Sebagai seorang fakih, ‘ulama, dan filsuf Syi’ah
Islam, Muthahhari menemukan bahwa setelah Al-Quran, Nahjul Balaghah yang memuat
sebagian khazanah Imam Ali bin Abi Thalib as itu adalah mataair-mataair
falsafah, secara epistemologis dan ideologis, sebuah pandangan dunia Islam yang
lengkap dan komprehensif jika dikaji dan dibaca secara tekun dan benar.
Selama ini banyak orang barangkali mengenal
Muthahhari sebagai seorang penulis produktif yang menulis puluhan buku mengenai
hampir semua hal. Paling lazim sekalipun, orang akan menganggapnya sebagai
seorang ulama yang cerdas dan berwawasan luas, termasuk mengenai pemikiran-pemikiran
Barat. Tapi, karena begitu banyak dan bervariasinya tulisan Muthahhari, maka
ini menimbulkan kesan bahawa Muthahhari adalah seorang yang tak memiliki agenda
dan perspektif yang jelas dalam karier pemikirannya.
Belakangan ini,
ada yang mulai dapat menikmati karya-karyanya di bidang falsafah Islam, yang
sesungguhnya tidak sedikit dan sama sekali tak kurang penting dibanding
karya-karya popular dan karier-politiknya sebagai salah seorang pejuang,
pendiri, dan peletak dasar Republik Islam Iran. Sesungguhnya kesan seperti ini
kurang tepat. Muthahhari adalah seorang ulama-pemikir yang tahu benar tentang
apa yang dipikirkan dan diperjuangkannya. Di balik puluhan karyanya itu
sesungguhnya terdedah dan terwedarkan sebuah agenda besar, sebuah tujuan besar.
Lebih dari itu, agenda besar itu hendak dicapainya lewat suatu sistem pemikiran
yang telah direnungkannya secara matang. Tapi sebelum masuk ke dalam topik
utama pembahasan, perlu kiranya kita pahami latar-belakang intelektual
Muthahhari lewat pendidikan yang dijalaninya.
Murid terdekat Thabathaba’i dan Khomeini yang
lahir pada 2 Februari 1920 ini pertama kali belajar dari ayahnya sendiri,
Muhammad Husein Muthahhari, seorang ulama terkemuka di kota-kelahirannya,
Fariman. Pada usia dua belas tahun, Muthahhari mulai belajar ilmu-ilmu agama di
Hauzah Ilmiyeh Mashhad. Dia menunjukkan minat yang amat besar kepada falsafah
dan ilmu-ilmu rasional serta (tasawuf kefalsafahan atau metamistisime). Pertama
kali dia belajar falsafah dan ilmu-ilmu rasional di bawah bimbingan Mirza Mehdi
Syahidi Razawi. Setelah guru-pembimbingnya itu wafat, Muthahhari meninggalkan
Hauzah Mashhad dan berhijrah ke Qum untuk memperdalam ilmu di hauzah kota suci
itu. Di Qum inilah dia berkenalan dengan Allamah Thabathaba’i dan kemudian
juga, Ayatullah Ruhullah Khomeini – dua orang tokoh yang dikenal sebagai ahli
falsafah. Diriwayatkan bahawa dia sudah tertarik kepada pelajaran falsafah
bahkan sejak tahun-tahun awalnya di Qum. Dia sendiri bercerita betapa
pelajaran-pelajaran dari Ayatullah Khomeini telah meninggalkan jejak yang amat
kuat dalam hatinya. Dengan kata-katanya sendiri, pelajaran-pelajaran yang
diberikan oleh gurunya ini bahkan masih terngiang-ngiang di teliganya hingga
beberapa hari setelah ia mendengarnya untuk pertama kalinya. Dari keduanyalah,
Muthahhari memperdalam falsafah. Dia juga amat dalam dipengaruhi oleh
pelajaran-pelajaran mengenai – kumpulan wacana, pidato, surat-surat, dan
kata-kata bijak Khalifah Keempat dan Imam Pertama dari 12 Imam Ahlulbait, ‘Ali
bin Abi Thalib – yang diberikan oleh Mirza ‘Ali Aqa Syirazi Isfahani.
Dikatakannya bahawa, meski ia telah membaca buku itu sejak ia kecil, kali ini
dia merasa seperti telah menemukan suatu “dunia baru.”
Untuk lebih mengenal latar belakang
intelektual Muthahhari, kita perlu mengenal sedikit lebih jauh sumber-sumber
pengaruh atas tokoh kita tersebut di atas.
Ayatullah Ruhullah Khomeini, yang dikenal
sebagai seorang faqih dan pemimpin revolusi, sesungguhnya adalah seorang
peminat ‘irfan sejak masa mudanya. Meski sesungguhnya minat Ayatullah Khomeini
meluas hingga ke Hikmah (falsafah-mistikal) Mulla Shadra, dia sudah mulai
dikenal sebagai seorang ahli ‘irfan bahkan sejak umurnya belum lagi genap 30
tahun. Ketika memberikan pengajaran ‘irfan kepada Muthahhari itu, usianya belum
lagi lebih dari 27 tahun. Di antara salah satu karya-awalnya, yang ditulisnya
ketika berumur 26 tahun adalah komentar (syarh) atas Doa Al-Sahar dari Imam
Muhammad al-Baqir as. Tiga tahun kemudian ia menerbitkan Mishbah Al-Hidayah,
sebuah ulasan ringkas tapi mendalam tentang hakikat Nabi saw dan 12 Imam
Ahlulbait. Belum lagi usianya mencapai 40 tahun, tepatnya 37 tahun, Khomeini
muda ini menyelesaikan sebuah catatan-pinggir (hamisy atau glossarium) atas
komentar Daud Qaysari atas Fushush Al-Hikam-nya Ibn ‘Arabi dan Mishbah A-Uns-nya
Shadruddin Al-Qunawi (anak angkat dan murid Ibn ‘Arabi). Demikian, betapa
seriusnya nilai catatan-pinggir ini sehingga sebagian guru Khomeini sendiri
merasa perlu menulis ulasan atas karya muridnya ini.
Sejak saat itu, berbagai karya mengenai ‘irfan
terlahir darinya. Ketika akhirnya ia harus terlibat dalam perlawanan politik
terhadap Shah Iran dan kemudian memandu negara, dan melahirkan karya-karya
politik, tetap saja nuansa irfan tak boleh dilepaskan dari karya-karyanya itu.
Dan lebih dari sekadar penulis, ia ditegaskan oleh banyak orang yang
mengenalnya sebagai seorang ‘arif dalam kenyataan praktik hidupnya. Alhasil,
meski dikenal juga sebagai ahli falsafah, Ayatullah Khomeini adalah seorang
ahli tashawuf atau ‘irfan.”
Sementara itu, Allamah Thabathaba’i, sebelum
yang lain-lain, adalah juga guru Ayatullah Khomeini. Minatnya amat mirip dengan
muridnya itu – falsafah dan’irfan. Meski banyak berbicara tentang ‘irfan sejauh
mendorong minat tokoh-tokoh seperti Seyyed Hossein Nasr, Henry Corbin, dan
Toshihiko Izutsu untuk rajin menyambangi pengajian-pengajiannya, Thabathaba’i
dikenal dengan beberapa karya falsafah penting, termasuk Bidayah Al-Hikmah dan
Nihayah Al-Hikmah, serta Usus-e Falsafeh wa Rawisy-e Rialism (Dasar-dasar
Falsafah dan Mazhab Realisme) – yang diberi catatan kaki amat rinci oleh
Muthahhari. Belakangan dia amat dikenal dengan magnum-opus-nya di bidang tafsir
Al-Qur’an dengan karya 20 jilidnya berjudul Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Meski
berlandaskan pada penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, karyanya ini tak boleh
sama sekali lepas dari kecenderungan kefalsafahannya yang mengambil bentuk
penjelasan falsafah bagi setiap kelompok ayat yang diulasnya.
Akhirnya mengenai Nahj al-Balaghah. Selain
dikenal merupakan suatu model ketinggian kesusasteraan Arab – seperti antara
lain diungkapkan oleh Syaikh Muhammad ‘Abduh – kitab ini berisi banyak
ungkapan-ungkapan teologi, falsafah dan mistis yang amat canggih. Selain dari
hadis-hadis qudsi – yang di kalangan Syi’ah memiliki arti yang jauh lebih
penting berbanding di kalangan Sunni – dari kitab inilah (di samping
ucapan-ucapan para Imam Ahlulbait lain) Syi’ah mengali banyak dasar-dasar falsafah
dan ‘irfan. Pemantapan Nahj Al-Balaghah ke dalam sistem falsafah Islam yang
berkembang di Iran diketahui mencapai puncaknya pada aliran Hikmah Mulla
Shadra. Untuk sekadar mengetahui isinya, khususnya yang menarik minat
Muthahhari, berikut ini adalah topik-topik yang terutama dibahas kitab ini
Muthahhari dalam karyanya yang berjudul Sayr-e dar Nahul Balaghah (kembara
dalam Nahj al-Nalaghah) : Teologi dan Metafisika, Suluk (tashawuf) dan ‘Ibadah,
Kuliah-kuliah mengenai Akhlak, serta Dunia dan Keduniaan (dalam hubungannya
dengan sikap seorang ‘arif atau sufi terhadapnya).
Di atas semuanya itu, Muthahhari adalah
seorang pemikir Syi’ah yang amat percaya kepada rasionalisme dan pendekatan
falsafah. Di dalam Syar dar Nahj al-Balaghah, misalnya, Muthahhari membantah
pernyataan sebahagian pengamat yang menyatakan bahwa rasionalisme dan
kecenderungan kepada falsafah lebih merupakan kandungan ke-Persia-an berbanding
ke-Islam-an. Dia menunjukkan bahwa semuanya itu berada di jantung ajaran Islam,
sebagaimana ditunjukan oleh Al-Qur’an, hadis Nabi dan ajaran para Imam
Ahlulbait.
Selanjutnya, rasanya amat relevan jika kita coba
menerka tujuan dan agenda di balik dorongan pada diri pemikir ini dalam
sumbangannya sebagai pemikir Islam.
Pertama, bagi Muthahhari, berpikir dan
melakukan perenungan serta pemahaman intelektual adalah tujuan hidup seorang Muslim.
Hal ini kiranya mudah dipahami jika kita pelajari betapa Islam melihat tujuan
hidup sebagai makrifat Allah (pengetahuan tentang Allah). Kita dapat menduga
bahwa, bagi Muthahhari, pencerahan intelektual adalah salah satu kebahagiaan
tertinggi (lihat risalahnya yang berjudul Happiness). Inilah semacam eudemonia
Aristotelian, yang memang menjadi tujuan setiap filsuf dan pemikir, tak
terkecuali Muthahhari. Nah, untuk menjamin kesahihan hasil suatu proses
pemikiran, apalagi jika hal itu menyangkut konsep tentang Tuhan yang begitu
segera bagi kebahagiaan manusia sekaligus begitu mendalam dan rumit, maka suatu
sistem berpikir yang benar – yang, sepert akan kita lihat di bawah ini, harus
bersifat rasional dan falsafah— merupakan sesuatu yang mutlak.
Meskipun demikian, tentu saja Muthahhari
bukanlah orang semata-mata bersifat individualistik. Bukan saja wawasannya yang
luas dan mendalam tentang Islam akan segera mencegahnya dari mengkhianati
semangat profetis agama ini dengan bersikap seindividualistis itu, kultur Syi’ah
yang disimbolkan dalam karakter Imam ‘Ali dan para sahabat dekatnya dalam
kehidupan Syi’ah – termasuk Salman Al-Farisi, Abu Dzar, dan Miqdad yang
kesemuanya merupakan “aktivis-aktivis” dalam jihad – terlalu mempengaruhi diri
Muthahhari sehingga sikap ekstrem sedemikian tak terbayangkan baginya. Dan
memang tujuan yang lebih dari sekadar bersifat individualistik inilah yang
terasa banyak mewarnai pemikiran-pemikiran Muthahhari. Maka, sebagai tujuan
kedua sumbangannya, Muthahhari telah menetapkan bagi dirinya tugas untuk
menjelaskan ajaran-ajaran Islam dalam suatu cara yang sesuai dengan keperluan
manusia moden akan pemikiran-pemikiran yang bersifat rasional.
Terkait dengan itu, Muthahhari makin prolifik,
di suatu masa yang menyaksikan derasnya arus pengaruh pemikiran yang datang
dari Barat. Disamping adanya pengaruh-pengaruh positif dari Barat, Muthahhari
merasakan kontaminasi pemikiran-pemikiran Barat tertentu terhadap agama. Di
antara kontaminasi yang terasa sangat menekan adalah Marxisme. Iran sejak tahun
60-an memang banyak diterpa oleh pengaruh aliran ini. Pengaruhnya terasa makin
lama makin kuat. Hal ini tampak antara lain dalam bermunculan dan menguatnya
partai dan kelompok-kelompok yang bersifat kekiri-kirian. Dalam Masyarakat dan
Sejarah–yang merupakan bagian dari Pengantar terhadap Pandangan Dunia Islam
(Muqaddima-ye Jahan Biniy Islamiy)- ia menyatakan: “Saat ini, di kalangan
penulis-penulis Muslim tertentu (kecenderungan kepada Marxisme dan pandangan
bahwa Islam mengandung paham-paham Marxistik) mendapatkan penerimaan yang luas
dan dipandang sebagai tanda keluasan pikiran…” Pada saat yang sama, Muthahhari
juga merasakan adanya pengaruh paham lain Barat yang mencengkam kuat atas
negara-negara Muslim, termasuk Iran. Itulah materialisme. Ia bahkan merupakan
guru berbagai paham yang muncul dalam peradaban Barat modern. Untuk
mengutarakan isu-isu ini , Muthahhari pun banyak menghasilkan karya-karya yang
berupa kritik terhadap paham-paham ini, termasuk Masyarakat dan Sejarah dan
(Hujah-hujah) Pendukung (aliran) Materialisme. Berbeda dengan karya-karya yang,
kurang lebih, populer di atas, Muthahhari juga menghasilkan karya-karya yang
benar-benar bersifat filosofis, antara lain komentar rincinya atas karya salah
seorang guru utamanya, Allamah Thabathaba’i yang berjudul Usus-e Falsafah wa
Rawisy-e Rialism (Dasar-dasar Falsafah. Dan Mazhab Realisme). Karya 4 jilid
yang berupaya mengkritik materialisme sekaligus memaparkan dasar-dasar falsafah
dan pandangan dunia Islam yang dianggap dapat merupakan alternatif yang lebih
boleh dipertanggungjawabkan. Inilah tujuan ketiga Muthahhari.
Dasar pemikiran yang sama kiranya terkait
dengan tujuan keempat di balik ikhtiar intelektual Muthahhari untuk membangun
landasan falsafah dan pandangan dunia Islam ini adalah kesadarannya akan
perlunya suatu landasan yang kuat bagi pembangunan sistem-sistem Islam di
berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya sistem politik, sistem ekonomi,
sistem sosial, dan sebagainya. Muthahhari memang dikenal juga dengan
tulisan-tulisannya mengenai soal-soal ekonomi, sosial, bahkan budaya dalam
sorotan ajaran-ajaran Islam. Dalam “Pengantar kepada Pandangan Dunia Islam” itu, misalnya, Muthahhari memasukkan berbagai
tema pembahasan yang dianggapnya sebagai unsur-unsur dari pandangan dunia:
Konsepsi tentang Manusia, Pandangan Dunia Tauhid, Konsepsi Kenabian dan Wahyu,
Konsepsi tentang Masyarakat dan Sejarah, Imamah, dan Konsepsi tentang Hari
Akhir.
Kini saatnya menyinggung – sebagai sebuah
pengantar awal – sistem filsafat Muthahhari. Seperti kita lihat dari uraian di
atas, tujuan dan agenda Muthahhari sedikit-banyaknya bersifat ideologis. Nah,
menurut Muthahhari (Lihat antara lain, Mengenal Epistemologi), ideologi berakar
dari sebuah pandangan dunia (world view atau world conception). Hal ini kiranya
akan menjadi lebih jelas jika kita kaitkan dengan pernyataannya mengenai
pandangan dunia – dalam “Pandangan Dunia Tauhid,” yang lagi-lagi merupakan
bahagian Pengantar terhadap Pandangan Dunia Islam- sebagai berikut: “Setiap
doktrin atau falsafah hidup secara tak terelakkan berdasar atas semacam
kepercayaan, suatu penilaian tentang hidup dan semacam penafsiran dan analisis
tentang dunia. Cara berpikir suatu mazhab (pemikiran) mengenai hidup dan dunia
dipercayai merupakan dasar dari seluruh pemikiran aliran tersebut. Dasar ini
disebut sebagai pandangan atau konsep dunia (world view atau world conception).
Semua agama, sistem sosial, dan falsafah sosial (pada gilirannya) didasarkan
pada suatu pandangan dunia tertentu. Semua tujuan yang diajukan suatu mazhab
pemikiran, cara-cara dan kaidah-kaidah yang dilahirkannya merupakan bagian dari
pandangan dunia yang dianutnya.” Pada gilirannya, Muthahhari berkeyakinan bahwa
pandangan dunia suatu kelompok manusia ditentukan oleh falsafah yang dominan
dalam kelompok itu. Dengan kata lain, seperti ditulisnya dalam buku yang sama,
yang menentukan ideologi adalah pandangan dunia filosofis.
Dalam konteks ini, Muthahhari menyadari benar
peranan epistemologi — sebagai akar dari setiap sistem— di dalamnya. Di samping
buku “Mengenal Epistemologi” yang dirancangnya untuk masyarakat luas ini,
Muthahhari masih merasa perlu untuk membahas secara khusus pandangan epistemologi
Al-Quran dalam pembahasannya yang berjudul Syenakht dar Qur’an (Epistemologi
dalam Al-Quran). Semuanya itu masih dilengkapi dengan pembahasan secara
falsafah masalah epistemologi ini dalam syarah yang ditulisnya atas buku
falsafah karya filosof besar Iran abad-abad terakhir, Mulla Hadi Sabzawari,
Syarh Manzhumah. Dalam buku yang disebut terakhir ini Muthahhari menyatakan:
“(Meski begitu menentukannya epistemologi dan, meski pembahasan tentang
epistemologi ini sudah dirintis sejak lebih dari dua abad yang lalu, termasuk
juga dalam falsafah Islam), sebahagian besar persoalan yang menyangkut masalah
ini dipaparkan secara terpisah-pisah dalam berbagai pembahasan berkenaan dengan
ilmu, pengetahuan, pemahaman, akal, logika, dan berbagai permasalahan yang
berhubungan dengan bentuk pemikiran serta dalam pembahasan mengenai jiwa
(nafs). Dulu sedikit banyak orang telah memahami pentingnya epistemologi, tapi
pada zaman ini segala hal yang terkait dengan pandangan dunia bersumbu pada
masalah ini.” Nah, dalam pengantar buku – yang merupakan kumpulan ceramah
sistematiknya “Mengenal Epistemologi” — ini, Muthahhari mengungkapkan secara
panjang lebar masalah ini.
Selain buku Epistemologi dan Pengantar kepada
Pandangan Dunia Islam tersebut di atas, Muthahhari masih merasa perlu menulis
sebuah buku yang berjudul Penantar kepada Ilmu-ilmu Islam. Ini merupakan salah
satu keprihatinan Muthahhari kepada posisi penting epistemologi dan sistem dalam,
baik pemikiran maupun perjuangan Islam. Di dalamnya Muthahhari berupaya
memberikan penjelasan yang ringkas tapi menyeluruh tentang berbagai (sistem)
ilmu dalam Islam, termasuk didalamnya Logika, Kalam, Falsafah, Tasawuf, Etika,
dan Ushul Fiqh. Dapat diduga bahawa Muthahhari beranggapan bahwa penguasaan
terhadap ilmu-ilmu Islam yang cukup padu ini diharapkan akan memungkinkan kaum
Muslim menjadi cerdas dalam menggali segenap sumber-sumber pemikiran Islam
sekaligus mengambil manfaat secara tepat terhadap sumber-sumber ilmu lainnya di
luar Islam. Dengan demikian, kiranya bukan saja kaum Muslim boleh lebih baik
dalam memberikan sumbangan kepada peradaban umat manusia, lebih dari itu
diharapkan mereka akan dapat menyaring pengaruh-pengaruh yang datang kepada
mereka dari luar dengan suatu cara yang boleh dipertanggungjawabkan. Sehingga, pada
akhirnya, kaum Muslim sanggup melahirkan pemikiran-pemikiran dan sistem-sistem
yang cerdas sebagaimana dicita-citakan.
Kesimpulannya, pada dasarnya sistem pemikiran
Muthahhari adalah rasional-filosofis. Bagi pengkaji buku-bukunya, tampak jelas
bahwa Muthahhari biasa membahas setiap persoalan pertama sekali secara rasional
dan filosofis. Baru belakangan dia menjelaskannya dengan dasar-dasar keislaman:
Al-Qur’an dan Hadis. Dan bukan sebaliknya. Itu sebabnya, Muthahhari di Iran,
bersama Ayatullah Muhammad Taqi Ja’fari, dikenal sebagai bagian dari kelompok
“mazhab kalami”.
Lalu, di mana letak ‘irfan dalam
pemikiran-pemikiran Muthahhari? Tampaknya ‘irfan bagi Muthahhari tidak terutama
dan secara langsung memiliki signifikansi epistemologis dan sistemik.
Sebagaimana tampak dalam beberapa buku tentang ‘irfan yang ditulisnya, termasuk
Spiritual Discourses, atau Perfect Man, ‘irfan telah memberinya lebih banyak
bahan dalam membahas berbagai soal secara filosofis. Persis sebagaimana
perannya dalam aliran hikmah, yang memang merupakan pengkhususan Muthahhari di
bidang falsafah. Di samping itu, ‘irfan bagi tokoh Muthahhari juga berperan
dalam memberikan sentuhan emosional – dan puitis — dalam pemikiran-pemikirannya
yang, malah amat rasional dan filosofis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar