oleh D.N. Aidit
Dengan bertambah
luasnya perdagangan luar negeri Indonesia dalam abad ke-14, terutama
perdagangan rempah-rempah dengan Eropa, maka kedudukan kota-kota pesisir
Indonesia menjadi sangat penting dan perdagangan dengan Eropa menjadi lebih
penting daripada perdagangan dengan India dan Tiongkok. Rempah-rempah sangat
dibutuhkan oleh apotek-apotek dan dapur-dapur orang Eropa. Dalam perdagangan
yang ramai ini Malaka dan Banten memainkan rol yang sangat penting.
Di Malaka dan Banten
banyak bertempat tinggal pedagang asing, terutama pedagang-pedagang Islam yang
datang dari India dan Persia, yang mempunyai pengaruh besar atas raja-raja
lokal. Pedagang-pedagang ini menyediakan barang-barang mewah untuk para raja.
Mereka juga mengislamkan raja-raja lokal yang beragama Hindu dan mendorong
kerajaan-kerajaan lokal menjadi kerajaan Islam yang berdiri sendiri, terpisah
dari kekuasaan Maharaja Majapahit yang berpusat di pedalaman. Untuk mendapat
pengaruh, saudagar-saudagar Islam itu juga mengawinkan anak-anaknya dengan
raja-raja lokal. Dengan bertambahnya pengaruh mereka atas raja-raja lokal,
bertambah pula keuntungan mereka dalam perdagangan. Gerakan Islam ini kemudian
dipimpin oleh guru-guru yang terkenal dengan nama Wali Songo (Wali Sembilan).
Dengan makin majunya
perdagangan dunia maka bertambah besarlah nafsu raja-raja lokal di pesisir
untuk menguasai daerah pedalaman yang berada di bawah kekuasaan Maharaja
Majapahit. Persatuan raja-raja Islam di bawah pimpinan kerajaan Demak merebut
Majapahit dalam tahun 1521. Perebutan ini adalah akibat dari pertentangan
antara kerajaan feodal Islam yang sudah berjalin dengan kepentingan kapital
dagang (saudagar-saudagar) melawan kerajaan feodal Hindu yang masih sepenuhnya
agraris.
Dalam keadaan
terpecah-belah di dalam negeri, dalam keadaan meruncingnya pertentangan antara
kerajaan-kerajaan pesisir yang sudah ambil bagian di dalam perdagangan dunia
dengan kerajaan pedalaman yang berdasarkan upeti hasil bumi dan pologoro
(kebaktian-kebaktian feodal), datanglah orang-orang Eropa dengan kapal-kapal
dan persenjataan yang lebih sempurna daripada yang dimiliki oleh
kerajaan-kerajaan Indonesia.
Mula-mula datanglah
orang-orang Portugis (di tahun 1496 Masehi), yang datang disamping untuk
mencari untung dengan berdagang, juga untuk menyebarkan agama Kristen yang
sedang berkembang di Eropa. Untuk mencapai tujuannya, orang Portugis
menggunakan pertentangan-pertentangan antara “kerajaan-kerajaan Islam” dengan
“kerajaan-kerajaan Hindu”. Untuk melawan serangan orang-orang Portugis dan
untuk menindas pemberontakan kaum tani serta melawan kerajaan-kerajaan Hindu,
kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak membangun tentara tetap, sesuatu yang
tidak dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Hindu.
Dalam tahun 1512,
orang-orang Spanyol datang di Tidore dengan dua buah kapal dari mengelilingi
dunia. Di Tidore, orang-orang Spanyol berusaha memperkuat kedudukannya dengan
mengadakan persekutuan dengan raja Tidore yang pada waktu itu sedang berjuang
melawan orang-orang Portugis yang bersekutu dengan raja Ternate. Latar belakang
pertentangan Spanyol-Portugis ialah soal monopoli cengkeh.
Pertempuran-pertempuran terjadi antara orang-orang Spanyol dan kerajaan Tidore
di satu pihak dengan orang-orang Portugis dan kerajaan Ternate di pihak lain,
dengan akhirnya kekalahan pihak Spanyol. Dalam tahun 1529, orang-orang Spanyol
meninggalkan Indonesia sesudah menerima ganti kerugian uang 350.000 “crusado”.
Tentara tetap
kerajaan-kerajaan Islam lebih baik perlengkapan dan persenjataannya jika
dibanding dengan tentara kerajaan-kerajaan Hindu yang berdasarkan wajib bela
umum kaum petani. Tetapi keunggulan teknik kapal-kapal perang dan persenjataan
Eropa adalah melebihi keunggulan teknik kapal dan persenjataan
kerajaan-kerajaan Islam. Inilah sebab-sebab pokok yang membikin Angkatan Laut
Kerajaan Demak di bawah pimpinan Adipati Unus harus mundur dalam peperangan
melawan orang-orang Portugis (1513). Bukan karena kurang keberanian, bukan
karena kurang semangat dan kecakapan yang menyebabkan orang-orang Indonesia
harus kalah, tetapi karena keunggulan teknik Eropa, dan terutama sekali karena
kelemahan-kelemahan kerajaan-kerajaan Indonesia yang disebabkan oleh
perpecahan.
Tanggal 22 Juni 1596,
berlabuhlah armada Belanda terdiri dari 4 buah kapal di bawah pimpinan Cornelis
de Houtman di pelabuhan Banten.
Maksud Belanda datang
ke Indonesia mula-mula hanya untuk berdagang. Untuk mengatur perdagangan
Belanda di Indonesia, dibentuklah di negeri Belanda dalam tahun 1602 sebuah
perkumpulan dagang bernama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie – Persatuan
Perkongsian Dagang Hindia Timur). Untuk menguatkan dan mengoordinasi segala
usaha Belanda di Indonesia, diangkatlah Gubernur Jenderal (yang pertama tahun
1610) dengan sebuah Dewan Hindia terdiri dari lima orang. Pada mulanya Belanda
sangat sukar bergerak karena harus berhadapan dengan bangsa Portugis yang masih
berkuasa di Asia Tenggara dan dengan bangsa Indonesia yang masih menguasai
laut-laut Indonesia.
Untuk mempertahankan
monopoli dagangnya atas rempah-rempah, VOC dengan kejam melangsungkan “hongitochten”
(pelayaran hongi) ke Indonesia bagian Timur (hongi adalah sejenis kapal yang
sangat maju dan digunakan di daerah Maluku. Mengadakan pelayaran “hongi”
berarti merampok, merompak, dan membinasakan musuh). Dengan mengadakan
pelayaran “hongi” ini VOC menyerang, menyiksa, menawan, bahkan membinasakan
penduduk di pulau-pulau Indonesia bagian Timur, apabila mereka melanggar
ketentuan-ketentuan monopoli VOC. Penduduk pulau Banda hampir binasa sama
sekali. Tetapi rakyat Maluku tidak pernah diam menerima nasib terus di-“hongi”.
Pada tahun 1635 di Ambon terjadi pemberontakan umum yang dipimpin oleh Kaki Ali
melawan kekejaman kompeni.
Dalam meletakkan
dasar-dasar kolonialisme Belanda di Indonesia adalah sangat besar peranan J. P.
Coen, Gubernur Jenderal yang memulai meluaskan kekuasaannya dengan merebut
Jakarta (tanggal 4 Maret 1621 oleh Belanda dengan resmi dinamakan Batavia) dan
menjadikan Jakarta pusat perniagaan di Asia Tenggara. Dengan demikian
perdagangan berpindah dari tangan kerajaan-kerajaan Indonesia dan orang-orang
Portugis ke tangan Belanda. Dari Jakarta Belanda meluaskan kekuasaan ke seluruh
Indonesia: tahun 1641 Belanda menguasai Malaka, benteng Portugis di Asia
Tenggara, tahun 1667 Belanda menguasai Makasar, tahun 1677 menguasai pantai
utara Jawa sampai ke Jawa Timur, tahun 1692 menguasai Banten. Dengan menguasai
Banten dapatlah Belanda mengontrol pintu Barat Indonesia, dengan menguasai
Malaka mengontrol Selat Malaka, dengan menguasai Makasar mengontrol Indonesia
Timur dan dengan menguasai pantai Jawa dapatlah Belanda menutup kerajaan
Mataram (ke-2) dari laut.
Dengan terkurungnya
kerajaan Mataram, dengan menggunakan pertentangan-pertentangan yang ada di
antara kerajaan-kerajaan Islam dengan kerajaan-kerajaan Hindu dan
pertentangan-pertentangan di dalam kerajaan Hindu sendiri, kaum penjajah
Belanda dengan persenjataan lebih unggul telah memaksa Mataram menyerah dalam
tahun 1749.
Dasar pengisapan
kolonial VOC, jadi pengisapan dalam periode kapital dagang berkuasa di negeri
Belanda, ialah sistem pajak tanah yang sangat tinggi (contingenten) dan
kewajiban menyerahkan sebagian hasil dengan harga yang sangat rendah
(dwangleveringen). Politik dalam negeri VOC berdasarkan eksploitasi
organisasi-organisasi feodal yang sudah ada. Dengan sistem ekonomi dan politik
ini kaum tani menderita dua macam tindasan, dari raja-raja dan dari VOC.
Di daerah kekuasaan
VOC, hubungan kelas yang lama tidak berubah, bedanya hanya pergantian nama raja
dengan nama bupati yang diangkat oleh VOC. Bupati-bupati angkatan VOC ini jika
meninggal dunia umumnya dapat digantikan oleh anaknya yang laki-laki yang
dianggap tercakap. Penderitaan kaum tani sangat berat, karena di samping VOC
menuntut pembagian maksimal dari hasil pengisapan, juga bupati-bupati memeras
rakyat untuk kepentingan sendiri.
Sistem paksaan dan
monopoli VOC menyebabkan rontoknya VOC, karena sistem ini tidak memungkinkan
berkembangnya tenaga produktif, memerosotkan ekonomi penduduk, yang berarti
mengancam keuntungan VOC sendiri. Korupsi merajalela di kalangan aparat pemerintah,
baik oleh orang-orang Belanda maupun oleh orang-orang Indonesia. Pemberontakan-pemberontakan
dan perlawanan kaum tani yang sangat menderita karena dua macam tindasan
terjadi di mana-mana dalam abad ke-17 dan ke-18. Karena sudah tidak
menguntungkan lagi, dalam tahun 1800 VOC dibubarkan dan selanjutnya negara
Belanda memerintah Indonesia secara langsung.
Masa VOC merupakan
periode penting dalam penimbunan primitif kapital. Kekayaan-kekayaan yang luar
biasa didapat oleh saudagar-saudagar Belanda dengan jalan kekejaman, seperti
yang dikatakan oleh Karl Marx:
“Sejarah ekonomi
kolonial Belanda – dan negeri Belanda adalah nasion kapitalis yang terkemuka
pada abad ke-17 – memperlihatkan pengkhianatan, penyuapan, penyembelihan, dan
kekejian-kekejian yang tiada taranya”.
Kekuasaan langsung
pemerintah Belanda tidak membawa perbaikan dalam masyarakat Indonesia.
Sebaliknya, ketika negeri Belanda diduduki oleh Prancis dikirimlah ke Indonesia
seorang Gubernur Jenderal yang sangat kejam, yaitu Daendels (tahun 1808-1811).
Di bawah Gubernur Jenderal Daendels tentara Belanda diperluas dari 4.000
menjadi 18.000. Untuk kepentingan strategi militernya Belanda mendirikan
benteng-benteng yang memakan banyak korban jiwa orang Indonesia. Juga dibangun
jalan panjang kira-kira 1.000 kilometer yang menghubungkan ujung Barat dengan
ujung Timur dari pulau Jawa, dalam waktu satu tahun lebih sedikit, dengan
pengeluaran uang yang sangat sedikit dan dengan korban manusia Indonesia yang
sangat banyak. Pajak tanah yang tinggi dan penyerahan hasil panen dengan
paksaan masih berjalan terus, malahan ditambah lagi dengan monopoli beras oleh
pemerintah dan penjualan “tanah-tanah partikelir” kepada hartawan-hartawan
Eropa dan Tionghoa. Pengisapan luar biasa ini menyebabkan timbulnya
pemberontakan-pemberontakan baru, terutama di Banten dan Cirebon. Ketika dalam
tahun 1811 tentara Inggris menyerang kedudukan Belanda di Jawa, maka mudah
dimengerti mengapa Belanda tidak mendapatkan bantuan dari rakyat Indonesia;
juga raja-raja dan bupati-bupati yang kecewa karena kesewenang-wenangan
Daendels menolak untuk melawan Inggris.
Selama kekuasaan
Inggris antara tahun 1811-1814, Letnan Jenderal Thomas Stamfort Raffles mencoba
melaksanakan prinsip politik kolonial Inggris di Jawa atas dasar kepentingan
kapital industri Inggris yang sedang maju cepat, politik seperti yang
dikenalnya di Benggala (India), yaitu politik persaingan bebas yang dilakukan
oleh Inggris terhadap perkembangan kapital industrinya di India.
Inggris berusaha untuk
mengubah sistem ekonomi dan politik Belanda yang bersifat lintah darat dan
perampokan, yaitu ciri-ciri sistem kapital dagang Belanda, dengan yang lebih
cocok dengan politik Inggris yang industrinya sudah maju. Tetapi usaha Inggris
ini tidak banyak hasilnya, karena mereka hanya berkuasa 3½ tahun. Kekuasaan
Inggris telah meletakkan beban-beban baru di atas pundak rakyat Indonesia
dengan mengadakan monopoli negara atas garam dan dengan menjual “tanah-tanah
partikelir” bersama-sama dengan hak feodal di atas tanah itu demi keuntungan
pembeli dan demi penderitaan kaum tani.
Negara Inggris
mengumumkan bahwa semua tanah adalah kepunyaan negara (staatsdomein) dan atas
dasar ini menarik pajak tanah tidak kurang dari dua per lima hasil panen yang
baik dan ¼ sampai 1/3 hasil panen tanah yang kurang baik. Politik tanah dari
Inggris juga telah menimbulkan pemberontakan-pemberontakan di kalangan kaum
tani, seperti misalnya di Banten, Cirebon, Yogya, dan lain-lain. Keadaan ini
memaksa Raffles membeli kembali atas nama negara sejumlah “tanah-tanah partikelir”
yang sudah dijualnya.
Setelah dalam tahun
1814 Napoleon kalah, maka tahun itu juga oleh Inggris ditandatangani perjanjian
pengembalian koloni-koloni Belanda, termasuk Indonesia. Dengan demikian Belanda
mendapatkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Pelaksanaan pengembalian ini
baru terjadi dalam tahun 1816.
Perang Diponegoro
tahun 1825-1830 telah menumpaskan kas negara Belanda dengan F. 20.000.000,-.
Juga perlawanan Belgia terhadap Belanda tahun 1830-1838 mengharuskan negara
Belanda mengeluarkan banyak ongkos. Keadaan ekonomi negara Belanda sangat jelek
dan mendekati kebangkrutan. Untuk mengatasi kebangkrutan ini diadakan apa yang
dinamakan “cultuurstelsel” (sistem tanam paksa, 1830-1870).
“Cultuurstelsel”
adalah kombinasi dari sistem kolonial model VOC, model Daendels, dan Raffles.
Semua yang paling jahat dijadikan satu dan diberi nama “cultuurstelsel”.
Menurut sistem ini kaum tani tidak mempunyai kebebasan sama sekali. Kaum tani
diwajibkan menanam tanaman untuk pasar Eropa (tebu, kopi, nila, kapas, tembakau),
dan diwajibkan menyerahkannya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
ditentukan sendiri oleh pemerintah kolonial.
Dalam praktiknya
“cultuurstelsel” telah mewajibkan kaum tani menanami 1/3 sampai 2/3 dan adakalanya
seluruh tanah sawah dengan tanaman untuk pasar Eropa. Tenaga kerja yang
dipergunakan untuk tanaman buat pasar Eropa jauh lebih banyak daripada untuk
padi. Pajak tanah, termasuk juga tanah yang harus ditanami dengan tanaman buat
pasar Eropa, dinaikkan. Jika harga hasil tanaman untuk pasar Eropa melebihi
jumlah pajak yang harus dibayar petani, maka kelebihannya tidak dikembalikan
kepada kaum tani, tetapi sebaliknya kaum tani sering harus menjual padinya yang
sudah tidak cukup itu buat membayar kekurangan pajak tanah. Kegagalan panen adalah
menjadi tanggungan petani, juga jika gagal karena bencana alam. Petani harus
mengantarkan hasil yang wajib diserahkannya sampai ke gudang-gudang dengan
tidak dibayar. Kaum tani harus bekerja tanpa dibayar untuk pekerjaan umum dan
pembangunan benteng-benteng.
Dalam 40 tahun
“cultuurstelsel” Belanda dapat mengeduk kira-kira 800 juta florin (rupiah
Belanda), yaitu hampir sama banyaknya dengan yang dapat dikeduk kapital dagang
Belanda selama dua abad di bawah VOC. Tetapi, jumlah yang sama besarnya dalam
zaman imperialisme abad ke-20 sebelum krisis tahun 1929 dapat diperoleh kaum
imperialis Belanda hanya dalam waktu satu tahun.
Dalam menjalankan
sistem perampokan “cultuurstelsel” kaum feodal berkedudukan sebagai orang
perantara, yang juga menarik upeti-upeti dan menikmati pologoro untuk dirinya
sendiri. Amtenar-amtenar dari yang rendah sampai yang tinggi mempunyai
tugas-tugas pribadi yang tidak ada batasnya, sampai-sampai menyediakan
rombongan-rombongan orkes dan gadis-gadis penari untuk menghibur residen-residen
selama dalam turnenya. Amtenar-amtenar ini gajinya sangat kecil, tetapi dengan
menggunakan kedudukannya mereka dapat memperkaya diri dengan hasil kerja kaum
tani yang tidak dibayar.
Penderitaan yang berat
menyebabkan meratanya perlawanan dan pemberontakan kaum tani, menyebabkan
banyaknya kaum tani yang berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain,
walaupun oleh pihak yang berkuasa diadakan peraturan bahwa kaum tani tidak
boleh meninggalkan desanya tanpa ijin (sistem surat pas). Perlawanan-perlawanan,
pemberontakan-pemberontakan dan perpindahan-perpindahan kaum tani ini merupakan
faktor yang penting dalam mengobrak-abrik “cultuurstelsel”.
Seorang Belanda,
Douwes Dekker yang dalam tahun 1856 menjadi asisten residen di Lebak (Banten)
telah mengeluarkan dalam tahun 1860 bukunya yang terkenal “Max Havelaar”, yang
ditulis dengan nama samaran “Multatuli”. Dalam bukunya “Multatuli” mendakwa
kolonialisme dan orang-orang Belanda sebagai pihak-pihak yang bertanggung jawab
atas penindasan politik dan pengisapan ekonomi yang tidak kenal perikemanusiaan
di bawah “cultuurstelsel”. Tulisan-tulisan “Multatuli” banyak dibaca oleh kaum
intelektual generasi muda dan pemimpin-pemimpin gerakan kelas buruh yang mulai
berkembang di negeri Belanda; ia juga telah memberi canang kepada borjuasi
Belanda bahwa zaman perampokan model “cultuurstelsel” harus diakhiri, sudah
tidak perlu dan merugikan.
Zaman “cultuurstelsel”
adalah zaman yang paling jelek bagi kaum tani Indonesia. Semangat memberontak
kaum tani tetap tidak bisa dipadamkan, pemberontakan-pemberontakan
terus-menerus terjadi di mana-mana. Tetapi sesudah mengalami kekalahan dalam
perang Diponegoro (1825-1830), kaum feodal yang biasanya “memimpin”
pemberontakan kaum tani sudah sepenuhnya menyerah kepada kaum pengisap kolonial
dan sudah tidak mempunyai kemauan melawan lagi. Di luar Jawa
perlawanan-perlawanan masih dilakukan, tetapi bagi kaum kolonialis Belanda
kedudukan di luar Jawa bukan kedudukan yang paling penting. Pada waktu itu
pimpinan dari borjuasi nasional atau dari proletariat Indonesia pada
pemberontakan-pemberontakan tani belum mungkin diharapkan, karena belum ada
syarat-syarat sejarahnya.
Perkembangan industri
modern di negeri Belanda adalah terlambat, karena Belanda memiliki Indonesia
yang sangat kaya. Dengan memiliki Indonesia mudahlah keuntungan berjuta-juta
mengalir ke kantong kaum kapitalis Belanda. Baru dalam tahun 1870 oleh
pemerintah kolonial diadakan apa yang dinamakan Undang-Undang Agraria,
undang-undang yang menjamin didapatnya tanah di Indonesia untuk kepentingan
kapital partikelir Belanda. Dengan undang-undang ini terbukalah secara
definitif bagi kapital partikelir Belanda untuk ambil bagian di dalam
pengisapan kolonial. Ini berarti perpindahan dari politik kolonial yang
bersifat monopoli dari kapital dagang ke politik kolonial “baru” dari kapital
industri, perpindahan dari sistem monopoli ke sistem persaingan bebas. Masa
persaingan bebas yang berlangsung dari tahun 1870 sampai 1895, ditandai oleh
bertambah besarnya rol dari bank-bank kolonial.
Dalam krisis hebat
tahun 1895 sebagian besar dari kapitalis-kapitalis partikelir di negeri Belanda
mengalami kehancuran, sehingga mengakibatkan kapital finansial berkuasa penuh.
Jadi, zaman kapital industri yang berdasarkan persaingan bebas tidak lama di Indonesia,
hanya kira-kira 25 tahun (1870-1895). Kapital industri yang berdasarkan
persaingan bebas segera disusul oleh zaman imperialisme yang dimulai tahun
1895, yaitu zaman dimana kapital finansial, yaitu perpaduan antara kapital bank
dengan kapital industri, memegang monopoli atas kehidupan ekonomi dan politik
Indonesia.
Untuk menyelamatkan
dan menjamin hari depan kapital yang diekspor dari Eropa, maka kaum imperialis
Belanda melakukan dua tindakan penting: menundukkan seluruh daerah Indonesia,
secara politik dan militer, dan mengadakan penyelidikan-penyelidikan mengenai
kemungkinan perkembangan kapital yang tidak terbatas. Tindakan kaum imperialis
Belanda ini sesuai dengan perpindahan kapitalisme pra-monopoli ke tingkat
kapitalisme monopoli, yaitu zaman kekuasaan kapital finansial. Perpindahan ini
tak terpisahkan dengan makin intensifnya perjuangan kaum imperialis untuk
membagi-bagi dunia. Kapital finansial berusaha pada umumnya untuk merebut tanah
sebanyak-banyaknya dari macam apa saja, di mana saja, dan dengan semua jalan,
karena memperhitungkan sumber-sumber potensial akan bahan-bahan mentah dan
takut ketinggalan dalam perjuangan sengit untuk mendapat jengkal-jengkal
terakhir dari wilayah yang belum dibagikan atau untuk membagi kembali
tanah-tanah yang sudah dibagi.
Untuk menundukkan
seluruh Indonesia di bawah kekuasaan Belanda maka dilakukanlah peperangan
kolonial besar-besaran pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20 sehingga
dapatlah Belanda meluaskan kekuasaannya ke Bali, Lombok, Sumbawa, Dompo, Flores,
Bone, Banjarmasin, Jambi, Riau, Tapanuli, Aceh, dan lain-lain. Untuk menjamin
keuntungan yang luar biasa, pemerintah Belanda mengadakan pemeriksaan di
lapangan ilmu tanah, ilmu bumi, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu hewan, dan
sebagainya. Juga adat istiadat, bahasa, agama, kesenian, dan sejarah suku-suku
bangsa dipelajari oleh orang-orang Belanda.
Jadi, imperialisme
telah menghancurkan monopoli negara yang berbentuk “cultuurstelsel”, tetapi
bersamaan dengan itu telah mendatangkan monopoli yang baru, yaitu monopoli
kapital finansial. Karena kaum imperialis Belanda lemah kedudukannya dalam
militer dan tidak mampu sendirian membela Indonesia dengan senjata, maka sejak
tahun 1905 kaum imperialis Belanda terpaksa menjalankan politik pintu terbuka
(opendeur politiek), artinya Indonesia dibuka menjadi lapangan eksploitasi kaum
kapitalis dari segala negara kapitalis, terutama negara-negara Inggris dan
Amerika. Dengan menjalankan politik pintu terbuka kaum imperialis Belanda
memperhitungkan dua keuntungan: 1) berupa kenaikan hasil pajak yang didapat
dari perusahaan-perusahaan imperialis; 2) berupa pertahanan bersama antara
negara-negara imperialis untuk melindungi kepentingan-kepentingannya di
Indonesia, dan bersamaan dengan itu kaum imperialis Belanda juga dapat menjalankan
politik keseimbangan antara negara-negara imperialis agar Indonesia tidak
dicaplok oleh negara imperialis yang lain.
Imperialisme telah
mengganti perbudakan model “cultuurstelsel” dengan perbudakan model “baru” yang
antara lain berbentuk “poenale sanctie”, yaitu peraturan yang berisi ketentuan
hukuman bagi mereka yang menyalahi kontrak sebagai alat penjamin tenaga kerja
murah bagi onderneming-onderneming asing.
Karena dalam zaman
sebelum imperialisme, Indonesia sudah dikuras dan dirusak habis-habisan, maka
imperialisme harus memulai dengan menciptakan dasar-dasar elementer untuk suatu
sistem pengisapan modern, pengisapan yang lebih intensif dan sistematis
terhadap rakyat dan kekayaan Indonesia. Sudah sejak permulaan zaman
imperialisme pemerintah Hindia Belanda menjalankan apa yang dinamakan “politik
ethic” (“politik susila”), yaitu politik yang antara lain mengurangi rodi,
mereorganisasi dinas-dinas kesehatan, sedikit meluaskan irigasi, dan mendirikan
sekolah-sekolah rendah, sekolah-sekolah guru normal, sekolah-sekolah teknik,
sekolah-sekolah menengah umum, dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan
imperialisme akan kaum buruh dan pegawai bumi putera yang murah tetapi
berpendidikan.
Dalam zaman imperialis
ini, Indonesia merupakan sumber bahan mentah yang murah buat negeri-negeri
imperialis, sumber tenaga kerja yang sangat murah, pasar untuk menjual hasil
produksi negeri-negeri imperialis dan tempat penanaman kapital asing (Belanda,
Inggris, Amerika, Jepang, Prancis, Italia, dan lain-lain).
Politik kolonial kaum
imperialis sama sekali bukan untuk memajukan industri Indonesia, tetapi untuk
memajukan industri negeri imperialis sendiri. Kaum imperialis menentang
sekeras-kerasnya perkembangan industri yang luas di Indonesia, dan inilah
sebabnya kerajinan tangan dari rakyat tidak berkembang menjadi industri modern
seperti yang terjadi di Eropa.
Perusahaan-perusahaan
bangsa Indonesia sangat terbatas perkembangannya, misalnya hanya meliputi
perusahaan menganyam topi, tikar, keranjang, batik, dan rokok kretek. Yang agak
maju ialah perusahaan-perusahaan batik, diantaranya ada yang mempunyai puluhan
sampai ratusan kaum buruh. Perusahaan-perusahaan ini sangat tergantung pada
importir-importir asing yang mendatangkan keperluan perusahaan batik.
Perusahaan-perusahaan rokok kretek juga sangat tergantung pada
importir-importir asing dan mendapat saingan berat dari industri-industri rokok
Eropa yang modern. Perusahaan batik atau rokok kretek yang agak besar umumnya
dimiliki oleh orang-orang Arab, Tionghoa, dan Eropa.
Industri nasional di
zaman imperialis sangat dihalangi oleh politik imperialis untuk berkenalan
dengan mesin-mesin modern. Hal inilah yang terutama menetapkan Indonesia dalam
kedudukan yang sangat sukar dalam memenuhi kebutuhannya akan barang-barang
hasil industri selama perang dunia ke-2 dan selama revolusi 1945-1948.
Indonesia mempunyai
syarat yang cukup untuk menjadi negeri industri yang modern dan kuat, karena
Indonesia adalah negeri yang kaya dengan pelikan seperti batu bara, besi,
minyak tanah, timah, bauksit, mangan, tembakau, krom, air raksa, iodium, aspal,
emas, perak, seng, uranium, dan lain-lain. Tetapi kaum imperialis tidak
menjadikan Indonesia negeri industri. Kaum imperialis mendirikan
perusahaan-perusahaan pengangkutan seperti kereta api, mobil, dan kapal serta
mendirikan pelabuhan-pelabuhan untuk mengangkut barang-barang dagangan yang
berupa hasil-hasil bumi tropis, atau untuk memudahkan gerak-gerik militer guna
mengontrol dan guna keamanan penjajahan mereka. Mereka mendirikan
industri-industri pembantu untuk keperluan-keperluan reparasi dan untuk
mengerjakan bahan-bahan mentah buat ekspor. Industri yang termasuk agak maju
yang didirikan oleh kaum imperialis ialah industri pertambangan (minyak, timah,
bauksit, batubara, dan sebagainya), pabrik gula, pabrik remeling, pabrik teh,
pabrik kopi, pabrik minyak kelapa, penggilingan beras, pabrik tembakau, dan
sebagainya.
Dengan berkuasanya
imperialisme di Indonesia seperti diterangkan di atas maka masyarakat kolonial
Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut:
Dasar dari ekonomi
alamiah untuk sendiri (self sufficing natural economy) sudah rusak, artinya
produksi sudah ditujukan untuk pasar, tetapi eksploitasi atas kaum tani oleh
kelas tuan tanah – basis sosial dari eksploitasi feodal – masih tetap berlaku.
Eksploitasi ini malahan sudah berjalin dengan eksploitasi kapital asing,
kapital komprador dan lintah darat yang berkedudukan menentukan dalam kehidupan
sosial-ekonomi Indonesia. Indonesia yang feodal sudah menjadi Indonesia yang
semi-feodal.
Kemungkinan berkembang
bagi kapitalisme nasional sangat dibatasi sehingga tidak mempunyai rol yang
penting di dalam kehidupan politik, ekonomi, dan kebudayaan Indonesia. Dalam
masa pendudukan Jepang, borjuasi nasional dapat sedikit memperkuat diri, karena
orang-orang Jepang terpaksa banyak menggunakan tenaga mereka sebagai pembantu.
Tetapi walaupun demikian, kelas borjuis nasional Indonesia tetap sangat lemah
di dalam hal politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Dalam Indonesia modern
kekuasaan raja-raja yang otokratis sudah digulingkan, tetapi ini tidak berarti
bahwa kaum feodal tidak memegang rol dalam kekuasaan kolonial. Kaum feodal,
yaitu kaum bangsawan dan tuan-tuan tanah, merupakan alat yang penting di tangan
kaum imperialis untuk melangsungkan pengisapan ekonomi dan penindasan politik
terhadap rakyat. Kekuasaan kolonial ialah diktator borjuasi besar asing dan
kaum feodal dalam negeri. Dengan diktator ini kaum borjuis asing tidak hanya
menguasai sektor-sektor keuangan dan ekonomi Indonesia, tetapi mereka juga
menguasai keadaan politik dan militer Indonesia.
Kaum imperialis asing
juga menggunakan alat kebudayaan untuk mematahkan semangat perlawanan rakyat
Indonesia. Dengan alat kebudayaan ini mereka menanam rasa rendah diri di
kalangan rakyat dan mendewa-dewakan orang asing dan kaki tangannya. Mereka
menanamkan rasa tidak mampu pada rakyat Indonesia, dan mencekokkan bahwa segala
yang baik dan pandai ada pada orang asing. Mereka tanamkan bahwa belajar ke
Eropa, terutama ke negeri Belanda, berarti pangkat, prestise, dan harta benda
bagi yang dapat kesempatan.
Penindasan oleh
imperialisme dan feodalisme di zaman kekuasaan Belanda, dan lebih-lebih lagi di
zaman kekuasaan Jepang, telah membikin rakyat Indonesia, terutama kaum tani,
menjadi makin lama makin melarat dan kebanyakannya menjadi bangkrut, hidup
dalam keadaan lapar, asing dari perumahan yang pantas dan pakaian yang cukup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar