Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2007)
Di sore hari, ada
capung-capung selepas hujan, juga riap sejumlah kupu-kupu yang adakalanya
terbang dan adakalanya singgah di kelopak bunga. Getaran-getaran sayap mereka
yang hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkan kita tentang kegembiraan.
Mereka membentuk gerakan-gerakan yang mirip gelombang-gelombang kecil,
gelombang-gelombang yang meliuk di atas semak belukar, rumput-rumput, dan
ilalang, di saat buih-buih masih berjatuhan dan beterbangan. Seakan-akan mereka
asik bercanda dengan hembus angin dan lembab cuaca.
Sementara itu, di barisan
pohon-pohon, masih terdengar kicau burung-burung yang merasa kedinginan, dingin
yang meresap pada bulu-bulu mereka. Tentulah di saat-saat seperti itu matahari
sudah enggan menampakkan diri. Di saat-saat seperti itu, sudut-sudut langit dan
pematang-pematang sawah lebih mirip figur-figur bisu. Dalam cuaca seperti itu
sebenarnya kita tak hanya dapat memandangi capung-capung yang yang dapatlah
kita umpamakan sebagai para peri mungil, sesekali juga kupu-kupu atau belalang-belalang
yang meloncat-loncat dan yang terbang.
Dan ketika saya menulis
diari ini, saya tergoda untuk membayangkan getaran-getaran sayap-sayap mereka
yang tipis itu adalah kiasan dari kematian yang menyamar sebagai keindahan dan
kelembutan. Saya tergoda untuk mengandaikan mereka adalah maut yang
bermain-main itu sendiri. Saya akan menyebut capung-capung itu sebagai
peri-peri kecil yang tengah mencandai kematian, sosok kematian yang memang
tidak terlihat oleh mata telanjang dan hanya bisa dipahami oleh keintiman
bathin kita. Foto: Lanskap di Belakang Rumah (Kragilan, Serang, Banten 13 Juni 2018) oleh Sulaiman Djaya
Gofur dan Fadil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar