oleh Ir.
Soekarno (Bung Karno)
Sesudah Amir Muawiah
mengutamakan azas dinastis-keduniawian untuk aturan Chalifah, sesudahnya
“Chalifah-chalifah itu menjadi Raja”, maka padamlah tabiat Islam yang
sebenarnya. “Amir Muawiah-lah yang harus memikul pertanggungan jawab atas
rusaknya tabiat Islam yang nyata bersifat sosialistis dengan sebenar-benarnya”
Begitulah rakyat Indonesia kita
ini, insyaf akan tragik nasibnya, sebagian sama bernaung di bawah bendera
hijau, dengan muka ke arah Qiblah, mulut mengaji La haula wala kauwata illa
billah dan Billahi fisabilillahi!
Mula-mula masih perlahan-lahan,
dan belum begitu terang-benderanglah jalan yang harus diinjaknya, maka makin
lama makin nyata dan tentulah arah-arah yang diambilnya, makin lama makin
banyaklah hubungannya dengan pergerakan-pergerakan Islam di negeri-negeri
lain; makin teranglah ia menunjukkan perangainya yang internasional; makin
mendalamlah pula pendiriannya atas hukum-hukum agama. Karenanya, tak hairanlah
kita, kalau seorang profesor Amerika, Ralston Hayden, menulis, bahwa pergerakan
Sarekat Islam ini “akan berpengaruh besar atas kejadiannya politik di kelak
kemudian hari, bukan sahaja di Indonesia, tetapi di seluruh dunia Timur jua
adanya”! Ralston Hayden dengan ini menunjukkan keyakinannya akan perangai
internasional dari pergerakan Sarekat Islam itu; ia menunjukkan pula suatu
penglihatan yang jernih di dalam kejadian-kejadian yang belum terjadi pada saat
ia menulis itu. Bukankah tujuannya telah terjadi? Pergerakan Islam di Indonesia
telah ikut menjadi cabangnya Mu’tamar-ul Alamil Islami di Mekkah; pergerakan
Islam Indonesia telah menceburkan diri dalam laut perjoangan Islam Asia!
Makin mendalamnya pendirian
atas keagamaan pergerakan Islam inilah yang menyebabkan keseganan kaum Marxis
untuk merapatkan diri dengan pergerakan Islam itu; dan makin ke mukanya sifat
internasional itulah oleh kaum Nasionalis “kolot” dipandang tersesat; sedang
hampir semua Nasionalis, baik “kolot” maupun “muda”, baik evolusioner maupun
revolusioner, sama berkeyakinan bahwa agama itu tidak boleh dibawa-bawa ke
dalam politik adanya. Sebaliknya, kaum Islam yang “fanatik”, sama menghina
politik kebangsaan dari kaum Nasionalis, menghina politik kerezekian dari kaum
Marxis; mereka memandang politik kebangsaan itu sebagai sempit, dan mengatakan
politik kerezekian itu sebagai kasar. Pendek kata, sudah “sempurna”- lah adanya
perselisihan faham!
Nasionalis-nasionalis dan
Marxis-marxis tadi sama menuduh pada agama Islam, yang negeri-negeri Islam itu
kini begitu rusak keadaannya, begitu rendah derajatnya, hampir semuanya di
bawah pemerintahan negeri-negeri Barat.
Mereka kusut-faham! Bukan
Islam, melainkan yang memeluknyalah yang salah! Sebab dipandang dari pendirian
nasional dan pendirian sosialistis, maka tinggi derajat dunia Islam pada
mulanya sukarlah dicari bandingannya. Rusaknya kebesaran-nasional, rusaknya
sosialisme Islam bukanlah disebabkan oleh Islam sendiri; rusaknya Islam itu
ialah oleh karena rusaknya budi-pekerti orang-orang yang menjalankannya.
Sesudah Amir Muawiah mengutamakan azas dinastis-keduniawian untuk aturan
Chalifah, sesudahnya “Chalifah-chalifah itu menjadi Raja”, maka padamlah tabiat
Islam yang sebenarnya. “Amir Muawiah-lah yang harus memikul pertanggungan jawab
atas rusaknya tabiat Islam yang nyata bersifat sosialistis dengan
sebenar-benarnya”, begitulah Oemar Said Tjokroaminoto berkata. Dan, dipandang
dari pendirian nasional, tidakkah Islam telah menunjukkan contoh-contoh
kebesaran yang mencengangkan bagi siapa yang mempelajari riwayat-dunia,
mencengangkan bagi siapa yang mempelajari riwayat-kultur?
Islam telah rusak, oleh karena
yang menjalankannya rusak budi-pekertinya. Negeri-negeri Barat telah merampas
negeri-negeri Islam oleh karena pada saat perampasan itu kaum Islam kurang
tebal tauhidnya, dan oleh karena menurut wet evolusi dan susunan
pergaulan-hidup bersama, sudah satu “historische Notwendigkeit”, satu
keharusan-riwayat, yang negeri-negeri Barat itu menjalankan perampasan tadi.
Tebalnya tauhid itulah yang memberi keteguhan pada bangsa Riff menentang
imperialisme Sepanyol dan Perancis yang bermeriam dan lengkap bersenjata!
Islam yang sejati tidaklah
mengandung azas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah bertabiat
anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme yang
luas-budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri di
atas Sirothol Mustaqim; selama itu tidaklah ia bisa mengangkat Islam
dari.kenistaan dan kerusakan tadi! Kita sama sekali tidak mengatakan yang Islam
itu setuju pada Materialisme atau perbendaan; sama sekali tidak melupakan yang
Islam itu melebihi bangsa, super-nasional. Kita hanya mengatakan, bahwa Islam
yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan
kewajiban-kewajibannya yang menjadi kewajiban-kewajibannya nasionalis pula!
Bukankah, sebagai yang sudah
kita terangkan, Islam yang sejati mewajibkan pada pemeluknya mecintai dan
bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk rakyat di
antara mana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam?
Seyid Jamaluddin El Afghani di
mana-mana telah mengkhotbahkan nasionalisme dan patriotisme, yang oleh musuhnya
lantas sahaja disebutkan “fanatisme”; di mana-mana pendekar Pan-Islamisme ini
mengkhotbahkan hormat akan diri sendiri, mengkhotbahkan rasa luhur-diri,
mengkhotbahkan rasa kehormatan bangsa, yang oleh musuhnya lantas sahaja
dinamakan “chauvinisme” adanya.
Di mana-mana, terutama di
Mesir, maka Seyid Jamaluddin menanam benih nasionalisme itu; Seyid Jamaluddin
lah yang menjadi “bapak nasionalisme Mesir di dalam segenap bagianbagiannya”.
Dan bukan Seyid Jamaluddin
sahajalah yang menjadi penanam benih nasionalisme dan cinta-bangsa. Arabi
Pasha, Mustafa Kamil, Mohammad Farid Bey, Ali Pasha, Ahmed Bey Agayeff,
Mohammad Ali dan Shaukat Ali … semuanya adalah panglimanya Islam yang mengajarkan
cinta-bangsa, semuanya adalah propagandis nasionalisme di masing-masing
negerinya! Hendaklah pemimpin-pemimpin ini menjadi teladan bagi Islamis-islamis
kita yang “fanatik” dan sempit-budi, dan yang tidak suka mengetahui akan
wajibnya merapatkan diri dengan gerakan bangsanya yang nasionalistis. Hendaklah
Islamis-islamis yang demikian itu ingat, bahwa pergerakannya yang anti-kafir
itu, pastilah menimbulkan rasa nasionalisme, oleh karena golongan-golongan yang
disebutkan kafir itu adalah kebanyakan dari lain bangsa, bukan bangsa
Indonesia! Islamisme yang memusuhi pergerakan nasional yang layak bukanlah
Islamisme yang sejati; Islamisme yang demikian itu adalah Islamisme yang
“kolot”, Islamisme yang tak mengerti aliran zaman!
Demikian pula kita yakin, bahwa
kaum Islamis itu bisalah kita rapatkan dengan kaum Marxis, walaupun pada
hakekatnya dua fihak ini berbeda azas yang lebar sekali. Pedihlah hati kita,
ingat akan gelap-gulitanya udara Indonesia, tatkala beberapa tahun yang lalu
kita menjadi saksi atas suatu perkelahian saudara; menjadi saksi pecahnya permusuhan
antara kaum Marxis dan Islamis; menjadi saksi bagaimana tentara pergerakan kita
telah terbelah jadi dua bahagian yang memerangi satu sama lainnya. Pertarungan
inilah isinya halaman-halaman yang paling suram dari buku-riwayat kita!
Pertarungan saudara inilah yang membuang sia-sia segala kekuatan pergerakan
kita, yang mustinya makin lama makin kuat itu; pertarungan inilah yang
mengundurkan pergerakan kita dengan puluhan tahun adanya!
Aduhai! Alangkah kuatnya
pergerakan kita sekarang umpama pertarungan saudara itu tidak terjadi. Niscaya
kita tidak rusak-susunan sebagai sekarang ini; niscaya pergerakan kita maju,
walaupun rintangan yang bagaimana juga!
Kita yakin, bahwa tiadalah
halangan yang penting bagi persahabatan Muslim-Marxis itu. Di atas sudah kita
terangkan, bahwa Islamisme yang sejati itu ada mengandung tabiat-tabiat yang
sosialistis. Walaupun sosialistis itu masih belum tentu bermakna Marxistis,
walaupun kita mengetahui bahwa sosialisme Islam itu tidak bersamaan dengan azas
Marxisme, oleh karena sosialisme Islam itu berazas Spiritualisme, dan
sosialismenya Marxisme itu berazas Materialisme (perbendaan); walaupun begitu,
maka untuk keperluan kita cukuplah agaknya jikalau kita membuktikan bahwa Islam
sejati itu sosialistislah adanya.
Kaum Islam tak boleh lupa,
bahwa pemandangan Marxisme tentang riwayat menurut azas-perbendaan
(materialistische historie opvatting) inilah yang seringkali menjadi
penunjuk-jalan bagi mereka tentang soal-soal ekonomi dan politik-dunia yang
sukar dan sulit; mereka tak boleh pula lupa, bahwa caranya (methode) Historis-Materialisme
(ilmu perbendaan berhubungan dengan riwayat) menerangkan kejadian-kejadian
yang telah terjadi di muka-bumi ini, adalah caranya menujumkan
kejadian-kejadian yang akan datang, adalah amat berguna bagi mereka!
Kaum Islamis tidak boleh lupa,
bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula! Sebab
meerwaarde sepanjang faham Marxisme, dalam hakekatnya tidak lainlah daripada
riba sepanjang faham Islam. Meerwaarde, ialah teori: memakan hasil pekerjaan
lain orang, tidak memberikan bahagian keuntungan yang seharusnya menjadi
bahagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung itu, – teori meerwaarde
itu disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menerangkan asal-asalnya
kapitalisme terjadi. Meerwaarde inilah yang menjadi nyawa segala peraturan yang
bersifat kapitalistis; dengan memerangi meerwaarde inilah, maka kaum Marxisme
memerangi kapitalisme sampai pada akar-akarnya!
Untuk Islamis sejati, maka
dengan lekas sahaja teranglah baginya, bahwa tak layaklah ia memusuhi faham
Marxisme yang melawan peraturan meerwaarde itu, sebab ia tak lupa, bahwa Islam
yang sejati juga memerangi peraturan itu; ia tak lupa, bahwa Islam yang sejati
melarang keras akan perbuatan memakan riba dan memungut bunga. Ia mengerti,
bahwa riba ini pada hakekatnya tiada lain daripada meerwaardenya faham Marxisme
itu!
“Janganlah makan riba
berlipat-ganda dan perhatikanlah kewajibanmu terhadap Allah, moga-moga kamu
beruntung!”, begitulah tertulis dalam Al Qur’an, surah Al ‘Imran, ayat 129!
Islamis yang luas pemandangan,
Islamis yang mengerti akan kebutuhan-kebutuhan perlawanan kita, pastilah
setuju akan persahabatan dengan kaum Marxis, oleh sebab ia insyaf bahwa memakan
riba dan pemungutan bunga, menurut agamanya adalah suatu perbuatan yang
terlarang, suatu perbuatan yang haram; ia insyaf, bahwa inilah caranya Islam
memerangi kapitalisme sampai pada akar dan benihnya, oleh karena, sebagai yang
sudah kita terangkan di muka, riba ini sama dengan meerwaarde yang menjadi
nyawanya kapitalisme itu. Ia insyaf, bahwa sebagai Marxisme, Islam pula,
“dengan kepercayaannya pada Allah, dengan pengakuannya atas Kerajaan Tuhan,
adalah suatu protes terhadap kejahatannya kapitalisme”.
Islamis yang “fanatik” dan
memerangi pergerakan Marxisme adalah Islamis yang tak kenal akan
larangan-larangan agamanya sendiri. Islamis yang demikian itu tak mengetahui,
bahwa, sebagai Marxisme, Islamisme yang sejati melarang penumpukan uang secara
kapitalistis, melarang penimbunan harta-benda untuk keperluan sendiri. Ia tak
ingat akan ayat Al Qur’an: “Tetapi kepada barang siapa menumpuk-numpuk emas dan
perak dan membelanjakan dia tidak menurut jalannya Allah khabarkanlah akan
mendapat satu hukuman yang celaka!” Ia mengetahui, bahwa sebagai Marxisme yang
dimusuhi itu agama Islam dengan jalan yang demikian itu memerangi wujudnya
kapitalisme dengan seterang-terangnya!
Dan masih banyaklah
kewajiban-kewajiban dan ketentuan-ketentuan dalam agama Islam yang bersamaan
dengan tujuan-tujuan dan maksud-maksud Marxisme itu! Sebab tidakkah pada
hakekatnya faham kewajiban zakat dalam agama Islam itu, suatu kewajiban si kaya
membagikan rezekinya kepada si miskin, pembagian-rezeki mana dikehendaki pula
oleh Marxisme, – tentu sahaja dengan cara Marxisme sendiri? Tidakkah Islam
bercocokan anasir-anasir “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan” dengan
Marxisme yang dimusuhi oleh banyak kaum Islamis itu? Tidakkah Islam yang sejati
telah membawa “segenap perikemanusiaan di atas lapang kemerdekaan, persamaan
dan persaudaraan”? Tidakkah nabi-Islam sendiri telah mengajarkan persamaan itu
dengan sabda: “Hai, aku ini hanialah seorang manusia sebagai kamu; sudahlah
dilahirkan padaku, bahwa Tuhanmu ialah Tuhan yang satu?” Bukankah persaudaraan
ini diperintahkan pula oleh ayat 13 Surah Al-Hujarat, yang bunyinya: “Hai
manusia, sungguhlah kami telah menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, dan kami jadikan dari padamu suku-suku dan cabang-cabang
keluarga, supaya kamu berkenalkenalan satu sama lain?” Bukankah persaudaraan
ini “tidak tinggal sebagai persaudaraan di dalam teori sahaja”, dan oleh
orang-orang yang bukan Islam diaku pula adanya? Tidakkah sayang beberapa
kaum Islamis memusuhi suatu pergerakan, yang anasir-anasirnya juga berbunyi
“kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan”?
Hendaklah kaum Islam yang tak
mau merapatkan diri dengan kaum Marxis, sama ingat, bahwa pergerakannya itu,
sebagai pergerakan Marxis, adalah suatu gaung atau kumandangnya jerit dan
tangis rakyat Indonesia yang makin lama makin sempit kehidupannya, makin lama
makin pahit rumah tangganya. Hendaknya kaum itu sama ingat, bahwa pergerakannya
itu dengan pergerakan Marxis, banyaklah persesuaian cita-cita, banyak lah
persamaan tuntutan-tuntutan.
Hendaklah kaum itu mengambil
teladan akan utusan kerajaan Islam Afghanistan, yang tatkala ia ditanyai oleh
suatu surat khabar Marxis telah menerangkan, bahwa, walaupun beliau bukan
seorang Marxis beliau mengaku menjadi “sahabat yang sesungguh-sungguhnya” dari
kaum Marxis, oleh karena beliau adalah suatu musuh yang haibat dari kapitalisme
Eropah di Asia!
Sayang, sayanglah jikalau
pergerakan Islam di Indonesia-kita ini bermusuhan dengan pergerakan Marxis itu!
Belum pernahlah di Indonesia-kita ini ada pergerakan, yang
sesungguh-sungguhnya merupakan pergerakan rakyat, sebagai pergerakan Islam dan
pergerakan Marxis itu! Belum pernahlah di negeri-kita ini ada pergerakan yang
begitu menggetar sampai ke dalam urat-sungsumnya rakyat, sebagai pergerakan
yang dua itu! Alangkah haibatnya jikalau dua pergerakan ini, dengan mana rakyat
itu tidur dan dengan mana rakyat itu bangun, bersatu menjadi satu banjir yang
sekuasa-kuasanya!
Bahagialah kaum
pergerakan-Islam yang insyaf dan mau akan persatuan. Bahagialah mereka, oleh
karena merekalah yang sesungguh-sungguhnya menjalankan perintah-perintah
agamanya!
Kaum Islam yang tidak mau akan
persatuan, dan yang mengira bahwa sikapnya yang demikian itulah sikap yang
benar, – wahai, moga-mogalah mereka itu bisa mempertanggungkan sikapnya yang
demikian itu di hadapan Tuhannya!
MARXISME!
Mendengar perkataan ini, maka tampak sebagai suatu bayang-bayangan
di penglihatan kita gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala
bangsa dan negeri, pucat-muka dan kurus-badan, pakaian berkoyak-koyak ; tampak
pada angan-angan kita dirinya pembela dan kampiun si mudlarat tadi, seorang
ahli-fikir yang ketetapan hatinya dan keinsyafan akan kebisaannya “mengingatkan
kita pada pahlawan-pahlawan dari dongeng-dongeng kuno Germania yang sakti
dengan tiada teralahkan itu”, suatu manusia yang “geweldig” (haibat) yang
dengan sesungguh-sungguhnya bernama “grootmeester” (maha guru) pergerakan kaum
buruh, yakni: Heinrich Karl Marx.
Dari muda sampai pada wafatnya,
manusia yang haibat ini tiada berhenti-hentinya membela dan memberi penerangan
pada si miskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara dan bagaimana
mereka itu pasti akan mendapat kemenangan; tiada kesal dan capainya ia berusaha
dan bekerja untuk pembelaan itu: duduk di atas kursi, di muka meja-tulisnya,
begitulah ia dalam tahun 1883 menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
Seolah-olah mendengarlah kita
di mana-mana negeri suaranya mendengung sebagai guntur, tatkala ia dalam tahun
1847 menulis seruannya :
“Kaum buruh dari semua negeri,
kumpullah menjadi satu!” Dan sesungguhnya! Riwayat-dunia belumlah pernah
menceriterakan pendapat dari seorang manusia, yang begitu cepat masuknya dalam
keyakinan satu golongan pergaulan-hidup, sebagai pendapatnya kampiun kaum buruh
ini. Dari puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan, dari ribuan
menjadi laksaan, ketian, jutaan .. begitulah jumlah pengikutnya
bertambah-tambah. Sebab, walaupun teori-teorinya ada sangat sukar dan berat
untuk kaum yang pandai dan terang-fikiran, tetapi “amatlah ia gampang
dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara: kaum melarat fikiran yang
berkeluh-kesah itu”. (Bersambung ke Bagian Keempat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar