oleh Ir.
Soekarno (Bung Karno)
Berlainan dengan
sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita mereka itu dapat tercapai
dengan jalan persahabatan antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya:
Ferdinand Lassalle, yang teriaknya itu ada suatu teriak-perdamaian, maka Karl
Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali mempersoalkan kata asih
atau kata cinta, membeberkan pula faham pertentangan golongan; faham
klassenstrijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya
itu, ialah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap pada kaum “bursuasi”, satu
perlawanan yang tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang
kapitalistis itu adanya.
Walaupun pembaca tentunya semua
sudah sedikit-sedikit mengetahui apa yang telah diajarkan oleh Karl Marx itu,
maka berguna pulalah agaknya, jikalau kita di sini mengingatkan, bahwa jasanya
ahli-fikir ini ialah:- ia mengadakan suatu pelajaran gerakan fikiran yang
bersandar pada perbendaan (Materialistische Dialectiek) ; – ia membentangkan
teori, bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya “kerja” untuk
membikin barang-barang itu, sehingga “kerja” ini ialah “wertbildende
Substanz”, dari barang-barang itu (arbeids-waardeleer); – ia membeberkan teori,
bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar
harganya daripada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde); – ia mengadakan
suatu pelajaran riwayat yang berdasar peri-kebendaan, yang mengajarkan, bahwa
“bukan budiakal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya
keadaannya berhubung dengan pergaulan-hiduplah yang menentukan budi-akalnya”
(materialistische geschiedenis-opvatting) ; – ia mengadakan teori, bahwa oleh
karena “meerwaarde” itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama
makin menjadi besar (kapitaals-accumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil
sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaals-centralisatie), dan
bahwa, oleh karena persaingan, perusahaanperusahaan yang kecil sama mati
terdesak oleh perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desak-desakan ini
akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan sahaja yang amat besarnya
(kapitaals-concentratie); – dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan
kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan
menimbulkan dendamhati yang makin lama makin sangat (Verelendungs-theorie); –
teori-teori mana, berhubung dengan kekurangan tempat, kita tidak bisa
menerangkan lebih lanjut pada pembaca-pembaca yang belum begitu mengetahuinya.
Meskipun musuh-musuhnya, di
antara mana kaum anarchis, sama menyangkal jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan
di atas ini, meskipun lebih dulu, dalam tahun 1825, Adolphe B l a n q u i
dengan cara historis-materialistis sudah mengatakan, bahwa riwayat itu
“menetapkan kejadian-kejadiannya” sedang ilmu ekonomi “menerangkan sebab-apa kejadian-kejadian
itu terjadi”; meskipun teori meerwaarde itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh
ahli-ahli-fikir sebagai Sismondi, Thompson dan lain-lain; meskipun pula teori
konsentrasi-modal atau arbeidswaardeleer itu ada bagian-bagiannya yang tak bisa
mempertahankan diri terhadap kritik musuhnya yang tak jemu-jemu mencari-cari
salahnya; – meskipun begitu, maka tetaplah, bahwa stelselnya Karl Marx itu
mempunyai pengertian yang tidak kecil dalam sifatnya umum, dan mempunyai
pengertian yang penting dalam sifat bagian-bagiannya. Tetaplah pula, bahwa,
walaupun teori-teori itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli fikir lain,
dirinya Marxlah, yang meski “bahasa”nya itu untuk kaum “atasan” sangat
berat dan sukarnya, dengan terang-benderang menguraikan teori-teori itu bagi
kaum “tertindas dan sengsara yang melarat-fikiran” itu dengan
pahlawan-pahlawannya, sehingga mengerti dengan terang-benderang. Dengan gampang
sahaja, sebagai suatu soal yang “sudah-mustinya-begitu”, mereka lalu mengerti
teorinya atas meerwaarde, lalu mengerti, bahwa si majikan itu lekas menjadi
kaya oleh karena ia tidak memberikan semua hasil-pekerjaan padanya; mereka lalu
sahaja mengerti, bahwa keadaan dan susunan ekonomilah yang menetapkan keadaan
manusia tentang budi, akal, agama, dan lain-lainnya, – bahwa manusia itu: e r i
s t was e r i s t ; mereka lantas sahaja mengerti, bahwa kapitalisme itu
akhirnya pastilah binasa, pastilah lenyap diganti oleh susunan pergaulan-hidup
yang lebih adil, – bahwa kaum “burjuasi” itu “teristimewa mengadakan
tukang-tukang penggali liang kuburnya”.
Begitulah teori-teori yang
dalam dan berat itu masuk tulang-sungsumnya kaum buruh di Eropah, masuk pula
tulang sungsumnya kaum buruh di Amerika. Dan “tidakkah sebagai suatu hal yang
ajaib, bahwa kepercayaan ini telah masuk dalam berjuta-juta hati dan tiada
suatu kekuasaan juapun di muka bumi ini yang dapat mencabut lagi dari padanya”.
Sebagai tebaran benih yang ditiup angin ke mana-mana tempat, dan tumbuh pula
di mana-mana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan bersulur; di
mana-mana pula, maka kaum “bursuasi” sama menyiapkan diri dan berusaha membasmi
tumbuh-tumbuhan “bahaya proletar” yang makin lama makin subur itu. Benih yang
ditebar-tebarkan di Eropah itu, sebagian telah diterbangkan oleh tofan-zaman ke
arah khatulistiwa, terus ke Timur, hingga jatuh dan tumbuh di antara
bukit-bukit dan gunung-gunung yang tersebar di segenap kepulauan
“sabuk-zamrud”, yang bernama Indonesia. Dengungnya nyanyian “Internasionale”,
yang dari sehari-ke-sehari menggetarkan udara Barat, sampai-kuatlah haibatnya
bergaung dan berkumandang di udara Timur …
Pergerakan Marxistis di
Indonesia ini, ingkarlah sifatnya kepada pergerakan yang berhaluan
Nasionalistis, ingkarlah kepada pergerakan yang berazas ke-Islaman. Malah
beberapa tahun yang lalu, keingkaran ini sudah menjadi suatu pertengkaran
perselisihan faham dan pertengkaran sikap, menjadi suatu pertengkaran saudara,
yang, – sebagai yang sudah kita terangkan di muka, – menyuramkan dan
menggelapkan hati siapa yang mengutamakan perdamaian, menyuramkan dan
menggelapkan hati siapa yang mengerti, bahwa dalam pertengkaran yang demikian
itulah letaknya kekalahan kita. Kuburkanlah nasionalisme, kuburkanlah politik
cinta tanah-air, dan lenyapkanlah politik-keagamaan, – begitulah seakan-akan
lagu-perjoangan yang kita dengar. Sebab katanya: Bukankah Marx dan Engels telah
mengatakan, bahwa “kaum buruh itu tak mempunyai tanah-air”? Katanya: Bukankah
dalam “Manifes Komunis” ada tertulis, bahwa “komunisme itu melepaskan agama”?
Katanya: Bukankah Babel telah mengatakan, bahwa “bukanlah Allah yang membikin
manusia, tetapi manusialah yang membikin-bikin Tuhan”?
Dan sebaliknya! Fihak
Nasionalis dan Islamis tak berhenti-henti pula mencaci-maki fihak Marxis,
mencaci-maki pergerakan yang “bersekutuan” dengan orang asing itu, dan
mencaci-maki pergerakan yang “mungkir” akan Tuhan. Mencaci pergerakan yang
mengambil teladan akan negeri Rusia yang menurut pendapatnya: azasnya sudah
palit dan terbukti tak dapat melaksanakan cita-citanya yang memang suatu utopi,
bahkan mendatangkan “kalang-kabutnya negeri” dan bahaya-kelaparan dan
hawar-penyakit yang mengorbankan nyawa kurang-lebih limabelas juta manusia,
suatu jumlah yang lebih besar daripada jumlahnya sekalian manusia yang binasa
dalam peperangan besar yang akhir itu.
Demikianlah dengan bertambahnya
tuduh-menuduh atas dirinya masing-masing pemimpin, duduknya perselisihan
beberapa tahun yang lalu: satu sama lain sudah s a l a h mengerti dan saling
tidak mengindahkan.
Sebab taktik Marxisme yang
baru, tidaklah menolak pekerjaan bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di
Asia. Taktik Marxisme yang baru, malahan menyokong pergerakan-pergerakan
Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh. Marxis yang masih sahaja
bermusuhan dengan pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang keras di
Asia, Marxis yang demikian itu tak mengikuti aliran zaman, dan tak mengerti
akan taktik Marxisme yang sudah berobah.
Sebaliknya, Nasionalis dan
Islamis yang menunjuk-nunjuk akan “faillietnya” Marxisme itu, dan yang
menunjuk-nunjuk akan bencana kekalang-kabutan dan bencana-kelaparan yang telah
terjadi oleh “practijknya” faham Marxisme itu, – mereka menunjukkan tak
mengertinya atas faham Marxisme, dan tak mengertinya atas sebab terpelesetnya
“practijknya” tadi. Sebab tidakkah Marxisme sendiri mengajarkan, bahwa
sosialismenya itu hanya bisa tercapai dengan sungguh-sungguh bilamana
negeri-negeri yang besar-besar itu semuanya di-“sosialis”-kan?
Bukankah “kejadian” sekarang
ini jauh berlainan daripada “voorwaarde” (syarat) untuk terkabulnya maksud
Marxisme itu?
Untuk adilnya kita punya hukuman
terhadap pada “practijknya” faham Marxisme itu, maka haruslah kita ingat, bahwa
“failliet” dan “kalangkabut” – nya negeri Rusia adalah dipercepat pula oleh
penutupan atau blokkade oleh semua negeri-negeri musuhnya; dipercepat pula oleh
hantaman dan serangan pada empatbelas tempat oleh musuh-musuhnya sebagai
Inggeris, Perancis, dan jenderal-jenderal Koltchak, Denikin, Yudenitch dan
Wrangel; dipercepat pula oleh anti-propaganda yang dilakukan oleh hampir semua
surat-khabar di seluruh dunia.
Di dalam pemandangan kita, maka
musuh-musuhnya itu pula harus ikut bertanggungjawab atas matinya limabelas juta
orang yang sakit dan kelaparan itu, di mana mereka menyokong penyerangan
Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel itu dengan harta dan benda; di mana
umpamanya negeri Inggeris, yang membuang-buang berjuta-juta rupiah
untuk menyokong penyerangan-penyerangan atas diri sahabatnya yang dulu itu,
telah “mengotorkan nama Inggeris di dunia dengan menolak memberi tiap-tiap
bantuan pada kerja-penolongan” si sakit dan si lapar itu; di mana di Amerika,
di Rumania, dan di Hongaria pada saat terjadinya bencana itu pula, karena
terlalu banyaknya gandum, orang sudah memakai gandum itu untuk kayu-bakar,
sedang di negeri Rusia orang-orang di distrik Samara makan daging anak-anaknya
sendiri oleh karena laparnya.
Bahwa sesungguhnya, luhurlah
sikapnya H. G. Wells, penulis Inggeris yang masyhur itu, seorang yang bukan
Komunis, di mana ia dengan tak memihak pada siapa juga, menulis, bahwa,
umpamanya kaum bolshevik itu “tidak dirintang-rintangi mereka barangkali bisa
menyelesaikan suatu experiment (percobaan) yang maha-besar faedahnya bagi
peri-kemanusiaan … Tetapi mereka dirintang-rintangi”.
Kita yang bukan komunis pula,
kitapun tak memihak pada siapa juga! Kita hanialah memihak kepada
Persatuan-persatuan-Indonesia, kepada persahabatan pergerakan kita semua!
Kita di atas menulis, bahwa
taktik Marxisme yang sekarang adalah berlainan dengan taktik Marxisme yang
dulu. Taktik Marxisme, yang dulu sikapnya begitu sengit anti-kaum-kebangsaan
dan anti-kaum-keagamaan, maka sekarang, terutama di Asia, sudahlah begitu
berobah, hingga kesengitan “anti” ini sudah berbalik menjadi persahabatan dan
penyokongan. Kita kini melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis
di negeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum
Islamis di negeri Afghanistan.
Adapun teori Marxisme sudah
berobah pula. Memang seharusnya begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi,
yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman.
Teori-teorinya haruslah diobah, kalau zaman itu berobah; teori-teorinya
haruslah diikutkan pada perobahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut.
Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam
tulisan-tulisannya sering menunjukkan perobahan faham atau perobahan tentang
kejadian-kejadian pada zaman mereka masih hidup. Bandingkanlah
pendapat-pendapatnya sampai tahun 1847; bandingkanlah pendapatnya tentang arti
“Verelendung” sebagai yang dimaksudkan dalam “Manifes Komunis” dengan pendapat
tentang arti perkataan itu dalam “Das Kapital”, maka segeralah tampak
pada kita perobahan faham atau perobahan perindahan itu. Bahwasanya: benarlah
pendapat sosial demokrat Emile Vandervelde, di mana ia mengatakan, bahwa “revisionisme
itu tidak mulai dengan Bernstein, akan tetapi dengan Marx dan Engels adanya”.
Perobahan taktik dan perobahan
teori itulah yang menjadi sebab, maka kaum Marxis yang “muda” baik “sabar”
maupun yang “keras”, terutama di Asia, sama menyokong pergerakan nasional yang
sungguh-sungguh. Mereka mengerti, bahwa di negeri-negeri Asia, di mana belum
ada kaum proletar dalam arti sebagai di Eropah atau Amerika itu, pergerakannya
harus diobah sifatnya menurut pergaulan-hidup di Asia itu pula. Mereka
mengerti, bahwa pergerakan Marxistis di Asia haruslah berlainan taktik dengan
pergerakan Marxis di Eropah atau Asia, dan haruslah “bekerja bersama-sama
dengan partai-partai yang “klein-burgerlijk”, oleh karena di sini yang
pertama-tama perlu bukan kekuasaan tetapi ialah perlawanan terhadap pada
feodalisme”.
Supaya kaum buruh di
negeri-negeri Asia dengan leluasa bisa menjalankan pergerakan yang sosialistis
sesungguh-sungguhnya, maka perlu sekali negeri-negeri itu m e r d e k a, perlu
sekali kaum itu mempunyai nationale autonomie (otonomi nasional). “Nationale
autonomie adalah suatu tujuan yang harus dituju oleh perjoangan proletar, oleh
karena ia ada suatu upaya yang perlu sekali bagi politiknya”, begitulah Otto
Bauer berkata. Itulah sebabnya, maka otonomi nasional ini menjadi suatu hal
yang pertama-tama harus diusahakan oleh pergerakan-pergerakan buruh di Asia
itu. Itulah sebabnya, maka kaum buruh di Asia itu wajib bekerja bersama-sama
dan menyokong segala pergerakan yang merebut otonomi nasional itu j u g a,
dengan tidak menghitung-hitung, azas apakah pergerakan-pergerakan itu
mempunyainya. Itulah sebabnya, maka pergerakan Marxisme di Indonesia ini harus
pula menyokong pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalistis dan Islamistis
yang mengambil otonomi itu sebagai maksudnya pula.
Kaum Marxis harus ingat, bahwa
pergerakannya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme di
hati-sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu
kebanyakannya ialah modal asing, dan oleh karena budi perlawanan itu
menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat
di-“bawah” terhadap pada rakyat yang di-“atas”-nya, dan menumbuhkan suatu
keinginan pada nationale machts-politiek dari rakyat sendiri.Mereka harus
ingat, bahwa rasa-internasionalisme itu di Indonesia niscaya tidak begitu tebal
sebagai di Eropah, oleh karena kaum buruh di Indonesia ini menerima faham
internasionalisme itu pertama-tama ialah sebagai taktik, dan oleh karena bangsa
Indonesia itu oleh “gehechtheid” pada negerinya, dan pula oleh kekurangan
bekal, belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia, untuk mencari kerja di
lain-lain negeri, dengan iktikad: “ubi bene, ibi patria: di mana aturan-kerja
bagus, di situlah tanah-air saya”, – sebagai kaum buruh di Eropah yang menjadi
tidak tetap-rumah dan tidak tetap tanah-air oleh karenanya.
Dan jikalau ingat akan hal-hal
ini semuanya, maka mereka niscaya ingat pula akan salahnya memerangi pergerakan
bangsanya yang nasionalistis adanya. Niscaya mereka ingat pula akan
teladan-teladan pemimpin-pemimpin Marxis di lain-lain negeri, yang sama bekerja
bersama-sama dengan kaum-kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat
pula akan teladan pemimpin-pemimpin Marxis di negeri Tiongkok, yang dengan
ridla hati sama menyokong usahanya kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insyaf
bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional dan kemerdekaan
nasional adanya.
Demikian pula, tak pantaslah
kaum Marxis itu bermusuhan dan berbentusan dengan pergerakan Islam yang
sungguh-sungguh.
Tak pantas mereka memerangi
pergerakan, yang, sebagaimana sudah kita uraikan di atas, dengan
seterang-terangnya bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka memerangi suatu
pergerakan yang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga dengan
seterang-terangnya ialah anti-meerwaarde pula; dan tak pantas mereka memerangi
suatu pergerakan yang dengan seterang-terangnya mengejar kemerdekaan, persamaan
dan persaudaraan, dengan seterang-terangyya mengejar nationale autonomie. Tak
pantas mereka bersikap demikian itu, oleh karena taktik Marxisme-baru terhadap
agama adalah berlainan dengan taktik Marxisme-dulu. Marxsme-baru adalah
berlainan dengan Marxisme dari tahun 1847, yang dalam “Manifes Komunis”
mengatakan, bahwa agama itu harus di-“abschaffen” atau dilepaskan adanya.
Kita harus membedakan
Historis-Materialisme itu daripada Wijsgerig-Materialisme; kita harus
memperingatkan, bahwa maksudnya Historis-Materialisme itu berlainan dari pada
maksudnya Wijsgerig-Materialisme tadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban
atas pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara fikiran (denken) dengan benda
(materie), bagaimanakah fikiran itu terjadi, sedang Historis-Materialisme
memberi jawaban atas soal: sebab apakah fikiran itu dalam suatu zaman ada
begitu atau begini; wijsgerig-materialisme menanyakan adanya (wezen) fikiran
itu; historis-materialisme menanyakan sebab-sebabnya fikiran itu b e r o b a h
; wijsgerig-materialisme mencari asalnya fikiran, historis materialisme
mempelajari tumbuhnya fikiran; wijsgerig materialisme adalah wijsgerig,
historis materialisme adalah historis.
Dua faham ini oleh
musuh-musuhnya Marxisme di Eropah, terutama kaum gereja, senantiasa
ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam
propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhentihenti mengusahakan kekeliruan
faham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme itu
ialah kaum yang mempelajarkan, bahwa fikiran itu hanialah suatu pengeluaran
sahaja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti-henti
mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang
bertuhankan materi.
Itulah asalnya kebencian kaum
Marxis Eropah terhadap kaum gereja, asalnya sikap perlawanan kaum Marxis Eropah
terhadap kaum agama. Dan perlawanan ini bertambah sengitnya, bertambah
kebenciannya, di mana kaum gereja itu memakai-makai agamanya untuk
melindung-lindungi kapitalisrne, memakai-makai agamanya untuk membela keperluan
kaum atasan, memakai-makai agamanya untuk menjalankan politik yang reaksioner
sekali.
Adapun kebencian pada kaum
agama yang timbulnya dari sikap kaum gereja yang reaksioner itu, sudah
dijatuhkan pula oleh kaum Marxis kepada kaum agama Islam, yang berlainan sekali
sikapnya dan berlainan sekali sifatnya dengan kaum gereja di Eropah itu. Di
sini agama Islam adalah agama kaum yang tak merdeka; di sini agama Islam adalah
agama kaum yang di-“bawah”. Sedang kaum yang memeluk agama Kristen adalah kaum
yang bebas; di sana agama Kristen adalah agama kaum yang di-“atas”. Tak boleh
tidak, suatu agama yang anti-kapitalisme, agama kaum yang tak merdeka, agama
kaum yang di-“bawah” ini; agama yang menyuruh mencari kebebasan, agama yang
melarang menjadi kaum “bawahan”, – agama yang demikian itu pastilah menimbulkan
sikap yang tidak reaksioner, dan pastilah menimbulkan suatu perjoangan yang
dalam beberapa bagian s e s u a i dengan perjoangan Marxisme itu.
Karenanya, jikalau kaum
Marxisme ingat akan perbedaan kaum gereja di Eropah dengan kaum Islam di
Indonesia ini, maka niscaya mereka mengajukan tangannya, sambil berkata:
saudara, marilah kita bersatu. Jikalau mereka menghargai akan contoh-contoh
saudara-saudaranya seazas yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum Islam,
sebagai yang terjadi di lain-lain negeri, maka niscaialah mereka mengikuti contoh-contoh
itu pula. Dan jikalau mereka dalam pada itu juga bekerja bersama-sama dengan
kaum Nasionalis atau kaum kebangsaan, maka mereka dengan tenteram-hati boleh
berkata: kewajiban kita sudah kita penuhi.
Dan dengan memenuhi segala
kewajiban Marxis-muda tadi itu, dengan memperhatikan segala perobahan teori
azasnya, dengan menjalankan segala perobahan taktik pergerakannya itu, mereka
boleh menyebutkan diri pembela rakyat yang tulus-hati, mereka boleh
menyebutkan diri garamnya rakyat.
Tetapi Marxis yang ingkar akan
persatuan, Marxis yang kolot-teori dan kuno-taktiknya, Marxis yang memusuhi
pergerakan kita Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh, – Marxis yang
demikian itu janganlah merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun
rakyat adanya!
Tulisan kita hampir habis.
Dengan jalan yang jauh kurang
sempurna, kita mencoba membuktikan, bahwa faham Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain.
Dengan jalan yang jauh kurang sempurna kita menunjukkan teladan
pemimpin-pemimpin di lain negeri. Tetapi kita yakin, bahwa kita dengan terang-benderang
menunjukkan kemauan kita menjadi satu. Kita yakin, bahwa pemimpin-pemimpin
Indonesia semuanya insyaf, bahwa Persatuanlah yang membawa kita ke arah
ke-Besaran dan ke-Merdekaan. Dan kita yakin pula, bahwa, walaupun fikiran kita
itu tidak mencocoki semua kemauan dari masing-masing fihak, ia menunjukkan
bahwa Persatuan itu bisa tercapai. Sekarang tinggal menetapkan sahaja
organisasinya, bagaimana Persatuan itu bisa berdiri; tinggal mencari
organisatornya sahaja, yang menjadi Mahatma Persatuan itu. Apakah
Ibu-Indonesia, yang mempunyai Putera-putera sebagai Oemar Said Tjokroaminoto,
Tjipto Mangunkusumo dan Semaun, – apakah Ibu-Indonesia itu tak mempunyai
pula Putera yang bisa menjadi Kampiun Persatuan itu?
Kita harus bisa menerima;
tetapi kita juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya Persatuan itu. Persatuan
tak bisa terjadi, kalau masing-masing fihak tak mau memberi sedikit-sedikit
pula.
Dan jikalau kita semua insyaf,
bahwa kekuatan hidup itu letaknya tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi;
jikalau kita semua insyaf, bahwa dalam percerai-beraian itu letaknya benih
perbudakan kita; jikalau kita semua insyaf, bahwa permusuhan itulah yang
menjadi asal kita punya “via dolorosa” ; jikalau kita insyaf, bahwa Roh Rakyat
Kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju Sinar yang Satu yang
berada ditengah-tengah kegelapan-gumpita yang mengelilingi kita ini, – maka
pastilah Persatuan itu terjadi, dan pastilah Sinar itu tercapai juga.
Sebab Sinar itu dekat!
“Suluh Indonesia Muda”, 1926
Ir.
Soekarno (Proklamator & Presiden Republik Pertama Republik Indonesia)
Dicuplik
dari Buku “Di Bawah Bendera Revolusi” karya Ir Soekarno – Jilid Pertama Cetakan
Ketiga tahun 1964
Tidak ada komentar:
Posting Komentar