“Kemudian ia (Nabi Saw) meraih tangan ‘Ali dan
mengangkatnya, ia bersabda: “Ali bersama al-Qur’an dan al-Qur’an bersama ‘Ali”
Oleh Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki
Hadis Tsaqalain
Nabi Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan
yang sangat berharga –yaitu: Kitabullah (al-Quran) dan keturunanku Ahlulbaitku,
selama kalian berpegang teguh kepada keduanya niscaya kalian tidak akan sesat
selamanya.”
Hadis di atas sangat
terkenal sehingga tidak perlu lagi disebutkan sumbernya karena ia diriwayatkan
oleh dua golongan, Ahlus Sunnah dan Syi’ah, dan keduanya pun mengakui kesahihan
hadis tersebut. Hadis ini dikenal oleh kalangan khusus dan umum, bahkan dihafal
oleh anak kecil, orang besar, alim, dan orang bodoh sekali pun. Akan tetapi,
para perawi berselisih dalam redaksi hadis yang mulia ini –namun perselisihan
ini tidak mengubah makna dan substansi hadis tersebut.
Perbedaan ini
membuktikan bahwa Rasulullah Saw mengucapkan sabdanya tersebut dalam beberapa
tempat dan kesempatan –sebagaimana banyaknya perawi hadis tersebut menunjukkan
bahwa beliau mengucapkan sabdanya tersebut dalam beberapa tempat yang berbeda. Di
antaranya, ketika Nabi Saw melaksanakan Haji Wada’ pada hari Arafah di hadapan
kumpulan orang banyak; dan juga pada hari Ghadir Khum dalam khutbahnya
yang terkenal itu; dan di antaranya pula, ketika ia sakit menjelang
kewafatannya, yaitu ketika ia berwasiat bagi umatnya.[1]
Kami akan menyebutkan
kepadamu wahai pembaca yang budiman, sebagian Imam Ahlus Sunnah yang
meriwayatkan hadis tsaqalain tersebut di dalam kitab-kitab sahih
mereka, sunan, musnad, tafsir, sejarah, dan lainnya –dengan sanad
dan jalur yang beragam agar menambah kejelasan dan ketenangan.
Ahmad bin Hanbal
meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abu Sa’id al-Khudri dari Nabi
Saw, ia bersabda: “Sesungguhnya telah dekat bagiku untuk dipanggil (Tuhanku),
aku pun akan memenuhi panggilan itu. Dan sesungguhnya aku tinggalkan tsaqalain
(dua peninggalan yang sangat berharga) kepada kalian, yaitu: Kitabullah ‘Azza
wa Jalla dan keturunanku. Kitabullah adalah tali (Allah) yang terbentang dari
langit ke bumi, dan keturunanku Ahlulbaitku. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
telah memberi tahuku bahwa keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya
berjumpa denganku di Haudh. Oleh karena itu, perhatikanlah kalian dalam memperlakukan
keduanya sepeninggalku. “[2]
Ahmad bin Hanbal juga
meriwayatkan dalam sumber yang sama, halaman 26, dari Abu Sa’id al-Khudri hadis
yang lain. Demikian juga pada halaman 59, dari Abu Sa’id al-Khudri hadis yang
lain. Ia juga meriwayatkan pada juz keempat, halaman 367, dari Zaid bin Arqam
hadis yang lain.
Disebutkan dalam Shahîh
Muslim bahwa Nabi Saw bersabda: “Dan aku tinggalkan kepada kalian tsaqalain
(dua peninggalan yang berharga), salah satunya adalah Kitabullah (al-Qur’an)
yang dalamnya mengandung petunjuk dan cahaya. Ambillah kitabullah itu dan
berpegang teguhlah kepadanya,” ia menganjurkan dengan dorongan
yang kuat agar umatnya berpegang teguh kepada Kitabullah. Kemudian ia bersabda:
“Dan Ahlulbaitku, aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku, aku
ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku.”[3]
Imam Muslim juga
menyebutkan hadis yang lain (berkenaan dengan perintah berpegang teguh pada
al-Quran dan Ahlulbait) dalam Shahîh-nya,jil. 7, halaman
122. Al-Muttaqi al-Hindi meriwayatkan dalam Kanzul ‘Ummal[4] hadis yang
redaksinya hampir sarna dengan yang diriwayatkan oleh Muslim sebelum ini. Di
dalam Shahîh at-Tirmidzi diriwayatkan dari Jabir bin
‘Abdillah AI-Anshari yang berkata: “Aku melihat Rasulullah Saw di dalam Haji
Wada’ (Haji Perpisahan) di atas untanya ‘AI-Qushwa’ (nama unta Rasulullah Saw)’,
beliau berkhutbah. Aku mendengar beliau bersabda: “Ayyuhannas,
sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian, yang apabila kalian berpegang
teguh dengannya, kalian tidak akan tersesat –yaitu: Kitabullah (Al-Quran) dan
keturunanku Ahlulbaitku.” [5]
At-Tirmidzi juga
menyebutkan di dalam Shahîh-nya dari Zaid bin Arqam bahwa
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian, yang
apabila kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat
sepeninggalku. Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya, yaitu:
Kitabullah (al-Quran), ia adalah tali yang terbentang dari langit ke bumi, dan
keturunanku Ahlulbaitku. Keduanya (al-Quran dan Ahlulbait) tidak akan pernah
berpisah sehingga berjumpa denganku di telaga Haudh. Oleh karena itu,
perhatikanlah bagaimana kalian memperlakukan keduanya sepeninggalku.” At-
Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadis tersebut, “Hadis ini adalah hadis hasan.”
Ath-Thabari
meriwayatkan hadis ini di dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, halaman 16. AI-Hakim
meriwayatkannya dalam al-Mustadrak dari Zaid bin Arqam bahwa Nabi Saw
bersabda pada Haji Wada’: “Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain
(dua peninggalan yang sangat berharga), yang salah satu dari keduanya lebih
besar daripada yang lain: Kitabullah (al-Quran) dan keturunanku. Oleh karena
itu, perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab,
sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di
Haudh.”[6] Al-Hakim juga meriwayatkan
hadis ini dalam al-Mustadrak, halaman 148 dan 532, dan setelah
menyebutkan hadis tersebut, ia berkata, “Hadis ini sahih sesuai syarat (yang
ditetapkan oleh) al-Bukhari dan Muslim.” Adz-Dzahabi juga meriwayatkan hadis
tersebut dalam Talkhîsh al-Mustadrak. AI-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan
hadis tsaqalain ini dalam Yanâbi’ul Mawaddah.
Dan ia juga
meriwayatkan, halaman 36, dari Imam ‘Ali ar-Ridha As sesungguhnya ia berkata
tentang al-‘itrah (keturunan Rasulullah Saw) ini, “Dan mereka inilah
yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw: “Sesungguhnya aku meninggalkan
kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga), yaitu:
Kitabullah (al-Quran) dan Itrah (Ahlulbaitku). Ketahuilah! Sesungguhnya
keduanya (al-Quran dan Ahlulbait) tidak akan pernah berpisah sehingga keduanya
berjumpa denganku di Haudh. Oleh karena itu, perhatikanlah dalam memperlakukan
keduanya sepeninggalku.
At-Tirmidzi berkata
setelah meriwayatkan hadis tersebut, “Hadis ini adalah hadis hasan.” Ath-Thabari
meriwayatkan hadis ini dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, halaman 16.
Al-Hakim meriwayatkannya dalam al-Mustadrak dari Zaid bin Arqam bahwa
Nabi Saw bersabda pada Haji Wada’: “Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada
kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga), yang salah satu
dari keduanya lebih besar daripada yang lain –Kitabullah (AI-Quran) dan
keturunanku. Oleh karena itu, perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya
sepeninggalku. Sebab, sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga
berjumpa denganku di Haudh..” Al-Hakim juga meriwayatkan hadis ini dalam al-Mustadrak,
halaman 148 dan 532, dan setelah menyebutkan hadis tersebut, ia berkata,
“Hadis ini sahih sesuai syarat (yang ditetapkan oleh) al-Bukhari dan Muslim.”
Adz-Dzahabi juga
meriwayatkan hadis tersebut dalam Talkhîsh al-Mustadrak. AI-Qundfizi
al-Hanafi meriwayatkan hadis tsaqalain ini dalam Yandâi’ul Mawaddah.
Dan ia juga meriwayatkan, halaman 36, dari Imam ‘Ali ar-Ridha As sesungguhnya
ia berkata tentang al- ‘itrah (keturunan Rasulullah Saw.) ini, “Dan
mereka inilah yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw., ‘Sesungguhnya aku
meninggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat
berharga), yaitu: Kitabullah (al-Quran) dan keturunan (itrah)
Ahlulbaitku. Ketahuilah! Sesungguhnya keduanya (al-Quran dan Ahlulbait) tidak
akan pernah berpisah sehingga keduanya berjumpa denganku di Haudh. Oleh karena
itu, perhatikanlah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Ayyuhannas,
janganlah kalian mengajari mereka karena sesungguhnya mereka itu lebih tahu
daripada kalian.”
Ibn Katsir
meriwayatkan hadis tsaqalain ini dalam Tafsir-nya, jil. 3,
halaman 486. Ibn Hajar meriwayatkan dalam Shawâ’iq-nya hadis
tsaqalain ini dengan jalur riwayat yang banyak, dan pada Bab Kesebelas
dalam kitab tersebut, ia berkata, “Ketahuilah! Sesungguhnya hadis yang
memerintahkan (kaum Muslim) berpegang teguh pada Kitabullah dan Ahlulbait Nabi
Saw itu mempunyai jalur riwayat yang banyak, ia diriwayatkan oleh lebih dari
dua puluh sahabat Nabi Saw. Dalarn suatu riwayat, ia mengucapkan hadisnya
tersebut pada waktu Haji Wada’ di ‘Arafah; dalam riwayat lain, ia sabdakan di
Madinah, yaitu ketika ia sakit parah dan di kamarnya yang ketika itu para
sahabatnya berkumpul; dalam riwayat lain, ia mengucapkannya di Ghadir Khum; dan
pada riwayat yang lain, beliau mengucapkannya ketika ia berkhutbah
sepulangnya ia dari Thaif.
Riwayat-riwayat
tersebut sama sekali tidak bertentangan karena sangat mungkin Nabi Saw
mengulangi sabdanya tersebut kepada para sahabatnya di beberapa tempat yang
berbeda. Sebab, ia sangat memperhatikan hal yang sangat penting tersebut,
yaitu: al-Quran dan al- ‘itrah ath-thahirah (keturunan Nabi Saw yang
suci).” Di dalam Târikh al-Ya’qubi disebutkan bahwa Nabi Saw bersabda, “Ayyuuhannas,
sesungguhnya aku akan mendahului kalian (menghadap Tuhanku), sedangkan kalian
akan mendatangiku di Haudh. Dan sesungguhnya aku akan menanyakan kepada kalian
tentang tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga). Oleh karena
itu, perhatikanlah dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku.
Para sahabat
bertanya, “Apakah itu tsaqalain wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw
menjawab, ‘Tsaqal (peninggalan yang sangat berharga) yang salah satunya
adalah Kitabullah, ujung talinya yang satu berada di tangan Allah, sedangkan
ujung yang satunya lagi berada di tangan kalian. Maka, berpegang teguhlah
kalian dengannya, janganlah kalian sampai tersesat dan jangan pula mengubahnya.
Dan Keturunanku Ahlulbaitku.” Masih banyak para imam hadis yang meriwayatkan
hadis tsaqalain ini, di antara mereka adalah:
Ad-Darimi dalam Sunan-nya,jil.
2, halaman 432. An-Nasa’i dalam Khashâ ‘ish-nya, halaman 30. Al-Kanji
asy-Syafi’i dalam Kifâyatuth Thâlib, Bab Pertama, halaman 2. Abu Dawud
dan Ibnu Majah al-Quzwaini dalam kitab keduanya. Abu Na’im aI-Ishfahani dalam Hilyah-nya,
jil. I, halaman 355. Ibnu al-Atsir dalam Asadul Ghâbah, jil. 2,
halaman 12, dan jil. 3. halaman 147. Ibn ‘Abdi Rabbih dalam AI-‘lqdul Farid,
jil. 2, halaman 158 dan 346. Ibn AI-Jauzi dalam Tadzkiratul Khawâsh,
bab kedua belas, halaman 332. Al-Halibi asy-Syiifi’i dalam lnsânul ‘Uyûn, jil.
3, halaman 308. Ats-Tsa’iabi dalam al-Kasyfu wal Bayân tentang tafsir
ayat al- i’tishâm dan tafsir ayat ats-tsaqalân. Al-Fakhrur Razi
dalam Tafsir-nya, jil. 3, halaman 18, tentang tafsir ayat al-i’tishâm.
An-Naisaburi dalam Tafsir-nya, jil. I, halaman 349, tentang
tafsir ayat al-i’tishâm.
Al-Khazin dalam
Tafsir-nya, jil. I, halaman 257, tentang tafsir ayat al-a’tishâm, dan
dalam jil. 4, halaman 94, tafsir ayat al-mawaddah. Dan tentang tafsir
ayat, ar-rahman. Ibn Katsir ad-Dimasyqi dalam Tafsir-nya, jil.
4, halaman 113, tentang tafsir ayat al-mawaddah., dan jil. 3, halaman
485, tentang tafsir ayat at-tathhir, dan juga dalam Târikh-nya,
jil. 5, tentang hadis Ghadir Khum. Ibn Abil Hadid dalam Syarh
Nahjul Balâghah, jil. 6, halaman 130, tentang makna al- ‘itrah. Asy-Syablanji
dalam Nurul Abshâr, halaman 99. Ibn Shibagh al-Maliki dalam al-Fushulul
Muhimmah, halaman 25. Al-Hamuyini dalam Farâ’idus Simthain dengan
sanadnya dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas. Dan al-Baghawi asy-Syafi’i
dalam Mashâbilush Sunnah, jil. 2, halaman 205-206.
Al-Imam Syarafuddin
al-Musawi Ra berkata dalam kitabnya al-Murâja’ât (Dialog Sunnah Syi’ah),
halaman 22, “Hadis yang menunjukkan keharusan berpegang teguh kepada tsaqalain
(al-Quran dan Ahlulbait) adalah hadis yang sahih, bahkan mutawatir,
yang diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh sahabat. Rasulullah Saw telah
menyampaikan hadis tersebut dalam beberapa tempat dan kesempatan.
Nabi Saw pernah
menyampaikan hadis tsaqalain itu pada hari Ghadir Khum, ia juga pernah
menyampaikannya pada hari Arafah pada waktu Haji Wada’, pernah ia sampaikan
sepulang dari Thaif, pernah ia sampaikan di atas mimbarnya di Madinah, dan
pernah juga ia sampaikan di kamarnya yang diberkati, yang ketika itu ia sedang
sakit dan kamarnya waktu itu dipenuhi oleh para sahabat. Ia bersabda, “Ayyuhannas
sudah dekat saatnya nyawaku akan dicabut dengan cabutan yang cepat, lalu
aku pun akan meningalkan kalian. Sungguh, aku telah memberikan nasihat
kepadamu. Maafkanlah aku. Ketahuilah! Sesungguhnya aku telah tinggalkan
kepadamu Kitabullah dan Itrah Ahlulbaitku.”
Kemudian ia (Nabi Saw) meraih tangan ‘Ali dan mengangkatnya,
ia bersabda: “Ali bersama al-Qur’an dan al-Qur’an bersama ‘Ali, keduanya tidak akan berpisah sehingga berjumpa denganku di
Haudh.” Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani, an-Nabhani dalam Arba’inal
Arbâi’in, dan as-Suyuthi dalam Ihyâ’ul Mayyit. Dan engkau
tahu bahwa khutbah Rasulullah Saw, itu tidaklah terbatas pada kalimat itu saja.
Sebab, tidaklah mungkin dikatakan kepada orang yang hanya mengucapkan kalimat
pendek seperti itu bahwa ia berkhutbah kepada kami. Akan tetapi, politik
sungguh telah mengunci lisan para perawi hadis dan menahan pena para penulis.
Kendati demikian, setetes air dari lautan tersebut telah memadai dan
mencukupi, dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Ihwal hadis tsaqalain,
al-Allamah al-Hujjah al-Kabir as-Sayid Hasyim al-Bahrani menyebutkan dalam
bukunya Ghayatul Maram, hal. 211, tiga puluh sembilan jalur riwayat dari Ahlus
Sunnah, sebagaimana ia menyebutkannya dalam buku yang sama, hal. 217, delapan
puluh dua jalur riwayat dari Syi’ah dari Ahlulbait. Hadis tsaqalain ini
juga disebutkan oleh as-Sayid al-Ajal al-Mubajjal (yang diagungkan) al-Imam
al-Akbar pemuka mazhab Ahlulbait Ayatullah al-Uzmah as-Sayid Mir Hamid Husain
an-Naisaburi, kemudian al-Hindi, dalam ‘Aqabât-nya.
Masih banyak lagi
yang meriwayatkan hadis tsaqalain ini, bahkan jumlah mereka mencapai sekitar
dua ratus ulama dari berbagai mazhab, dan lebih dari tiga puluh sahabat Nabi
Saw, yang seluruhnya meriwayatkan hadis tersebut dari Nabi Saw. Aku katakan,
siapa saja yang berpikiran jernih dan objektif, niscaya ia akan mengakui
kesahihan hadis tsaqalain tersebut, yang menunjukkan bukti yang nyata dan jelas
atas kekhalifaan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As dan anak keturunannya,
sebelas Imam Maksum. Sebab, Nabi Saw, telah menyandingkan mereka (Ahlulbait)
dengan al-Qur’an. Al-Qur’an adalah rujukan utama bagi umat Islam, tidak ada
yang meragukan hal itu, dari mulai awal dakwah sampai akhir dunia, demikian
juga ‘Ali dan anak keturunannya yang diberkati, sebelas Imam Ahlulbait As.
Rasulullah Saw juga
telah menjadikan berpegang teguh kepada keduanya, al-Qur’an dan Ahlulbait,
sebagai syarat terbebas dari kesesatan, sedangkan barangsiapa yang berpaling
dari keduanya, niscaya akan celaka dan binasa. Oleh karena itu, ia
menyandingkan Ahlulbait dengan al-Qur’an dan memerintahkan umatnya untuk
berpegang teguh kepada keduanya secara bersamaan. Dengan demikian, tidak
diperbolehkan bagi kaum Muslimin untuk hanya mengikuti salah satu dari keduanya
dan meninggalkan yang lainnya.
Oleh karena itu,
setiap Muslim dan Muslimah wajib berpegang teguh kepada tsaqalain, al-Qur’an
dan Ahlulbait, secara bersamaan; bukan hanya mengikuti al-Qur’an lalu
meninggalkan Ahlulbait, atau sebaliknya. Al-Qur’an dan Ahlulbait merupakan satu
tali ikatan yang kuat, yang tidak mungkin diputuskan di antara keduanya, satu
sama lainnya saling bergandengan erat. Akan tetapi Ahlulbait adalah lisan yang
berbicara, sedangkan al-Qur’an diam, tidak berbicara.
Kita tidak akan mampu
berpegang teguh kepada al-Qur’an, tanpa melalui jalan Ahlulbait. Lantaran,
pengetahuan tentang al-Qur’an, seperti menyingkap rahasia-rahasianya,
membedakan antara yang muhkam dan mutasyabihat, dan nasikh dan mansukhnya tidak
akan benar, kecuali dengan keterangan dan penjelasan mereka. Oleh karena itu,
mengikuti keduanya secara bersamaan adalah jalan keselamatan, tidak ada
keraguan tentang hal itu.
Adapun orang yang
berpaling dari keduanya, atau salah satu darinya, ia akan binasa dan merugi, ia
tidak akan mendapatkan keselamatan. Lantaran, Rasulullah Saw sendiri yang
memerintahkan umatnya untuk berpegang teguh kepada keduanya secara
bersama-sama, sedangkan ia tidaklah pernah memerintahkan atau melarang sesuatu
yang sia-sia. Ia tidaklah mengucapkan sesuatu mengikuti hawa nafsunya,
ucapannya itu tidak lainya hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. Oleh
karena itu, merupakan keharusan dan kewajiban berpegang teguh kepada al-Qur’an
dan Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan, demi mendapatkan keselamatan dan
keberuntungan yang besar serta kenikmatan yang abadi.
Imam Syarafuddin al-Musawi
berkata dalam al-Murâja’ât (Dialog Sunni-Syiah), hal. 23 (dalam edisi
Arabnya), “Sesungguhnya pemahaman (yang benar) dari sabda Nabi Saw,
“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian, yang apabila kalian berpegang teguh
kepada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan
Itrahti (keturunanku),” adalah siapa saja yang tidak berpegang teguh kepada
keduanya secara bersamaan, niscaya ia akan tersesat.
Hal ini dikuatkan
dalam sabda Nabi Saw, ihwal hadis tsaqalain yang diriwayatkan oleh
ath-Thabarani, ia bersabda, “Janganlah kalian mendahului keduanya sehingga
kalian akan binasa, janganlah kalian tertinggal dari keduanya sehingga kalian
akan binasa, dan janganlah kalian mengajari mereka karena sesungguhnya mereka
itu lebih tahu daripada kalian.”
Ibnu Hajar berkata,
“Sabda Rasulullah Saw, Janganlah kalian mendahului keduanya sehingga kalian
akan binasa, janganlah kalian tertinggal dari keduanya sehingga kalian akan
binasa, dan janganlah kalian mengajari mereka karena sesungguhnya mereka itu
lebih tahu daripada kalian,” menunjukkan bahwa mereka (Ahlulbait) harus
didahulukan dalam kedudukan-kedudukan yang tinggi dan tugas-tugas keagamaan…”[7]
Aku katakan,
“Sesungguhnya Rasulullah Saw menamakan keduanya (al-Qur’an dan Ahlulbait)
“tsaqalain” lantaran keduanya sangat penting dan sangat berharga. Dalam bahasa
Arab, sesuatu yang sangat serius dan agung serta sangat berharga nilainya
biasanya disebut sebagai “tsaqal.” Sebab berpegang teguh kepada keduanya
bukanlah perkara yang mudah dan sederhana. Beramal dengan apa yang telah
diwajibkan Allah Swt berkenaan dengan hak-hak keduanya sangatlah berat, di
antaranya Ibnu Hajar dalam ash-Shawâ’iq, bab “wasiat Nabi Saw” dan juga
as-Suyuthi.
Oleh karena itu, hal
itu menunjukkan bahwa khilafah dan imamah terbatas pada mereka saja. Semoga
Allah Swt merahmati orang yang melantunkan syair ini: Mereka (Ahlulbait)
sejajar dengan Kitabullah –Hanya saja, Kitabullah itu diam sedangkan
mereka itu kitab yang berbicara. Hadis tsaqalain ini juga dapat dijadikan
dalil kemaksuman Ahlulbait, sebagaimana al-Qur’an merupakan kitab yang maksum,
tidak ada keraguan tentang kemaksumannya. Sebab, Nabi Saw telah memerintahkan
umatnya untuk merujuk kepada mereka sepeninggalnya, yang hal ini tidak terwujud
kecuali terhadap orang-orang yang telah dipelihara Allah Swt dari kesalahan dan
dosa.
Kemaksumam mereka
(Ahlulbait) juga merupakan petunjuk jelas bahwa khilafah dan imamah hanya
berlaku bagi mereka karena ia merupakan syarat dalam khilafah dan imamah.
Sedangkan orang-orang selain mereka tidaklah maksum dari kesalahan dan dosa,
sebagaimana disepakati oleh kaum Muslimin.
Catatan:
[1] . Lihat, al-Imam al-Hujjah
asy-Syaikh, Muhammad al-Husain al-Muzhaffar Rah, ats-Tsaqalain.
[2] . Lihat, Ahmad bin Hanbal, Musnad,
jil. 3, hal. 17.
[3] . Lihat, Muslim, Shahîh
Muslim, jil. 2, hal. 238.
[4] . Lihat, Al-Muttaqi
al-Hindi, Kanzul ‘Ummal, jil. 7, hal. 112.
[5] . Lihat, At-Tirmidzi, Shahîh
at-Tirmidzi, jil. 2, hal. 308.
[6] . Lihat, AI-Hakim, al-Mustadrak,
jil. 3, hal. 109.
[7] . Kemudian Imam Syarafuddin
al-Musawi Rah mengatakan dalam komentarnya atas pernyataan Ibnu Hajar tersebut,
“Lihatlah dalam bab wasiat Nabi Saw, hal. 153 dalam kitabnya ash-Shawâiq,
“Kemudian tanyalah kepadanya mengapa ia lebih mendahulukan al-Asy’ari daripada
mereka (para Imam Ahlulbait) dalam ushuluddin dan imam fiqih yang empat (Abu
Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal dan asy-Syafi’i) daripada mereka? Dan mengapa
ia juga lebih mengedepankan ‘Imran ibnu Haththan dan semisalnya dari golongan
Khawarij daripada mereka, lebih mendahulukan Muqatil bin Sulaiman seorang
penganut paham Murji’ah dalam ilmu tafsir daripada mereka, dan lebih
mendahulukan Ma’ruf dan semisalnya dalam ilmu akhlak dan perilaku serta
obat-obat dan penyembuhan jiwa mereka? Kemudian bagaimana mungkin ia
mengakhirkan kekhilafahan umum dari Nabi Saw, saudara dan walinya, yang tidak
ada seorang pun yang dapat menyampaikan sesuatu dari Nabi Saw selain
melaluinya, yaitu Ali bin Abi Thalib As, kemudian ia mengutamakan urusan
khilafah kepada anak-anak cecak (Marwan bin Hakam) daripada anak-anak Rasulullah
Saw?” Oleh karena itu, barangsiapa yang berpaling dari Ahlulbait Nabi Saw yang
telah disucikan itu dari semua yang telah kami sebutkan itu, yaitu dari
kedudukan-kedudukan yang tinggi dan tugas-tugas keagamaan, lalu ia mengikuti
para penentang Ahlulbait Nabi Saw tersebut, bagaimana mungkin ia dapat
dikatakan sebagai orang yang berpegang teguh kepada Ahlulbait Nabi Saw, menaiki
bahteranya, dan masuk dalam pintu pengampunannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar