Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (Bagian Pertama)


oleh Ir. Soekarno (Bung Karno)

Sebagai Aria Bima-putera, yang lahirnya dalam zaman perjuangan, maka INDONESIA-MUDA inilah melihat cahaya hari pertama-tama dalam zaman yang rakyat-rakyat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnya. Tak senang dengan nasib-ekonominya, tak senang dengan nasib-politiknya, tak senang dengan segala nasib yang lain-lainnya. 

Zaman “senang dengan apa adanya”, sudahlah lalu. 

Zaman baru: zaman muda, sudahlah datang sebagai fajar yang terang cuaca. 

Zaman teori kaum kuno, yang mengatakan, bahwa “siapa yang ada di bawah, harus terima-senang, yang ia anggap cukup-harga duduk dalam perbendaharaan riwayat, yang barang kemas-kemasnya berguna untuk memelihara siapa yang lagi berdiri dalam hidup”, kini sudahlah tak mendapat penganggapan lagi oleh rakyat-rakyat Asia itu. Pun makin lama makin tipislah kepercayaan rakyat-rakyat itu, bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu, adalah sebagai “voogd” yang kelak kemudian hari akan “ontvoogden” mereka; makin lama makin tipislah kepercayaannya, bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu ada sebagai “saudara-tua”, yang dengan kemauan sendiri akan melepaskan mereka, bilamana mereka sudah “dewasa”, “akil-balig”, atau “masak”. 

Sebab tipisnya kepercayaan itu adalah bersendi pengetahuan, bersendi keyakinan, bahwa yang menyebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada kemasyhuran, bukan keinginan melihat dunia-asing, bukan keinginan merdeka, dan bukan pula oleh karena negeri rakyat yang menjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banyaknya penduduk, – sebagai yang telah diajarkan oleh Gustav Klemm –, akan tetapi asalnya kolonisasi ialah teristimewa soal rezeki. 

“Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal – hidup dalam tanah-airnya sendiri”, begitulah Dietrich Schafer berkata. Kekurangan rezeki, itulah yang menjadi sebab rakyat-­rakyat Eropah mencari rezeki di negeri lain! Itulah pula yang menjadi sebab rakyat-rakyat itu menjajah negeri-negeri, di mana mereka bisa mendapat rezeki itu. Itulah pula yang membikin “ontvoogding”-nya ne­geri-negeri jajahan oleh negeri-negeri yang menjajahnya itu, sebagai suatu barang yang sukar dipercayainya. Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul-nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya! 

Begitulah, bertahun-tahun, berwindu-windu, rakyat-rakyat Eropah itu mempertuankan negeri-negeri Asia. Berwindu-windu rezeki-rezeki Asia masuk ke negerinya. Teristimewa Eropah-Barat lah yang bukan main tambah kekayaannya. 

Begitulah tragiknya riwayat-riwayat negeri-negeri jajahan! Dan keinsyafan akan tragik inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan itu; sebab, walaupun lahirnya sudah kalah dan takluk, maka Spirit of Asia masihlah kekal. Roh Asia masih hidup sebagai api yang tiada padamnya! Keinsyafan akan tragik inilah pula yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat di Indonesia-kita, yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga sifat: NASIONALISTIS, ISLAMISTIS dan MARXISTIS lah adanya. 

Mempelajari, mencahari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan, bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang maha­besar dan maha-kuat, s a t u ombak-taufan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya. 

Akan hasil atau tidaknya kita menjalankan kewajiban yang seberat dan semulia itu, bukanlah kita yang menentukan. Akan tetapi, kita tidak boleh putus-putus berdaya-upaya, tidak boleh habis-habis ikhtiar menjalankan kewajiban ikut mempersatukan gelombang-gelombang tadi itu! Sebab kita yakin, bahwa  p e r s a t u a n l a h  yang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia-Merdeka! 

Entah bagaimana tercapainya persatuan itu; entah pula bagaimana rupanya persatuan itu; akan tetapi tetaplah, bahwa kapal yang membawa kita ke-Indonesia-Merdeka itu, ialah Kapal-Persatuan adanya! Mahatma, jurumudi yang akan membuat dan mengemudikan Kapal­ Persatuan itu kini barangkali belum ada, akan tetapi yakinlah kita pula, bahwa kelak kemudian hari mustilah datang saatnya, yang Sang-Mahatma itu berdiri di tengah kita! 

Itulah sebabnya kita dengan besar hati mempelajari dan ikut meratakan jalan yang menuju persatuan itu. Itulah maksudnya tulisan yang pendek ini. 

NASIONALISME, ISLAMISME, DAN MARXISME!
Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi r o h n y a pergerakan-pergerakan di Asia itu. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini. 

Partai Boedi Oetomo, “marhum” Nationaal Indische Partij yang kini masih “hidup”, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa; Partai Komunis Indonesia, dan masih banyak partai-partai lain itu masing­-masing mempunyai roh Nasionalisme, roh Islamisme, atau roh Marxisme adanya. Dapatkah roh-roh ini dalam politik jajahan bekerja bersama-sama menjadi satu Roh yang Besar, Roh Persatuan? Roh Persatuan, yang akan membawa kita ke lapang ke-Besaran? 

Dapatkah dalam tanah jajahan pergerakan Nasionalisme itu dirapatkan dengan pergerakan Islamisme yang pada hakekatnya tiada bangsa, dengan pergerakan Marxisme yang bersifat perjuangan internasional? 

Dapatkah Islamisme itu, ialah sesuatu agama, dalam politik jajahan bekerja bersama-sama dengan Nasionalisme yang mementingkan bangsa, dengan materialismenya Marxisme yang mengajar perbendaan? 

Akan hasilkah usaha kita merapatkan Boedi Oetomo yang begitu sabar-halus (gematigd), dengan Partai Komunis Indonesia yang begitu keras sepaknya, begitu radical-militan terjangnya? Boedi Oetomo yang begitu evolusioner, dan Partai Komunis Indonesia, yang walaupun kecil sekali, oleh musuh-musuhnya begitu didesak dan dirintangi, oleh sebab rupa-rupanya musuh-musuh itu yakin akan peringatan A l  C a r t h i l l, bahwa “yang mendatangkan pemberontakan-pemberontakan itu biasanya bagian-bagian yang terkecil, dan bagian-bagian yang terkecil sekali”?
NASIONALISME! KEBANGSAAN!
Dalam tahun 1882 Ernest Renan telah membuka pendapatnya tentang faham “bangsa” itu. “Bangsa” itu menurut pujangga ini ada suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukannya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan butuh, bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan “bangsa” itu.
Dari tempo-tempo belakangan, maka selainnya penulis-penulis lain, sebagai Karl Kautsky dan Karl Radek, teristimewa Otto  Bauer  lah yang mempelajari soal “bangsa” itu. “Bangsa itu adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu”, begitulah katanya. (Bersambung ke Bagian Kedua)

Tidak ada komentar: