Suatu hal yang tidak biasa dan memberikan
harapan sedang terjadi di Indonesia. Setelah musim dingin yang panjang di
bidang intelektualitas, kita baru saja melihat tunas hijau keluar menembus
salju (kalau metafora ini dapat digunakan di sebuah negara tropis). Sebuah
penerbit progresif Indonesia yang baru - Badak Merah (‘Red Rhino’) -
meluncurkan judul pertamanya di bidang politik, 'Indonesia: Untaian
Ketakutan di Nusantara' yang merupakan terjemahan dari buku karya Andre
Vltchek ‘Indonesia: Archipelago of Fear’. Buku ini adalah kritik pedas
terhadap negara Indonesia pasca-1965, dimana baik Andre Vltchek maupun Naomi
Klein percaya bahwa hal ini adalah sebuah percobaan pihak Barat tentang
perilaku manusia, yang kemudian digandakan di banyak negara lain di dunia.
Penulis dan penerbit dari Indonesia, Rossie Indira, mewawancarai Vltchek untuk
CounterPunch:
RI:
Apa pendapat Anda tentang situasi sekarang di Indonesia ? Bagaimana Anda
membandingkan situasi sekarang dengan ketika Anda memproduksi dan menyutradarai
film dokumenter Anda 'Terlena - Breaking of a Nation' ?
AV: Situasi sekarang jauh lebih
buruk dari 10 tahun yang lalu. Pada waktu itu kita masih punya harapan.
Pemimpin Muslim progresif Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masih hidup, begitu pula
Pramoedya Ananta Toer. Pak Wahid, mantan Presiden Indonesia, adalah seorang
Sosialis di dalam hatinya. Dia digulingkan oleh suatu kudeta yudisial yang
dilancarkan oleh para elite dan militer Indonesia, walaupun pada waktu itu
banyak orang Indonesia percaya bahwa ia akan kembali berkuasa.
Di masa itu, masih ada beberapa kelompok aktivis yang masih murni dan belum
‘terjual’, yang bekerja keras untuk mewujudkan Indonesia yang baru. Orang-orang
itu, setidaknya kebanyakan dari mereka, mempunyai obsesi menemukan cara baru
untuk mengubah negeri mereka ini.
Sekarang, pemerintahan dengan kediktatoran atau kita sebut saja ‘rezim
Indonesia’, sudah sepenuhnya mengkonsolidasikan kekuatan mereka...Coba Anda
lihat, pihak Barat mengatakan kepada bangsa Indonesia, tentu saja secara tidak
langsung, bahwa negara ini bisa disebut negara 'demokrasi' kalau memiliki
beberapa atau banyak partai politik, dan menyelenggarakan Pemilu dari waktu ke
waktu. Tapi semua ini omong kosong belaka. Negara bisa disebut negara demokrasi
ketika rakyatnya memberikan suara mereka dan suara mereka tersebut benar-benar
dapat mengubah arah kemana bangsa mereka akan dibawa: seperti yang terjadi di
Venezuela. 'Kekuatan rakyat' yang nyata... Adanya banyak partai politik dan
memasukkan potongan-potongan kertas suara ke dalam kotak tidak memberikan
jaminan apapun! Ada banyak partai di Indonesia tetapi semuanya pro-bisnis dan
pro-elit, dan semua kandidat partai-partai itu, termasuk Jokowi, adalah mereka
yang sudah terlebih dahulu dipilih dan disetujui oleh rezim. Jadi tidak peduli
berapa banyak orang yang memberikan suara, tidak akan ada perubahan apapun.
Sebenarnya, memberikan suara di negara-negara seperti Indonesia termasuk tidak
patriotik karena hanya memberikan legitimasi saja kepada rezim yang ada, yang
hanya melayani kepentingan politik dan ekonomi asing, serta para elit yang
sepenuhnya sudah melacurkan diri.
Tidak dapat disangkal bahwa negara Indonesia kini adalah sebuah negara yang
sudah hancur. Kehancurannya sudah mencapai tingkat negara-negara Afrika sub -
Sahara (Saya bekerja di Afrika, jadi saya dapat dengan mudah membandingkannya).
Memang ada pusat-pusat perbelanjaan dan hotel-hotel mewah di beberapa kotanya,
tetapi selain itu bisa dikatakan sebuah mimpi yang benar-benar buruk, dengan
tidak adanya layanan dasar atau layanan yang sama sekali tidak memadai.
Bahkan Rwanda punya jalan-jalan yang jauh lebih baik dari Indonesia. Bahkan
Zimbabwe punya sekolah umum yang jauh lebih baik. Bahkan Kenya punya jaringan
telepon selular dan internet yang lebih handal. Bahkan Botswana punya rumah
sakit umum yang lebih baik.
Rezim sudah berbohong tentang berbagai hal, termasuk berapa jumlah penduduk
negara ini, juga tentang jumlah penduduk miskin (yang kenyataannya sebagian
besar dari jumlah penduduknya). Pendidikan hampir tidak ada yang layak. Yang
disebut sebagai sistem pendidikan di sini hanya untuk mencuci otak, dan untuk
mempertahankan status quo. Dan memang demikian yang terlihat: negara dengan
jumlah penduduk lebih dari 300 juta (angka sebenarnya) tidak punya satupun
ilmuwan atau pemikir besar, kontras dengan negara seperti Nigeria yang punya
banyak ilmuwan dan pemikir besar.
Dan benar-benar tidak ada kelompok oposisi.
Tentu saja negara yang gagal seperti ini sepenuhnya didukung oleh akademisi dan
media massa Barat, karena negara seperti ini mau melakukan apapun yang
diperintahkan padanya: menjadi negara yang amat besar tapi otaknya sudah dicuci
habis, yang sekarang menjarah dan mengekspor kekayaan alamnya, sementara
rakyatnya tidak sadar bahwa saat ini rakyat di berbagai bagian dunia lain
berjuang untuk benar-benar merdeka dari tirani Barat, dan berjuang untuk
sosialisme.
RI: Dalam buku Anda ‘Archipelago of
Fear’, yang diterbitkan oleh penerbit Pluto di London, dan yang akan terbit dua
minggu lagi dalam Bahasa Indonesia dengan judul ‘Indonesia: Untaian Ketakutan
di Nusantara’: mengapa Anda menggambarkan Indonesia sebagai ‘negara kepulauan
yang penuh dengan untaian ketakutan’? Banyak orang di sini bertanya tentang hal
ini dan tampaknya mereka tidak menyadari atau tidak mau mengakui bahwa
kenyataannya seperti yang Anda gambarkan?
AV: Rakyat Indonesia hidup dalam
ketakutan yang terus menerus, hidup dalam kengerian. Memang, seringkali mereka
tidak menyadari hal ini, karena dalam pikiran mereka, ‘hidup dalam ketakutan’
ini, dianggap ‘biasa’. Perasaan ketakutan ini juga menjelaskan mengapa hampir
tidak ada perlawanan/pemberontakan, atau hampir tidak ada yang bersedia untuk
memulai pemberontakan terhadap rezim. Rakyatnya lumpuh karena rasa ketakutan
yang abstrak, yang sebenarnya berakar pada kebodohan dan rasa tidak aman.
Mereka yang benar-benar dilindungi dan dihormati di sini hanyalah mereka yang
merampok dan korup. Yang lain bisa disebut sebagai korban. Korban yang
ketakutan, frustrasi dan kurang informasi. Para pekerja takut karena mereka
tidak mendapatkan perlindungan: para petani takut, para pembantu rumah tangga
juga takut (kemudian mereka melarikan diri mencari pekerjaan bahkan sampai ke
Timur Tengah yang tentu saja bukan surga bagi perempuan), dan bahkan karyawan
perusahaan juga takut. Anak-anak takut karena orang tua mereka menganggap
mereka sebagai hak milik dan sebagian besar memang diperlakukan seperti itu.
Kaum perempuan takut karena mereka dipermalukan setiap hari dan diperlakukan
seperti obyek seksual semata, seperti budak belian. Selain itu, banyak
perempuan di sini menderita karena disunat (bahkan ada yang mengatakan bahwa
jumlahnya banyak sekali, bisa mencapai sebagian besar dari perempuan di sini),
karena pelecehan seksual, pemerkosaan (bahkan yang dilakukan keluarga sendiri),
dan sementara tingkat pelecehan seksual di sini merupakan salah satu yang
tertinggi di dunia, sebagian besar kasus yang terjadi tidak dilaporkan, karena
adanya ketakutan itu.
Di Indonesia, banyak sekali terjadi perkosaan, bahkan hal ini juga terjadi pada
saat terjadinya beberapa genosida di negara ini: yang terjadi di tahun
1965-1966, di Timor Timur dan sekarang di Papua. Perempuan-perempuan yang ada
dalam tahanan polisi banyak yang diperkosa.
Banyak perempuan yang karena begitu takutnya pada pandangan masyarakat dan
keluarganya, jika mereka hamil di luar nikah, mereka lebih suka meninggalkan
anak-anak mereka (meninggalkan mereka di selokan) daripada menghadapi
kritikan masyarakat. Presentase anak yang ditinggalkan di Indonesia adalah
salah satu yang tertinggi di dunia, tapi sekali lagi, sebagian besar hal ini
tidak dilaporkan.
Rakyat Indonesia takut diserang, dihina, dirampok atau diperkosa. Sekali lagi,
perasaan ini ada karena mereka tidak merasa dilindungi. Polisi dan bahkan
sistem hukum di negara ini korup dan/atau hanya melindungi mereka yang kaya
saja. Korban tidak yakin ada keadilan bagi mereka. Bagaimana mereka tidak takut
di negara yang sistem hukumnya hampir tidak bekerja?
Di negeri ini, orang takut kelihatan ‘berbeda’. Kalau ada orang yang terlihat
berbeda dengan mayoritas penduduk, maka akan ada hinaan yang bersifat rasis
untuk orang tersebut. Indonesia adalah salah satu negara paling rasis di bumi
ini, dan hal ini telah terbukti dengan adanya beberapa genosida yang terjadi
disini. Tetapi tetap orang-orang tidak mengerti tentang apa arti rasisme yang
sebenarnya. Dan sama sekali tidak ada otokritik.
Rakyat takut jatuh sakit karena sistem kesehatan di Indonesia adalah salah satu
sistem yang paling tidak punya belas kasihan di dunia ini, sistem yang
benar-benar bergantung pada kekuatan pasar. Perawatan kesehatan di sini
benar-benar hanya ‘bisnis’, sama seperti berbagai hal lain yang telah menjadi
‘bisnis’. Semua ini sangat menakutkan dan mengerikan.
Para korban pembantaian 1965 juga merasa ketakutan! Alih-alih menuntut keadilan
dan menjebloskan mereka yang bertanggung jawab atas genosida ke dalam penjara,
mereka benar-benar ketakutan! Mereka takut karena mereka tidak berdaya. Anda
bisa melihatnya dalam film ‘Jagal’ (Act of Killing)! Tapi sementara
seluruh dunia ngeri menonton bagaimana para pembunuh massal itu dihormati dan
dikagumi, banyak orang Indonesia yang melihat semua itu sebagai hal yang biasa.
Ketakutanlah yang dirasakan ketika seseorang melihat seluruh kepulauan ini -
hancur, habis dijarah, dirampok, dan amat tercemar. Sumatera sudah hilang,
Kalimantan sudah hilang, Papua...Jawa.. Bangka...Bali sudah menjadi pulau bebas
bea yang kitschy, penuh sesak dan tercemar.
Mungkin banyak orang tidak mampu mendefinisikan ketakutan mereka. Tapi percaya
lah, mereka takut, dan hal ini terlihat dari perilaku mereka. Banyak sekali
orang yang frustrasi dan marah di sini.
Banyak yang mengatakan kalau hidup mereka menyenangkan, tapi kenyataannya
sebagian besar hidup sengsara. Banyak yang mengatakan bahwa mereka tidak
miskin, bahkan mereka yang sumber air bersihnya dari selokan dan tinggal di
gubuk yang terbuat dari karton. Mereka bilang kalau mereka tidak takut, karena
kengerian yang mereka alami setiap hari tidak boleh didefinisikan sebagai
ketakutan di sini. Jika mereka bilang takut, maka mereka akan diejek oleh
keluarga, pejabat pemerintah, dan media massa.
Dan selain ketakutan-ketakutan di atas, masyarakat Indonesia takut kalau mereka
‘berbeda’. Berbeda di negara ini punya konsekuensi yang brutal. Orang yang
berbeda dicemoohkan, dikucilkan, diperkosa, disiksa, dan dibunuh. Perbedaan
tidak diperbolehkan. Menjadi seorang Komunis dilarang. Menjadi gay dilarang.
Menjadi seorang ateis dilarang. Menjadi seorang yang percaya Taoisme dilarang.
Menjadi satu dari seribu dilarang.
Hal-hal di atas lah yang menjadikan tempat ini salah satu yang paling tidak
kreatif dan paling monolitik di bumi. Banyak orang yang bersembunyi di balik
agama mereka, bahkan sudah banyak pula yang sudah benar-benar gila-gilaan.
Mereka juga bersembunyi di dalam klan keluarga mereka. Bagi kebanyakan orang,
dalam kelompok orang, kurangnya pengetahuan dan ketidakmampuan berpikir bukan
dianggap sebagai kebodohan, bahkan bisa dianggap sebagai kekuatan.
Indonesia adalah suatu tempat yang paling menakutkan dan mengerikan di bumi
ini.
RI: Kami baru saja melaksanakan
pemilu legislatif pada tanggal 9 April 2014 yang lalu. Yang mengkhawatirkan
adalah, seperti yang Anda sebutkan tadi, kita semua ini sudah dicuci otaknya
untuk berpikir bahwa karena kami sudah melaksanakan pemilu dengan banyak
partai, maka negara ini sudah bisa disebut negara demokrasi. Para wakil rakyat
di DPR semua lupa akan janji-janji mereka setelah mereka terpilih atau terpilih
kembali, dan jelas sekali terlihat bahwa mereka di sana hanya untuk kepentingan
mereka sendiri. Sama juga dengan pemilihan Presiden: setelah terpilih, Presiden
akan ‘lupa’ dengan semua tentang janjinya, dan lupa dengan tugasnya untuk
melindungi rakyat. Jadi apa sistem terbaik untuk negara seperti Indonesia?
Apakah sila keempat Pancasila - Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan - sudah tepat?
AV: Menurut pendapat saya, Indonesia
harus terlebih dahulu menganut sistem sosialis, sebelum kita bisa bicara
tentang ‘demokrasi’.
Karena pertama-tama, masyarakat Indonesia harus terdidik dan tahu apa yang
mereka inginkan dan tahu segala sesuatu tentang negara mereka. Kepentingan
rakyat harus didahulukan! Seluruh lapisan masyarakat harus bekerja siang dan
malam untuk meningkatkan taraf hidup mayoritas penduduknya. Pada dasarnya, kita
perlu melakukan kebalikan dari Indonesia sekarang ini, yaitu: mayoritas penduduk
melayani kepentingan bisnis para gangster lokal dan tuan-tuan asingnya.
Tentu saja harus ada dorongan yang kuat untuk mendidik rakyat. Apa yang ada
sekarang ini, setelah kudeta militer di tahun1965 disponsori Amerika Serikat
dan pertumpahan darah sesudahnya, adalah budaya Indonesia yang telah
dihancurkan dan digantikan dengan budaya pop lokal dan terutama budaya pop
Amerika. Budaya berpikir sangat tidak dianjurkan. Pendidikan yang layak
benar-benar dikhususkan untuk kaum elit saja, dan mereka yang telah
berpendidikan menggunakan pengetahuan mereka untuk mengambil lebih banyak dari
negara mereka, dan bukan untuk memperbaikinya secara keseluruhan.
Oleh karenanya, masyarakat Indonesia tidak tahu siapa yang mereka pilih dalam
pemilihan umum, atau sistem politik apa yang mereka representasikan. Sangat
mudah untuk menipu rakyat yang tidak berpendidikan.
Tentang para wakil rakyat: baiklah...tentu saja diperlukan! Tapi para wakil
rakyat ini (laki-laki dan perempuan) harus sangat berdedikasi, jujur, dan pemberani.
Mereka harus siap untuk hidup atau mati bagi bangsanya: menempatkan kepentingan
pribadi, bahkan kepentingan keluarga mereka, jauh di belakang kepentingan
negeri ini!
Untuk menghasilkan wakil-wakil rakyat seperti ini memerlukan waktu puluhan
tahun, dan mereka hanya dapat tumbuh dalam sistem politik yang berbeda secara
fundamental, dan dalam budaya yang sama sekali baru. Yang sekarang memerintah
Indonesia secara moral sudah mati, sudah korup. Yang memerintah negara ini
sekarang bahkan tidak bisa dikatakan sistem budaya atau politik: mereka adalah
penyakit.
Apa yang terjadi sekarang, beberapa dekade setelah tahun 1965, adalah rakyat
Indonesia yang tidak tahu adanya sistem lain kecuali sistem mereka sendiri, dan
mereka pun tidak tahu apa-apa tentang demokrasi yang sebenarnya.
Jika pihak Amerika Serikat dan negara Barat lainnya tidak memperkosa negara ini
pada tahun 1965, maka sistem pemerintahan alaminya pasti mengikuti apa yang
diciptakan oleh bapak bangsa Soekarno, yang merupakan seorang nasionalis (dan
internasionalis) yang pada waktu itu beraliansi erat dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI), yang pada waktu itu merupakan partai komunis terbesar ketiga
di dunia, setelah RRC dan Uni Soviet. Oleh karena itu, bagian dari -
nasionalisme, internasionalisme dan ‘komunisme demokrasi’ - akan menjadi
perkembangan yang paling alami dan normal untuk Indonesia, dari segi budaya dan
mentalitasnya. Dan hanya teror pihak Barat dan elit Indonesia yang korup, serta
kader agama yang terlalu bersemangat (dari semua agama, bukan hanya Islam),
membelokkan proses tersebut dengan cara membunuh, memperkosa dan memenjarakan
jutaan orang, dengan mengunci negara ini dalam untaian ketakutan yang
terus-menerus, dalam kengerian, dan secara moral menyerah.
Semua hal di atas harus dijelaskan kepada rakyat Indonesia: bagaimana negara
mereka sebelum kudeta, dan apa sebetulnya yang terjadi dalam kudeta mengerikan
tersebut. Kudeta itu tidak 'menyelamatkan Indonesia dari Komunisme'. Kudeta itu
hanya mengubah negara yang nasionalis dan progresif kembali menjadi negara
jajahan Barat. 'Kolonialisme' dan 'demokrasi' adalah dua istilah yang
kontradiktif. Agar bisa 'demokratis', maka suatu negara harus bebas. Saat ini,
rakyat Indonesia masih menjadi budak belian dari: pihak Barat dan elit lokal mereka.
Apa yang terjadi sekarang bukanlah ‘the rule of the people’ atau rakyat
yang mengatur atau memerintah (demokrasi), melainkan kepala rumah tangga lokal
yang serakah dan majikan asing mereka lah yang mengatur atau memerintah.
RI: Anda juga menyebutkan sistem
pendidikan. Sistem pendidikan apa yang cocok untuk diterapkan disini? Kami tahu
bahwa demokrasi tidak akan tercapai jika rakyat kurang terdidik, dan untuk
mendidik mereka, negara perlu menyediakan dana yang besar; tentu harus
disediakan berapapun perlunya. Namun menurut Mahkamah Konstitusi, “partisipasi
publik yang adil dalam pembiayaan pendidikan” tidak bertentangan dengan
konstitusi. MK mengatakan bahwa untuk mencapai kualitas yang diinginkan, setiap
warga negara juga harus bertanggung jawab untuk mendidik dirinya sendiri ke
tingkat yang ingin dicapainya. Ini berarti bahwa walaupun negara memiliki
tanggung jawab yang utama, tetapi warga negara tetap harus mengeluarkan dana
juga. Bukankah ini adalah bagian dari neo-liberalisme?
AV: Benar. Tidak akan ada demokrasi
di negara yang rakyatnya tidak berpendidikan dan tidak mengerti posisi mereka
di masyarakat dan di dunia. Rakyat bisa ‘berkuasa’ hanya jika mereka bisa
membuat 'keputusan yang cerdas'. Demokrasi berarti 'rakyat yang berkuasa',
tetapi apakah rakyat benar-benar berkuasa jika yang mereka bisa lakukan
hanyalah menghitung berapa banyak uang yang mereka peroleh untuk memberikan
suara mereka dalam pemilu, atau jika mereka memilih kandidat yang hanya akan
mempertahankan status quo? Dan semua kandidat di Indonesia adalah mereka
yang sudah dipilih dan disetujui oleh rezim, terutama mereka yang terlihat
sedikit ‘berbeda’, seperti misalnya Jokowi.
Tentu saja setiap warga negara harus mencoba untuk mendidik dirinya sendiri,
tetapi hanya setelah mereka mendapatkan dasar-dasar pengetahuan penting
terlebih dahulu. Pendidikan formal harus selalu gratis; mulai dari TK sampai
tingkat Doktoral. Pendidikan gratis di banyak negara Eropa, juga di beberapa
negara Amerika Latin (termasuk Kuba, Meksiko dan Argentina). China mulai lagi
dengan pendidikan gratis, sama seperti perawatan kesehatan universal. Di negara
seperti Chile, sekarang ini rakyat berdemonstrasi di jalanan, berjuang agar
rakyat mendapatkan pendidikan gratis, dan kelihatannya mereka berhasil!
Selain itu, budaya harus terus-menerus ada di barisan depan. Seperti halnya di
Amerika Latin, budaya harus bisa mendidik rakyat: harus ada ribuan teater
besar, bioskop yang memutar film seni, pemerintahnya memberikan jutaan buku
gratis, banyak acara baca puisi bagi publik, banyak kuliah umum yang gratis,
berbagai toko buku yang buka sampai pagi, pameran yang menggambarkan kebutuhan
dan penderitaan masyarakat, serta konser musik yang musiknya melibatkan kondisi
rakyat kebanyakan.
Cobalah lihat kota-kota di Indonesia: Jakarta, Surabaya, Medan...apakah ada
kota-kota lain di dunia dengan jumlah penduduk sebesar kota-kota ini namun
benar-benar kronis tanpa/kurang budaya, dan kurangnya lembaga-lembaga yang
seharusnya membuat orang berpikir? Misalnya seperti teater, pusat arsip,
perpustakaan besar yang lengkap, ruang konser, bioskop seni, toko buku
progresif...Hampir tidak ada apapun di sini...
Bagaimana cara rakyat mendidik diri mereka sendiri di Indonesia? Apakah hal ini
mungkin kalau mereka hanya mengkonsumsi segala sesuatu yang bersifat pop,
menonton saluran televisi dengan program-program sampah, atau hanya berbaur
dengan kaum ‘mayoritas yang buta huruf secara fungsional’ yang menyembunyikan
kebodohan mereka di masyarakat yang berpikiran sama?
RI: Anda merekomendasikan bahwa
Indonesia seharusnya menganut salah satu bentuk sistem sosialis, apakah Anda
punya saran tentang bagaimana caranya bangsa ini bisa menuju ke arah sana?
Banyak negara di dunia ini berjuang untuk hal ini, seperti misalnya yang sedang
terjadi di sebagian besar negara-negara Amerika Latin, mereka berhasil dan
mengubah sistem negara mereka menjadi negara sosialis. Tapi tampaknya sebagian
besar orang Indonesia bahkan tidak mengikuti apa yang terjadi disana dan tidak
mengerti magnitudanya. Sebagian besar bahkan tampak acuh tak acuh. Bagaimana
kita mengajarkan pada rakyat Indonesia bahwa mereka membutuhkan perubahan
fundamental atas sistem politik, ekonomi dan budaya untuk dapat keluar dari
situasi sekarang ini?
AV: Semua itu hanya dapat dilakukan
dengan pendidikan dan dengan keterbukaan. Semua orang yang bisa, harus
berpartisipasi dalam 'proyek' ini. Tidak hanya pendidik profesional dan guru
(seringkali bahkan mereka ini sudah diindoktrinasi dan dicuci otaknya), tetapi
terutama seniman, orang-orang kreatif, dan pemikir. Harus ada lebih banyak
inisiatif, terutama dari pers yang independen! Apa yang sudah dilakukan oleh
penerbit independen progresif di Indonesia? Tidak ada - mereka tidak pernah
berhasil! Memalukan!
Rakyat Indonesia yang marah dengan kondisi negara ini - pengacara, dokter,
insinyur, ilmuwan - harus mau menyuarakan pendapatnya; bahkan harus
menyuarakannya dengan keras. Dan tentu saja suara para petani dan pekerja
tentang kisah-kisah mereka yang mengerikan harus didengar dan dibaca dari
halaman-halaman majalah independen dan blog, dari YouTube dan dari film-film
independen.
Sudah cukup kalian dicekoki dengan pop! Pop adalah hiburan yang berkualitas
rendah dan egosentris yang ditujukan pada massa yang sudah mati otaknya dan
diindoktrinasi. Pihak Barat telah menyebarluaskan aliran ini, melalui
Kerajaannya, hingga rakyat di negara-negara jajahan barunya berhenti berpikir
sama sekali, dan sementara mereka sedang diperkosa, mereka akan membayangkan
bahwa mereka sebenarnya sedang bercinta! Ini adalah cara reaksioner, sayap
kanan dalam mengekspresikan realitas semu. Dan kalian harus tahu kalau hal-hal
itu benar-benar tidak keren, dan amat konservatif.
Masyarakat Indonesia harus belajar dan sadar bahwa berjuang untuk sebuah negara
yang lebih baik adalah hal yang amat baik dan memberikan inspirasi. Seperti
para lelaki, perempuan, bahkan anak-anak di Amerika Latin yang sudah paham akan
hal ini beberapa dekade yang lalu! Khususnya anak muda harus tahu: Pemberontakan
itu baik. Revolusi itu baik. Berpikir itu baik. Kemajuan itu baik. Untuk
menjadi seorang pejuang yang revolusioner atau pemberontak itu keren - sangat
keren. Jauh lebih keren daripada naik Ferrari merah atau kuning yang dibeli
dengan uang yang dicuri ayahnya dari orang miskin!
Belajar, bepergian dan membandingkan dunia, menulis puisi yang penuh emosi,
membuat karya seni revolusioner, ikut demonstrasi, meminta pertanggungjawaban
pada generasi yang lebih tua (termasuk orang tua dan kakek-nenek mereka sendiri)
atas kehancuran negara ini, dan akhirnya berjuang untuk tujuan membangun bangsa
yang adil, ramah dan indah yang disebut 'Indonesia'. Semua hal di atas jauh
lebih baik dan mulia daripada duduk nyaman di Starbucks, menatap kosong
pada smartphones yang sama seperti orang idiot, yang pada
dasarnya hanya buang-buang waktu saja...dan buang-buang waktu orang lain...dan
tidak menghasilkan apapun.
Rakyat harus terlibat. Cukup sudah bersikap nihilisme! Cukup sudah hidup
yang hampa dan mengalah! Berjuang untuk dunia yang lebih baik bukan hanya layak
dilakukan, tapi juga menyenangkan; hidup menjadi lebih bermakna dan memuaskan.
RI: Apakah menurut Anda harus ada
revolusi di Indonesia agar rakyat bisa memperoleh perawatan medis gratis
universal dan pendidikan gratis? Apakah harus melalui revolusi untuk bisa
membangun masyarakat yang lebih baik?
AV: Untuk perawatan kesehatan,
katanya pemerintah sudah punya semacam rencana, tetapi kelihatannya sih tidak
akan berjalan dengan baik, karena sistem yang dianut pemerintah tidak cocok
dengan rencana seperti itu. Rencana ini ada bukan karena adanya tekad untuk
memberikan perawatan kesehatan gratis dan universal kepada warga Indonesia
(setidaknya mirip dengan yang sudah ada di Thailand), tapi hanyalah semacam
tambalan saja untuk kondisi sekarang yang amat mengerikan, atau penutup luka
yang terbuka saja. Sekali lagi kita harus ingat bahwa kualitas perawatan
kesehatan di Indonesia masih setara dengan Kenya atau Tanzania, bukan dengan
Malaysia atau Thailand, dan bahwa sistem yang sekarang ini benar-benar korup
secara finansial dan moral, dan [tanpa revolusi] tidak akan ada sesuatu yang
bersifat 'publik', atau 'gratis'.
Ya, rakyat harus berjuang untuk mendapatkan pendidikan gratis, pelayanan
kesehatan universal serta hak-hak dasar lainnya. Tentu saja mereka harus
berjuang! Pendidikan yang gratis dan baik adalah hak mereka, tidak peduli apa
kata para penasehat 'ahli' dari Amerika Serikat.
Negara ini sudah terlalu lama diatur oleh orang-orang yang telah menjual bangsa
ini ke perusahaan dan pemerintah asing. Orang-orang ini tidak punya moral dan
belas kasihan. Jika rakyat mencoba bernegosiasi dengan mereka, maka mereka
hanya akan melakukan apa yang mereka telah lakukan selama beberapa dekade ini:
menipu dan berbohong, mencoba mengulur waktu. Mereka tidak peduli tentang
Indonesia dan rakyat Indonesia! Mereka ingin memberikan mobil Porsche dan
diploma untuk anak-anak mereka, serta kondominium mewah di Australia, Amerika
Serikat, Singapura dan Hong Kong.
Satu-satunya cara adalah untuk menyingkirkan mereka adalah dengan
mengusir mereka dari kekuasaan. Masyarakat Indonesia harus mengambil alih
kekuasaan dan mendapatkan kembali kendali atas negara mereka sendiri. Dan hal
ini tidak akan pernah diperoleh tanpa perjuangan.
Tapi hal ini mungkin untuk dilakukan, bahkan harus dilakukan! Atas nama
mayoritas rakyat Indonesia yang hidup dalam penderitaan yang mengerikan! Atas
nama bangsa yang telah kehilangan hampir segalanya. Ayo berjuang atas nama
kehidupan ratusan juta pria, wanita dan anak-anak!
Andre Vltchek adalah seorang
novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia telah meliput perang dan
konflik di berbagai negara. Buku tentang diskusinya dengan Noam Chomsky On Western
Terrorism baru saja diterbitkan oleh penerbit Pluto di
London. Novel politiknya yang kritis Point of No Return baru-baru ini
disunting dan diterbitkan kembali. Oceania adalah bukunya tentang imperialisme Barat di
Pasifik Selatan. Buku provokatifnya tentang Indonesia pasca-Suharto dan model
fundamentalis pasar “Indonesia – The Archipelago of Fear”diterbitkan
oleh Pluto Press. Dia baru saja menyelesaikan film dokumenternya ‘Rwanda
Gambit’ tentang sejarah Rwanda dan penjarahan di Kongo. Setelah tinggal selama
bertahun-tahun di Amerika Latin dan Oceania, Vltchek saat ini tinggal dan
bekerja di Asia Timur dan Afrika. Dia dapat dihubungi melalui website atau
Twitter-nya.
Rossie Indira adalah seorang
penulis, arsitek dan penerbit. Dia adalah salah satu pendiri penerbit Badak Merah. Bersama Andre
Vltchek, dia menulis ‘Exile –Pramoedya Ananta Toer in conversation with Andre Vltchek and
Rossie Indira’. Buku terbarunya 'Surat Bahasa Dari Bude Ocie'
adalah tentang perjalanannya ke negara-negara Amerika Latin. Dia adalah Manager
Produksi dan Penterjemah untuk 'Terlena - Breaking of a Nation', sebuah film
dokumenter berdurasi 90 menit tentang dampak kudeta di tahun 1965 terhadap
masyarakat Indonesia. Dia menulis untuk publikasi di dalam dan di luar
Indonesia dan dia menulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Dia dapat
dihubungi melalui website dan
twitter-nya.
Sumber:
Edisi Akhir Minggu 09-11 Mei 2014 (Judul asli: ‘Archipelago of Fear:
Indonesians Need Revolution!’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar