oleh Andre
Vltchek*
“Saskia Wieringa, menemukan kegiatan seksual
di Indonesia begitu melekat. Kekerasan seksual yang dialami Gerwani, dilakukan
oleh anak muda, sering kali kelompok agama, laki-laki yang mayoritas pembunuh.
Bentuk kekerasannya membuktikan pandangan ini. Sebuah dokumen dari kelompok hak
asasi, Tapol memberi gambaran jelas: perempuan anggota PKI ditelanjangi,
tubuhnya dibakar sebelum dibunuh; anggota Gerwani yang baru menikah diperkosa
berulang kali oleh grup Ansor dan digeranjangi mulai dada sampai kelamin;
wanita hamil 9 bulan dibunuh, perutnya dipotong dan anaknya disembelih;
pemimpin Gerwani yang lain ditusuk alat kelaminnya dengan bambu runcing.
Kekerasan yang mengerikan ini, dilakukan hanya karena mereka Gerwani. Ini
sekaligus menegaskan bahwa laki-laki lebih berkuasa dan memegang kontrol atas
seksualitas perempuan, menyingkirkan siapapun yang mau merubah mitos ini.”
TEMAN baik
saya, seorang perempuan Indonesia keturunan Tionghoa, baru-baru ini dilecehkan
di Jakarta Pusat, di siang bolong. Saat itu saya berada di Jepang, kami saling
mengirim SMS dan email. Ini bukan yang pertama kali dialaminya, dia merasa
terhina, disudutkan dan benar-benar stress. “Seandainya saya terlahir sebagai
orang lain—bukan China. Seandainya saya terlihat seperti orang lain,” tulisnya.
Setengah hari penuh saya coba meyakinkannya bahwa tidak ada yang salah menjadi
keturunan Tionghoa, atau etnis lainnya. Indonesia—negara yang sejak 1965
melakukan tiga pembantaian massal yang didukung penuh oleh Barat (Amerika)—sudah
membuat teman saya merasa gagal. Sebuah negara yang menggunakan kekerasan
seksual untuk menakuti rakyatnya sendiri.
Saya minta teman saya menuliskannya, satu
pengalamannya sendiri dan dua pengalaman temannya. Tiga cerita sederhana
tentang pengalaman mereka. “Saya yang akan memberikan konteks,” janji saya. Dia
menyanggupi dan mengirimkan ceritanya. Saya menambahkan dengan cerita besar
yang mengerikan dan tidak pernah diungkapkan: sebuah kekerasan seksual yang tak
terbayangkan yang membuat perempuan Indonesia menderita sejak 1965. Cerita ini
selalu tabu (sesuatu yang diharamkan), namun saya sadar ia harus diungkapkan,
dengan bahasa yang sederhana.
PERTAMA, Anna
menceritakan kisahnya. Kejadian yang belum lama dialaminya: Kantor saya berada di Jalan Wijaya. Ada beberapa kafe kecil,
restoran, warung, di sekitar kantor. Saya mendatangi salah satunya yang
berjarak sekitar 10 menit dari kantor. Saya belum pernah
mengalami kejadian buruk saat berjalan di tempat ini. Beberapa anak muda
mengolok-olok saya, tapi saya tidak ambil pusing, karena saya sudah sering
diolok-olok saat berjalan dari Terminal Lebak Bulus ke rumah.
Apa yang dikatakan Anna tentang olok-olok
sebagai sesuatu yang normal, sesungguhnya amat mengerikan. Kata-katanya
seperti: “Mau kemana, cantik? Kok sendirian?” Kadang-kadang: “Hei cewek putih”.
Mereka juga mengejek dengan Bahasa China. Tidak hanya anak muda, namun juga
supir bus, yang sering kali mengejek dengan Bahasa China setiap waktu dan
dimana saja mereka berada.
Saat itu saya berjalan agak lambat di trotoar
dan tiba-tiba beberapa anak muda bersepeda mendekat dan memegang pantat saya,
lalu meremasnya. Kemudian mereka terus bersepeda,
melihat ke belakang, tertawa dengan bangga karena berhasil mempermalukan saya.
Saya sangat terkejut karena tidak melihat kedatangan mereka.
Kejadian yang sangat tidak saya harapkan. Saya terdiam beberapa menit,
mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Namun dengan perlakuan yang diterimanya, Anna
tidak marah kepada para penyerangnya, dia tidak melapor ke polisi (“Mereka akan
menggoda saya atau melakukan sesuatu yang lebih buruk,” Anna menjelaskan
alasannya kepada saya). Malah dia malu dengan identitasnya:
Ketika saya sedikit pulih, saya merasa: “Saya
benci berwajah China…Andai saya bukan China, saya tidak akan terlihat berbeda
dengan orang kebanyakan. Andai saja kulit saya lebih gelap dan mata saya lebih
lebar, mereka tidak akan melakukan apapun kepada saya.”
Banyak orang lain di sana, perempuan,
laki-laki, berjalan kaki, kenapa tidak mereka? Kenapa harus saya?
Dua teman mencoba menenangkan saya, namun mereka tidak bisa
berbuat banyak selain mengatakan “sudahlah”. Atau “lain kali lebih berhati-hati”.
Ketika kembali ke kantor, saya hanya ditanya: “Kamu baik-baik
saja?” Dan mereka bilang, “Harus kuat…” dan yang lain hanya berkata, “Terima
kasih Tuhan, karena saya tidak terlihat seperti orang China.” Saya malu dan sedih. “Apa yang bisa saya lakukan? Ini Indonesia.
Ini sudah takdir saya sebagai orang China yang tinggal di Indonesia. Kalau
tidak sekarang, kejadian ini akan terjadi juga nantinya.”
Ketika kamu berniat menulis ini, saya ragu,
apakah wajar menceritakan hal begini. Ini sudah dianggap ‘biasa saja’ oleh
semua orang di sini.
Sejak awal, kami sudah diarahkan menerima saja
apapun yang terjadi. Tidak ada yang bisa kami lakukan, ini sudah takdir kami,
sebuah takdir yang tidak terelakkan.
ANNA bukan
nama sebenarnya. Hampir tidak ada korban pelecehan, penganiayaan, maupun
perkosaan, mau mengungkapkan jati diri mereka. Indonesia merupakan sebuah
negara dimana teror seksual di kalangan perempuan dianggap sesuatu yang biasa,
sejak kudeta yang didukung Barat (Amerika) pada 1965. Anak perempuan yang
dianiaya tidak menceritakan kepada orang tuanya; korban perkosaan tidak melapor
kepada polisi, sementara nama mereka buruk akibat penganiayaan, pelecehan atau
perkoasaan. Di Indonesia, orang yang diperkosa dianggap kotor. Korban diajarkan
untuk tidak merasa terlecehkan. Malah mereka merasa malu, harus menyembunyikan
kejadian itu, daripada berjuang untuk mendapat keadilan bagi dirinya maupun
orang lain. Ada pengecualian untuk beberapa orang, namun perbandingannya sangat
sedikit.
Tidak seperti perempuan di India. Di Indonesia,
tidak ada film yang mengungkapkan kekerasan seksual, seperti film Cairo 678 yang
memenangkan Egyptian Award. Korban 1965, korban Timor-Timur, korban kekerasan
di Papua yang sedang berlangsung, korban rasisme dan diskriminasi agama, korban
kekerasan seksual, dan korban-korban kekerasan lainnya sudah dibungkam. Di buku
terbaru saya tentang Indonesia: Archipelago
of Fear (Pluto, 2012), saya mengungkapkan: Ketakutan sangat
dipaksakan di Indonesia. Ada beberapa tipe ketakutan. Kejadian masa lalu, kasus
kekerasan, maupun korupsi. Ketakutan untuk diungkapkan, ketakutan dihukum, dan
mendapat malu. Ketakutan untuk mengakui bahwa ia adalah korban kekerasan. Ketakutan
menjadi minoritas—baik ras, etnis atau agama—di Indonesia hukum mayoritas
sering kali menindas minoritas.
TINGKAT kejahatan
terhadap perempuan di Indonesia mirip dengan perang DR Congo di Afrika. Namun,
tidak pernah ada berita di koran Indonesia tentang hal itu, ia tidak pernah
dibicarakan, sangat rahasia. Di Barat, misalnya, Indonesia seringkali dijadikan
contoh yang baik untuk negara demokrasi, masyarakat toleran. Belum ada yang
merubah mitos itu. Itu karena Indonesia sangat tunduk kepada politik dan
ekonomi Barat (Amerika). Ia sudah berlangsung sejak 1965, semasa pemerintahan
korup Suharto, yang sudah mengkhianati dan membunuh bangsanya sendiri. Sebuah pidato terkenal di
Beijing tahun 1995 oleh Hillary Clinton, ia menyatakan: “Hak asasi
adalah hak perempuan, hak perempuan adalah hak asasi.” Tahun 2009, ketika ia ke
Indonesia dalam sebuah kunjungan kenegaraan sebagai Menteri Luar Negeri, dia
menyatakan: “Saat saya berkunjung ke negara lainnya, saya akan katakan kepada
orang-orang: jika kamu ingin ke tempat di mana Islam, demokrasi, modernitas dan
hak asasi perempuan dijunjung tinggi, pergilah ke Indonesia.”
Clinton berbicara tentang sebuah negara dimana Nursyahbani
Katjasungkana, Koordinator LBH APIK, dan mantan anggota PKB,
tinggal. Nur mengatakan kepada saya, di lain hari pada 2011, di rumahnya di
Jakarta, tentang negaranya: “Jutaan perempuan di Indonesia disunat untuk alasan
budaya dan agama. Saya salah satu di antaranya…Adik saya juga disunat dan saya
menyaksikannya. Ketika mereka menyunat adik saya—tahun 1960—saat itu saya
berusia 5 tahun…Saya melihat darah di mana-mana, darah yang sangat mengerikan. Kejadian
itu juga menimpa anak perempuan saya. Keluarga memaksa saya. Saya tidak tahu…dia
dilahirkan tahun 1990 sebelum saya belajar bahwa sunat termasuk isu hak asasi
manusia. Saya menolak anak saya disunat, tapi keluarga memaksa saya: “Mengapa
tidak?! Dosa dan malu kalau kita tidak melakukannya!” Akhirnya, saat anak saya
berusia enam bulan, saya membawanya ke sebuah rumah sakit di Jakarta dan mereka
melakukannya…Saya tidak melihatnya karena mereka membawanya pergi. Saya duduk
di luar dan menangis. Bulu kuduk berdiri semua. Anak saya menangis, berteriak,
mereka membawanya kembali pada saya dengan darah dimana-mana.”
Sungguh, suatu contoh yang baik tentang hak
asasi perempuan, Clinton!
SETELAH 1965,
kekerasan seksual dilakukan secara biadab. Banyak perempuan dari organisasi
kiri, termasuk Gerwani, dada dan alat kelaminnya dipotong. Ia dianggap biasa,
normal. Militer, kader agama, dan jutaan warga negara Indonesia menjadi bagian
dari hal ini. Mereka terlibat dalam tindakan kekerasan. Sebanyak 800 ribu
hingga 3 juta orang: kiri, PKI, intelektual, guru, ateis dan Tionghoa, dibasmi
secara sistematis. Cerita yang tidak masuk akal, namun nyata adanya, sejak
Indonesia dibangun tahun 1965. Mereka yang dicap PKI dan Gerwani tidak bisa
bersuara. Mereka dikebiri tentara Indonesia. Sebuah kekerasan seksual yang
mengerikan. Sudjinah, mantan Gerwani, memaparkan kekerasan yang dialaminya
sebagai tindakan balas dendam setelah 1965, di dalam bukunya ‘Terempas
Gelombang Pasang’, 2003:
“Kami tiba di sebuah sekolah China yang sudah
diubah menjadi ruang penahanan dan interogasi. Begitu tiba, saya langsung
mengerti, kenapa bangunan tempat anak-anak belajar ini disebut ‘Rumah Hantu’
oleh para tahanan…Saya dimasukkan ke sel kecil yang dindingnya penuh bercak
darah. Saya mendengar tangisan dan rintihan dari ruang interogasi. Teman saya,
Lami (Sulami) diinterogasi pertama, dan kemudian giliran saya… “Oi, buka
mulutmu…” kata si penginterogasi, kemudian mereka memukul seluruh tubuh saya
dengan tongkat rotan panjang. Sekitar delapan ‘setan’ berpakaian kemeja hijau
garis-garis kuning memukul badan saya bagai kutukan. Saya menutup mata dan
merasakan pukulan di seluruh badan telanjang saya; perut, dada, wajah dan
lengan. Darah mengalir dari mulut. Ketika membuka mata, saya lihat yang lain
yang sudah dipukul tergeletak di lantai, beberapa masih sadar…Lebih dari 30
perempuan dan anak-anak di tempat itu, di antaranya ada gadis China…satu masih
sadar. Dia diinterogasi. Ketika dia tidak menjawab pertanyaan, mereka
menyentrumnya.”
Merujuk pada riset Universitas Harvard dan
Institut Hubungan Internasional dan Keamanan Portugis (Kai
Thaler, Bayang-bayang Pembantaian: Dari Pembantaian Indonesia 1965-1966 ke
Pembantaian Timor-Timur 1974-1999): Perempuan sering menjadi korban
kekerasan. Anggota Gerwani dimutilasi dan dibunuh selama peristiwa G-30-S.
Perempuan ‘komunis’ dianggap monster meresahkan. Ini bukan hanya tindakan
kriminal, seperti kata-kata Suharto, “Sebuah tindakan sadis, merusak identitas
perempuan Indonesia.”
Beberapa slogan anti-komunis yang digunakan:
‘Gerwani Tjabol’, ‘Gantung Gerwani’ dan ‘Ganyang Gerwani’. Di Bali, ribuan
perempuan dipaksa melakukan aktivitas seksual. Mereka diklaim sebagai anggota
Gerwani yang membuat mereka diperkosa. Penganalisis gender tentang Pembunuhan,
Saskia Wieringa, menemukan kegiatan seksual di Indonesia begitu melekat.
Kekerasan seksual yang dialami Gerwani, dilakukan oleh anak muda, sering kali
kelompok agama, laki-laki yang mayoritas pembunuh. Bentuk kekerasannya
membuktikan pandangan ini. Sebuah dokumen dari kelompok hak asasi, Tapol
memberi gambaran jelas: perempuan anggota PKI ditelanjangi, tubuhnya dibakar
sebelum dibunuh; anggota Gerwani yang baru menikah diperkosa berulang kali oleh
grup Ansor dan digeranjangi mulai dada sampai kelamin; wanita hamil 9 bulan
dibunuh, perutnya dipotong dan anaknya disembelih; pemimpin Gerwani yang lain
ditusuk alat kelaminnya dengan bambu runcing. Kekerasan yang mengerikan ini,
dilakukan hanya karena mereka Gerwani. Ini sekaligus menegaskan bahwa laki-laki
lebih berkuasa dan memegang kontrol atas seksualitas perempuan, menyingkirkan
siapapun yang mau merubah mitos ini.
Rezim menggunakan batalion militer untuk
memperkosa perempuan di desa dan kota di Timor-Timur, pembantaian massal. Salah
satu komandonya Susilo Bambang Yudhoyono, perwira tinggi Suharto.
Hari itu, saya menyelundup ke Timor-Timur,
menuju beberapa tempat. Di Ermera, militer Indonesia datang tiba-tiba, menculik
laki-laki dan memperkosa perempuan, dari bayi hingga nenek-nenek 80-an. Saya
ditahan dan disiksa, film saya disita. Semua ini tak pernah diungkapkan hingga
kini. Bentuk penyiksaan terhadap perempuan oleh sekelompok orang Indonesia
sangat sadis, meluas dan mengerikan, saya tak bisa memasukkannya ke dalam
laporan ini. Isu ini dianggap tabu di bawah kekuasaan Suharto, dan ia tetap
dianggap tabu di era demokrasi Indonesia. Kasus perkosaan perempuan Tionghoa di
siang bolong mengakibatkan kekuasaan diktator Suharto yang didukung Barat
(Amerika) runtuh, namun rezim pro-Barat masih tetap bertahan hingga kini.
Kerusuhan di Indonesia, tindakan perkosaan,
saya dokumentasikan di Solo pada 1998. Ratusan perempuan Tionghoa, sebagian
besar penjaga toko yang rendah hati bersama anak mereka, ditiduri oleh orang
gila dan haus darah, orang-orang rasis yang fanatik, sementara polisi hanya
berdiri dan menonton dalam diam. Kemudian kasus kekerasan seksual di Papua yang
sedang berlangsung, kejadian mengerikan yang menimpa 100 ribu hingga 500 ribu
orang, pembantaian massal. Militer Indonesia secara bertahap memperkosa
perempuan, menculik anak kecil dan menjadikan mereka budak seks.
Oktober 2004, Direktur Pendidikan Papua New
Guinea (PNG), Sir Peter Baki, menjelaskan kepada saya tentang keadaan buruk
yang menimpa anak-anak Papua: “Pengawas kami yang bekerja dengan anak-anak
mengatakan: pasukan Indonesia rutin datang ke desa terpencil di Papua. Begitu
melihat perempuan yang mereka suka, mereka menahannya. Keluarganya dibuang jauh
dan tentara menahannya sampai memperkosanya. Kemudian perempuan itu disuruh
diam, kalau tidak tentara akan merusak seluruh desa. Jika si perempuan
memberitahu identitas tentara yang memperkosanya, dia akan dibunuh dan desanya
akan dihancurkan. Pembicaraan kami berlangsung di Nandi, Fiji, dimana Baki
menghadiri rapat PBB. Dia mendekati saya, meminta bantuan untuk menyelamatkan
anak-anak Papua, memberikan informasi detail tentang perempuan-perempuan itu.
Ada yang baru berusia 9 tahun, melintasi perbatasan ke PNG, melarikan diri dari
Papua dengan alat kelamin dan puting susunya dipotong dan dibakar dengan rokok.
“INI cerita
kedua,” lanjut Anna. “Namanya Melia Christina, 23 tahun, dari Surabaya, kini
tahun pertamanya menjadi dokter umum.” Tentu saja di cerita ini, Melia bukan
nama sebenarnya, namun ceritanya nyata…Melia salah satu teman dekat
saya saat SMA. Dia perempuan yang kurang beruntung, dia pernah mengalami
pelecehan seksual. Kampung Melia di Situbondo, orang tuanya
mengirimnya ke Surabaya untuk menempuh pendidikan SMA. Dia tinggal di kos,
tidak begitu jauh dari SMA Petra 2 Christian, sekolah tercinta kami. Kosnya
terletak di di ujung jalan besar, beberapa gang sempit harus dilewati, hal yang
biasa untuk sebuah rumah di kawasan kumuh.
Untuk menuju sekolah, kami berjalan sekitar 10
menit menyusuri jalan raya, melewati tiga becak dan pengemudinya, juga penjual
bakso dan mie ayam. Kami tidak pernah tahu apa yang
akan terjadi. Sudah banyak orang yang mengalami pelecehan
seksual di jalan itu. Kejadian pertama terjadi di
pagi buta, sekitar pukul 06.15, Melia ingin sampai di sekolah lebih awal dari
biasanya dan jalanan masih gelap. Ketika dia hampir mencapai
jalan utama, seorang lelaki muda berambut panjang, mengenakan kemeja putih
lusuh, mengendarai sepeda, datang dari belakang. Tiba-tiba memegang dan meremas
dada Melia dengan keras. Kemudian dia melihat ke belakang dan berteriak
“Cina!”, meludah dan tertawa. Melia terkejut. Dan serangan
yang sama terjadi lagi.
Sekolah kami tahu kejadian ini, namun mereka
tidak berbuat banyak untuk mengatasinya. Mereka hanya mengingatkan murid-murid
untuk lebih berhati-hati ketika berjalan kaki di jalanan tersebut dan berjalan
berkelompok, jangan sendiri. Karena tidak ada seorang pun
yang melindungi kami, atau setidaknya memberi tahu kami bahwa apa yang terjadi
merupakan sesuatu yang buruk, merupakan kejahatan rasisme, maka kami mulai
berpikir kejadian itu biasa saja, normal. “Ia akan terjadi lagi, lagi, dan lagi
kepada perempuan China yang tinggal di Indonesia.”
Sekolah kami tidak berusaha membela kami, atau
setidaknya membuat kami merasa aman. Kami berhak mendapat perlindungan.
Mereka hanya mengatakan: “Lain kali lebih berhati-hati, dan berdoa
setiap hari semoga kejadian itu tak terulang lagi. Namun ia terjadi lagi dan
lagi. Tindakan terbaik yang bisa dilakukan Melia hanyalah melindungi dirinya
sendiri dengan memeluk buku tebal menutupi dadanya, untuk melindungi
payudaranya.
PENULIS dan
Jurnalis Indonesia, Linda
Christanty, menulis untuk laporan ini: “Selama kerusuhan Mei 1998,
Iwan Zainuddin, teman saya, ayahnya penjual sup di dekat Masjid di Jakarta
Timur. Ia tiba-tiba mengunjungi saya. Dia memohon: Tolong pergi!” Dia baru saja
selesai sholat di Masjid, dan mendengar enam anak muda tetawa sambil
menceritakan bagaimana mereka memperkosa beberapa perempuan Tionghoa. Anak muda
itu sholat di Masjid setelah memperkosa perempuan. Ini kisah nyata, dan sangat
mengerikan.”
Answer Styannes, Kepala Komisi Hak Asasi
Manusia Indonesia di Hong Kong, menulis sebuah laporan: “Indonesia punya jejak
rekam buruk untuk isu kekerasan seksual, hanya sedikit yang sudah meneliti
tentang itu. Tidak adanya data korban kekerasan seksual membuatnya menjadi
sulit untuk mendapat gambaran akurat mengenai isu ini. Rasisme menyebabkan
kekerasan seksual, ia sudah diketahui publik secara luas, menjadi bagian dari
(atau berhubungan dengan) penyalahgunaan skala luas. Dua contohnya perkosaan
yang dialami perempuan Tionghoa pada Mei 1998 merupakan bagian dari kekerasan
seksual yang dialami perempuan Papua oleh militer di akhir 1970-an.
Kekerasan seksual cenderung didiamkan, orang
lebih membahas masalah utamanya, seperti pembunuhan atau penyiksaan. Permintaan
menyelidiki aktivis korban penculikan dan penembakan anak-anak pada 1998 masih
disuarakan hingga kini, namun tidak dengan isu perkosaan yang dialami perempuan
Tionghoa meski ia terjadi pada saat yang bersamaan.
Mengapa kekerasan seksual jarang dibicarakan
di Indonesia dibanding dua isu lainnya? Karena isu ini sulit dibuktikan.
Tantangan kasus rasisme adalah membuktikan motif si pelaku. Pada kasus
kekerasan seksual saksi dan kesediaan mereka untuk berbicara apa yang sudah
terjadi sangat jarang ditemukan. Korban juga tak bisa disalahkan ketika mereka
tidak mau menceritakan pengalamannya. Pada kasus perkosaan perempuan Tionghoa
1998, Kejaksaan Agung menolak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM, di
sisi lain pemerintah meragukan kejadian tersebut. Ini tindakan salah—tidak ada
kepastian hukum dan bantahan pemerintah bahwa ia hanya peristiwa kecil.”
Peneliti Islam di Indonesia, Noor Huda Ismail,
berkomentar dalam esainya: “Sentimen anti China sudah menyebar dan ada dua
penyebabnya: China menunjukkan tingkat ekonomi yang lebih baik, karena mereka
pekerja keras, cerdas dan saling mendukung satu sama lain. Sementara penduduk
lokal lebih konsumtif dan kurang kreatif. Penyebab kedua adalah guru agama
tidak mengerti tentang sejarah: bahwa Islam dibawa ke Indonesia oleh pedagang
China!”
KENYATAANNYA,
hampir tidak ada orang Tionghoa yang tinggal lagi di Indonesia. Jika seseorang
berbahasa China, membawa budaya China, menceritakan dongeng China, makanan
China, dan memainankan permainan anak-anak China. Setelah 1965, segala hal yang
berhubungan dengan China dilarang. Film China dan naga dilarang, kue dan mainan,
bahasa dan aksara China dilarang. Alasannya hanya karena China adalah negara
komunis. Komunisme harus dilarang, berdasarkan perintah Washington, London dan
Canberra. Di lokal, komunisme disamakan dengan ateis. Ateis juga dianggap
ilegal. Nama China juga dilarang. Jadi Ling diubah menjadi Linda dan Kwie
diubah menjadi Gunawan.
Pengacara pembela hak asasi di Indonesia,
Ester Yusuf, berbicara tentang situasi ini di film tentang pembantian 1965 di
Indonesia, “Terlena—Breaking of A
Nation”: “Kenapa isu ini jarang diungkap? Karena diskriminasi ras di
Indonesia sangat besar. Orang berbicara tentang kejahatan hak asasi atau isu
kemanusiaan, tapi tak ada yang fokus pada isu minoritas Tionghoa. Meski ada
pelanggaran hak asasi yang serius pada etnis Tionghoa, ia tak biasa diungkap.
Dari 1740 hingga 1998 ada 12 kerusuhan ras dan tak satupun diusut tuntas. Saya
kira semua ini punya sejarah panjang. Selama ratusan tahun etnis Tionghoa
menyadari bahwa mereka tak punya perlindungan hukum. Bermula dari 1740 dan ia
terus berulang. Tahun 1740 dilakukan oleh pemerintah kolonial dan etnis lain
yang tak suka dengan etnis Tionghoa. Ini menjadi pola dan tak ada solusinya.
Etnis Tionghoa tak pernah mendapat perlindungan hukum.”
Penulis China-Indonesia, Yaya Sung,
menjelaskannya lebih detail dalam tulisannya Jalan Kemenangan: “Inventarisasi
dibuat organisasi anti diskriminasi Solidaritas Nusa Bangsa (SNB),
menerbitkan Dua Tahun Solidaritas Nusa Bangsa Melawan Rasialisme (Jakarta: SNB,
2000), memperlihatkan 62 peraturan hukum dari masa kolonial hingga rezim
Suharto (inventarisasi hingga sampai 1988), secara eksplisit dan implisit
mendiskriminasi etnis Tionghoa. Dari 62 peraturan, 42 ditetapkan pada Rezim
Orde Baru. Sebanyak 8 peraturan dari zaman kolonial, 12 dari Rezim Sukarno dan
3 dari MPRS. Jelaslah di bawah Suharto, diskriminasi sangat mencolok dan
mengintimidasi etnis Tionghoa.”
Rasialisme sudah mengakar di Indonesia. Bahkan
sebelum 1965, penulis terkenal se-Asia Tenggara, Pramoedya Ananta Toer,
dipenjara selama setahun, karena memprotes perlakuan diskriminasi kepada
orang-orang Tionghoa. Pram bukan orang Tionghoa. Tak hanya Tionghoa yang
menderita di Indonesia. Kejadian lebih mengerikan dilakukan Jerman saat perang
Nazi. Indonesia telah dirugikan, 40 persen populasi Timor-Timur telah dibunuh
dan tidak ada yang peduli. Pembantaian massal terjadi di Papua, sementara
kekayaan alamnya terus dikeruk. Tempat dimana terjadi pertumbuhan ekonomi, tapi
bukan dari investasi besar, namun dari penjarahan di pulau-pulau berpotensi,
dilakukan bersama di satu bangsa yang tidak bahagia, tanpa bisa memisahkan
diri.
INDONESIA merupakan satu dari lima negara di
muka bumi, di mana saya tidak berani berjalan sendiri di jalanan. Saya berusaha
menghindari olok-olok melecehkan, menunjuk jari secara agresif dan berteriak
‘bule’ (albino, berkulit terang). Empat negara lain (saya sudah bekerja di
total 150 negara dan semua benua) merupakan negara perang dan terjadi
pembantaian massal DR Congo, Rwanda, Uganda, dan (hanya di daerah kumuh) Kenya.
Namun yang paling memperihatinkan dialami orang asing berkulit gelap dari
Afrika. Saya berbicara dengan mantan anggota parlemen Kenya dan anggota PBB
Ethiopia. Keduanya mengunjungi Indonesia untuk menghadiri beberapa pertemuan
selama beberapa hari.
“Kamu tahu monyet?” tanya teman dari Afrika.
“Monkey,” jawab saya.
“Kenapa?”
“Kata ini sudah biasa saya dengar di
Indonesia.”
“Kamu ke kebun binatang?” kata saya antusias.
“Tidak,” ia melihat ke bawah. “Saya hanya
berjalan di jalan raya.”
‘Bule’ bisa pergi, dan itu sudah terjadi.
Bandingkan angka pendatang di pusat perbelanjaan Indonesia (arisan ditinggalkan
dan tempat publik diprivatisasi), begitu juga di Bangkok, Hanoi atau Kuala
Lumpur.
Melihat kebudayaannya, bahasa, dan
identitasnya, mereka dipaksa menyandang nama Indonesia, bertingkah laku seperti
Indonesia, berpikir seperti Indonesia, mereka merasa terhina, malu dan dilecehkan.
Suharto, militernya beserta kelompok agamanya punya rencana licik: mereka
membunuh minoritas Tionghoa, memperkosa istri dan anak-anaknya, menimbulkan
teror dimana mereka tidak bisa bergerak bebas, dan mereka merekrut beberapa
pebisnis Tionghoa untuk menjadi kapten ekonomi. Mereka tahu setelah terjadi
pertumpahan darah, orang-orang Tionghoa tidak akan berani memberontak. Mereka
hanya bisa berbisik di belakang.
Indonesia punya filosofi dan moral jahat.
Pelaku kejahatan, pembunuh, penyiksa, dan pemerkosa bisa bebas dan bangga
dengan perbuatannya. Korban penganiayaan, perkosaan dan pelecehan merasa malu,
kotor. Saya punya teman. Dia punya anak. Dia keturunan Tionghoa. Suatu kali dia
bercerita bahwa dia diperkosa dan anaknya merupakan hasil perbuatan memalukan
itu.
Teman yang lain merupakan korban pelecehan
semasa kanak-kanak. Dia diserang di rumahnya oleh dua anak muda tetangganya,
laki-laki yang tidak suka dengan keturunan Tionghoa. Mereka melakukan pelecehan
seksual selama berjam-jam. “Saya merasa sangat malu,” katanya. “Dan ketika
keluar, mereka masih melakukan hal yang sama…” “Keluar?” saya tidak mengerti. “Orang-orang
itu ditahan, dituntut dan dipenjara?” Ternyata tidak, mereka bebas dan masih
melecehkannya. Dia tidak menceritakannya pada siapapun, termasuk orang tuanya.
Tidak terjadi sesuatu pun pada pelaku pelecehan tersebut.
“KINI kita
sampai di cerita ketiga,” kata Anna.
Seseorang bukan nama sebenarnya yang akan
menceritakan kisahnya adalah Sisca Gunawan, 24 tahun, kini asisten manajer di
sebuah hotel besar di Surabaya.
Saya di sana dan melihat sendiri kejadiannya,
karena kami berjalan bersama. Ketika kami tiba di ujung
jalan, berdiri dan menunggu mobil, tiba-tiba tiga orang dengan dua sepeda
mendekati kami. Sisca dan saya spontan menjarak dari mereka,
tapi mereka tetap mendekati kami. Dan tiba-tiba salah satu dari mereka memegang
wilayah pribadi Sisca. Sisca menolaknya namun laki-laki itu masih melakukan apa
yang diinginkannya. Lelaki satunya tertawa, seolah mereka bekerjasama dengan
baik. Yang satunya melihat kembali ke arah kami dan berteriak, “Pelayanan Anda
sangat baik!” Hal terburuk yang selalu diingat Sisca adalah
ekspresi wajah mereka, ejekan mereka dan tertawa puas.
Dan lagi, sekolah hanya bisa mengatakan bahwa
kami harus lebih berhati-hati. Berjalan berkelompok, memakai seragam longgar,
dan berjalan ketika orang sudah ramai. Namun hal yang sama masih terus terjadi.
Jadi kemana pun kami, kapanpun, murid-murid ‘mendapatkan
gilirannya’. Perlahan-lahan kami sudah terbiasa. Seolah-olah kejadian ini pasti
dialami oleh semua orang. Ketika kami mendengar kejadian
yang lain, kami tidak akan membantu tapi hanya berpikir, “Oh, itu sudah diduga
kok, seolah itu sudah menjadi bagian dari proses pendidikan di SMA.” Tak ada seorang pun yang membela kami atau setidaknya menjelaskan
itu bukan kesalahan kami, tak ada yang salah menjadi China dan itu kejadian
yang mengerikan.
PADA UMUMNYA,
iklim politik tidak pernah berpihak pada perempuan Indonesia, apalagi
minoritas. Nursyahbani Katjasungkana menjelaskan: “Dalam budaya dan agama kami,
perempuan harus patuh pada laki-laki. Hukum pernikahan mengharuskan laki-laki
menjadi pencari nafkah. Kami mencoba untuk merubahnya, namun sangat sulit dan
semuanya bergerak sangat lambat. Dan tak hanya di dalam rumah perempuan
menerima pelecehan. Saya pernah melihat di gedung DPR, bagaimana seorang rekan
mengejek anggota parlemen perempuan. Satu dari rekan saya—dia cantik dan
single, pengacara dari Lampung—dengan terang-terangan dilecehkan oleh mereka.
Mereka mengatakan: “Oh, saya minta maaf. Saya tak bisa membawanya karena saya
sudah punya empat isteri.”
Eva Kusuma Sundari, anggota parlemen dari
partai PDIP sangat khawatir dengan masa depan kaum perempuan. Dia mengatakan
pada saya di tahun 2011: “Ketakutan merajalela di sekitar kami, kaum perempuan.
Mengacu pada komisi perlindungan hak perempuan, setidaknya ada 96 peraturan
lokal yang dibuat politisi lokal. Ini peraturan Islam, yang sangat
mendiskriminasi kaum perempuan. Itu menjadi ancaman. Dan masih ada hingga
kini.”
SATU puisi
yang ditulis oleh Sulami, mantan Sekretaris Gerwani:
Ini hanya bagian dari cerita
Hanya salah satu bagian
Namun
Cerita ini datang dari
Sesuatu yang mengerikan seperti laut yang tak
terbatas
Orang-orang malang disiksa
Siapa yang harus menanggung
Pengorbanan tiada akhir
Itulah yang saya tulis kini
Bagaimana saya tahan
Anak-anak manusia
Ratusan ribu orang disiksa, meninggal
Ratusan ribu dikurung
Terdampar di pulau terasing
Bergumul di tengah hutan lebat
Terancam oleh piton
Ayah ibu meninggal
Ayah ibu dikurung
Anak-anak hidup sendiri
Anak perempuan diperkosa
Kelahiran yang tak diinginkan
Menggeram anak-anak dalam kutukan
Dikeluarkan dari sekolah!
Bajingan!
Anna tidak tahu puisi ini. Dia mulai
mempelajari sejarah hidupnya, negaranya, dunianya. Hingga kini, dia tak
menyangka setiap bentuk penghinaan yang dihadapinya dan temannya, setiap
kejahatan, akan menjadi semakin besar, dan sangat menyeramkan. Hal yang sangat
memalukan, kotor, akan menjadi bagian dari masa lalu dan masa kini negaranya.
Itu akan menundukkannya, membuatnya malu dan menjadi penurut, seperti budak
diam, pasif dan hanya menerima.
Anna menolak. Mayoritas perempuan Indonesia
tidak berani. Negara tak akan pulih dari perkosaan mengerikan 1965, yang mulai
mereda namun tidak akan pernah benar-benar tuntas. Dengan berbagai cara, ia
akan terus berlanjut hingga kini. Ini perkosaan tersembunyi dan disahkan.
Peristiwa yang sangat berbelit. Di Indonesia, selama beberapa dekade, merampok
dianggap baik, berbohong menjadi dogma, feudalisme dinamakan demokrasi,
ketakutan dicampur dengan cinta dan perhatian. Selama lebih 50 tahun, anak-anak
perempuan Indonesia, Tionghoa dan ras lainnya, seperti berjalan di es tipis,
aneh untuk negara tropis. Ia masih rapuh, tidak menentu dan tidak terlindungi.
*Novelis,
pembuat film dan jurnalis investigasi. Dia meliput perang dan konflik di
lusinan negara. Dia mengkritisi novel revolusioner politik Point of No Return
dan sekarang sudah diedit dan tersedia. Oceania
adalah bukunya tentang imperialisme Barat di Pasifik Selatan. Buku
provokatifnya tentang pemerintahan Suharto dan model fundamentalis bernama
Indonesia—The Archipelago of Fear
(Pluto). Dia membuat film dokumenter Rwanda Gambit tentang sejarah Rwanda dan
penjarahan DR Congo. Setelah tinggal selama beberapa tahun di Amerika Latin dan
Oceania, Vltchek kini tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Afrika.
1 komentar:
Apa yang dia katakan benar-benar langsung ke pokok permasalahan dan pastinya layak untuk kena dua jam macet yang parah untuk bertemu dengannya:
LukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia
Posting Komentar