oleh Ir.
Soekarno (Bung Karno)
Sebagai Aria Bima-putera, yang lahirnya dalam
zaman perjuangan, maka INDONESIA-MUDA inilah melihat cahaya hari pertama-tama
dalam zaman yang rakyat-rakyat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang
dengan nasibnya. Tak senang dengan nasib-ekonominya, tak senang dengan
nasib-politiknya, tak senang dengan segala nasib yang lain-lainnya.
Zaman “senang dengan apa adanya”, sudahlah
lalu.
Zaman baru: zaman muda, sudahlah datang
sebagai fajar yang terang cuaca.
Zaman teori kaum kuno, yang mengatakan, bahwa
“siapa yang ada di bawah, harus terima-senang, yang ia anggap cukup-harga duduk
dalam perbendaharaan riwayat, yang barang kemas-kemasnya berguna untuk
memelihara siapa yang lagi berdiri dalam hidup”, kini sudahlah tak mendapat
penganggapan lagi oleh rakyat-rakyat Asia itu. Pun makin lama makin tipislah
kepercayaan rakyat-rakyat itu, bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu,
adalah sebagai “voogd” yang kelak kemudian hari akan “ontvoogden” mereka; makin
lama makin tipislah kepercayaannya, bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu
ada sebagai “saudara-tua”, yang dengan kemauan sendiri akan melepaskan mereka,
bilamana mereka sudah “dewasa”, “akil-balig”, atau “masak”.
Sebab tipisnya kepercayaan itu adalah bersendi
pengetahuan, bersendi keyakinan, bahwa yang menyebabkan kolonisasi itu bukanlah
keinginan pada kemasyhuran, bukan keinginan melihat dunia-asing, bukan
keinginan merdeka, dan bukan pula oleh karena negeri rakyat yang menjalankan
kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banyaknya penduduk, – sebagai yang
telah diajarkan oleh Gustav Klemm –, akan tetapi asalnya kolonisasi ialah
teristimewa soal rezeki.
“Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi
ialah hampir selamanya kekurangan bekal – hidup dalam tanah-airnya sendiri”,
begitulah Dietrich Schafer berkata. Kekurangan
rezeki, itulah yang menjadi sebab rakyat-rakyat Eropah mencari rezeki di
negeri lain! Itulah pula yang menjadi sebab rakyat-rakyat
itu menjajah negeri-negeri, di mana mereka bisa mendapat rezeki itu. Itulah
pula yang membikin “ontvoogding”-nya negeri-negeri jajahan oleh negeri-negeri
yang menjajahnya itu, sebagai suatu barang yang sukar dipercayainya. Orang tak
akan gampang-gampang melepaskan bakul-nasinya, jika pelepasan bakul itu
mendatangkan matinya!
Begitulah, bertahun-tahun, berwindu-windu,
rakyat-rakyat Eropah itu mempertuankan negeri-negeri Asia. Berwindu-windu
rezeki-rezeki Asia masuk ke negerinya. Teristimewa Eropah-Barat lah yang bukan
main tambah kekayaannya.
Begitulah tragiknya riwayat-riwayat
negeri-negeri jajahan! Dan keinsyafan akan tragik inilah yang menyadarkan
rakyat-rakyat jajahan itu; sebab, walaupun lahirnya sudah kalah dan takluk,
maka Spirit of Asia masihlah kekal. Roh
Asia masih hidup sebagai api yang tiada padamnya! Keinsyafan akan tragik inilah
pula yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat di Indonesia-kita, yang
walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga sifat: NASIONALISTIS, ISLAMISTIS
dan MARXISTIS lah adanya.
Mempelajari, mencahari hubungan antara ketiga
sifat itu, membuktikan, bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak
guna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini
bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang mahabesar dan maha-kuat,
s a t u ombak-taufan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang
kita semua harus memikulnya.
Akan hasil atau tidaknya kita menjalankan
kewajiban yang seberat dan semulia itu, bukanlah kita yang menentukan. Akan
tetapi, kita tidak boleh putus-putus berdaya-upaya, tidak boleh habis-habis
ikhtiar menjalankan kewajiban ikut mempersatukan gelombang-gelombang tadi itu!
Sebab kita yakin, bahwa p e r s a t u a n l a h yang kelak kemudian
hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia-Merdeka!
Entah bagaimana tercapainya persatuan itu;
entah pula bagaimana rupanya persatuan itu; akan tetapi tetaplah, bahwa kapal
yang membawa kita ke-Indonesia-Merdeka itu, ialah Kapal-Persatuan adanya! Mahatma,
jurumudi yang akan membuat dan mengemudikan Kapal Persatuan itu kini
barangkali belum ada, akan tetapi yakinlah kita pula, bahwa kelak kemudian hari
mustilah datang saatnya, yang Sang-Mahatma itu berdiri di tengah kita!
Itulah sebabnya kita dengan besar hati
mempelajari dan ikut meratakan jalan yang menuju persatuan itu. Itulah
maksudnya tulisan yang pendek ini.
NASIONALISME, ISLAMISME, DAN MARXISME!
Inilah azas-azas yang dipeluk oleh
pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi r
o h n y a pergerakan-pergerakan di Asia itu. Rohnya pula pergerakan-pergerakan
di Indonesia-kita ini.
Partai Boedi Oetomo, “marhum” Nationaal
Indische Partij yang kini masih “hidup”, Partai Sarekat Islam, Perserikatan
Minahasa; Partai Komunis Indonesia, dan masih banyak partai-partai lain itu
masing-masing mempunyai roh Nasionalisme, roh Islamisme, atau roh Marxisme
adanya. Dapatkah roh-roh ini dalam politik jajahan bekerja bersama-sama menjadi
satu Roh yang Besar, Roh Persatuan? Roh Persatuan, yang akan membawa kita ke
lapang ke-Besaran?
Dapatkah dalam tanah jajahan pergerakan
Nasionalisme itu dirapatkan dengan pergerakan Islamisme yang pada hakekatnya
tiada bangsa, dengan pergerakan Marxisme yang bersifat perjuangan internasional?
Dapatkah Islamisme itu, ialah sesuatu agama,
dalam politik jajahan bekerja bersama-sama dengan Nasionalisme yang
mementingkan bangsa, dengan materialismenya Marxisme yang mengajar perbendaan?
Akan hasilkah usaha kita merapatkan Boedi
Oetomo yang begitu sabar-halus (gematigd), dengan Partai Komunis Indonesia yang
begitu keras sepaknya, begitu radical-militan terjangnya? Boedi Oetomo yang
begitu evolusioner, dan Partai Komunis Indonesia, yang walaupun kecil sekali,
oleh musuh-musuhnya begitu didesak dan dirintangi, oleh sebab rupa-rupanya
musuh-musuh itu yakin akan peringatan A l C a r t h i l l, bahwa “yang
mendatangkan pemberontakan-pemberontakan itu biasanya bagian-bagian yang
terkecil, dan bagian-bagian yang terkecil sekali”?
NASIONALISME! KEBANGSAAN!
Dalam
tahun 1882 Ernest Renan telah membuka pendapatnya tentang faham “bangsa” itu.
“Bangsa” itu menurut pujangga ini ada suatu nyawa, suatu azas-akal, yang
terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama
menjalani satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan,
keinginan hidup menjadi satu. Bukannya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya
persamaan butuh, bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan “bangsa” itu.
Dari tempo-tempo belakangan, maka selainnya
penulis-penulis lain, sebagai Karl Kautsky dan Karl Radek, teristimewa
Otto Bauer lah yang mempelajari soal “bangsa” itu.
“Bangsa itu adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari
persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu”, begitulah katanya.
(Bersambung ke Bagian Kedua)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar