Indonesia” (Ramparts; 1971) menulis:
“Di New York, keduanya (Soemitro dan
Soedjatmoko) dibesarkan oleh satu kelompok yang berhubungan erat dengan apa
yang biasa disebut Vietnam Lobby, yang menempatkan Ngo Dinh Diem sebagai Kepala
Negara Vietnam yang pro AS. Lobi tersebut, di antaranya ada Norman Thomas, terdiri
dari anggota-anggota Komite Kemerdekaan untuk Vietnam dan juga Liga India.
Mereka merupakan pelopor Sosialis Kanan (Soska) dunia. ‘Kita harus berusaha
agar usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan AS untuk membentuk pemerintah
non-komunis di Asia paska PD II jangan sampai ketahuan ketidakwajarannya’, ujar
Robert Delson, anggota Liga yang juga Lawyer di Park Avenue. Delson adalah
penasehat hukum untuk Indonesia di AS.”
Orang ini, tulis David Ransom, selalu menemani
dan membawa Sumitro Djojohadikusumo dan Koko (Soedjatmoko) keliling Amerika dan
memperkenalkannya kepada sahabat-sahabatnya di Americans for Democratic Action
(ADA) yang juga Soska (sosialis kanan alias sosialisme palsu) dan berpengaruh
dalam sikap polittik luar negeri Amerika.
Sedangkan di era rejim yang sedang berkuasa
saat ini, yaitu reijim Presiden Joko Widodo, contoh kebijakan yang neoliberal
itu contohnya adalah kebijakan tax amnesty yang dikeluarkan Sri Mulyani yang
merupakan bentuk pengistimewaan kepada korporat. Bahkan ada kecurigaan dari beberapa
kalangan bahwa pembangunan infrastruktur secara massif saat ini tidak terlepas
dari kepentingan jangka panjang Tiongkok yang memang menggalakkan investasinya
kepada Indonesia. Sementara itu, sejumlah analis bahkan menilai menteri-menteri
Presiden Joko Widodo yang terkait bidang ekonomi dan keuangan belum siap untuk
dikatakan tidak memiliki konsep dan arah yang jelas, yang hanya mengandalkan
isu integrasi dan konektivitas ekonomi, tapi tak memiliki keberpihakan
ideologis pada falsafah bangsa sendiri dan UUD 45.
Keraguan saya juga, tentu kepada kandidat
Prabowo Subianto, karena melihat latar-belakang keterikatan historis dan
sentimen pribadinya dengan Orde Baru, yang sepertinya akan cenderung neoliberal
juga, jika misalnya, dipercaya rakyat untuk memimpin Negara bangsa ini.
Kelemahan utamanya adalah bahwa Prabowo Subianto membawa dosa sejarah, di saat
ia masih memiliki keterikatan historis dan sentimen pribadi dengan rejim Orde
Baru Seoharto dan keluarganya. Terlebih lagi, seperti telah dikatakan, kandidat
Prabowo Subianto juga tidak memiliki visi ekonomi politik yang jelas terkait
Negara bangsa ini.
Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa saat
ini, figur-figur yang bertarung pada Pilpres 2019 nanti sama-sama ‘figur lemah’
yang tidak memiliki tawaran visi ekonomi politik yang jelas untuk Negara bangsa
yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini…
Terkait polah dan perilaku para elite Negara
bangsa ini dan dampaknya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, saya teringat
apa yang pernah dikatakan Pramoedya Ananta Toer: “Negeri yang begini kaya
diubah menjadi negara pengemis…karena tidak adanya karakter pada elite”.
Yang juga penting untuk disoroti adalah
sesaknya ruang publik kita dengan penyebaran ceramah-ceramah keagamaan yang
tidak mencerdaskan dan menyebarkan friksi serta kebencian antar anak bangsa.
Mereka adalah agen-agen proxy yang dicetak oleh ideologi-ideologi luar seperti
Wahabisme-Takfirisme dalam rangka menciptakan ‘kerusuhan’ dalam kehidupan
sosial bangsa kita.
Mereka meluncurkan media-media internet untuk
menyebarkan hasutan, propaganda dan agitasi yang bekerja bagi imperialisme kaum
pemilik modal yang melakukan praktik politik untuk melakukan instabilitas dalam
sebuah Negara. Amerika adalah rajanya dalam hal demikian, bersama kacung mereka
seperti Rezim Wahabi Saudi Arabia, yang dengan skenario kepentingan Amerika,
Israel dkk, mereka menumpahkan darah di Yaman, Suriah, Libya, dan Irak, dan
bukan tidak mungkin mereka juga sebenarnya ingin atau sedang melakukannya di
Indonesia dengan menggunakan tangan-tangan kaum ekstremis yang berusaha
memaksakan konsep khilafah untuk mengganti falsafah dan dasar Negara bangsa
ini: UUD 45 dan Pancasila.
Kehadiran internet dan media sosial memang
memberikan manfaat positif, tapi bersamaan dengan itu pula, menjadi instrument
bagi kaum imperial untuk menyuburkan kelompok-kelompok keagamaan yang berusaha
menggusur dasar dan falsafah bangsa kita. Masyarakat yang hidup dalam budaya
oral, terbius oleh para pseudo ulama (ulama palsu) atau para muallaf seperti Abu
Jibril yang mendukung ISIS bentukan Amerika, Israel dkk atau Felix Siauw si
pengusung khilafah yang tiba-tiba merasa paling tahu Islam dibanding para ulama
mu’tabar.
Negara bangsa ini sebenarnya sedang mengalami
rongrongan dari berbagai sisi: sosial-ekonomi-politik serta sisi
kultural-keagamaan, yang jika kita tidak memahami jati diri kita sebagai sebuah
bangsa yang unik, memiliki kecerdasan dan falsafah jenuin-nya, niscaya akan
ambruk, dan tak lebih menjadi sebuah geografi yang kehilangan identitas dan
ideologinya. Di sinilah perlu kembali ditegaskan bahwa ideologi dan falsafah
kita bukan liberalisme, neoliberalisme, atau pun komunisme, tetapi ideologi
keadaban dan kemanusiaan yang telah tertuang dalam Pancasila dan UUD 45.
Sayangnya, elite-elite Negara bangsa ini
bukanlah mereka yang menjalankan amanat dan pengamal falsafah serta ideologi
Negara bangsa sendiri. Alih-alih mereka hanya menjadi ‘perpanjangan’ tangan
dari ideologi-ideologi ekonomi-politik dan paham-paham imporan seperti
neoliberalisme yang membuat Negara bangsa ini tak punya jatidiri dan menjadi
pelayan oligarkhi dan korporasi global ketika menetapkan kebijakan-kebijakan
neoliberal, seperti privatisasi aset-aset publik.
Negara bangsa ini merupakan geografi dengan
jumlah penduduk terbesar, yang karenanya menjadi sasaran ‘konsumerisasi’ atau
upaya menjadikan warga Negara ini hanya sebagai konsumen oleh
perusahaan-perusahaan multinasional, yang pada saat bersamaan, sejumlah
kebijakan pemerintah lebih berpihak kepada korporasi global bukannya kepada
sektor-sektor yang digarap dan dikelola rakyat, seperti kebijakan yang
pro-petani, nelayan, dan usaha-usaha rakyat kecil. Ekonom-ekonom dan
intelektual-intelektual kita lebih merupakan para calo yang bekerja untuk
kepentingan Amerika, contohnya.
Dalam hal itu, figur bangsa kita yang dapat
dikatakan mengurangi dan mengerem peran ekonom dan intelektual calo yang lazim
disebut Mafia Berkeley itu adalah KH. Abdurrahman Wahid, yang sayangnya peran
mereka kembali menguat di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sekedar informasi bagi yang ahistoris, ekonom
dan think tanks yang lazim disebut Mafia Berkeley itu mulai bekerja di negeri
ini sejak Presiden Soekarno digusur oleh CIA-Amerika dan kekuatan TNI Angkatan
Darat (TNI AD) yang loyal kepada Jenderal Soeharto dalam rangka menjadikan
Soeharto sebagai presiden Indonesia dengan kompensasi menjadi presiden yang
loyal kepada Amerika. Di era Soeharto pula-lah IMF dan World Bank mulai
diijinkan memainkan perannya menjadi penentu kebijakan ekonomi Indonesia, di
saat kehidupan sosial warga Negara ditekan dengan sejumlah peraturan,
intimidasi hingga pembunuhan para aktivis dan pejuang HAM.
Sejak Soeharto berkuasa-lah para ekonom yang
tergabung dalam organisasi tanpa bentuk itu memegang kendali ekonomi Indonesia
sampai sekarang, dengan jeda sebentar, seperti telah dikatakan, ketika KH.
Abdurrahman Wahid (almarahum Gus Dur) menjabat sebagai Presiden, di mana di era
Gus Dur, pengaruh mereka tidak lagi semutlak sebelumnya, meski masih tetap
besar melalui Dewan Ekonomi Nasional yang diketuai oleh Prof. Emil Salim dan
Dr. Sri Mulyani Indrawati sebagai sekretarisnya, yang kemudian dibentuk pula
Tim Asistensi pada Menko EKUIN yang diketuai oleh Prof. Widjojo Nitisastro
dengan Sri Mulyani Indrawati sebagai sekretarisnya, yang saat ini dipercaya
menjadi salah-satu menteri di kabinet Presiden Joko Widodo.
Terkait polah dan perilaku para elite Negara
bangsa ini dan dampaknya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, saya teringat
apa yang pernah dikatakan Pramoedya Ananta Toer: “Negeri yang begini kaya
diubah menjadi negara pengemis…karena tidak adanya karakter pada elite”. Apa
yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, penulis prosa terbesar Indonesia yang
pernah dinominasikan sebagai penerima Anugerah Nobel Sastra itu, adalah juga realitas
politik Indonesia saat ini, di mana para elite Negara bangsa ini tak ubahnya
para calo yang bekerja untuk kekutan-kekuatan dan lembaga-lembaga asing, tak
ubahnya orang-orang yang tak punya pegangan dan prinsip, tak menjalankan
falsafah dan ideologi Negara bangsa sendiri, kecuali sebagai para pelaku
ideologi pragmatis demi mendapatkan ‘upah’ dari tuan-tuan Amerika mereka
seperti melalui IMF dan World Bank yang justru mengambil keuntungan dari
tanah-air Negara bangsa ini.
Realitas yang sungguh sebuah kenyataan yang
pahit dan ironis, di saat sisi kehidupan yang lain juga sedang mengalami
disorientasi, seperti maraknya sebaran ujaran-ujaran dan ceramah-ceramah
keagamaan yang tidak mendidik secara kultural, dan malah menguatkan oralitas
dan kemalasan analitik atau menciptakan ketumpulan intelek yang kemudian
melahirkan generasi yang mudah mengkonsumsi hoax dan memahami agama seakan-akan
terlepas dari intelek……(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar