Sebagian besar orang di dunia tahu, dan tidak ada
seorang pun yang tahu lebih baik daripada orang-orang Palestina dan Lebanon,
bahwa ribuan dari mereka adalah korban dari penjahat perang berantai dan
berdarah dingin ini: Ariel Sharon. Karir Sharon dibangun di atas pembantaian
demi pembantaian—dari Qibya (Tepi Barat, Palestina) pada 1953, Sabra dan
Shatila (Lebanon) pada 1982 , hingga Jenin (Tepi Barat, Palestina) pada 2002.
Sebagai seorang rasis anti-Arab yang ekstrim, Sharon memiliki sejarah panjang
dan berdarah-darah. Dialah dalang banyak pembunuhan dan penindasan terhadap
rakyat Palestina. Pada awal 1950, ia memerintahkan Unit 101, sebuah unit
pasukan khusus, untuk melakukan pembantaian terhadap pengungsi Palestina di
Gaza dan Yordania.
Meski telah mencaplok 78 persen wilayah Palestina dalam perang 1948, para
pemimpin Israel tak pernah puas. Sebagaimana telah banyak didokumentasikan oleh
sejarawan Israel dan Palestina, Israel berusaha memprovokasi “Ronde Kedua” pada
awal 1950-an, demi mengambil alih Tepi Barat, Gaza, dan banyak lagi.
Salah satu taktik utama Israel disebut “pembalasan”. Taktik ini respon terhadap
pengungsi Palestina yang datang di sepanjang perbatasan untuk kembali ke tanah
air mereka dari Gaza dan Tepi Barat. Tentara Israel (IDF) melakukan serangan
besar-besaran dan pembantaian.
Demi tujuan diplomatik dan pencitraan, adalah sangat penting bagi Israel untuk
dipandang sebagai korban, dan bukan agresor. Hal ini tetap berlaku sampai
sekarang. Maka, taktik “pembalasan” pada hakikatnya adalah provokasi. Tujuannya
untuk memicu reaksi militer Yordania dan Mesir terhadap pembantaian. Reaksi itu
kemudian dapat digunakan oleh Israel sebagai alasan untuk memulai perang
penaklukan.
Pada 14 Oktober 1953 , Unit 101 yang dipimpin Sharon menyerang Qibya, sebuah
desa kecil di Tepi Barat. Unit 101 membantai 69 orang. Sebagian besar dari
mereka dibakar hidup-hidup di dalam rumah. Itulah kekejaman yang diperintahkan
pejabat teras Israel dan dilakukan demi memenuhi tujuan-tujuan politik
tertentu.
Pembantaian Qibya memicu kecaman dari seluruh dunia, dan Yordania yang jauh
lebih lemah daripada Israel secara militer, tidak merespon sebagaimana yang
diharapkan pemimpin Israel. Penaklukan Tepi Barat dan Gaza pun harus menunggu
sampai tahun 1967.
SABRA dan SHATILA
Setelah Perang pendudukan 1967, Sharon menjadi
gubernur militer di Gaza. Saat itu, dia terkenal sangat brutal dalam
menjalankan kebijakan penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga Palestina yang
melawan rezim pendudukan.
“Mahakarya” pembantaian Sharon adalah invasi 1982 terhadap Lebanon dan
pembantaian terhadap warga Palestina di kamp pengungsi Sabra dan Shatila di
Beirut. Sebagai Menteri Pertahanan Israel kala itu, Sharon merancang dan
memimpin—tentu saja dengan dukungan penuh Amerika Serikat—serangan besar-besaran
atas Lebanon. Selama tiga bulan di Musim Panas 1982, jet-jet pembom Israel
tanpa henti membombardir Beirut dan kota-kota lainnya. Serangan ini menewaskan
tak kurang 20.000 warga sipil Lebanon dan Palestina.
Tujuan yang dinyatakan secara terbuka dari invasi tersebut adalah mengusir
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dari Lebanon. Di Lebanon, hidup lebih
dari 400 ribu pengungsi—orang Palestina yang diusir dari tanah air mereka untuk
melapangkan jalan bagi pendirian negara Israel pada 1948. Secara keseluruhan,
lebih dari tujuh juta warga Palestina saat ini hidup dalam pengungsian dan
tentu saja terus meningkat.
Setelah tiga bulan invasi, pemimpin pusat PLO akhirnya mengalah. PLO
mengevakuasi para pejuang mereka dari Lebanon. Sebagai bagian dari perjanjian
gencatan senjata yang mengharuskan mereka pergi itu, penduduk sipil Palestina
yang tersisa harus ditempatkan di bawah perlindungan internasional.
Tapi Sharon belum puas. Dia menuding ada 2.000 “teroris” Palestina di kamp
pengungsi Sabra dan Shatila di Beirut Barat. Padahal orang-orang Palestina yang
tersisa di kamp hampir semuanya anak-anak, perempuan, dan laki-laki lanjut
usia. Nyaris semua pemuda telah dievakuasi.
Dengan melanggar perjanjian gencatan senjata, tank-tank Israel mengepung kamp.
Kemudian, pada 16 September 1982, dengan persetujuan penuh Sharon, pasukan
penjajah Israel menguasai kamp. Milisi pro-Israel, Lebanon Phalangis, diizinkan
untuk memasuki Sabra dan Shatila.
Milisi fasis Phalangis—kelompok pengagum Adolf
Hitler—adalah sekutu dekat Israel di Lebanon saat itu. Milisi Phalangis
disuplai seragam militer oleh Israel dan disediakan senjata. Selama tiga hari,
mereka mengamuk di kamp Palestina: menyiksa, memperkosa, dan membunuh. Sebagian
besar korban dimutilasi atau dipenggal kepalanya. Tak seorang pun tersisa. Di
akhir episode pembantaian, lebih dari 1.900 Palestina, perempuan maupun
laki-laki, ditemukan tewas.
Meskipun bukti menunjukkan bahwa Sharon dan para komandan Israel lainnya telah
memasukkan milisi Phalangis ke dalam kamp, pada 1983 pengadilan Israel hanya
memutuskan Sharon “bertanggung jawab secara tidak langsung” atas pembantaian
tersebut. Orang mungkin berpikir bahwa terlibat secara “tidak langsung”
sekalipun dalam pembantaian hampir dua ribu orang setidaknya akan mengakhiri
karir politik Sharon.
Tapi hal seperti itu tidak akan terjadi di negara apartheid Israel. Sharon
kemudian memang dipaksa mengundurkan diri dari kabinet. Tapi, dia terus menjadi
aktor politik utama dan kembali sebagai menteri pada era 1990-an.
INTIFADA AL-AQSA
Pada 28 September 2000, Sharon mementaskan sebuah
provokasi terkenal lainnya. Dia mengunjungi komplek Masjid Al-Aqsa di
Yerusalem, situs suci utama umat Islam. Sharon hendak medemonstrasikan “haknya”
melakukan perjalanan di mana pun di Yerusalem. Namun ironisnya, Sharon, “si
jagal dari Lebanon” itu, tidak berani keluar sendirian. Dia malah membawa serta
1.500 polisi Israel bersenjata. Tentu saja ratusan warga Palestina bereaksi.
Mereka melawan. Inilah yang menandai dimulainya intifada Al-Aqsa yang akan
berlanjut selama bertahun-tahun.
Lima bulan kemudian, pada Februari 2001, Sharon terpilih sebagai Perdana
Menteri. Pada Maret 2002, militer Israel melakukan operasi besar-besaran di
Tepi Barat dan Jalur Gaza, berusaha melemahkan intifada. Di antara serangan
paling brutal adalah terhadap sebuah kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat bagian
utara. Selama beberapa hari, dengan menggunakan buldoser militer dan senjata
berat lainnya, militer Israel menghancurkan banyak kamp dan mengubur banyak
orang Palestina hidup-hidup. Pada tahun yang sama, Sharon mulai membangun
tembok apartheid di sepanjang Tepi Barat dan merampas sisa tanah milik rakyat
Palestina.
KHAYALAN “PEMBAWA DAMAI”
Satu klaim palsu yang dibuat Sharon adalah bahwa dia
sudah berubah menjadi “pembawa damai” ketika memutuskan untuk menarik pangkalan
militer dan permukiman ilegal Israel di Gaza. Sementara warga Palestina di Gaza
menyambut penarikan itu, Israel terus mengepung dan memblokade Gaza. Keputusan
Sharon untuk menarik diri dari Gaza sebenarnya juga didasarkan pada strategi
untuk mengamankan kendali lebih di Tepi Barat.
Dalam wawancara dengan Jerusalem Post pada Juli 2000, beberapa bulan sebelum
menjadi perdana menteri, Sharon menyerukan Israel untuk “mempertahankan
Yerusalem raya yang bersatu dan tak terbagi di bawah kedaulatan penuh Israel.”
Ini mengacu kepada Kota Tua Palestina dan semua daerah di sekitarnya yang
Israel kuasai secara ilegal setelah Perang pendudukan 1967.
Sharon juga menyerukan pendudukan ilegal sejumlah besar daerah di Tepi Barat.
“Kota-kota Yahudi, desa dan masyarakat di Yudea, Samaria, dan Gaza, serta akses
jalan menuju ke sana akan tetap berada di bawah pendudukan penuh Israel,” kata
Sharon ketika itu. “Yudea dan Samaria” adalah sebutan pemukim ilegal Israel
untuk Tepi Barat. “Israel tidak menerima syarat apa pun untuk hak kembali
Palestina. Israel tidak bertanggung jawab secara moral atas keadaan para
pengungsi.”
“Negara” Palestina yang diusulkan Sharon adalah salah satu negara yang sangat
berbeda dengan negara lain di dunia. Palestina versi Sahron tidak boleh
mengontrol sumber dayanya sendiri, termasuk akses kepada sumber air, atau
wilayah udara, atau bahkan perbatasannya sendiri. Palestina versi Sharon adalah
negara pincang yang tak berdaya menghadapi salah satu negara paling
militeristik di dunia: Israel.
Sharon meninggal pada 11 Januari 2014, setelah mengalami koma selama 8 tahun.
Sejarah akan mengingat dia bukan sebagai “pembawa damai” seperti yang
dipropagandakan, melainkan sebagai pembunuh massal berantai –sang jagal dunia modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar