oleh Ir.
Soekarno (Bung Karno)
Nasionalisme itu ialah suatu
iktikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu
“bangsa”!
Bagaimana juga bunyinya
keterangan-keterangan yang telah diajarkan oleh pendekar-pendekar ilmu yang
kita sebutkan di atas tadi, maka tetaplah, bahwa rasa nasionalistis itu
menimbulkan suatu rasa percaya akan diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu
sekali untuk mempertahankan diri di dalam perjoangan menempuh keadaan-keadaan,
yang mau mengalahkan kita.
Rasa percaya akan diri sendiri
inilah yang memberi keteguhan hati pada kaum Boedi Oetomo dalam usahanya
mencari Jawa-Besar; rasa percaya akan diri sendiri inilah yang menimbulkan
ketetapan hati pada kaum revolusioner-nasionalis dalam perjoangannya mencari
Hindia Besar atau Indonesia-Merdeka adanya.
Apakah rasa nasionalisme, –
yang, oleh kepercayaan akan diri sendiri itu, begitu gampang menjadi
kesombongan-bangsa, dan begitu gampang mendapat tingkatnya yang kedua, ialah
kesombongan-ras, walaupun faham ras (jenis) ada setinggi langit bedanya dengan
faham bangsa, oleh karena ras itu ada suatu faham biologis, sedang
nationaliteit itu suatu faham sosiologis (ilmu pergaulan hidup), – apakah
nasionalisme itu dalam perjoangan-jajahan bisa bergandengan dengan Islamisme
yang dalam hakekatnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermacam-macam
bangsa dan bermacam-macam ras; -apakah Nasionalisme itu dalam politik kolonial
bisa rapat-diri dengan Marxisme yang internasional, inter-rasial itu?
Dengan ketetapan hati kita
menjawab: bisa!
Sebab, walaupun Nasionalisme
itu dalam hakekatnya mengecualikan segala fihak yang tak ikut mempunyai
“keinginan hidup menjadi satu” dengan rakyat itu; walaupun Nasionalisme itu
sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang tak merasa “satu golongan, satu
bangsa” dengan rakyat itu; walaupun Kebangsaan itu dalam azasnya menolak segala
perangai yang terjadinya tidak “dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani
oleh rakyat itu”, – maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-manusia yang
menjadikan pergerakan Islamisme dan pergerakan Marxisme di Indonesia-kita ini,
dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan Nasionalisme itu semuanya
mempunyai “keinginan hidup menjadi satu”; – bahwa mereka dengan kaum Nasionalis
itu merasa “satu golongan, satu bangsa”; – bahwa segala fihak dari pergerakan
kita ini, baik Nasionalis maupun Islamis, maupun pula Marxis, beratus-ratus
tahun lamanya ada “persatuan hal-ikhwal”, beratus-ratus tahun lamanya sama-sama
bernasib tak merdeka! Kita tak boleh lalai, bahwa teristimewa “persatuan
hal-ikhwal”, persatuan nasib, inilah yang menimbulkan rasa “segolongan” itu.
Betul rasa-golongan ini masih membuka kesempatan untuk perselisihan satu sama
lain; betul sampai kini, belum pernah ada persahabatan yang kokoh di antara fihak-fihak
pergerakan di Indonesia-kita ini, – akan tetapi bukanlah pula maksud tulisan
ini membuktikan, bahwa perselisihan itu tidak bisa terjadi. Jikalau kita
sekarang mau berselisih, amboi, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu
sekarang pula!
Maksud tulisan ini ialah
membuktikan, bahwa persahabatan bisa tercapai!
Hendaklah kaum Nasionalis yang
mengecualikan dan mengecilkan segala pergerakan yang tak terbatas pada
Nasionalisme, mengambil teladan akan sabda Karamchand Gandhi: “Buat saya, maka
cinta saya pada tanah-air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya
ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan bercara manusia. Saya tidak
mengecualikan siapa juga.” Inilah rahasianya, yang Gandhi cukup kekuatan
mempersatukan fihak Islam dengan fihak Hindu, fihak Persia, fihak Jain, dan
fihak Sikh yang jumlahnya lebih dari tigaratus juta itu, lebih dari enam kali
jumlah putera Indonesia, hampir seperlima dari jumlah manusia yang ada di muka
bumi ini!
Tidak adalah halangannya Nasionalis
itu dalam geraknya bekerja bersama-sama dengan kaum Islamis dan Marxis.
Lihatlah kekalnya perhubungan antara Nasionalis Gandhi dengan Pan-Islamis
Maulana Mohammad Ali, dengan Pan-Islamis Syaukat Ali, yang waktu pergerakan
non-cooperation India sedang menghaibat, hampir tiada pisahnya satu sama
lainnya. Lihatlah geraknya partai Nasionalis Kuomintang di Tiongkok, yang
dengan ridla hati menerima faham-faham Marxis: tak setuju pada kemiliteran, tak
setuju pada Imperialisme, tak setuju pada kemodalan!
Bukannya kita mengharap, yang
Nasionalis itu supaya berobah faham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud
kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi
impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu.
Bahwa sesungguhnya, asal
mau sahaja tak kuranglah jalan ke arah persatuan. Kemauan, percaya
akan ketulusan hati satu sama lain, keinsyafan akan pepatah “rukun membikin
sentausa” (itulah sebaik-baiknya jembatan ke arah persatuan), cukup kuatnya
untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala fihak-fihak dalam
pergerakan kita ini.
Kita ulangi lagi: Tidak adalah
halangannya Nasionalis itu dalam geraknya, bekerja bersama-sama dengan Islamis
dan Marxis.
Nasionalis yang sejati, yang
cintanya pada tanah-air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan
ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa
belaka, – nasionalis yang bukan chauvinis, tak boleh tidak, haruslah menolak
segala faham pengecualian yang sempit-budi itu. Nasionalis yang sejati, yang
nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme
Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, –
nasionalis yang menerima rasa-nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan
melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti, adalah terhindar dari segala faham
kekecilan dan kesempitan. Baginya, maka rasa cintabangsa itu adalah lebar dan
luas, dengan memberi tempat pada lain-lain sesuatu, sebagai lebar dan luasnya
udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupya segala
hal yang hidup.
Wahai, apakah sebabnya
kecintaan-bangsa dari banyak nasionalis Indonesia lalu menjadi kebencian,
jikalau dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang berkeyakinan Islamistis?
Apakah sebabnya kecintaan itu lalu berbalik menjadi permusuhan, jikalau
dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang bergerak Marxistis? Tiadakah tempat
dalam sanubarinya untuk nasionalismenya Gopala Krishna Gokhate, Mahatma Gandhi,
atau Chita Ranjam Das?
Janganlah hendaknya kaum kita
sampai hati memeluk jingo-nationalism, sebagai jingo-nationalismnya Arya-Samaj
di India pembelah dan pemecah persatuan Hindu-Muslim; sebab jingo-nationalism
yang semacam itu “akhirnya pastilah binasa”, oleh karena “nasionalisme hanyalah
dapat mencapai apa yang dimaksudkannya, bilamana bersendi atas azas-azas yang
lebih suci”.
Bahwasanya, hanya nasionalisme
ke-Timur-an yang sejatilah yang pantas dipeluk oleh nasionalis-Timur yang
sejati. Nasionalisme Eropah, ialah suatu nasionalisme yang bersifat
serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu
nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, – nasionalisme yang semacam itu
akhirnya pastilah kalah, pastilah binasa.
Adakah keberatan untuk kaum
Nasionalis yang sejati, buat bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, oleh
karena Islam itu melebihi kebangsaan dan melebihi batas-negeri ialah
super-nasional super-teritorial? Adakah internationaliteit Islam suatu
rintangan buat geraknya nasionalisme, buat geraknya kebangsaan?
Banyak nasionalis-nasionalis di
antara kita yang sama lupa bahwa pergerakan-nasionalisme dan Islamisme di
Indonesia ini -ya, di seluruh Asia – ada sama asalnya, sebagai yang telah kita
uraikan di awal tulisan ini: dua-duanya berasal nafsu melawan “Barat”, atau
lebih tegas, melawan kapitalisme dan imperialisme Barat, sehingga sebenarnya
bukan lawan, melainkan kawannya lah adanya. Betapa lebih luhurnialah sikap
nasionalis Prof. T. L. Vaswani, seorang yang bukan Islam, yang menulis:
“Jikalau Islam menderita sakit, maka Roh kemerdekaan Timur tentulah sakit juga;
sebab makin sangatnya negeri-negeri Muslim kehilangan kemerdekaannya, makin
lebih sangat pula imperialisme Eropah mencekek Roh Asia. Tetapi, saya percaya
pada Asia-sediakala; saya percaya bahwa Rohnya masih akan menang. Islam adalah
internasional, dan jikalau Islam merdeka, maka nasionalisme kita itu adalah
diperkuat oleh segenap kekuatannya iktikad internasional itu.”
Dan bukan itu sahaja. Banyak
nasionalis-nasionalis kita yang sama lupa, bahwa orang Islam, di manapun juga
ia adanya, di seluruh “Darul Islam”, menurut agamanya, wajib bekerja untuk
keselamatan orang negeri yang ditempatinya. Nasionalis-nasionalis itu lupa,
bahwa orang Islam yang sungguh-sungguh menjalankan ke-Islam-annya, baik orang
Arab maupun orang India, baik orang Mesir maupun orang manapun juga, jikalau
berdiam di Indonesia, wajib pula bekerja untuk keselamatan Indonesia itu. “Di
mana-mana orang Islam bertempat, bagaimanapun juga jauhnya dari negeri tempat
kelahirannya, di dalam negeri yang baru itu ia masih menjadi satu bahagian
daripada rakyat Islam, daripada Persatuan Islam. Di mana-mana orang Islam
bertempat, di situlah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu
dan rakyatnya”.
Inilah Nasionalisme Islam!
Sempit-budi dan sempit-pikiranlah nasionalis yang memusuhi Islamisme serupa
ini. Sempit-budi dan sempit pikiranlah ia, oleh karena ia memusuhi suatu azas,
yang, walaupun internasional dan inter-rasial, mewajibkan pada segenap
pemeluknya yang ada di Indonesia, bangsa apa merekapun juga, mencintai dan
bekerja untuk keperluan Indonesia dan rakyat Indonesia juga adanya!
Adakah pula keberatan untuk
kaum Nasionalis sejati, bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis, oleh karena
Marxisme itu internasional juga?
Nasionalis yang segan
berdekatan dan bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis, – Nasionalis yang
semacam itu menunjukkan ketiadaan yang sangat, atas pengetahuan tentang
berputarnya roda-politik dunia dan riwayat. Ia lupa, bahwa asal pergerakan
Marxis di Indonesia atau Asia itu, juga merupakan tempat asal pergerakan
mereka. Ia lupa, bahwa arah pergerakannya sendiri itu acap kali sesuai dengan
arah pergerakan bangsanya yang Marxistis tadi. Ia lupa, bahwa memusuhi
bangsanya yang Marxistis itu, samalah artinya dengan menolak kawan-sejalan dan
menambah adanya musuh. Ia lupa dan tak mengerti akan arti sikapnya
saudara-saudaranya di lain-lain negeri Asia, umpamanya almarhum Dr. Sun Yat
Sen, panglima Nasionalis yang besar itu, yang dengan segala kesenangan hati bekerja
bersama-sama dengan kaum Marxis walaupun beliau itu yakin, bahwa peraturan
Marxis pada saat itu belum bisa diadakan di negeri Tiongkok, oleh karena di
negeri Tiongkok itu tidak ada syarat-syaratnya yang cukup-masak untuk
mengadakan peraturan Marxis itu. Perlukah kita membuktikan lebih lanjut, bahwa
Nasionalisme itu, baik sebagai suatu azas yang timbulnya dari rasa ingin hidup
menjadi satu; baik sebagai suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu
golongan, satu bangsa; maupun sebagai suatu persatuan perangai yang terjadi
dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu, – perlukah kita
membuktikan lebih lanjut bahwa Nasionalisme itu, asal sahaja yang memeluknya mau,
bisa dirapatkan dengan Islamisme dan Marxisme? Perlukah kita lebih lanjut
mengambil contoh-contoh sikapnya pendekar-pendekar Nasionalis di lain-lain
negeri, yang sama bergandengan tangan dengan kaum-kaum Islamis dan
rapat-diri dengan kaum-kaum Marxis?
Kita rasa tidak! Sebab kita
percaya bahwa tulisan ini, walaupun pendek dan jauh kurang sempurna, sudahlah
cukup jelas untuk Nasionalis-nasionalis kita yang mau bersatu. Kita percaya,
bahwa semua Nasionalis-nasionalis-muda adalah berdiri di samping kita. Kita
percaya pula, bahwa masih banyaklah Nasionalis-nasionalis kolot yang mau akan
persatuan; hanialah kebimbangan mereka akan kekalnya persatuan itulah yang
mengecilkan hatinya untuk mengikhtiarkan persatuan itu.
Pada mereka itulah terutama
tulisan ini kita hadapkan; untuk mereka lah terutama tulisan ini kita adakan.
Kita tidak menuliskan rencana ini untuk Nasionalis-nasionalis yang
tidak mau bersatu.
Nasionalis-nasionalis yang demikian itu kita serahkan pada pengadilan riwayat,
kita serahkan pada putusannya mahkamah histori!
ISLAMISME, KE-ISLAM-AN!
Sebagai fajar sehabis malam yang gelap-gulita, sebagai penutup
abad-abad kegelapan, maka di dalam abad kesembilanbelas berkilau-kilauanlah di
dalam dunia ke-Islam-an sinarnya dua pendekar, yang namanya tak akan hilang
tertulis dalam buku-riwayat Muslim; Sheikh Mohammad Abdouh, Rektor
sekolah-tinggi Al-Azhar, dan Seyid Jamaluddin El-Afghani – dua panglima
Pan-Islam-isme yang telah membangunkan dan menjunjung rakyat-rakyat Islam di
seluruh benua Asia daripada kegelapan dan kemunduran. Walaupun dalam sikapnya
dua pahlawan ini ada berbedaan sedikit satu sama lain – Seyid Jamaluddin El
Afghani ada lebih radikal dari Sheikh Mohammad Abdouh – maka merekalah yang
membangunkan lagi kenyataan-kenyataan Islam tentang politik, terutama Seyid
Jamaluddin, yang pertama-tama membangunkan rasa-perlawanan di hati sanubari
rakyat-rakyat Muslim terhadap pada bahaya imperialisme Barat; merekalah
terutama Seyid Jamaluddin pula, yang mula-mula mengkhotbahkan suatu barisan
rakyat Islam yang kokoh, guna melawan bahaya imperialisme Barat itu.
Sampai pada wafatnya dalam
tahun 1896, Seyid Jamaluddin El Afghani, harimau yang gagah-berani itu, bekerja
dengan tiada berhentinya, menanam benih ke-Islam-an di mana-mana, menanam
rasa-perlawanan terhadap pada ketamakan Barat, menanam keyakinan, bahwa untuk
perlawanan itu kaum Islam harus “mengambil tekniknya kemajuan Barat, dan
mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan Barat”. Benih-benih itu tertanam!
Sebagai ombak makin lama makin haibat, sebagai gelombang yang makin lama makin
tinggi dan besar, maka di seluruh dunia Muslim tentara-tentara Pan-Islamisme
sama bangun dan bergerak dari Turki dan Mesir, sampai ke Marocco dan Kongo, ke
Persia, Afghanistan, membanjir ke India, terus ke Indonesia, gelombang
Pan-Islamisme melimpah ke mana-mana! (Bersambung ke Bagian Ketiga)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar