Oleh Willem Oltmans
Pada paruh kedua abad
ke-20 virus anti komunis menyebar dari Washington ke semua benua di planet ini.
Obsesi Amerika menentang Marxisme-Leninisme disebarkan dengan cara apa saja
yang dapat dipakai, sering dengan tindakan jahat yang dilakukan secara rahasia
oleh pasukan misterius anggota Tim Rahasia yang menggunakan teror sebagai
senjata internasionalnya, CIA, dan unit intelijen lainnya dalam struktur
kekuasaan Amerika Serikat. Para pemimpin negara Asia Afrika yang non-blok sama
sekali tidak beranggapan demikian dan oleh sebab itu, mereka dipandang sebagai
lawan bagi Pax Americana. Mereka disingkirkan satu per satu. Kwame Nkrumah dari
Ghana dijatuhkan ketika ia berada di Cina. Norodom Sihanouk digulingkan saat ia
berada di Moskow. Presiden Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem dan saudaranya
ditembak mati seperti anjing. Diem mula-mula diambil dari sebuah lembaga
keagamaan di dekat Philadelphia untuk berfungsi sebagai ‘Gauleiter’ untuk
Washington di Saigon.
Tetapi setelah
pemerintahan JFK menganggap ia sudah tidak lagi bermanfaat, ia didepak begitu
saja. Jenderal-jenderal pengkhianat di Vietnam Selatan silih berganti
dimanfaatkan oleh Tim Rahasia, tetapi mereka itu diperkenankan menghabiskan masa
hidupnya di AS setelah setiap perbuatan makar (coup) baru terjadi di Saigon.
Ketika Bung Karno digulingkan pada tahun 1965 oleh perwira Indonesia yang
berkhianat, Adam Malik mengubah haluan dari yang semula menjadi teman Bung
Karno, kemudian memihak Soeharto, mulai melobi orang-orang di sekitarnya untuk
memohon presiden ini pergi meninggalkan Indonesia demi kebaikannya sendiri, dan
tinggal di luar negeri, seperti yang dilakukan Kaisar Bao Dai. Kaisar ini
meninggalkan Vietnam dan menjauhkan diri tinggal di sebuah vila di Riviera
Prancis. Soekarno menolak, tanpa menyadari niat sebenarnya dari para jenderal
pembelot di sekitar Soeharto, yang berniat membiarkan Bung Karno mati merana
seperti bunga yang tak diberi air. Bung Karno telah diberitahu mengenai ancaman
ini tetapi ia tidak pernah mau percaya bahwa mereka akan melakukannya.
Di bulan Oktober 1966,
setahun setelah pergolakan yang direkayasa CIA di Jakarta, hampir setiap hari
saya duduk bersama Presiden Soekarno, dan sarapan di teras belakang Istana
Merdeka. Kadang-kadang kami melanjutkan obrolan kami pada akhir pekan di daerah
pegunungan di Bogor, tempat ia tinggal bersama Ibu Hartini Soekarno di sebuah
bungalo kecil di lahan istana presiden yang dibangun di zaman penjajahan
sebagai tempat peristirahatan Gubernur Jenderal Belanda, menghindar dari udara
panas Jakarta. Kami selalu bercakap-cakap dalam bahasa Belanda, bahasa yang
dikuasai dengan sangat baik oleh Bung Karno, berbeda dengan Soeharto yang tidak
menguasai bahasa asing, karena pendidikannya yang rendah atau sama sekali tidak
ada.
Tanggal 6 Oktober 1966,
Presiden Soekarno mengejutkan saya dengan bertanya, ‘Mengapa Dubes Marshall
Green tidak kembali dari Washington?’ Tampaknya, Green pergi untuk memberi
penjelasan singkat kepada Tim Rahasia yang tidak sabar itu, menjelaskan mengapa
pada tahun 1966 itu Soekarno masih menjadi kepala negara, karena secara
de-facto kekuasaan sudah di tangan Soeharto sejak tahun 1965. Green rupanya
telah memberitahu atasannya bahwa junta itu sangat takut dan tidak berani
menyentuh Bung Karno, khawatir akan terjadi pemberontakan secara nasional.
Soekarno juga tersadar bahwa Green pernah menjabat sebagai Dubes Korea Selatan
ketika Presiden Syngman Rhee digantikan oleh Jenderal Park Chung Hee. LBJ
mencatat dalam buku kenangannya (memoirs), percobaan pembunuhan terhadap Park
setelah itu, yang dapat dicegah oleh sebuah mukjizat. Seperti biasa, mantan
Presiden Johnson juga tidak merinci siapa yang bertanggung jawab dalam kup di
Seoul. Omong kosong yang ditulis LBJ dalam ‘The Vantage Point’ (Popular
Library, New York, 1971) mengenai fitnah terhadap Soekarno yang condong ke PKI
atau Cina, tidak ada kaitannya dengan pikiran Bung Karno atau kedudukannya
sebagai pemimpin Indonesia. Tulisannya hanya mencerminkan angan-angan yang ada
di lingkungan Tim Rahasia, yang memberitahu presiden mereka sehubungan dengan
obsesi mereka sendiri yang anti Marxisme. Presiden Johnson dengan datar
mengatakan bahwa peristiwa 30 September 1965 adalah kup komunis dan ‘Amerika Serikat
tidak ada peranannya di dalam kup-tandingannya (oleh Soeharto)’.
Ketika rakyat Indonesia
menanyakan saya pada tahun 2001, mana bukti yang mengatakan bahwa yang terjadi
di tahun 1965 itu adalah campur tangan CIA di negeri kami, misalnya dengan
mempertimbangkan bagian dari buku yang ditulis orang yang pada tahun 1965
menjadi Presiden Amerika Serikat, saya jawab sebagai berikut. Pada tahun 1967
LBJ menolak dicalonkan kembali untuk masa jabatan yang kedua di Gedung Putih.
Mengapa ia menolak? Di tahun 1964, armada perang AS diduga telah diserang oleh
Vietnam Utara di Teluk Tonkin. LBJ percaya akan apa yang dikatakan orang
kepadanya, namun beberapa tahun kemudian ia mengetahui, bahwa perang di laut
itu direkayasa CIA agar presiden akhirnya memerintahkan pemboman atas Hanoi dan
Haiphong, tindakan yang ditahannya karena khawatir mencelakai banyak rakyat
biasa. Tim Rahasia menciptakan peristiwa Teluk Tonkin untuk membuat LBJ marah
dan memutuskan untuk bertindak seperti yang dikehendaki Tim Rahasia tersebut.
Ketika LBJ pada akhirnya mengetahui bahwa saat itu ia, dan berkali-kali
sesudahnya, telah dengan sengaja dikelabui dinas rahasia ini, ia membuat
pernyataan di televisi yang terkenal, mengenai alasannya menolak menjadi
presiden untuk kedua kalinya. ‘Saya tidak dapat mengendalikan kelompok Mafia
terkutuk (CIA) ini.’ Akhirnya, Johnson menyadari sepenuhnya bahwa memang ada
‘pemerintah di dalam pemerintah’ dan yang ini tidak dapat dikendalikannya.
Pada tanggal 6 Oktober
1966, saya teringat akan pertemuan saya dengan Green di tahun 1958 di
Departemen Luar Negeri di Washington. Saya memutuskan akan menemuinya
sekembalinya ia ke Jakarta. Saya menemuinya pada tanggal 20 Oktober di
kantornya di kedutaan. Ia kelihatan agak bingung ketika mendengar ceritera saya
mengenai berita yang saya peroleh dari berbagai sumber yang berwenang, bahwa ia
dipandang sebagai ancaman bagi negara dan dicurigai telah sangat terlibat dalam
usaha Soeharto merebut kekuasaan. Hal ini membuatnya marah. Ia mengatakan bahwa
ia tidak menentang presiden. ‘Tetapi, ia tidak pernah memberiku kesempatan.’
‘Apakah Anda terkejut setelah apa yang dilakukan Washington di sini selama
tahun-tahun terakhir ini?’ saya balas bertanya. ‘Tuan Oltmans,’ demikian
jawabnya, ‘pada hari yang sama saat saya menyerahkan surat kepercayaan saya
sebagai Dubes AS, ia mengundang saya masuk dan berbicara dengan para mahasiswa,
“ini agen imperialisme”.’ Saya hanya satu kali berkesempatan berbicara
dengannya empat mata selama satu jam, yang berlangsung amat baik. Ia bahkan
mengantar saya sampai ke mobil saya. Tetapi ketika saya kembali ke kedutaan
ini, para perusuh melempari jendela gedung ini dengan batu.
Namun, setelah bertukar
pandangan selama dua jam, bahkan Green mengakui, dan ini mengejutkan saya,
bahwa ia membenarkan Bung Karno yang tidak mempercayai Amerika Serikat dan
terutama cara kotor yang dipakai CIA. Pada akhir pertemuan kami, saya sarankan
kepadanya agar ia sebaiknya membuka kembali hubungan dengan Presiden ini,
karena dubes dari berbagai negara lain menemaninya sarapan di istana, sementara
ketidakhadirannya tampak mencolok. Ia menjawab, bahwa ia akan datang apabila
ada jaminan bahwa ia akan diterima dengan baik. Reaksinya ini menyebabkan saya
menceriterakan ihwal percakapan saya dengan Dubes AS ini keesokan harinya
kepada Bung Karno. Kesan saya adalah, bahwa presiden tidak berkeberatan Green
datang sebagai tamu untuk makan pagi bersama. Saya sampaikan pesan ini ke
sekretaris Green yang mengatakan, ‘Baik, bagus, tetapi siapa yang mengundang
siapa?’
Dua hari kemudian saya
mengunjungi Soekarno dan Ibu Hartini untuk bersantap malam di Bogor. Kami naik
mobil Lincoln Continental dari bungalo ke istana untuk menonton film. Di dalam
mobil, presiden tiba-tiba bertanya, ‘Apa yang dimaksud Green ketika ia
mengatakan bahwa ia memahami ketidakpercayaan saya kepada CIA atas apa yang
mereka lakukan di sini selama bertahun-tahun?’ ‘Ia mengakui begitu saja, bahwa
Anda punya alasan untuk mencurigai CIA,’ jawab saya. ‘Apakah ia menjelaskan
bagaimana mahasiswa yang membuat kerusuhan itu mendapat jaket penyamarannya?’
tanya Bung Karno. Pada umumnya orang menduga bahwa CIA telah memberi para
mahasiswa yang berunjuk rasa menentang Soekarno, pakaian militer. Saya jelaskan
bahwa Green mengelak menjawab pertanyaan ini. Bung Karno mengakhiri pembicaraan
ini dengan: ‘Apakah ada manfaatnya bila saya mengundangnya sarapan? Green sudah
bertindak subversif.’ Kami tidak lagi membincangkan masalah ini dan Green tidak
muncul lagi. Tidak lama kemudian Green meninggalkan Indonesia dan jabatannya
sebagai dubes.
Presiden Soekarno tahu
bahwa saya membuat film dokumenter mengenai Orde Baru-nya Soeharto. Sangatlah
penting untuk menambah nilai hasil akhir kerja saya bila saya dapat menampilkan
jenderal ini di depan kamera saya. Tetapi, sekali lagi, saya tidak menyadari
saat itu bahwa ia, atas alasan kepraktisan, telah menggantikan Bung Karno. Saya
bicarakan masalah ini dengan presiden, karena semua usaha saya lewat Kolonel
Sutikno, teman saya selama sepuluh tahun dan tangan kanan Soeharto, gagal. Lagi
pula, jenderal tersebut juga belum pernah diwawancarai untuk film televisi bagi
kamera asing sebelumnya. Oleh sebab itu, tantangannya di sini ialah untuk
meraih yang ‘tak mungkin’. Saya hanya bisa melakukannya dengan bantuan
presiden.
Pada suatu upacara di
Istana Merdeka dalam rangka pelantikan Dubes Indonesia yang baru untuk Pakistan
dengan sumpah jabatan terhadap Presiden Soekarno, tanpa diduga Bung Karno
mendatangi Soeharto dengan berkata, ‘Mengapa Anda tidak mengizinkan Oltmans mewawancaraimu
untuk siaran televisi?’ Soeharto tampaknya menganggap hal ini sebagai perintah
presiden. Ia menerima perintah ini dan dengan salam militer ia berkata kepada
saya dalam bahasa Indonesia, bahwa ia menunggu kedatangan saya keesokan harinya
pukul 09:00 pagi bersama awak kamera saya di rumahnya, Jalan Cendana 8.
Sekali lagi saya tegaskan
bahwa ketika saya merekam film Soeharto pada tanggal 25 Oktober 1966, saya
tidak sadar akan apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia sejak 1 Oktober 1965.
Selama sepuluh tahun, saya hanya mengenal Soekarno sebagai orang yang berkuasa
penuh. Saya tidak menyadari, bahwa perwira Angkatan Bersenjata yang menyalami
saya secara militer ini, Soeharto, sebenarnya terlibat dalam permainan wayang
kulit Jawa yang mengerikan untuk merebut kekuasaan dari kepala negara yang sah,
panglima besarnya sendiri. Media Barat kebanyakan mengacuhkan peristiwa
berdarah yang dilakukan Soeharto dan pengikutnya terhadap pendukung Soekarno
dan kaum komunis. Dalam wawancara untuk film saya pagi itu, saya menyinggung
mengenai rumor bahwa sejumlah lawannya telah hilang, tetapi saya sama sekali
tidak tahu, bahwa pelanggaran besar Soeharto atas hak asasi manusia, terus
berlangsung selama ini. Lagi pula, ia menjawab pertanyaan saya dengan bahasa
Indonesia, dan Kolonel Sutikno, yang bertindak sebagai juru bahasa, juga tidak
memberi saya gambaran yang jelas mengenai apa yang sebenarnya dikatakan jenderal
yang menjadi atasannya itu.
‘Kami kurang waspada dalam
masalah politik,’ demikian antara lain kata Soeharto. ‘Di masa lalu kami
betul-betul percaya bahwa PKI berjuang untuk kepentingan rakyat, bekerja sama
dengan kelompok masyarakat lainnya. Kami telah menghadapi kerusuhan sebanyak
dua kali, yang disebabkan oleh kaum komunis. Yang pertama pada tahun 1948 di
Madiun dan yang kedua, setahun yang lalu dengan kup oleh Untung dan kelompoknya
pada tanggal 30 September 1965. Kami harus berupaya agar ‘pemberontakan’
semacam itu tidak terjadi untuk yang ketiga kalinya. Oleh sebab itu, kami akan
mengupayakan segala hal yang kami anggap perlu untuk mencegah PKI memperoleh
kekuatannya kembali.’ Saya menyatakan keraguan saya bahwa PKI-lah yang menjadi
biang keladi di tahun 1965. ‘Apakah Anda pernah memikirkan,’ tegasnya, ‘apa
yang akan dilakukan kaum komunis terhadap kita apabila yang menang pada tahun
1965 itu PKI dan bukan ABRI?’ Kalau saya ingat kembali ke wawancara penting di
tahun 1966 itu, saya masih merasa malu bahwa saya kurang siap untuk menanggapi
pertanyaan mendasar mengenai pembunuhan masal, yang dilakukan pria ini bersama
konco-konconya pada saat itu.
Pada awal bulan itu, saya
terlibat dalam pertukaran pendapat secara tidak langsung, yang terjadi di
antara Soekarno dan Soeharto melalui Kolonel Sutikno Lukitodisastro. Sutikno
telah berusaha meyakinkan saya, bahwa kedudukan Presiden Soekarno masih
terjamin, apabila ia bersedia mengutuk PKI karena telah memicu ‘Gerakan 30
September’ (G30S). Dari percakapan saya dengan Bung Karno sambil sarapan, saya
tahu bahwa hal ini sungguh tidak mungkin, karena presiden menganggap tindakan
Soeharto pada tanggal 1 dan 2 Oktober 1965 sebagai tindakan tidak sah dan
kontra-revolusi. Sementara beberapa perwira menyebut kelompok Untung sebagai
‘Gestapu’, presiden menyebut gerakan Soeharto ‘Gestok’, kependekan dari Gerakan
Satu Oktober. Bagi presiden, peristiwa yang terjadi pada hakikatnya adalah
masalah intern ABRI. Ia menerima dua laporan rahasia dan tidak mempercayai
keduanya. Saya menemukannya pada tahun 1966 itu sebagai orang yang masih
mencari-cari, ‘petasan’ yang mana yang meledak pertama kali selama pergolakan
di tahun 1965 itu. Di dalam buku ‘Bung Karno Sahabatku’ saya beberkan lebih
lanjut rincian percakapan yang saya atur langsung di antara presiden dan
Kolonel Sutikno, yang menjadi salah seorang perwira di lingkungan-dalam
Soeharto. Kami bertemu pada tanggal 11 Oktober 1966 untuk sarapan bersama di
teras samping Istana Merdeka. Kemudian Bung Karno mengundang Sutikno dan saya
masuk ke dalam. Kami berbicara selama 45 menit. Kolonel itu menyebutkan
masalahnya, bahwa bila saja presiden menuduh PKI sebagai kelompok yang
mendalangi makar tahun 1965 itu, maka ia telah mengabdi pada bangsanya dengan
baik dan tetap menjadi kepala negara. Presiden Soekarno menolaknya dengan marah
dan mengatakan ia tahu bahwa PKI tidak bersalah dalam upaya menggulingkan
dirinya. Sebenarnya, saya terkejut akan sikapnya itu, bahwa apabila
ketidakmauannya mengutuk kaum komunis Indonesia itu berarti ia akan kehilangan
kursi kepresidenannya, maka itulah yang terjadi.
Setelah pertemuan kami,
Kolonel Sutikno mengantar saya dengan jipnya kembali ke Hotel Indonesia. Ia
sangat optimis dan berkata, ‘Pertemuan tadi sangat bagus. Sekarang, orang tua
itu (dalam bahasa Belanda ia menyebut ‘de oude heer’, karena Soekarno sering
disebut demikian oleh teman-temannya) akan memikirkan hal ini nanti malam.’
Tampaknya ia mengira presiden akhirnya akan tunduk kepada tuntutan dari para
perwira di sekeliling Soeharto. Jelas saya tidak sepakat dengannya, dan saya
sadar lagi, bahwa sampai saat itu saya baru memahami pikiran presiden Indonesia
yang pertama ini, jauh lebih baik daripada kebanyakan orang yang ada di
kelilingnya. Betapa seringnya ia dituduh, misalnya oleh Joseph Luns di dalam
buku kenang-kenangan Perdana Menteri Belanda itu, sebagai oportunis total
dengan satu tujuan saja, yaitu ingin tetap berkuasa?
Setelah ia dikhianati pada
tahun 1965 oleh beberapa perwira militer dan kawan politiknya yang terdekat, karakter
Bung Karno yang sebenarnya muncul ke permukaan lagi agar dilihat semua orang.
Ia tentu saja bisa pergi ke luar negeri dan hidup bebas dan tidak dianiaya
sampai akhir hidupnya. Bagi Bung Karno, cara seperti itu cara pengecut. Ia
memilih untuk tinggal dan menerima perlakuan buruk atau siksaan mental apa pun
yang disiapkan musuh-musuhnya untuk dikenakan terhadap dirinya. Komplotan
Soeharto ternyata adalah pemenjara yang paling kejam. Mereka tidak ragu-ragu
membunuh dia, bapak bangsa ini, dengan menghinanya dan mengucilkannya secara
total. Saya akan menjelaskan sejelas-jelasnya di sini: Soeharto dan
konco-konconya adalah pembunuh Bung Karno. Tim Rahasia dan CIA adalah biang
keroknya, karena mereka menjadi penggerak utama dalam meracuni pikiran beberapa
perwira Indonesia dengan pemikiran, bahwa membunuh Soekarno merupakan tugas
patriotik ditinjau dari sudut menyebarnya aliran komunis ke Korea, Vietnam dan
barangkali suatu hari juga ke Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar