“Di era Perang Dingin,
ada dua negara di kawasan Asia Tenggara yang paling ditakuti menjadi basis
kekuatan yang berseberangan dengan politik Global (New World Order dan One World
Government-nya Amerika dan aliansinya): Vietnam dan Indonesia. Bagi Amerika dan
aliansinya, bila Vietnam dan Indonesia menjadi basis negara dan bangsa yang
berseberangan dengan politik Amerika dkk, maka kawasan pasifik dan Laut Cina
Selatan akan sulit dikendalikan Amerika dkk sebagai lalu-lintas laut bagi niaga
dan perdagangan dunia, sekaligus sebagai salah-satu kunci untuk mengontrol
kawasan tersebut, yang nantinya menjadi pintu masuk untuk mengendalikan kawasan
Laut Cina Selatan dan kawasan Pasifik. Kebetulan, di masa-masa itu, Vietnam dan
Indonesia dipimpin oleh orang-orang yang cenderung sosialis dan komunis, yaitu
Ho Chi Minh dan Bung Karno.
Di masa-masa itu, Asia
Tenggara merupakan kawasan yang rumit dan kompleks dalam panggung politik
dunia. Sejumlah negara di kawasan tersebut tengah berjuang bagi kemerdekaan,
sementara di sisi lain, persaingan antara sosialis-komunis Rusia dengan
demokrasi-liberal Amerika juga masuk di kawasan Asia Tenggara, seperti ketika
Rusia dan Amerika bertarung di Vietnam dan Indonesia, ketika Amerika berusaha
mengenyahkan Ho Chi Minh (Vietnam) dan Bung Karno (Indonesia) yang cenderung
sosialis, ketimbang dua pemimpin demokrat-kapitalis”
Orang-orang Barat
memang sudah lama mengetahui keberadaan Asia Timur termasuk Asia Tenggara.
Namun kesadaran mereka baru terbuka pada abad ke-19, tatkala politik kolonialisme
mereka mulai menjamah wilayah itu, khususnya oleh Perancis di kawasan yang
mereka namakan ‘Indochina’. Culasnya, orang Perancis dikenal amat protektif
terhadap wilayah kolonialnya. Mereka tidak mau orang lain mengetahui, apalagi
mencampuri urusan wilayah jajahannva. Akibatnya, orang Barat lainnya tidak
banyak tahu mengenai kawasan Asia Tenggara yang dikuasai Perancis, yang mereka
sebut sebagai French Indo-China.
Demikianlah, sewaktu
Amerika, saat menjelang berakhirnya Perang Dunia II, mulai merasakan
kepentingan untuk mengetahui persoalan di Asia Tenggara, khususnya kawasan
Indochina, mereka tak tahu apa-apa dibandingkan Perancis. Misalnya atlas atau
peta wilayah itu pun tidak menunjukkan adanya negeri yang bernama Vietnam.
Sebab nama itu disembunyikan di bawah sebutan “French Indochina”, atau
Indochina-nya Perancis! Sementara, di sisi lain, istilah “Indochina” sendiri
membingungkan, karena menimbulkan kesan seakan-akan sebagai kawasan tambahannya
China. Padahal tak ada sangkut pautnya, meski China pernah menjajah Vietnam di
jaman dulu.
Dalam Konferensi Yalta
awal 1945, sewaktu para pemimpin Sekutu merancang masa depan dunia seusai PD
II, Presiden AS Franklin D. Roosevelt bertanya kepada pemimpin China, Jenderal
Besar Chiang Kai-shek, “Apakah Anda menghendaki wilayah Indochina?” Chiang yang
paham betul akan sejarah maupun tradisi bangsa di kawasan itu menjawab, “Tidak,
kami tidak menginginkannya. Mereka (rakyat Indochina) bukanlah bangsa China.
Mereka tidak akan terasimilasi ke dalam bangsa China.” Tetapi meskipun ada
jawaban yang sejelas itu, orang Amerika toh masih memerlukan waktu tiga puluhan
tahun lagi, termasuk harus melalui kegetiran perang, guna menyadari betapa
tepatnya pemahaman Chiang Kai-shek itu.
Tiadanya perhatian
dari para ilmuwan Barat di luar Perancis dalam mempelajari Indochina/Vietnam
terbukti bahwa buku tentang Vietnam yang pertama kali dalam bahasa Inggris,
barulah diterbitkan tahun 1958. Yaitu buku The Smaller Dragon yang ditulis oleh
Joseph Buttinger. Ketakpahaman Amerika terhadap Vietnam itu nantinya harus
dibayar mahal sekali, karena ketidakpahaman tersebut menyebabkan Amerika
cenderung untuk berpikir bahwa Vietnam hanyalah sebuah “negeri kecil”, sehingga
sikap awal adalah menyepelekannya.
Persepsi Amerika
Serikat lainnya yang keliru, dan terbilang cukup fatal, tentang Vietnam adalah
menganggap seolah-olah Vietnam itu “negeri baru” yang masih gampang
diotak-atik. Penjajahan oleh Perancis yang tertutup dan sikap tak peduli
terhadap Asia dan sejarahnya, membuat orang Amerika tidak memahami atau
menyadari, bahwa Vietnam adalah salah satu negara yang sudah tua. Jejak
sejarahnya yang terekam pun berasal dari tahun 111 sebelum Masehi, atau sekitar
50 tahun sebelum tentara Romawi mendarat di pesisir Inggris. Dalam sejarah awalnya,
Vietnam memang lama dikuasai oleh China. Namun tahun 946 memperoleh
kemerdekaannya dan menjadi negara berdaulat hingga datangnya kolonialis
Perancis pada pertengahan abad ke-19, tepatnya mulai tahun 1884.
Karena lamanya Vietnam
dalam kekuasaan dan kendali bangsa lain, maka sejak dulu dalam diri bangsa
Vietnam terbentuk semacam tradisi kependekaran atau warrior tradition, yang
memiliki sikap dan daya juang yang ulet, didasari sikap nasionalisme yang kuat.
Ketidaktahuan Amerika terhadap apa yang melatari Vietnam, baik sejarah, kondisi
fisik tanahnya, maupun kultur bangsanya, terbukti berakibat fatal bagi Amerika
Serikat seperti ditunjukkan dalam Perang Vietnam, meski film-film Hollywood
selalu saja berdusta tentang perang antara Vietnam dan Amerika demi menutupi
rasa malu Amerika yang dikalahkan Vietnam.
BIBIT-BIBIT
KONFLIK
Vietnam yang mengenyam
kemerdekaan dalam tempo yang lama, memang tak Iuput dari konflik domestik.
Artinya acap terjadi persaingan dan perebutan dominasi oleh para tokohnya sendiri,
sekalipun misalnya sejak tahun 1802 berdiri dinasti Nguyen yang cukup kokoh.
Dalam kaitan dengan konflik internal itulah seorang tokoh pelaku (aktor) dari
kawasan selatan kemudian memakai jasa tentara sewaan Perancis. Penggunaan orang
asing dalam konflik internal inilah yang ternyata membukakan pintu bagi
masuknya kepentingan Perancis di Vietnam.
Lingkaran dan kelompok
Ho Chi Minh, contohnya, akrab dengan Rusia. Ho kemudian menjadi tokoh besar
komunis di Asia Tenggara, yang kelak menjadi kunci bagi kemerdekaan komunis
Vietnam. Dari sekira sejak tahun 1884, Vietnam sepenuhnya berada dalam dominasi
Perancis yang sedang bersaing dengan Inggris serta kekuatan kolonial Eropa
lainnya dalam menambah daerah jajahan. Karena itulah Perancis yang mulai
bercokol di Vietnam, melebarkan kekuasaannya hingga Laos dan Kamboja. Sedangkan
Vietnam sendiri dibaginya menjadi tiga wilayah administrasi, yaitu Cochin China
di Vietnam bagian selatan, Annam di tengah, dan Tonkin di utara.
Meskipun Perancis
dengan ketat memegang kendali kekuasaan di Indochina, namun bangsa Vietnam
tetap bersikap menentang penjajahan asing. Terhadap wilayah Cochin China di
selatan yang subur, Perancis memusatkan kepentingannya, baik dengan eksploitasi
ekonomi maupun transformasi kultural. Ibukotanya Saigon pun sampai dikenal
sebagai “Paris dari Timur” alias Paris of the Orient. Sebagai akibatnya, maka
di selatan tumbuh elite orang Vietnam sendiri. Kaum borjuis Vietnam yang
mengenyam pendidikan Perancis ini kebanyakan berada di Saigon, dengan kekayaan
mereka yang umumnya bersumber dari perniagaan dan selaku tuan tanah.
Lapisan masyarakat ini
amat mempengaruhi gerakan nasionalisme Vietnam, yang pada awal abad ke-20 makin
berkembang di kalangan bangsa Vietnam yang terdidik. Di satu pihak lapisan ini
memiliki naluri nasionalisme yang kuat, bahkan anti-asing, namun di lain pihak
mereka pun banyak yang dipengaruhi kultur baru hasil pendidikan modern,
sehingga perjuangan mereka adalah reformasi tanpa kekerasan, non-violent
reformism.
Kalangan Francophile
ini misalnya melakukan perjuangan mereka lewat Partai Konstitusionalis, yang
menginginkan perubahan politik kolonial Perancis tanpa harus menjadi musuhnya
orang Perancis. Sekalipun mereka menghendaki Vietnam yang lebih merdeka, namun
mereka pun tetap bersedia menempatkan negara mereka dalam ikatan kuat dengan
Uni Perancis.
Tetapi perjuangan kaum
moderat tersebut ternyata tidak berhasil, karena penguasa kolonial Perancis
tutup mata dan telinga, sehingga lambat laun gerakan ini pun melemah sendiri,
dan sekitar tahun 1930-an partai moderat ini pun kehabisan daya. Gagalnya upaya
reformasi oleh kaum nasionalis moderat ini menimbulkan reaksi dari lapisan
elite Vietnam yang lebih keras, terutama di wilayah tengah dan utara, yaitu di
Annam dan Tonkin. Di Hue, Hanoi, dan kota-kota lainnya mulai berkembang gerakan
anti-kolonial bawah tanah. Gerakan ini dipelopori kaum revolusioner, yang
bertujuan segera mengusir penjajah Perancis dan meraih kemerdekaan nasional.
Dari beberapa kelompok
nasionalis-revolusioner tersebut, yang paling menonjol adalah Partai Nasionalis
Vietnam atau Viet Nam Quoc Dan Dang (VNQDD), yang dibentuk dengan mencontoh
model Partai Nasionalis di China yang didirikan Dr. Sun Yat-sen. Partai ini
melihat bahwa satu-satunya jalan untuk memperoleh kemerdekaan adalah lewat
revolusi bersenjata. Karena itu mereka pun diam-diam berusaha menggalang orang
Vietnam yang menjadi anggota tentara Perancis. Di tahun 1930 mereka mencoba
mencetuskan pemberontakan, namun upaya ini gagal dan VNQDD pun tamat sebagai
kelompok nasionalis garis keras yang paling menonjol.
Tumbuhnya dua cara
pendekatan, moderat dan revolusioner, nantinya tetap akan terlihat setelah
Perang Dunia II berakhir dengan terbentuknya Vietnam Utara dan Vietnam Selatan,
serta kecenderungan politik masing-masing. Perbedaan inilah yang menumbuhkan
bibit-bibit Perang Vietnam yang menjadi tragedi bagi bangsa Vietnam sendiri,
maupun untuk Amerika Serikat yang berusaha ikut campur, bahkan melibatkan diri
sepenuhnya dalam perangnya.
HO CHI MINH
Sejarah modern Vietnam
tidaklah mungkin lepas dari ketokohan seorang pemimpin yang hidupnya sederhana
namun penuh semangat dan kemampuan luar biasa bagi pemerdekaan Vietnam. Bahkan
dia pula yang mempersatukan Vietnam kembali sebagai satu negara utuh. Sewaktu
perjuangan kaum nasionalis Vietnam baik yang moderat maupun bergaris keras
sama-sama mengalami kegagalan, saat itulah muncul seorang anak muda bernama Ho
Chi Minh. Pemuda ini dilahirkan tahun 1890 dengan nama Nguyen Sinh Cung. Sejak
kecil dia telah tergerak hatinya untuk berjuang bagi kemerdekaan bangsanya.
Sewaktu berada di
Paris pada saat Perang Dunia I meletus, pemuda ini berkenalan dengan ideologi
Marxisme yang kala itu masih baru. Dia pun tertarik dan aktif dalam pergerakan
kaum komunis, bahkan ikut mendirikan Partai Komunis Perancis. Selanjutnya dia
ke Moskow dan aktif dalam gerakan komunis internasional (Comintern).
Di tahun 1930, ia
pergi ke Hong Kong dan mendirikan Partai Komunis Vietnam. Dalam semua
kegiatannya, Ho Chi Minh selalu menekankan tujuan pemerdekaan Vietnam.
Sekalipun dia seorang komunis, namun Ho menyatakan pertama-tama dirinya adalah
seorang patriot dan nasionalis. Dan hal itu dia buktikan dalam perjuangannya
hingga akhir hayatnya.
Ketika Perang Dunia II
merambah Asia Pasifik dan Jepang menguasai Indochina, namun tetap membolehkan
pemerintahan kolonial Perancis menjadi administrator bonekanya, maka perjuangan
Ho kian memperoleh dukungan rakyat. Bersama rekannya yang mantan guru sejarah,
Vo Nguyen Giap, diam-diam Ho membangun tentara perjuangan yang dinamakan Viet
Minh. Sewaktu Jepang menyerah 15 Agustus 1945, Ho dan tentaranya dengan cepat
masuk ke Hanoi.
Pada 2 September 1930,
ia memproklamasikan kemerdekaan Vietnam. Amerika Serikat yang baru mengalahkan
Jepang, menyambut baik proklamasi tersebut dengan mengutus sejumlah perwira
untuk menghadiri upacara tersebut. Sejumlah pesawat Amerika juga melakukan
terbang lintas menghormati proklamasi ini.
Namun hubungan manis
itu ternyata tidak berjalan lama. Ho Chi Minh semula memang berharap Amerika
Serikat membantunya melakukan konsolidasi negerinya yang baru merdeka, dan
dapat dikatakan harapan Ho itu bukan tanpa dasar, karena dia tahu bahwa
Washington tidak begitu menyukai Perancis dalam Perang Dunia II, dan
pemimpinnya selama perang, Jenderal Charles de Gaulle, juga dinilai arogan.
Tetapi karena kala itu orang Amerika masih tidak peduli dan tidak mengenal
negeri yang disebut Vietnam, maka Washington pun melakukan kekeliruan fatal
dalam politiknya. Sebuah kekeliruan yang tragis, baik bagi bangsa Vietnam
maupun nantinya untuk Amerika Serikat.
Dan ironisnya,
beberapa tahun kemudian, nun jauh di Washington sana, para pejabat Amerika
Serikat malah sibuk menyiapkan kembalinya bekas penguasa kolonial Perancis ke
Indochina. Rupanya pemimpin baru Amerika, Presiden Harry Truman berbeda dengan
mendiang Presiden Roosevelt yang kurang menyukai politik kolonial negara-negara
Eropa. Truman yang tak memahami kawasan Asia Tenggara dan karena itu juga tidak
tertarik, mengizinkan Perancis balik ke Indochina dengan alasan demi hubungan
baik guna menghadapi keadaan baru paska perang. Karena itu tak heran apabila AS
juga tak keberatan sewaktu Inggris dan Belanda ingin menguasai kembali
bekas wilayah jajahannya, yaitu Indonesia.
Tentara Inggris yang
didaratkan di Indochina untuk melucuti pasukan Jepang, juga diboncengi pasukan
Perancis. Bahkan Inggris membantu Perancis berkuasa lagi di berbagai wilayah
Indochina. Suatu keadaan yang mirip terjadi di Indonesia kala itu. Posisi Ho
yang belum kuat, membuatnya tak berdaya menahan tekanan Perancis. Dia terpaksa
membolehkan pasukan Perancis masuk ke Vietnam bagian utara guna menggantikan
tentara China nasionalis yang juga ditugaskan melucuti Jepang. Dari sinilah
niat Perancis untuk menguasai kembali Vietnam dan wilayah Indochina lainnya
semakin jelas kelihatan!
PERANG
INDOCHINA 1946-1954
Melihat maksud
Perancis tersebut, Ho Chi Minh, yang posisinya belum kuat, memilih cara
perundingan untuk meredakan ancaman terhadap kemerdekaan yang baru
diproklamasikannya. Hanya saja, kali ini, jurang perbedaan mereka tak
terjembatani dengan perundingan, sehingga September pada 1946 tercapailah
‘kesepakatan untuk tidak sepakat’. Dengan posisi ini, maka Ho menyimpulkan
bahwa satu-satunya cara mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Vietnam hanya
bisa diraih lewat senjata dan perang. Situasi ini muncul tatkala dalam bulan
November 1946 pecah insiden di kota pelabuhan Haiphong antara pasukan Perancis
dengan Viet Minh.
Kala itu Perancis
memanfaatkan momentum tersebut untuk mengenyahkan Ho Chi Minh. Tentara Perancis
segera menguasai ibukota Hanoi dan Ho bersama pasukannya mundur ke pedalaman.
Pada 19 Desember 1946, Jenderal Vo Nguyen Giap mengumumkan perang perlawanan
nasional yang melibatkan seluruh rakyat Vietnam. Untuk memperlemah pelawanan
tersebut, Perancis melakukan politik divide et impera, termasuk membenuk
pemerintahan boneka yang dipegang oleh Raja Bao Dai. Perancis juga meniupkan
bahwa perang ini bukanlah sekadar peperangan kolonial, melainkan sudah
merupakan bagian dari Perang Dingin melawan ekspansi komunisme. Sehingga
Amerika Serikat pun mulai termakan dengan apa yang ditiupkan Perancis itu.
Dalam perang kolonial
ini, Perancis memiliki 100.000 pasukan terlatih dengan persenjataan lengkap,
termasuk kekuatan udara dan laut, dipimpin oleh Jenderal Jean de Lattre de
Tassigny. Sedangkan Viet Minh yang dibantu rakyat terdiri dari sekitar 150.000
orang dengan persenjataan terbatas, namun mulai memperoleh bantuan dari China.
Mirip dengan perang kemerdekaan di Indonesia, di mana para pejuang Vietnam
lebih menguasai wilayah pedesaan atau pedalaman, sedangkan tentara Perancis
menguasai kota-kota, sebagaimana dulu Indonesia melakukan gerilya untuk melawan
Belanda yang diam-diam disokong Ingris dan Amerika.
JATUHNYA DIEN
BIEN PHU
Memasuki tahun
1950-an, perang ini kian tidak populer dan di pihak Perancis mulai timbul
tuntutan agar tentaranya ditarik dari Indochina. Jenderal de Lattre de Tassigny
yang dikenal cerdas dan ulet serta diidolakan pasukannya itu pun terkena kanker
dan meninggal. Penggantinya tidak ada yang semampu dia. Di bidang politik, Uni
Soviet yang semula tidak peduli dengan Vietnam dan perjuangannya, pada tahun
1950 mengakui eksistensi Vietnam. Sedangkan di pihak lain, Perancis melalui
panglima barunya, Jenderal Henri Navarre, berhasil meyakinkan Amerika Serikat
untuk rencana peningkatan militernya, termasuk pembangunan benteng di Dien Bien
Phu.
Kehadiran pasukan AS
di Vietnam ternyata membuat Perang Vietnam makin runyam. Tentara AS yang kurang
paham medan, seperti di Delta Mekong, harus bertempur melawan tantangan alam
Vietnam yang sangat ganas.
Sementara itu, benteng
yang dibangun Perancis dan AS tersebut dimaksudkan untuk menangkal infiltrasi pasukan
Viet Minh ke Laos yang dikuasai Perancis. Pasukan payung pun diterjunkan di
dataran tersebut dan membangun perbentengan yang kuat, termasuk dua lapangan
terbang kecil serta gugusan pusat pertahanan yang dijuluki dengan nama wanita,
seperti Ann Marie, Beatrice, Claudine, Dominique, Elaine, Gabrielle, dan
sebagainya. Hal ini mungkin dimaksudkan untuk mempertinggi moril dan semangat
tempur sekitar 16.000 prajurit payung Perancis.
Jika Jenderal Navarre
berharap pasukan Viet Minh akan terperangkap dan dihancurkan di lembah Dien
Bien Phu, maka sebaliknya Jenderal Giap melihat perbentengan Perancis itu harus
dibinasakan dan direbut untuk memperoleh momentum yang menentukan dalam perang
Indochina. Karena itu diam-diam Giap mengepung Dien Bien Phu, termasuk
mengerahkan kekuatan artilerinya. Bulan Maret 1954 peluru meriam mulai
menghujani Dien Bien Phu tanpa terduga oleh Perancis. Mereka pun mulai khawatir
tatkala melihat bahwa bantuan pasukan maupun logistik ternyata dapat mencapai
Dien Bien Phu hanya dengan lewat udara. Apalagi ketika Jenderal Giap mulai
merapatkan kepungan untuk selanjutnya mengerahkan pasukannya langsung menyerbu.
Saat itu, pertempuran
sengit dan brutal, yang acapkali satu lawan satu, berkecamuk di Dien Bien Phu.
Pasukan Perancis yang mati-matian bertahan, beberapa kali berhasil memukul
mundur serbuan ini. Namun bak air bah dari bendungan jebol, akhirnya pasukan
Viet Minh tak terbendung dan satu persatu pusat pertahanan Perancis pun
mengibarkan bendera putih setelah pertempuran dengan korban besar di kedua
pihak. Sesudah benteng Elaine jatuh pada 7 Mei, maka tentara Perancis menyerah.
Sekitar 11.000 prajuritnya ditawan oleh Vietnam. Kemenangan besar ini
diharapkan meningkatkan posisi Vietnam dalam perundingan di Geneva, sekaligus
melenyapkan posisi tawar Perancis.
DIBAGI DUA
Sekalipun posisi
Vietnam berada di atas angin dalam perundingan di Geneva, namun situasi dan
kondisi politik internasional sudah berubah. Perang Korea masih kuat membekas
dan tetap mengancam, sementara Perang Dingin antara Blok Barat dengan Timur pun
semakin menajam. Akibatnya kompromi sulit dilakukan, dan penyelesaian sementara
yang dapat dicapai adalah Viet Minh boleh menguasai wilayah Vietnam sebelah
utara garis paralel ke-17, sedangkan Perancis di selatan garis tersebut.
Persetujuan Geneva ini disepakati pada Juli 1954.
Mengapa Ho Chi Minh
yang cukup berpengaruh di seluruh Vietnam hanya memperoleh separuh dari
negerinya? Hal ini disebabkan para peserta konferensi lainnya tidak memberinya
alternatif, bahkan berusaha keras memblokirnya untuk menguasai seluruh Vietnam.
Terutama AS lewat Menlu John Foster Dulles yang amat anti-komunis, mati-matian
mencegah seluruh Vietnam dipegang oleh Ho, yang lebih dilihat sebagai komunis
daripada patriot Vietnam. Bahkan begitu perjanjian ditandatangani, AS di bawah
Presiden Dwight Eisenhower langsung memperkokoh posisi Vietnam Selatan dengan
mengucurkan berbagai bantuan ekonomi maupun militer. AS ingin menjadikan
Vietnam Selatan sebagai basis terdepan untuk melawan ekspansi komunis di Asia
Tenggara, disamping mendirikan pakta pertahanan Asia Tenggara atau SEATO untuk
melawan kekuatan non-blok dan konferensi Asia Afrika-nya Bung Karno di
Indonesia.
AS ketika itu amat
percaya akan apa yang disebut “Teori Domino”, yang pada intinya meyakini jika
Vietnam Utara sampai menguasai Selatan, maka satu persatu negara sekitarnya
akan jatuh ke tangan komunis. Hal ini seperti kartu domino yang berjajar
diberdirikan, pasti ambruk satu persatu dengan cepat manakala salah satu dari
kartu itu jatuh dan menimpa yang lainnya. Karena kecemasan akan kemungkinan
jatuhnya Vietnam Selatan, maka AS yang melihat kepemimpinan Raja Bao Dai tidak
begitu meyakinkan, diam-diam mencari pemimpin baru bagi Vietnam Selatan. Tokoh
baru yang ditemukan adalah pada diri Ngo Dinh Diem, mantan PM-nya Bao Dai.
Untuk menjadikan Ngo
sebagai penguasa baru Vietnam Selatan, maka tahun 1955 dilakukan referendum:
untuk memilih monarki di bawah Raja Bao Dai ataukah republik yang dipimpin
Presiden Ngo Dinh Diem, mirip sekali yang Amerika rancang bersama Australia
untuk menjebak Indonesia dalam kasus Timor Timur. Referendum ini dimenangkan
Ngo yang kemudian dilantik sebagai presiden. Pada awalnya kepemimpinannya
memberi harapan, dengan perbaikan ekonomi dan sosial rakyat Vietnam Selatan,
termasuk penanganan terhadap ratusan ribu pengungsi dari wilayah Utara. Namun
makin lama terasa bahwa pemimpin baru ini semakin otoriter, kaku, sulit
berkompromi, sehingga politik di Vietnam Selatan semakin bergejolak, termasuk
dari kaum Budhis yang merasa tersisihkan.
Sementara itu
keinginan Ho Chi Minh untuk menyatukan Vietnam yang terbelah, juga tetap
membara. Dia pernah mendekati Ngo Dinh Diem untuk membicarakan kemungkinan
pemilu, namun Saigon menolak. Para kader Viet Minh di Vietnam Selatan pun mulai
bergerak. Mereka yang menyebut diri Viet Cong (VC) mulai melakukan aksi
bersenjata di Delta Mekong seraya mengharap Hanoi segera membantu upaya
reunifikasi Vietnam. Bantuan itu `resmi’ datang tahun 1959, ketika Utara
menyerukan perjuangan bersenjata di Selatan yang akan dibantu dengan personel
maupun logistik dan Utara.
KETERLIBATAN
AS
Infiltrasi ke Selatan
dilakukan melalui jalur tikus’ yang panjangnya ratusan mil, yang sebagian
terpaksa melewati wilayah Laos. Bantuan tersebut, baik berupa orang maupun
logistik, mulai dialirkan lewat Ho Chi Minh trail tersebut. Tentara Vietnam
Selatan (ARVN, Army of the Republic of Viet Nam) berusaha keras menekan gerakan
gerilya VC (Vietnam Utara). Dengan memperoleh aliran bantuan dari Utara, VC pun
semakin gigih. Keadaan ini mempersulit posisi Presiden Ngo yang juga harus
menghadapi berbagai gejolak politik dan unjuk rasa di Saigon.
Akibat meninggalnya
John F. Kennedy (yang kemungkinan besar dibunuh dengan skenario elit di Amerika
sendiri karena Kennedy enggan terlibat lebih dalam di Vietnam) dan kemudian
digantikan oleh Lyndon Johnson, pasukan AS di Vietnam bukannya dikurangi, tapi
malah ditambah secara dratis.
Penting diketahui,
sebelum dibunuh, John F. Kennedy baru menggantikan Eisenhower sebagai presiden.
Saat itu, sebelum menyerahkan jabatannya, Eisenhower berpesan kepada JFK
mengenai vitalnya persoalan Indochina bagi kepentingan global AS dalam Perang
Dingin. Apabila Vietnam Selatan sampai jatuh ke tangan kaum komunis Utara, maka
seluruh Asia Tenggara juga akan ambruk. Para pembantu terdekat JFK kebetulan
adalah tokoh bergaris keras, terutama Menlu Dean Rusk, Menhan Robert McNamara,
dan Ketua Dewan Keamanan Nasional McGeorge Bundy. Mereka mendesak JFK untuk
segera melakukan intervensi militer ke Vietnam. Namun negara sekutu utama,
Inggris dan Perancis mengingatkan AS jangan terlalu jauh terlibat di Vietnam,
terutama Perancis yang sudah mengalami sendiri pahitnya menghadapi perlawanan
orang Vietnam, terutama Vietnam yang berideologi sosialis Rusia dan Cina kala
itu!
Posisi JFK pun sulit,
karena Partai Republik yang merupakan lawan politiknya selalu menekankan bahwa
dialah yang `akan paling bertanggung jawab’ apabila Asia Tenggara sampai
hilang. Kennedy yang baru mengalami pukulan sebagai akibat kegagalan CIA dalam
peristiwa penyerbuan Teluk Babi di Kuba, tidak mau mengulang kekalahan
tersebut. Karena itu, sekalipun dia masih sungkan untuk melakukan intervensi
militer langsung, namun akhirnya JFK mulai mengirim personel militer Amerika ke
Vietnam Selatan, dengan tugas utama sebagai penasihat/pelatih, yang dipandang
oleh para elit di Amerika sebagai sikap ‘tidak mau terlibatnya Kennedy secara
sungguh-sungguh di Asia Tenggara’.
Tetapi karena pasukan VC
(Vietnam Utara atau Vietcong) semakin kuat dan menyebar ke seluruh Vietnam
Selatan, maka jumlah personel AS itu pun terus ditambah paska dibunuhnya John
F. Kennedy, dan tugas mereka bukan lagi hanya sebagai penasihat melainkan ikut
bertempur langsung melawan VC (Vietnam Utara). Menjelang akhir 1963, jumlahnya
sudah melonjak hingga 16.000 orang.
Sebelum dibunuh, untuk
mengetahui kondisi sebenarnya di lapangan, Presiden Kennedy mengirim penasihat Gedung
Putih Walt Rostow dan penasihat militer Jenderal Maxwell D. Taylor ke Vietnam
Selatan. Dalam laporannya, misi pencari fakta itu menunjukkan betapa situasi
sebenarnya sudah kritis, baik kemiliteran di lapangan maupun politik di Saigon.
Mereka mengusulkan
pengiriman 8.000 pasukan infanteri untuk langsung membantu menumpas gerilyawan
VC (Vietnam Utara) di Delta Mekong yang strategis. Namun jumlah ini dianggap
terlalu kecil. Menhan McNamara tak tanggung-tanggung mengusulkan pengiriman
200.000 pasukan. Dalam situasi seperti ini, Kennedy pun mengeluarkan apa yang
disebutnya sebagai “Doktrin Kredibilitas”, untuk memperlihatkan kepada kawan
maupun lawan bahwa AS akan konsekuen dengan semua komitmen dan melaksanakannya
secara tegas, sehingga AS dapat diandalkan. Doktrin ini sekaligus menegaskan
bahwa determinasi AS untuk mempertahankan Vietnam Selatan sungguh-sungguh akan
dijalankan. Dengan demikian kredibilitas AS di kancah internasional dapat
diandalkan.
Namun dalam pikiran
JFK kala itu, doktrin ini tidaklah serta merta harus berupa terlibat langsung
dalam perang, melainkan membantu dengan nasihat kemiliteran, meningkatkan
kehidupan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, mengisolasi kaum komunis agar tidak
dapat berbaur ke masyarakat dengan memindahkan penduduk ke daerah-daerah aman.
Sayangnya, di mata lawan-lawan Kennedy di Amerika sendiri, hal ideal ini bukan
sebuah kenyataan yang mestinya dipilih Amerika, karena menurut mereka (yang
meragukan komitmen Kennedy) situasi di Vietnam Selatan sudah parah.
Sementara itu, di sisi
lainnya, Presiden Ngo Dinh Diem dengan sikapnya yang semakin keras dan jauh
dari rakyatnya sendiri, malah menjadi rintangan bagi AS. Karena itu, tiga
minggu sebelum JFK tewas terbunuh di Dallas pada 23 November 1963, dia
mengizinkan dilancarkannya kudeta milker terhadap Ngo pada 1 November. Presiden
Vietnam Selatan itu dan adiknya yang sekaligus penasihatnya, Ngo Dinh Nhu,
terbunuh –bersamaan dengan dibunuhnya Kennedy sendiri di Amerika.
MASUKNYA
JOHNSON
Presiden Kennedy
digantikan wakilnya, Lyndon B. Johnson (LBJ), yang dari awal menyadari bahwa
konflik di Vietnam akan menyita perhatian politik luar negerinya. Berbeda
dengan JFK, maka LBJ lebih tegas dalam masalah Vietnam. Kepada para
pembantunya, dia menggariskan harus memenangkan perang di Vietnam ini. Dia
mengirim Menhan McNamara ke Saigon karena rejim baru di sana tampaknya semakin
lemah dalam menghadapi VC (Vietnam Utara). Akhirnya Jenderal Duong Van Minh
(Big Minh) yang mengkudeta Presiden Ngo, digusur dalam kudeta tak berdarah pada
awal 1964. Dia digantikan oleh Jenderal Nguyen Khanh. Tentu saja Amerika
Serikat berada di belakang peralihan rejim Saigon ini, sebagaimana Amerika juga
mengkudeta Bung Karno di Indonesia dengan menggunakan kekuatan Jenderal
Soeharto dan kelompoknya.
Naas bagi Amerika,
Nguyen Khanh pun terbukti tidak mampu mengalahkan VC (Vietnam Utara) dan
infiltran Utara. Karena itu Washington membuat rencana operasi yang dinamakan
Oplan 34-A, yang intinya antara lain meningkatkan upaya menekan musuh, termasuk
`memberi pelajaran’ terhadap Vietnam Utara agar menghentikan politik agresinya
ke Selatan. Rencana operasi ini berarti AS akan meluaskan peperangan hingga
wilayah Vietnam Utara.
AS pun kemudian
menyiapkan diri untuk melaksanakan Oplan 34-A, seraya menyerukan para sekutunya
untuk membantu dengan mengirim pasukan ke Vietnam. Hanya sedikit yang bersedia,
yakni Australia dan Korea Selatan. Sedangkan lainnya sekadar simbolik atau
menolak. Dua negara di Asia Tenggara sendiri, yaitu Thailand dan Filipina
menyediakan pangkalan udara bagi militer Amerika, seperti di Utapao dan Clark.
Rencana LBJ (Lyndon B.
Johnson) untuk membawa perang ke wilayah Vietnam Utara, didukung sepenuhnya
oleh Saigon. Pada akhir Juli 1964, pemerintahan Nguyen Khanh mencetuskan dua
alternatif: berunding dengan Front Pembebasan Nasional yang merupakan induk
politik VC, atau menyerang Vietnam Utara untuk menghentikan dukungan Hanoi
terhadap VC. Sesuai dengan niat Johnson meluaskan perang hingga wilayah Vietnam
Utara, maka alternatif yang dipilih adalah yang kedua. Pilihan ini berarti
diam-diam mulai melaksanakan Oplan 34-A. Dubes AS di Saigon saat itu, Jenderal
Taylor, walau belum punya bukti menyusupnya tentara reguler Vietnam Utara ke
Vietnam Selatan, mengusulkan kemungkinan pengeboman atau bombing raids terhadap
sasaran-sasaran tertentu di Utara.
DICETUSKAN DI
TELUK TONKIN
Pada tahap awal,
satuan komando Vietnam Selatan dengan penasihat militernya melakukan raids
terhadap sasaran-sasaran di pantai Vietnam Utara, yang dicurigai menjadi basis
infiltrasi ke Selatan. Kapal perang AS juga mulai aktif berpatroli di Teluk
Tonkin, dalam jarak yang dianggap cukup aman dari pantai Vietnam Utara. Operasi
laut yang diberi kode De Soto ini, bertujuan untuk mencegah infiltrasi Utara
lewat laut, sekaligus melakukan pengintaian elektronik. Sedangkan pesawat
terbang AS juga mulai banyak melakukan pengintaian hingga wilayah Laos yang
diduga dilalui Ho Chi Minh trail, jalan tikus infiltrasi ke Vietnam Selatan.
Para pilot dibekali instruksi, jika terancam mereka harus membalas menyerang.
Semakin banyaknya
kapal perang AS di Teluk Tonkin memang semakin membuka kemungkinan timbulnya
insiden dengan kapal Vietnam Utara. Dan akhirnya hal itu memang terjadi juga
pada 2 Agustus 1964, tatkala kapal perusak Amerika USS Maddox yang berlayar di
lepas pantai diserang oleh kapal patroli torpedo Vietnam Utara. Diduga kapal
patroli tersebut mengira Maddox tengah membantu suatu serangan komando di
pantai. Dua hari kemudian kapal perusak USS Turner Joy juga melaporkan diserang
kapal patroli Vietnam Utara, walau laporan ini sebenarnya dinilai meragukan.
Tetapi seperti kata
pepatah pucuk dicinta ulam tiba, maka kejadian ini pun dibesar-besarkan menjadi
apa yang terkenal sebagai “Insiden Teluk Tonkin”.
Presiden Johnson
dengan dukungan Pentagon, langsung memanfaatkan momentum ini dengan
memerintahkan serangan udara balasan terhadap Vietnam Utara. Dua kapal induk
yang juga berada di Teluk Tonkin, USS Constellation dan USS Ticonderoga,
mengerahkan pesawat pengebom-tempur mereka untuk menghancurkan berbagai sasaran
di Vietnam Utara, seperti pangkalan laut, kapal-kapal serta instalasi vital
lainnya. Dua pesawat AS ditembak jatuh dari darat, dua lainnya rusak.
Tetapi serangan udara
hebat ini ternyata tidak membuat Ho Chi Minh takut dan menghentikan infiltrasi
bantuan ke Selatan. Bahkan di bulan Oktober 1964 itu, pasukan VC (Vietnam
Utara) membalas serangan udara Amerika dengan menyusup ke pangkalan udara Bien
Hoa di dekat Saigon, menghancurkan enam pesawat pengebom B-57 Canbera dan menewaskan
sejumlah personel Amerika. Sebaliknya AS juga mengirim pasukan khususnya untuk
melakukan supervisi di medan Vietnam, sehingga di akhir tahun 1964 jumlah
personel militer AS telah mencapai 23.300 orang, sedangkan Vietnam Selatan juga
meningkatkan jumlah tentaranya hingga dari 500.000 orang.
Memasuki tahun 1965,
maka situasi perang semakin menghebat. USAF (Angkatan Udara Amerika)
melancarkan berbagai operasi dengan nama sandi Barrel Roll, Flaming Dart,
Rolling Thunder dan sebagainya untuk menggempur sasaran-sasaran khusus di
Utara, Selatan, maupun Laos. Presiden Johnson yang baru terpilih kembali pada
pilpres November 1964 memerintahkan penambahan terus pasukan AS, dan pada 8
Maret 1965 itu pasukan tempur pertamanya didaratkan, termasuk marinir. LBJ
menyatakan tidak yakin bahwa kekuatan udara saja akan mampu memenangkan perang
di Vietnam, sehingga dia siap mengirim lebih banyak pasukan darat lagi. Dia
juga memberi izin bagi panglimanya di Vietnam, Jenderal William Westmoreland
untuk meninggalkan sikap bertahan, dan mulai melancarkan ofensif search and
destroy terhadap musuh.
PASANG-SURUT
DI VIETNAM
Begitulah, konflik di
Vietnam pun menjadi perangnya Amerika, dengan terus meningkatnya jumlah kekuatan
militer Amerika yang bertugas di Vietnam. Pada akhir 1969 jumlahnya mencapai
475.200 orang, dan sampai saat itu prajurit Amerika yang tewas telah mencapai
40.024 orang. Jumlah pasukan yang tewas di pihak negara-negara sekutu AS tak
kalah banyaknya, 70.300 orang. Sedangkan dari angkatan bersenjata Vietnam
Selatan sendiri menacapai 110.176 orang.
Bersamaan dengan itu,
perang Vietnam semakin tidak populer di kalangan rakyat Amerika sendiri serta
di dunia internasional, sehingga memaksa Presiden Richard Nixon yang
menggantikan LBJ tahun 1969, secara diam-diam memulai perundingan perdamaian di
Paris. Hanya saja, di lapangan, perang terus berlangsung. Korban tewas di pihak
AS sampai akhir 1970 telah mencapai angka 44.245, sementara Vietnam Selatan yang
merupakan sekutu Amerika kehilangan 133.522 pasukannya yang tewas.
Akhir 1971 jumlah
korban tewas Amerika tercatat 45.626, sementara Vietnam Selatan (sekutu
Amerika) tercatat 156.260. Nixon juga memerintahkan pengurangan pasukan AS di
Vietnam sejalan dengan kemajuan perundingan di Paris. Sehingga pada akhir 1972
jumlahnya tinggal 24.200, sementara yang tewas sampai saat itu tercatat 45.926
personel. Sedangkan Vietnam Selatan terus melakukan mobilisasi kekuatan
sehingga mencapai lebih dari satu juta orang. Pada akhir 1972 Vietnam Selatan
yang merupakan pihak yang dibela Amerika itu telah kehilangan 195.847
pasukannya yang tewas.
Pada 27 Januari 1973
perjanjian perdamaian ditandatangani di Paris oleh AS, Vietnam Selatan, Vietnam
Utara, dan Viet Cong, dan sebulan kemudian perjanjian perdamaian juga tercapai
di Laos. Bulan Maret 1973 penarikan pasukan Amerika dinyatakan telah selesai,
dan semua markas MACV (US Military Assistance Command Vietnam) ditutup. Pada
waktu bersamaan pihak komunis membebaskan 590 tawanan Amerika. Akhir tahun itu
jumlah kontingen militer AS di Vietnam dibatasi hanya 50 orang. Tercatat pada
saat itu 46.163 personel AS killed in action (terbunuh di lokasi) di Vietnam,
sedangkan Vietnam Selatan yang sekutu Amerika itu sudah mencapai lima kali
lipatnya atau 223.748 personel yang tewas. Tahun itu semua pasukan asing
lainnya juga telah ditarik dari Vietnam.
Sekalipun Perjanjian
Paris sudah diteken, namun di lapangan pasukan Vietnam Utara/VC tetap bertempur
dengan pasukan Vietnam Selatan. Awal Januari 1975 Hanoi memerintahkan ofensif
besar-besaran untuk `membebaskan’ Vietnam Selatan. Pasukan Vietnam Utara
terang-terangan menyerbu lewat perbatasan. Bulan Maret Presiden Vietnam
Selatan, Nguyen Van Thieu yang berkuasa sejak 1967, memerintahkan pengunduran
diri pasukannya dari kawasan dataran tinggi di Vietnam Tengah. Maksudnya untuk
memusatkan pertahanan Vietnam Selatan di wilayah sekitar Saigon. Namun ternyata
pengunduran diri itu menjatuhkan moril tentara Vietnam Selatan, hingga satu
persatu wilayah kekuasaan Vietnam Selatan dengan cepat jatuh ke tangan Vietnam
Utara, seperti Quang Tri, Hue, Da Nang, Qui Nhon, Nha Trang, dan lain-lainnya.
Pada 12 April 1973,
Nguyen Van Thieu mengundurkan diri, digantikan oleh Jenderal Duong Van Minh
sebagai presiden sementara. “Big Minh” didampingi Marsekal Nguyen Cao Ky yang
tetap menjadi wapres. Keadaan bertambah kacau. Pesawat AS mengungsikan anak dan
bayi yatim-piatu dalam operasi kemanusiaan. Pengungsian juga dilakukan oleh
Kedubes AS serta keluarganya dengan helikopter dari Saigon ke kapal-kapal induk
AS yang menunggu di Laut China Selatan. Semula akan dilakukan dengan pesawat
C-130 Hercules yang disiapkan di pangkalan udara Tan Son Nhut dekat Saigon.
Tetapi karena pangkalan ini mulai terjangkau tembakan meriam Vietnam Utara yang
sempat mengenai sebuah Hercules, maka Dubes Graham Martin terpaksa
memerintahkan semua Hercules terbang dan sebagai gantinya dipakai helikopter.
Pada 29 April tentara
Vietnam Utara mencapai Saigon. Dua kopral marinir yang menjadi anggota
kontingen AS di Saigon terkena pecahan roket pasukan Utara. Mereka adalah
anggota militer AS terakhir yang tewas di bumi Vietnam. Pertempuran dan
pertumpahan darah hebat memperebutkan kota ini praktis tidak terjadi
sebagaimana ditakutkan. Tentara Vietnam Selatan sudah jatuh semangat dan
morilnya. Tanggal 30 April 1973 pasukan Vietnam Utara dengan tank-tanknya
mendobrak gerbang istana kepresidenan, dan tragedi perang Vietnam pun berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar