oleh Kafil Yamin (jurnalis)
“Sampai hari ini indonesia masih menyicil
utang kepada IMF, untuk sesuatu yang tak pernah ia dapatkan. Saya harap
generasi muda Indonesia tidak sebodoh para pemimpin sekarang”
Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan tidak
bukan adalah referendum, merupakan buah dari berbagai tekanan internasioal
kepada Indonesia yang sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1989.
Belakangan tekanan itu makin menguat dan menyusahkan Indonesia. Ketika krisis
moneter menghantam negara-negara Asia Tenggara selama tahun 1997-1999,
Indonesia terkena. Guncangan ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas
politik; dan terjadilah jajak pendapat itu.
Kebangkrutan ekonomi Indonesia dimanfaatkan
oleh pihak Barat, melalui IMF dan Bank Dunia, untuk menekan Indonesia supaya melepas
Timor Timur. IMF dan Bank Dunia bersedia membantu Indonesia lewat paket yang
disebut bailout, sebesar US$43 milyar, asal Indonesia melepas Timtim.
Apa artinya ini? Artinya keputusan sudah
dibuat sebelum jajak pendapat itu dilaksanakan. Artinya bahwa jajak pendapat
itu sekedar formalitas. Namun meski itu formalitas, toh keadaan di kota Dili
sejak menjelang pelaksanan jajak pendapat itu sudah ramai nian. Panitia jajak
pendapat didominasi bule Australia dan Portugis. Wartawan asing berdatangan.
Para pegiat LSM pemantau jajak pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula –
untuk sebuah sandiwara besar. Hebat bukan?
Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999,
saya mendarat di Dili. Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu menyimpan
barang-barang di penginapan [kalau tidak salah, nama penginapannya Dahlia,
milik orang Makassar], saya keliling kota Dili. Siapapun yang berada di sana
ketika itu, akan berkesimpulan sama dengan saya: kota Dili didominasi kaum
pro-integrasi. Mencari orang Timtim yang pro-kemerdekaan untuk saya wawancarai,
tak semudah mencari orang yang pro-integrasi.
Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota
Dili, sampai ke Ainaro dan Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama:
lebih banyak orang-orang pro-integrasi. Di banyak tempat, banyak para
pemuda-pemudi Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi
Integrasi], Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah Putih],
Aitarak [Duri].
Setelah seharian berkeliling, saya
berkesimpulan Timor Timur akan tetap bersama Indonesia. Bukan hanya dalam
potensi suara, tapi dalam hal budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah membayangkan
Timor Timur bisa benar-benar terpisah dari Indonesia. Semua orang Timtim
kebanyakan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Para penyedia barang-barang
kebutuhan di pasar-pasar adalah orang Indonesia. Banyak pemuda-pemudi Timtim
yang belajar di sekolah dan universitas Indonesia, hampir semuanya dibiayai
pemerintah Indonesia. Guru-guru di sekolah-sekolah Timtim pun kebanyakan orang
Indonesia, demikian juga para petugas kesehatan, dokter, mantri.
Selepas magrib, 28 Agustus 1999, setelah mandi
dan makan, saya duduk di lobi penginapan, minum kopi dan merokok. Tak lama
kemudian, seorang lelaki berusia 50-an, tapi masih terlihat gagah, berambut
gondrong, berbadan atletis, berjalan ke arah tempat duduk saya; duduk dekat
saya dan mengeluarkan rokok. Rupanya ia pun hendak menikmati rokok dan kopi.
Mungkin karena dipersatukan oleh kedua barang
beracun itu, kami cepat akrab. Dia menyapa duluan: “Dari mana?” sapanya.
“Dari Jakarta,” jawabku, sekalian menjelaskan
bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat.
Entah kenapa, masing-masing kami cepat larut
dalam obrolan. Dia tak ragu mengungkapkan dirinya. Dia adalah mantan panglima
pasukan pro-integrasi, yang tak pernah surut semangatnya memerangi Fretilin
[organisasi pro-kemerdekaan], “karena bersama Portugis, mereka membantai
keluarga saya,” katanya. Suaranya dalam, dengan tekanan emosi yang terkendali.
Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak makan asam garam kehidupan.
Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan kematangan itu. “Panggil
saja saya Laffae,” katanya.
“Itu nama Timor atau Portugis?” Saya
penasaran.
“Timor. Itu julukan dari kawan maupun lawan.
Artinya ‘buaya’,” jelasnya lagi. Julukan itu muncul karena sebagai komandan
milisi, dia dan pasukannya sering tak terdeteksi lawan.
Setelah lawan merasa aman, tiba-tiba dia bisa
muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap semua yang ada di situ. Nah,
menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti itu dimiliki buaya.
Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup
di hutan, tapi telah mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan
berorganisasi. “Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat,” katanya. Dia pun
menyebut sejumlah nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang sering
berhubungan dengannya.
Rupanya dia seorang tokoh. Memang, dilihat
dari tongkrongannya, tampak sekali dia seorang petempur senior. Saya teringat
tokoh pejuang Kuba, Che Guevara. Hanya saja ukuran badannya lebih kecil.
“Kalau dengan Eurico Guterres? Sering
berhubungan?” saya penasaran.
“Dia keponakan saya,” jawab Laffae. “Kalau
ketemu, salam saja dari saya.”
Cukup lama kami mengobrol. Dia menguasai betul
sejarah dan politik Timtim dan saya sangat menikmatinya. Obrolan usai karena
kantuk kian menyerang.
Orang ini menancapkan kesan kuat dalam diri
saya. Sebagai wartawan, saya telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari
pedagang kaki lima sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan sudah
lupa. Tapi orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas. Sambil berjalan
menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang tokoh, kenapa saya tak
pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti saya mengenal Eurico Gueterres,
Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan lain-lain? Tapi sudahlah.
Pagi tanggal 29 Agustus 1999. Saya keluar
penginapan hendak memantau situasi. Hari itu saya harus kirim laporan ke
Bangkok. Namun sebelum keliling saya mencari rumah makan untuk sarapan. Kebetulan
lewat satu rumah makan yang cukup nyaman. Segera saya masuk dan duduk. Eh, di
meja sana saya melihat Laffae sedang dikelilingi 4-5 orang, semuanya berseragam
Pemda setempat. Saya tambah yakin dia memang orang penting – tapi misterius.
Setelah bubar, saya tanya Laffae siapa
orang-orang itu. “Yang satu Bupati Los Palos, yang satu Bupati Ainaro, yang dua
lagi pejabat kejaksaan,” katanya. “Mereka minta nasihat saya soal keadaan
sekarang ini,” tambahnya.
Kalau kita ketemu Laffae di jalan, kita akan
melihatnya ‘bukan siapa-siapa’. Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai
tak terurus. Dan kalau kita belum ‘masuk’, dia nampak pendiam.
Saya lanjut keliling. Kota Dili makin semarak
oleh kesibukan orang-orang asing. Terlihat polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga
di setiap sudut kota. Saya pun mulai sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers
di tempat yang berbeda. Belum lagi kejadian-kejadian tertentu. Seorang teman
wartawan dari majalah Tempo, Prabandari, selalu memberi tahu saya
peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Dari berbagai peristiwa itu, yang menonjol
adalah laporan dan kejadian tentang kecurangan panitia penyelenggara, yaitu
UNAMET. Yang paling banyak dikeluhkan adalah bahwa UNAMET hanya merekrut
orang-orang pro-kemerdekaan di kepanitiaan. Klaim ini terbukti. Saya
mengunjungi hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang pro-integrasi yang
dilibatkan.
Yang bikin suasana panas di kota yang sudah
panas itu adalah sikap polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan pemantau dan
pengawas dari kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar mendekat. Paling dekat
dari jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule bisa masuk ke sektratriat.
Bahkan ikut mengetik!
Di sini saya perlu mengungkapkan ukuran mental
orang-orang LSM dari Indonesia, yang kebanyakan mendukung kemerdekaan Timtim
karena didanai asing. Mereka tak berani mendekat ke TPS dan sekretariat, baru
ditunjuk polisi UNAMET saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat
Indonesia mereka sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani melawan
polisi. Di hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander betulan. Tambah
kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak terdaftar sebagai pemilih.
Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah tentang ungkapan soal ini. Bahkan
anak-anak Mahidi mengangkut segerombolan orang tua yang ditolak mendaftar
pemilih karena dikenal sebagai pendukung integrasi.
Saya pun harus mengungkapkan ukuran mental
wartawan-wartawan Indonesia di sini. Siang menjelang sore, UNAMET
menyelenggarakan konferensi pers di Dili tentang rencana penyelenggaraan jajak
pendapat besok. Saya tentu hadir. Lebih banyak wartawan asing daripada wartawan
Indonesia. Saya yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu kecurangan-kecurangan
itu.
Saat tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia
mempertanyakan soal praktik tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak.
Hanya saya yang bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan
didominasi wartawan-wartawan bule.
Tapi saya ingat betapa galaknya
wartawan-wartawan Indonesia kalau mewawancarai pejabat Indonesia terkait dengan
HAM atau praktik-praktik kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa jadi alasan
karena cukup banyak wartawan Indonesia yang bisa bahasa Inggris. Saya kira
sebab utamanya rendah diri, seperti sikap para aktivis LSM lokal tadi.
Setelah konferensi pers usai, sekitar 2 jam
saya habiskan untuk menulis laporan. Isi utamanya tentang praktik-praktik
kecurangan itu. Selain wawancara, saya juga melengkapinya dengan pemantauan
langsung.
Kira-kira 2 jam setelah saya kirim, editor di
Bangkok menelepon. Saya masih ingat persis dialognya:
“Kafil, we can’t run the story,” katanya.
“What do you mean? You send me here. I do the
job, and you don’t run the story?” saya berreaksi.
“We can’t say the UNAMET is cheating…”
katanya.
“That’s what I saw. That’s the fact. You want
me to lie?” saya agak emosi.
“Do they [pro-integrasi] say all this thing
because they know they are going to loose?”
“Well, that’s your interpretation. I’ll make
it simple. I wrote what I had to and it’s up to you,”
“I think we still can run the story but we
should change it.”
“ I leave it to you,” saya menutup
pembicaraan.
Saya merasa tak nyaman. Namun saya kemudian
bisa maklum karena teringat bahwa IPS Asia-Pacific itu antara lain didanai PBB.
Kira-kira jam 5:30 sore, 29 Agustus 199, saya
tiba di penginapan. Lagi-lagi, Laffae sedang dikerumuni tokoh-tokoh
pro-integrasi Timtim. Terlihat Armindo Soares, Basilio Araujo, Hermenio da
Costa, Nemecio Lopes de Carvalho, nampaknya mereka sedang membicarakan berbagai
kecurangan UNAMET.
Makin malam, makin banyak orang berdatangan.
Orang-orang tua, orang-orang muda, tampaknya dari tempat jauh di luar kota
Dili. Kelihatan sekali mereka baru menempuh perjalanan jauh.
Seorang perempuan muda, cukup manis, tampaknya
aktivis organisasi, terlihat sibuk mengatur rombongan itu. Saya tanya dia siapa
orang-orang ini.
“Mereka saya bawa ke sini karena di desanya
tidak terdaftar,” katanya. “Mereka mau saya ajak ke sini. Bahkan mereka sendiri
ingin. Agar bisa memilih di sini. Tidak ada yang membiayai. Demi merah putih,”
jawabnya bersemangat.
Saya tergetar mendengar bagian kalimat itu:
“…demi merah putih.”
Mereka semua ngobrol sampai larut. Saya tak
tahan. Masuk kamar. Tidur. Besok jajak pendapat.
Pagi 30 Agustus 1999. Saya keliling Dili ke
tempat-tempat pemungutan suara. Di tiap TPS, para pemilih antri berjajar. Saya
bisa berdiri dekat dengan antrean-antrean itu. Para ‘pemantau’ tak berani mendekat
karena diusir polisi UNAMET.
Karena dekat, saya bisa melihat dan mendengar
bule-bule Australia yang sepertinya sedang mengatur barisan padahal sedang
kampanye kasar. Kebetulan mereka bisa bahasa Indonesia: “Ingat, pilih
kemerdekaan ya!” teriak seorang cewek bule kepada sekelompok orang tua yang
sedang antre. Bule-bule yang lain juga melakukan hal yang sama. Sejenak saya
heran dengan kelakuan mereka. Yang sering mengampanyekan kejujuran, hak
menentukan nasib sendiri. Munafik, pikir saya. Mereka cukup tak tahu malu.
Setelah memantau 4-5 TPS saya segera mencari
tempat untuk menulis. Saya harus kirim laporan. Setelah mengirim laporan. Saya
manfaatkan waktu untuk rileks, mencari tempat yang nyaman, melonggarkan otot.
Toh kerja hari itu sudah selesai.
Sampailah saya di pantai agak ke Timur, di
mana patung Maria berdiri menghadap laut, seperti sedang mendaulat ombak
samudra. Patung itu bediri di puncak bukit. Sangat besar. Dikelilingi taman dan
bangunan indah. Untuk mencapai patung itu, anda akan melewati trap tembok yang
cukup landai dan lebar. Sangat nyaman untuk jalan berombongan sekali pun.
Sepanjang trap didindingi bukit yang dilapisi batu pualam. Di setiap kira jarak
10 meter, di dinding terpajang relief dari tembaga tentang Yesus, Bunda Maria,
murid-murid Yesus, dengan ukiran yang sangat bermutu tinggi.
Patung dan semua fasilitasnya ini dibangun
pemerintah Indonesia. Pasti dengan biaya sangat mahal. Ya, itulah biaya
politik.
Tak terasa hari mulai redup. Saya harus
pulang. Besok pengumuman hasil jajak pendapat. Selepas magrib, 30 September
1999. Kembali saya menunaikan kewajiban yang diperintahkan oleh kebiasaan
buruk: merokok sambil minum kopi di lobi penginapan. Kali ini, Laffae
mendahului saya. Dia sudah duluan mengepulkan baris demi baris asap dari hidung
dan mulutnya. Kami ngobrol lagi.
Tapi kali ini saya tidak leluasa. Karena
banyak tamu yang menemui Laffae, kebanyakan pentolan-pentolan milisi
pro-integrasi. Ditambah penginapan kian sesak. Beberapa pemantau nginap di
situ. Ada juga polisi UNAMET perwakilan dari Pakistan.
Ada seorang perempuan keluar kamar, melihat
dengan pandangan ‘meminta’ ke arah saya dan Laffae. Kami tidak mengerti
maksudnya. Baru tahu setelah lelaki pendampingnya bilang dia tak kuat asap
rokok. Laffae lantas bilang ke orang itu kenapa dia jadi pemantau kalau tak
kuat asap rokok. Kami berdua terus melanjutkan kewajiban dengan racun itu.
Beberapa menit kemudian cewek itu pingsan dan dibawa ke klinik terdekat.
Saya masuk kamar lebih cepat. Tidur.
Pagi, 4 September 1999. Pengumuman hasil jajak
pendapat di hotel Turismo Dili. Bagi saya, hasilnya sangat mengagetkan: 344.508
suara untuk kemerdekaan, 94.388 untuk integrasi, atau 78,5persen berbanding
21,5persen.
Ketua panitia mengumumkan hasil ini dengan
penuh senyum, seakan baru dapat rezeki nomplok. Tak banyak tanya jawab setelah
itu. Saya pun segera berlari mencari tempat untuk menulis laporan. Setelah
selesai, saya balik ke penginapan.
Di lobi, Laffae sedang menonton teve yang
menyiarkan hasil jajak pendapat. Sendirian. Saat saya mendekat, wajahnya
berurai air mata. “Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Mereka curang..” katanya
tersedu. Dia merangkul saya. Lelaki pejuang, tegar, matang ini mendadak luluh.
Saya tak punya kata apapun untuk menghiburnya. Lagi pula, mata saya malah
berkaca-kaca, terharu membayangkan apa yang dirasakan lelaki ini. Perjuangan
keras sepanjang hidupnya berakhir dengan kekalahan.
Saya hanya bisa diam. Dan Laffae pun nampaknya
tak mau kesedihannya terlihat orang lain. Setelah beberapa jenak ia berhasil
bersikap normal.
“Kota Dili ini akan kosong..” katanya. Pelan
tapi dalam. “Setelah kosong, UNAMET mau apa.” Telepon berbunyi, dari Prabandari
Tempo. Dia memberi tahu semua wartawan Indonesia segera dievakuasi pakai
pesawat militer Hercules, karena akan ada penyisiran terhadap semua wartawan
Indonesia. Saya diminta segera ke bandara saat itu juga. Kalau tidak, militer
tidak bertanggung jawab. Semua wartawan Indonesia sudah berkumpul di bandara,
tinggal saya. Hanya butuh lima menit bagi saya untuk memutuskan tidak ikut.
“Saya bertahan. Tinggalkan saja saya.”
Laffae menguping pembicaraan. Dia menimpali:
“Kenapa wartawan ke sini kalau ada kejadian malah lari?” katanya. Saya kira
lebih benar dia mikirnya.
Saya lantas keluar, melakukan berbagai
wawancara, menghadiri konferensi pers, kebanyakan tentang kemarahan atas
kecurangan UNAMET. “Anggota Mahidi saja ada 50 ribu; belum Gardapaksi, belum
BMP, belum Halilintar, belum masyarakat yang tak ikut organisasi,” kata Nemecio
Lopez, komandan milisi Mahidi.
Kembali ke penginapan sore, Laffae sedang
menghadapi tamu 4-5 orang pentolan pro-integrasi. Dia menengok ke arah saya:
“Kafil! Mari sini,” mengajak saya bergabung. “Sebentar!” saya bersemangat. Saya
tak boleh lewatkan ini. Setelah menyimpan barang-barang di kamar, mandi kilat.
Saya bergabung. Di situ saya hanya mendengarkan. Ya, hanya mendengarkan.
“Paling-paling kita bisa siapkan seribuan
orang,” kata ketua Armindo Soares, saya bertemu dengannya berkali-kali selama
peliputan.
“Saya perlu lima ribu,” kata Laffae.
“Ya, lima ribu baru cukup untuk mengguncangkan
kota Dili,” katanya, sambil menengok ke arah saya.
“Kita akan usahakan,” kata Armindo.
Saya belum bisa menangkap jelas pembicaraan
mereka ketika seorang kawan memberitahu ada konferensi pers di kediaman
Gubernur Abilio Soares. Saya segera siap-siap berangkat ke sana. Sekitar jam 7
malam, saya sampai di rumah Gubernur. Rupanya ada perjamuan. Cukup banyak tamu.
Soares berbicara kepada wartawan tentang penolakannya terhadap hasil jajak
pendapat karena berbagai kecurangan yang tidak bisa dimaklumi.
Setelah ikut makan enak, saya pulang ke
penginapan sekitar jam 8:30 malam. Sudah rindu bersantai dengan Laffae sambil
ditemani nikotin dan kafein. Tapi Laffae tidak ada. Anehnya, penginapan jadi
agak sepi. Para pemantau sudah check-out, juga polisi-polisi UNAMET dari
Pakistan itu. Tak banyak yang bisa dilakukan kecuali tidur.
Namun saat rebah, kantuk susah datang karena
terdengar suara-suara tembakan. Mula-mula terdengar jauh. Tapi makin lama makin
terdengar lebih dekat dan frekuensi tembakannya lebih sering. Mungkin karena
perut kenyang dan badan capek, saya tertidur juga.
Tanggal 5 September pagi, sekitar jam 09:00,
saya keluar penginapan. Kota Dili jauh lebi lengang. Hanya terlihat
kendaran-kendaraan UNAMET melintas di jalan. Tak ada lagi kendaraan umum. Tapi
saya harus keluar. Apa boleh buat – jalan kaki. Makin jauh berjalan makin sepi,
tapi tembakan nyaris terdengar dari segala arah. Sesiang ini, Dili sudah
mencekam.
Tidak ada warung atau toko buka. Perut sudah
menagih keras. Apa boleh buat saya berjalan menuju hotel Turismo, hanya di
hotel besar ada makanan. Tapi segera setelah itu saya kembali ke penginapan.
Tidak banyak yang bisa dikerjakan hari itu.
Selepas magrib 5 Setember 1999. Saya sendirian
di penginapan. Lapar. Tidak ada makanan. Dili sudah seratus persen mencekam.
Bunyi tembakan tak henti-henti. Terdorong rasa lapar yang sangat, saya keluar
penginapan.
Selain mencekam. Gelap pula. Hanya di
tempat-tempat tertentu lampu menyala. Baru kira-kira 20 meter berjalan, gelegar
tembakan dari arah kanan. Berhenti. Jalan lagi. Tembakan lagi dari arah kiri.
Tiap berhenti ada tarikan dua arah dari dalam diri: kembali atau terus. Entah
kenapa, saya selalu memilih terus, karena untuk balik sudah terlanjur jauh.
Saya berjalan sendirian; dalam gelap; ditaburi bunyi tembakan. Hati dipenuhi
adonan tiga unsur: lapar, takut, dan perjuangan menundukkan rasa takut. Lagi
pula, saya tak tau ke arah mana saya berjalan. Kepalang basah, pokoknya jalan
terus.
Sekitar jam 11 malam, tanpa disengaja, kaki
sampai di pelabuhan Dili. Lumayan terang oleh lampu pelabuhan. Segera rasa
takut hilang karena di sana banyak sekali orang. Mereka duduk, bergeletak di
atas aspal atau tanah pelabuhan. Rupanya, mereka hendak mengungsi via kapal
laut.
Banyak di antara mereka yang sedang makan nasi
bungkus bersama. Dalam suasa begini, malu dan segan saya buang ke tengah laut.
Saya minta makan! “Ikut makan ya?” kata saya kepada serombongan keluarga yang
sedang makan bersama. “Silahkan bang!.. silahkan!..” si bapak tampak senang.
Tunggu apa lagi, segera saya ambil nasinya, sambar ikannya. Cepat sekali saya
makan. Kenyang sudah, sehingga ada tenaga untuk kurang ajar lebih jauh:
sekalian minta rokok ke bapak itu. Dikasih juga.
Sekitar jam 3 malam saya berhasil kembali ke
penginapan.
Pagi menjelang siang, tanggal 6 September
1999. Saya hanya duduk di lobi penginapan karena tidak ada kendaraan. Tidak ada
warung dan toko yang buka. Yang ada hanya tembakan tak henti-henti. Dili tak
berpenghuni – kecuali para petugas UNAMET. Nyaris semua penduduk Dili
mengungsi, sebagian via kapal, sebagian via darat ke Atambua. Orang-orang
pro-kemerdekaan berlarian diserang kaum pro-integrasi. Markas dan sekretariat
dibakar. Darah tumpah lagi entah untuk keberapa kalinya.
Sekarang, saya jadi teringat kata-kata Laffae
sehabis menyaksikan pengumuman hasil jajak pedapat kemarin: “Dili ini akan
kosong..”
Saya pun teringat kata-kata dia: “Saya perlu
lima ribu orang untuk mengguncang kota Dili..” Ya, sekarang saya berkesimpulan
ini aksi dia. Aksi pejuang pro-integrasi yang merasa kehilangan masa depan. Ya,
hanya saya yang tahu siapa tokoh utama aksi bumi hangus ini, sementara tivi-tivi
hanya memberitakan penyerangan milisi pro-integrasi terhadap kaum
pro-kemerdekaan.
Tentu, orang-orang pro-integrasi pun
mengungsi. Laffae dan pasukannya ingin semua orang Timtim bernasib sama: kalau
ada satu pihak yang tak mendapat tempat di bumi Loro Sae, maka semua orang Timtim
harus keluar dari sana. Itu pernah diucapkannya kepada saya. Inilah hasil
langsung jajak pendapat yang dipaksakan harus dimenangkan. Hukum perhubungan
antar manusia saat itu sepasti hukum kimia: tindakan lancung dan curang pasti
berbuah bencana.
Saya harus pulang, karena tidak banyak yang
bisa dilihat dan ditemui. Untung masih ada omprengan yang mau mengantar ke
bandara. Sekitar jam 11 pagi saya sampai di pelabuhan udara Komoro. Keadaan di
bandara sedang darurat. Semua orang panik. Semua orang ingin mendapat tiket dan
tempat duduk pada jam penerbangan yang sama. Karena hura-hara sudah mendekati
bandara. Lagi pula penerbangan jam itu adalah yang satu-satunya dan terakhir.
Bule-bule yang biasanya tertib kini saling
sikut, saling dorong sampai ke depan komputer penjaga kounter. Ada bule yang
stres saking tegangnya sampai-sampai minta rokok kepada saya yang berdiri di
belakang tenang-tenang saja. Beginilah nikmatnya jadi orang beriman. Banyak
yang tidak kebagian tiket. Entah kenapa saya lancar-lancar saja. Masuk ke
ruangan tunggu, di situ sudah ada Eurico Gutteres. Saya hampiri dia, saya
bilang saya banyak bicara dengan Laffae dan dia menyampaikan salam untuknya.
Eurico memandang saya agak lama, pasti karena saya menyebut nama Laffae itu.
Sore, 7 November, 1999, saya mendarat di
Jakarta.
Penduduk Timtim mengungsi ke Atambua, NTT.
Sungguh tidak mudah mereka mengungsi. Polisi UNAMET berusaha mencegah setiap
bentuk pengungsian ke luar Dili. Namun hanya sedikit yang bisa mereka tahan di
Dili.
Di kamp-kamp pengungsian Atambua, keadaan
sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua duduk mencakung; anak-anak muda
gelisah ditelikung rasa takut; sebagian digerayangi rasa marah dan dendam;
anak-anak diliputi kecemasan. Mereka adalah yang memilih hidup bersama
Indonesia. Dan pilihan itu mengharuskan mereka terpisah dari keluarga. Pemerintah
negara yang mereka pilih sebagai tumpuan hidup, jauh dari menyantuni mereka.
Kaum milisi pro-integrasi dikejar-kejar tuntutan hukum atas ‘kejahatan terhadap
kemanusiaan’, dan Indonesia, boro-boro membela mereka, malah ikut
mengejar-ngejar orang Timtim yang memilih merah putih itu. Eurico Guterres dan
Abilio Soares diadili dan dihukum di negara yang dicintai dan dibelanya.
Jendral-jendral yang dulu menikmati kekuasaan
di Timtim, sekarang pada sembunyi. Tak ada yang punya cukup nyali untuk
bersikap tegas, misalnya: “Kami melindungi rakyat Timtim yang memilih bergabung
dengan Indonesia.” Padahal, mereka yang selalu mengajarkan berkorban untuk
negara; menjadi tumbal untuk kehormatan pertiwi, dengan nyawa sekalipun.
Sementara itu, para pengungsi ditelantarkan.
Tak ada solidaritas kebangsaan yang ditunjukkan pemerintah dan militer
Indonesia.
Inilah tragedi kemanusiaan. Melihat begini,
jargon-jargon negara-negara Barat, media asing, tentang ‘self determination’,
tak lebih dari sekedar ironi pahit. Sikap negara-negara Barat dan para aktivis
kemanusiaan internasional yang merasa memperjuangkan rakyat Timtim jadi
terlihat absurd. Sebab waktu telah membuktikan bahwa yang mereka perjuangkan
tak lebih tak kurang adalah sumberdaya alam Timtim, terutama minyak bumi, yang
kini mereka hisap habis-habisan.
Pernah Laffae menelepon saya dari Jakarta,
kira-kira 3 bulan setelah malapetaka itu. Ketika itu saya tinggal di Bandung.
Dia bilang ingin ketemu saya dan akan datang ke Bandung. Saya sangat senang.
Tapi dia tak pernah datang..saya tidak tahu sebabnya. Mudah-mudahan dia
baik-baik saja.
12 TAHUN BERALU SUDAH. APA KABAR BAILOUT IMF
YANG 43 MILYAR DOLAR ITU? SAMPAI DETIK INI, UANG ITU ENTAH DI MANA. ADA
BEBERAPA PERCIK DICAIRKAN TAHUN 1999-2000, TAK SAMPAI SEPEREMPATNYA. DAN TIDAK
MENOLONG APA-APA. YANG TERBUKTI BUKAN MENCAIRKAN DANA YANG DIJANJIKAN, TAPI
MEMINTA PEMERINTAH INDONESIA SUPAYA MENCABUT SUBSIDI BBM, SUBSIDI PANGAN,
SUBSIDI LISTRIK, YANG MEMBUAT RAKYAT INDONESIA TAMBAH MISKIN DAN SENGSARA.
ANEHNYA, SEMUA SARANNYA ITU DITURUT OLEH PEMERINTAH RENDAH DIRI BIN INLANDER
INI.
Yang paling dibutuhkan adalah menutupi defisit
anggaran. Untuk itulah dana pinjaman [bukan bantuan] diperlukan. Namun IMF
mengatasi defisit angaran dengan akal bulus: mencabut semua subsidi untuk
kebutuhan rakyat sehingga defisit tertutupi, sehingga duit dia tetap utuh.
Perkara rakyat ngamuk dan makin sengsara, peduli amat.
Melengkapi akal bulusnya itu IMF meminta
pemerintah Indonesia menswastakan semua perusahaan negara, seperti Bank Niaga,
BCA, Telkom, Indosat. Pernah IMF mengeluarkan dana cadangan sebesar 9 milyar
dollar. Tapi, seperti dikeluhkan Menteri Ekonomi Kwik Kian Gie ketika itu,
seperak pun dana itu tidak bisa dipakai karena hanya berfungsi sebagai
pengaman. Apa bedanya dengan dana fiktif? Lagi pula, kenapa ketika itu
pemerintah Indonesia seperti tak punya cadangan otak, yang paling sederhana
sekalipun.
KENAPA MAU MELEPAS TIMTIM DENGAN IMBALAN
UTANG? BUKANKAH SEMESTINYA KOMPENSASI? ADAKAH DI DUNIA INI ORANG YANG HARTANYA
DIBELI DENGAN UTANG? NIH SAYA BAYAR BARANGMU. BARANGMU SAYA AMBIL, TAPI KAU
HARUS TETAP MENGEMBALIKAN UANG ITU. BUKANKAH INI SAMA PERSIS DENGAN MEMBERI
GRATIS? DAN DALAM KASUS INI, YANG DIKASIH ADALAH NEGARA? YA, INDONESIA MEMBERI
NEGARA KEPADA IMF SECARA CUMA-CUMA.
Kalau saya jadi wakil pemerintah Indonesia
waktu itu, saya akan menawarkan ‘deal’ yang paling masuk akal: “Baik, Timor
Timur kami lepas tanpa syarat. Ganti saja dana yang sudah kami keluarkan untuk
membangun Timtim selama 24 tahun.” Dengan demikian, tidak ada utang piutang.
SAMPAI HARI INI INDONESIA MASIH MENYICIL UTANG KEPADA IMF, UNTUK SESUATU YANG
TAK PERNAH IA DAPATKAN. SAYA HARAP GENERASI MUDA INDONESIA TIDAK SEBODOH PARA
PEMIMPIN SEKARANG.
1 komentar:
PELUANG LAIN LAGI, APAKAH ANDA USAHA MAN / WANITA, A PEKERJA DI ORGANISASI, Wiraswasta? Membutuhkan pinjaman pribadi untuk bisnis tanpa stres, Jika demikian, hubungi kami hari ini, kami menawarkan pinjaman tahun baru pada tingkat bunga rendah dari 2%, Anda dapat memulai tahun baru dengan senyum di wajah Anda, keselamatan, kebahagiaan kami pelanggan adalah kekuatan kita. Jika Anda tertarik, mengisi formulir aplikasi pinjaman di bawah ini:
Informasi Peminjam:
Nama lengkap: _______________
Negara: __________________
Sex: ______________________
Umur: ______________________
Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: _______
Durasi Pinjaman: ____________
Tujuan pinjaman: _____________
Nomor ponsel: ________
Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami sekarang melalui email: gloryloanfirm@gmail.com
Posting Komentar