Nabi Isa alayhis salam
bersabda: "Engkau melihat jerami yang ada di pelupuk mata orang lain,
namun engkau tidak melihat batang pohon yang ada di pelupuk matamu".
Oleh Dr. Muhammad Tijani as Samawi (Ulama dan penulis Tunisia)
Desa kami (Nadi) adalah salah
satu desa kecil yang berada di kawasan timur Sudan di tepian sungai Nil.
Mayoritas penduduknya berasal dari kabilah Ribathab. Kabilah ini terkenal
dengan kecerdasan dan ketajaman berpikirnya. Mata pencahariannya berkebun pohon
kurma dan pertanian musiman. Di desa ini, orang-orang Wahabi mengeksploitasi
penduduknya yang tulus dengan menyebarkan pikiran-pikiran Wahabi. Mereka
menanamkan pengaruhnya kepada pikiran dan pemahaman para penduduk desa dengan
cara yang tidak langsung, yaitu dengan cara banyak menyelenggarakan berbagai
ceramah dan pertemuan.
Pada awalnya saya menahan
diri, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca dan berdakwah kepada mazhab
Ahlul Bait di kalangan keluarga dan saudara. Di antara saya dan kakak saya
paling besar berlangsung perdebatan dan pertengkaran yang cukup sengit, hingga
sampai kakak saya menolak untuk membaca buku-buku Syi’ah dan mengancam untuk
membakarnya. Setelah melalui berbagai macam perdebatan, akhirnya saya mampu
mempengaruhinya, dan dia pun mulai membaca beberapa buku, seperti Ahlul Bait
al-Qiyadah Rabbaniyyah, al-Muraja’at, Ma’alim al-Madrasatain, dan buku-buku
lainnya. Hingga akhirnya Allah SWT menunjukkannya kepada cahaya Ahlul Bait as,
dan kemudian dia pun mengumumkan Kesyi’ahannya. Adapun keluarga saya yang lain,
umumnya mereka menunjukkan simpati dan dukungannya.
Dengan begitu maka
tersebarlah misi saya di desa. Saya mulai menjelaskan Mazhab Ahlul Bait kepada
para penduduk desa. Maka bangkitlah kemarahan para penganjur ajaran Wahabi,
sehingga setiap ceramah yang mereka sampaikan selalu berisi kecaman dan
fitnahan terhadap Syi’ah. Bahkan, terkadang mereka menyerang pribadi saya,
namun saya menghadapi semua itu dengan sabar dan lapang dada.
Dialog dengan Seorang Pemimpin Wahabi
Telah berlangsung dialog
di antara saya dengan pemimpin mereka, yang bernama Ahmad Amin. Saya meminta
kepadanya untuk menggunakan nalar dan meninggalkan kesemberonoan dan
penyerangan yang tidak layak. Setelah merasa tidak tahan lagi, dan semakin
bertambah kekeraskepalaan dan keta’asuban mereka, maka saya pun pergi ke mesjid
mereka dan menunaikan salat Zuhur di belakang mereka. Setelah selesai salat
Zuhur saya bertanya kepadanya, “Apakah saya pernah memprotes Anda selama ini
dikarenakan Anda mengecam dan mengkafirkan Syi’ah melalui pengeras suara?!”Dia
menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Apakah Anda tahu sebabnya?” Dia
menjawab, “Tidak tahu.”
Saya berkata,
“Sesungguhnya perkataan Anda adalah penyerangan dan kebodohan, dan sekaligus
penentangan terhadap pribadi saya. Saya takut memprotes Anda karena saya
khawatir itu akan menjadi pembelaan bagi diri saya dan bukan pembelaan bagi
kebenaran. Sekarang, saya minta kepada Anda untuk melakukan dialog ilmiah dan
sistematis di hadapan semua yang hadir, sehingga tersingkap kebenaran.” Dia
berkata, “Tidak ada halangan bagi saya.” Saya menjawab, “Jika begitu silahkan
tentukan tema-tema yang akan didialogkan.” Dia berkata, “Penyimpangan Al-Qur’an
dan keadilan sahabat.” Saya jawab, “Baik, namun ada dua perkara penting lainnya
yang juga harus didialogkan, yaitu tentang sifat Allah dan tentang kenabian
yang ada di dalam keyakinan riwayat Anda.” Dia menjawab, “Tidak!” Saya tanya,
“Kenapa?” Dia berkata, “Saya yang menentukan tema-tema dialog. Jika saya
meminta dialog kepada Anda, maka baru Anda yang berhak menentukan tema-tema
dialog.” Saya jawab, “Tidak masalah, kapan kita lakukan?” Dia berkata, “Hari
ini, setelah salat Magrib.” Dia mengira saya akan takut dengan waktu yang dekat
ini. Maka saya pun menunjukkan persetujuan saya dengan senang, dan kemudian
meninggalkan mesjid.
Setelah menunaikan salat
magrib dialog pun dimulai. Mulailah pemimpin mereka, Ahmad Amin —sebagaimana
biasanya— menyerang dan mengecam Syi’ah dengan tuduhan bahwa Syi’ah meyakini
adanya penyimpangan terhadap Al-Qur’an (tahrif Al-Qur’an), sambil memegang
kitab al-Khuthuth al-‘Aridhah (Garis-Garis Peringatan) karya Muhibbuddin di
tangannya. Setelah dia selesai bicara, mulailah saya bicara. Saya bangkit
menjawab semua tuduhan yang dilontarkannya itu secara rinci. Saya katakan,
Syi’ah sama sekali berlepas diri dari keyakinan tahrif Al-Qur’an. Setelah itu
saya katakan kepadanya, “Sebagaimana perkataan Nabi Isa as, ‘Engkau melihat jerami yang ada di pelupuk
mata orang namun engkau tidak melihat batang pohon yang ada di pelupuk matamu’,
sesungguhnya riwayat-riwayat yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis Sunni
dengan jelas mengatakan adanya tahrif Al-Qur’an. Sehingga penisbahan keyakinan
adanya tahrif Al-Qur’an kepada Sunni jauh lebih dekat dari penisbahannya kepada
Syi’ah.” Kemudian saya menyebutkan kurang lebih dua puluh riwayat, dengan
disertai sumber dan nomor halamannya dari kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim,
Musnad Ahmad dan kitab al-Itgan fi ‘Ulum al-Qur’an, karya as-Suyuthi. Sebagai
contoh, Imam Ahmad bin Hanbal mengeluarkan di dalam Musnadnya, dari Ubay bin
Ka’ab yang berkata, “Berapa ayat Anda membaca surat al-Ahzab?” Dijawab,
“Sekitar tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan ayat.” Ubay bin Ka’ab
berkata, “Sungguh, saya telah membacanya bersama Rasulullah saw panjangnya
seperti surat al-Baqarah, dan di dalamnya terdapat ayat rajam.”
Imam Bukhari meriwayatkan
di dalam kitab sahihnya, dengan bersanad dari Ibnu Abbas yang berkata bahwa
Umar bin Khattab telah berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw
dengan kebenaran dan telah menurunkan Al-Qur’an kepadanya. Di antara ayat-ayat
yang diturunkan oleh Allah itu ialah ayat rajam, yang kami telah membacanya,
menghapalnya dan memahaminya. Oleh karena itu, Rasulullah saw melaksanakan
hukum rajam, dan begitu juga kami sepeninggalnya. Sungguh aku khawatir jika
jaman berlangsung lama atas manusia akan ada orang yang mengatakan, ‘Demi
Allah, kami tidak menemukan ayat rajam di dalam Kitab Allah’, maka mereka pun
menjadi sesat karena meninggalkan kewajiban yang telah diturunkan Allah…”
Hingga Umar bin khattab mengatakan, “Begitu juga kami pernah membaca sebuah
ayat di dalam Kitab Allah yang berbunyi, ‘Janganlah kamu membenci
bapak-bapakmu, karena yang demikian itu adalah kekufuran bagimu, dan
sesungguhnya kekufuran bagimu ialah kamu membenci bapak-bapakmu.”Muslim
meriwayatkan di dalam kitab sahihnya, “Perawi berkata, ‘Abu Musa al-Asy’ari
diutus menemui para pembaca Al-Qur’an dari penduduk Basrah, maka dia pun
menemui tiga ratus orang yang baru selesai membaca Al-Qur’an. Abu Musa al
Asy’ari berkata kepada mereka, ‘Anda adalah sebaik-baiknya penduduk Basrah dan
para pembaca Al-Qur’an (qori) mereka, maka bacalah, dan janganlah Anda semua
menunda-nunda sehingga hati Anda menjadi keras sebagaimana orang-orang sebelum
Anda. Sungguh kami pernah membaca sebuah surat yang dari segi panjang dan
kekerasannya serupa dengan surat al-Bara’ah, namun saya telah lupa dan hanya
satu ayat saja yang masih saya hapal, yaitu ‘Sekiranya seorang anak Adam
mempunyai dua lembah harta nicaya dia akan mencari lembah yang ketiga, dan
tidak ada yang memenuhi perut anak Adam kecuali tanah.’ Begitu pula kami pernah
membaca sebuah surat yang hampir sama dengan salah satu surat yang diawali
dengan tasbih, namun kami telah lupa kecuali satu ayat darinya,
‘Wahai orang-orang yang
beriman, kenapa engkau mengatakan apa yang engkau tidak lakukan. Maka akan
ditulis kesaksian pada leher-leher engkau, dan kelak engkau akan ditanya
tentangnya pada hari kiamat. ‘”Pada saat saya menyebutkan riwayat-riwayat ini, saya
lihat kedua mata Syeikh Wahabi itu terbelalak, mulutnya ternganga, dan tampak
sekali keheranan di wajahnya. Ketika saya berhenti bicara, dengan segera Syeikh
berkata, “Saya belum pernah mendengar dan melihat riwayat-riwayat ini. Saya
minta Anda menghadirkan kitab-kitab rujukan ini ke hadapan saya.” Saya jawab,
“Baru saja Anda menyerang Syi’ah dan menuduhnya meyakini tahrif Al-Qur’an,
kenapa Anda tidak menghadirkan kitab-kitab mereka yang belum pernah Anda lihat
selama hidup Anda. Anda harus menghadirkan kitab-kitab rujukan Anda. Ini
perpustakaan Anda, di dalamnya terdapat sahih Bukhari, sahih Muslim dan
kitab-kitab hadis lainnya. Coba ambilkan kitab-kitab ini, sehinga saya
tunjukkan riwayat-riwayat ini kepada Anda. Ketika dia tidak menemukan jalan keluar,
dengan serta merta dia lari ke tema yang lain, yaitu bahwa Syi’ah meyakini
konsep taqiyyah. Bagaimana kita dapat membenarkan perkataan mereka?!
Timbullah kegaduhan di
kalangan hadirin, hingga akhirnya bangkit salah seorang dari mereka
mengumandangkan azan Isya. Selesai mengerjakan salat kami sepakat untuk
meneruskan dialog pada hari-hari yang akan datang, yaitu dengan cara memilih
setiap harinya satu tema yang akan kami dialogkan. Keesokan harinya di waktu
pagi saya tengah duduk di depan rumah saya, kemudian Syeikh itu lewat dan
memberi salam kepada saya dengan penuh hormat seraya berkata, “Sesungguhnya
pembahasan-pembahasan ini tidak dipahami oleh masyarakat umum, maka alangkah
bagusnya jika kita berdialog secara khusus, antara saya dan Anda.” Saya menjawab,
“Saya setuju, namun dengan syarat Anda harus menghentikan serangan kepada
Syi’ah.” Sejak saat itu saya tidak mendengar lagi dia menyerang Syi’ah.
Beberapa Catatan Yang Harus Diperhatikan
Sebelum saya merekam
beberapa pembahasan saya di dalam buku ini, saya ingin mengisyaratkan beberapa
catatan yang dapat saya simpulkan dari pengalaman-pengalaman saya mengenai
metode pembahasan. Yakin dan tawakkal kepada Allah SWT adalah merupakan titik
tolak pembahasan. Allah SWT telah memberikan cahaya akal kepada manusia, dan
menyerahkan urusan penggunaannya ke tangan manusia. Barangsiapa yang
mengabaikan cahaya ini dan tidak menyalakannya untuk menyingkap kenyataan,
niscaya dia akan hidup di dalam timbunan kebodohan, khurafat dan kesesatan.
Berbeda dengan mereka yang menggunakan dan mengembangkan akalnya. Perbedaan di
antara kedua kelompok ini kembali kepada satu sebab, yaitu yakin dan tidak
yakin. Orang yang merasa lemah dan kalah, dia tidak akan memperoleh manfaat
dari akalnya. Adapun orang yang yakin kepada Allah SWT dan kepada akal yang
telah diberikan-Nya niscaya dia akan sampai kepada puncak pengetahuan dan
peradaban. Oleh karena itu, kebanyakan orang yang menentang cara saya di dalam
pembahasan, mereka menggunakan cara ini untuk melemahkan keyakinan diri saya.
Mereka mengatakan, “Dari mana Anda mempunyai kemampuan untuk membahas
masalah-masalah ini?! Sementara ulama-ulama besar kita belum sampai kepada apa
yang yang Anda katakan. Apa kedudukan Anda di hadapan ulama-ulama besar?!” Dan
hal-hal lain yang digunakan untuk menghancurkan keyakinan diri.
Menjauhkan diri dari
tindakan menipu diri. Dalam arti, mencegah merembesnya kebenaran ke dalam akal.
Terkadang itu dilakukan dengan cara menutup diri terhadap kenyataan, sehingga
menjadikan seseorang bersikap ta’assub dan tidak mau mendengarkan kata-kata dan
pikiran orang lain, tidak mau membaca buku-buku, dan tidak mau bersikap terbuka
terhadap keilmuan orang lain. Setiap seruan yang menyuruh kepada penutupan
diri, dengan tidak melakukan pembahasan dan tidak mencari ilmu, maka seruan
yang seperti ini adalah seruan yang ingin mempertebal kebodohan dan menjauhkan
manusia dari kebenaran. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh orang-orang
Wahabi, yang melarang manusia membaca buku-buku Syi’ah, dan duduk serta
berdiskusi dengan orang-orang Syi’ah, adalah cara yang lemah, dan merupakan
logika yang tidak sehat. Al-Qur’an al-Karim telah mengecam cara berpikir yang
seperti ini dengan firman-Nya, “Katakanlah,
‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” (QS.
Al-Baqarah: 111).
Memperkuat keinginan dalam
menghadapi gelombang syahwat dan tekanan masyarakat, yang mengelak dari setiap
orang yang menentang dan membangkangnya. Seseorang harus menghadapi tekanan-tekanan
ini dengan kesabaran dan kemauan kuat, karena kebenaran tidak terbentang mudah
bagi masyarakat dan karakter manusia. Sejarah para nabi Allah telah menunjukan
kepada kita betapa mereka mendapat berbagai macam siksaan yang sangat keras
dari masyarakat mereka. Bani Israil telah membunuh tujuh puluh orang nabi dalam
sehari. Allah SWT berfirman, “Dan tiada seorang nabi pun datang kepada mereka
melainkan mereka selalu memperolok-oloknya” (QS. az-Zukhruf: 7). Di sana
terdapat banyak hijab, yang terkadang menjadi penghalang tersingkapnya
kebenaran. Kita harus memperhatikan dan mengawasinya sehingga kebenaran menjadi
lebih jelas. Di antara hijab-hijab itu ialah:
[a]
Kecintaan terhadap diri. Ini merupakan seburuk-buruknya penyakit yang menimpa
setiap manusia. Dari penyakit inilah terpantul seluruh sifat yang tercela,
seperti hasud, dengki dan keras kepala. Ketika seorang manusia menjadikan
pikiran dan keyakinannya sebagai bagian dari diri dan eksistensinya, sehingga
meskipun pikiran dan keyakinannya itu merupakan sesuatu yang khurafat dia tidak
mungkin mau menerima segala macam bentuk kritikan yang ditujukan kepadanya.
Karena dia menganggap kritikan itu sebagai kritikan terhadap diri dan
eksistensinya. Dengan insting mempertahankan diri dan kecintaan terhadapnya,
dia akan berperang membela pikiran dan keyakinannya dengan tanpa kesadaran. Dan
terkadang dia bersikap ta’assub terhadap sebuah pemikiran disebabkan pemikiran
itu mendatangkan manfaat baginya atau menolak bahaya darinya. Oleh karena itu,
dia akan sekuat tenaga membelanya dan menolak segala macam bentuk pemikiran
yang lain, meskipun kebenarannya tampak jelas di hadapan matanya. Atau,
terkadang juga dia menyukai sebuah pemikiran karena pemikiran itu sejalan
dengan hawa nafsunya atau hawa nafsu masyarakatnya, sehingga dia tidak akan mau
surut darinya.
[b]
Kecintaan terhadap nenek moyang. Kecintaan ini mendorong manusia mengikuti
mereka dengan tanpa didasarkan kepada pemikiran dan perenungan. Karena dorongan
penghormatan dan rasa takut, disamping pendidikan, seseorang tunduk dan
menyerah secara mutlak kepada pemikiran dan keyakinan nenek moyang mereka. Ini
merupakan salah satu hijab terbesar yang menghalangi manusia untuk bisa
menyingkap kebenaran.
[c]
Kecintaan kepada salaf. Pandangan mengkultuskan para ulama dan orang-orang
besar terdahulu, menuntun manusia untuk bertaklid kepada mereka secara mutlak
dan bersandar kepada pemikiran-pemikirannya. Ketundukan yang seperti ini
merupakan pendorong bagi manusia untuk menyimpang dari kebenaran. Allah tidak menjadikan
akal mereka sebagai hujjah bagi kita, melainkan justru akal seluruh manusia
sebagai hujjah baginya. Penghormatan kita
kepada mereka tidak melarang kita untuk mendiskusikan dan mengkaji
pemikiran-pemikiran mereka, supaya kita tidak termasuk ke dalam kelompok
orang yang dikatakan oleh Allah SWT, “Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami,
lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar'” (QS. al-Ahzab: 67)
[d] Salah
satu faktor lain yang mendorong manusia jatuh pada kesalahan ialah
ketergesa-gesaan. Ketergesa-gesaan ini buah dari senang kepada kemudahan.
Dengan tanpa mau bersusah payah dirinya di dalam pembahasan dan penyelidikan,
ia ingin mengeluarkan hukum sedini mungkin. Barangsiapa yang menginginkan
kebenaran maka dia harus memaksa dirinya untuk bekerja keras di dalam melakukan
pembahasan.
Dan begitu juga
catatan-catatan ilmiah lainnya yang mau tidak mau harus diletakkan oleh seorang
pembahas di hadapan kedua matanya sebelum mulai melakukan pembahasan. Ini pun
harus disertai dengan penerimaan total manakala kebenaran itu muncul. Di
samping juga memohon pertolongan kepada Allah SWT supaya Dia menerangi hati
Anda dengan cahaya kebenaran. “Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami kebenaran
itu kebenaran dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk mengikutinya, dan
perlihatkanlah kebatilan itu kebatilan dan karuniakanlah kepada kami kemampuan
untuk menjauhinya” (Hadis).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar