Hak
cipta ©Sulaiman Djaya
Ketika
memandangi pematang setapak di belakang rumah, aku jadi teringat peristiwa
bertahun-tahun dulu ketika layang-layangku lepas dari benang, terbang bebas
sebebas burung-burung yang sedang hijrah melintasi bentangan cakrawala demi
mencari musim yang lain. Bila ingatanku tak terlampau samar, peristiwa itu
terjadi di sebuah senja selepas kumandang adzan asar. Dan seingatku saat ini,
sejak kejadian itu, aku tak lagi bermain layang-layang karena aku tak ingin
membuat ibuku kecewa.
Mungkin
juga alasan yang sebenarnya adalah karena aku tak memiliki keberanian untuk
minta dibelikan layang-layang lagi kepada ibuku. Aku hanya bisa terdiam,
berdiri terkesima, di saat teman-temanku tertawa memandangi layang-layangku
yang terbang bersama burung-burung yang hijrah ke musim yang lain selepas
kumandang adzan asar itu.
Mungkin
itulah kali pertama apa yang kuanggap sebagai milikku ternyata tak sepenuhnya
bisa kumiliki. Anehnya, tak satu kata pun dilontarkan ibuku sekedar untuk
menanyakan perihal layang-layangku itu. Sikap diam ibuku itu kupahami sebagai
pertanda ia tahu apa yang kualami dan berusaha berpura-pura untuk tidak peduli.
Keesokan harinya aku mencoba untuk membuat sendiri layang-layang, meski tak
pernah rampung dan tak pernah kuselesaikan. Sementara, sikap diam ibuku dengan
kejadian itu tetap tak bisa kupahami hingga saat ini.
Sekarang
Ibu telah tiada, dan pematang setapak yang kupandangi tak lagi serindang dan
selebat ketika itu. Kini aku dapat melihat lampu-lampu sebuah pabrik kertas
setiapkali aku duduk merenung sembari tetap membiarkan pintu belakang rumah
tetap terbuka. Tentu saja, aku tak lagi ingin menunjukkan kepada burung-burung
yang kulihat di senjahari bahwa aku pun bisa membuat sesuatu yang dapat
bergerak lincah dan bebas terbang bersama gerak dan hembusan angin seperti
mereka. Sebab –seperti yang telah kukatakan, meski hanya untuk sekali saja, aku
tak lagi bermain layang-layang sejak kejadian di sebuah senja selepas kumandang
adzan asar itu. Mungkin saja itu disebabkan oleh sikap diam ibuku dengan
kejadian yang kualami itu. Sikap diam yang hingga saat ini tak kuketahui dan
tak kupahami alasannya.
Tak
kusangka, dan ini baru kusadari setelahnya, ingatanku pada layang-layang yang
putus dari benang itu adalah pertanda bahwa ibuku akan pergi dari kehidupanku,
ketika aku kembali teringat kejadian itu di saat ibuku tengah sakit sebelum
akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di depan kedua mataku sendiri di
sebuah pagi yang cerah di hari Sabtu, di hari ketiga kami merayakan hari raya Idul
Fitri itu. Ternyata, ingatanku tentang layang-layangku yang putus adalah
pertanda bahwa salah seorang dari kami, yang tak lain ibuku sendiri, bakal
pergi dari kami untuk selamanya. Rupanya, Tuhan selalu memiliki caranya sendiri
untuk mengatakan sesuatu.
Aku
masih ingat, di malam hari, selepas layang-layangku telah pergi jauh bersama
burung-burung yang hijrah ke musim yang lain itu, aku terus memikirkannya di
saat aku belajar di meja belajarku bertemankan selampu minyak yang setia
mengepulkan asap hitamnya hingga menghitamkan bilah-bilah bambu penyangga
genting-genting rumah. Dan kini, ingatanku itu acapkali menyulut rasa kangenku
pada ibuku. Terlebih di saat-saat aku duduk dan merenung di pagihari bersama
cahaya dan hembusan fajar yang telah terjaga dari tidurnya.
Sesekali
aku terkesima begitu saja sembari mendengarkan kicauan burung-burung. Dalam
keadaan seperti itu, aku tak henti-henti memunguti kembali detik-detik dan
menit-menit yang kujalani bersama ibuku dengan sekuat ingatanku untuk
mereka-reka kembali apa saja yang masih dapat kuingat, meski pada akhirnya
beberapa di antara mereka sudah terlampau jauh seperti layang-layang di masa
kanakku yang putus dan tak pernah kutemukan itu. Sebagiannya lagi sudah
terlampau buram dan tak lagi dapat kukenali. Namun anehnya, aku masih selalu
ingat dengan sikap diam dan tak acuh ibuku ketika layang-layang masa kanakku
melepaskan diri dengan bebas dari seutas benang yang kupegang erat-erat di
sebuah senja selepas kumandang adzan asar itu.
Karena
ingatanku pada ibuku dan layang-layangku yang putus itu, mataku jadi lebih
terasa akrab pada apa saja yang kulihat. Pada almanak, piring, gelas, halaman
rumah dan pematang-pematang sawah yang kupandangi dari ruang di mana aku duduk
dan merenung. Memang haruslah kuakui, ingatan-ingatanku lebih seperti
potongan-potongan dan kilasan-kilasan yang datang dan pergi silih berganti.
Tapi mereka juga seperti burung-burung di senjahari yang terbang beriringan
sekaligus bersamaan itu. Atau seperti layang-layangku yang putus dan masih
terbayang hingga sekarang. Mungkin karena ingatan itu juga pada akhirnya
seperti sesuatu yang kuanggap sebagai milikku dan ternyata tak sepenuhnya dapat
kumiliki.
Pernah
juga terbersit dalam khayalanku bahwa yang telah mencuri dan membawa pergi
layang-layangku itu tak lain adalah seorang peri yang hanya ingin bercanda dan
bermain-main. Katakanlah seorang peri yang sekadar ingin usil ketika ia tengah
jenuh dan bosan, lalu mendapatkan ide ketika ia melihat sejumlah layang-layang
yang kami terbangkan sekaligus kami kendalikan dengan seutas benang yang
ternyata memang rapuh dan bisa putus kapan saja ketika kami sadar bahwa salah
satu layang-layang kami akhirnya memilih untuk bebas sebebas burung-burung
terbang yang ingin kami tiru dengan jalan membuat layang-layang. Dan kini,
layang-layangku itu telah menjelma sekedar ingatan, atau ingatan memang tak
ubahnya seperti layang-layangku yang akhirnya memilih untuk bebas dari
kendaliku sebagai seorang kanak-kanak yang hanya ingin bermain dan bergembira
bersama burung-burung yang hijrah dengan beriringan dan bersamaan itu.
Ah,
tanpa terasa segelas kopi hitamku telah dingin dan terasa terlalu manis di saat
sudah tak hangat lagi selama aku terduduk dan terdiam memandang pematang
setapak yang mengingatkanku pada ibuku dan layang-layangku yang putus selepas
kumandang adzan asar bertahun-tahun lalu itu. Di pematang setapak yang sama itu
pula kami berburu belalang dalam guyur hujan yang membuat ibu-ibu kami merasa
was-was dan khawatir. Ibuku akan menggoreng belalang-belalang hasil buruanku
selepas sembahyang magrib dengan minyak kelapa buatannya. Dan memang, sejak
layang-layangku putus dan menghilang itu, aku jadi lebih suka berburu belalang
di saat hujan bersama teman-teman dalam keadaan telanjang.
Yah,
karena ingatanku pada itu semua, sekarang apa yang ada di sekitarku jadi terasa
demikian nyata dan akrab. Almanak dan jarum-jarum jam yang seolah menghadirkan
kembali sekian bayang-bayang samar masa silam, selampu kamar yang
mengingatkanku pada selampu minyak dulu yang menyala sendirian di sebuah ruang,
dan langit malam yang mengingatkanku pada keheningan basah selepas hujan ketika
dulu ibuku terus melantunkan ayat-ayat dan baris-baris al Qur’an. Semua yang
selama ini tak kuhiraukan, tiba-tiba hadir serentak, bersamaan dan bergantian
seperti burung-burung perncari musim yang hijrah bersamaan.
Aku
tak tahu apakah itu tanda-tanda kematian yang ingin mengucapkan selamat tinggal
untuk kembali datang kelak? Yah, seperti layang-layangku yang putus dan hilang
selepas kumandang adzan asar. Pikiran seperti itu semakin terasa kuat ketika
gerimis pertama di bulan September mulai memandikan debu-debu sebelum akhirnya
hujan pertama di bulan September melengkapinya.
Dulu,
karena para ustadzku mengajarkan bahwa selain menciptakan Adam dan Hawa, Tuhan
juga menciptakan para malaikat, aku jadi suka membayangkan gerimis dan hujan
tak ubahnya sekelompok bocah-bocah peri yang tengah menari dan
berjingkat-jingkatan di halaman dan di genting-genting rumah. Sampai-sampai aku
tak mempedulikan tetes-tetes air hujan yang membasahi lantai ruangan di mana
aku berada ketika itu, dan karenanya ibuku merasa kecewa dengan sikap abaiku
karena tergoda angan-angan dan khayalan yang demikian itu, meski tentu saja tak
ada sedikit pun niatku untuk membuat ibuku merasa kecewa atau mencipta amarah
di dalam hatinya yang mungkin saja rapuh dan berpura-pura untuk selalu tabah.
Bila
sudah teringat itu semua, ada rasa sedih di hati ini. Meski aku sadar hal itu
takkan pernah bisa berubah lagi seperti semula. Ingatan memang seperti bocah
perempuan yang bermimpi sedang bermain ayunan dalam pelukan mendung di sebuah
senja. Dan rasa sedih itu lebih mirip rasa sepi ketika aku teringat kembali itu
semua di saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar