"Lenyapnya titik
pusat" yang dipopulerkan oleh etos postmodern merupakan ciri utama situasi
masa kini. Ini nampak jelas dalam kehidupan kultur masyarakat kita. Seni telah
mengalami perubahan bersamaan dengan perubahan modern menjadi postmodern.
Postmodern Merayakan Keanekaragaman
Ciri utama budaya
postmodern adalah pluralisme. Untuk merayakan pluralisme ini, para seniman
postmodern mencampurkan berbagai komponen yang saling bertentangan menjadi
sebuah karya seni. Teknik seni yang demikian bukan hanya merayakan pluralisme,
tetapi merupakan reaksi penolakan terhadap dominasi rasio melalui cara yang
ironis. Buah karya postmodernisme selalu ambigu (mengandung dua makna).
Kalaupun para seniman ini menggunakan sedikit gaya modern, tujuannya adalah
menolak atau mencemooh sisi-sisi tertentu dari modernisme.
Post-modernisme adalah
campuran antara macam-macam tradisi dan masa lalu. Post-Modernisme adalah
kelanjutan dari modernisme, sekaligus melampaui modernisme. Ciri khas
karya-karyanya adalah makna ganda,ironi, banyaknya pilihan, konflik, dan
terpecahnya berbagai tradisi, karena heterogenitas sangat memadai bagi
pluralisme. Charles Jencks, What is Post-Modernisme? Ed. (New York: St Martin's
Press, 1989), hal. 7. Salah satu tehnik campuran yang sering digunakan adalah
"collage". "Collage" menawarkan suatu cara alamiah untuk
mencampurkan bahan-bahan yang saling bertentangan. "Collage" menjadi
wahana kritik postmodern terhadap mitos pengarang/seniman tunggal. Teknik
lainnya adalah "bricolage", yaitu: penyusunan kembali berbagai objek
untuk menyampaikan pesan ironis bagi situasi masa kini.
Seniman postmodern
menggunakan berbagai gaya yang mencerminkan suatu eklektisisme yang diambil
dari berbagai era dalam sejarah. Seniman umumnya menganggap cara demikian harus
ditolak karena menghancurkan keutuhan gaya-gaya historis. Para kritikus
tersebut menyalahkan gaya postmodern karena tidak ada ke dalaman atau keluasan,
melanggar batas sejarah hanya demi memberikan kesan untuk masa kini. Gaya dan
historis dibuat saling tumpang tindih. Mereka mendapatkan postmodernisme sangat
kurang dalam orisinalitas dan tidak ada gaya sama sekali.
Namun ada prinsip lebih
mendalam yang ditampilkan melalui ekspresi budaya postmodernisme. Maksud dan
tujuan karya-karya postmodernisme bukanlah asal-asalan saja. Sebaliknya postmodern
berusaha menyingkirkan konsep mengenai "seorang pengarang/pelukis asli
yang merupakan pencetus suatu karya seni". Mereka berusaha menghancurkan
ideologi "gaya tunggal" dari modernisme dan menggantikannya dengan
budaya "banyak gaya". Untuk mencapai maksud tersebut, para seniman
ini memperhadapkan para peminatnya dengan beraneka ragam gaya yang saling
bertentangan dan tidak harmonis. Teknik ini - yang mencabut gaya dari akar
sejarahnya - dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan berusaha meruntuhkan sejarah.
Seniman-seniman postmodern
sangat berpengaruh bagi budaya Barat masa kini. Pencampuran gaya, dengan
penekanan kepada keanekaragaman, dan penolakan kepada rasionalitas menjadi ciri
khas masyarakat kita. Ini semakin terbukti dalam banyak ekspresi kebudayaan
lainnya.
Arsitektur Postmodern
Modernisme mendominasi
arsitektur (juga bidang lainnya) sampai pada tahun 1970-an. Para arsitek modern
mengembangkan gaya yang terkenal dengan International style (gaya
internasional). Arsitektur modern mempunyai keyakinan kepada rasio manusia dan
pengharapan untuk menciptakan manusia idaman. Berdasarkan prinsip tersebut,
arsitek-arsitek modern mendirikan bangunan sesuai dengan prinsip kesatuan
(unity). Frank Llyod Wright menjadi contoh bagi arsitek lainnya. Ia mengatakan
bangunan-bangunan modern harus merupakan sebuah kesatuan organis. Bangunan
harus merupakan "kesatuan yang agung" (one great thing) dan bukan
kumpulan "bahan yang tidak agung" (little things). Sebuah bangunan
harus mengekspresikan makna tunggal.
Karena memegang prinsip
kesatuan, arsitektur modern mempunyai ciri khas "univalence."
Bangunan-bangunan modern menunjukkan bentuk yang sederhana dan ini nyata dari
pola glass-and-steel boxes. Arsitektur mencari bentuk sederhana yang dapat
menyampaikan sebuah makna tunggal. Cara yang digunakan adalah
"repetisi"(pengulangan). Karena mereka juga hendak sempurna dalam
geometri, bangunan-bangunannya menyerupai model "dunia lain." Arsitektur
modern berkembang dan menjadi arus yang dominan. Ia memajukan program
industrialisasi dan menyingkirkan aneka ragam corak lokal. Akibatnya ekspansi
arsitektur modern sering menghancurkan struktur bangunan tradisional. Ia hampir
meratakan semua bangunan tradisional dengan bulldozer. Bulldozer adalah alat
yang merupakan cetusan jiwa modern untuk "maju"(progress).
Beberapa arsitek modern
belum puas jika perubahan hanya dalam bidang arsitektur. Mereka ingin agar
perubahan dalam bidang arsitek, terjadi juga dalam bidang-bidang seni, ilmu
pengetahuan, dan industri. Mari bersama-sama
kita bayangkan, pikirkan, dan ciptakan sebuah struktur masa depan baru yang
meliputi bidang arsitektur, seni pahat, seni lukis, sebagai sebuah kesatuan.
Suatu hari semua ini akan menjulang sampai ke langit melalui tangan
berjuta-juta seniman. Ini menjadi keyakinan baru seperti sebuah kristal. Walter
Gropius," Programme of the staatloches Bauhaus in Weimar" (1919),
dalam Programmes and Manifestos on Twentieth-Century Architecture,ed. Ulrich
Conrads, terj. Michael Bullock (London: Lund Humphries, 1970), Hal. 25.
Arsitektur postmodern
muncul sebagai reaksi terhadap arsitektur modern. Postmodern merayakan sebuah
konsep "Multivalence" (melawan "univalence" dari
modernisme). Arsitektur postmodern menolak tuntutan modern di mana sebuah
bangunan harus mencerminkan kesatuan. Justru sebaliknya buah karya postmodern
berusaha menunjukkan dan memperlihatkan gaya, bentuk, corak, yang saling
bertentangan. Penolakan terhadap arsitektur modern nampak jelas dalam beberapa
contoh. Misalnya, arsiterktur postmodern sengaja memberikan ornamen (hiasan).
Ini merupakan lawan dari arsitektur modern yang membuang segala hiasan-hiasan
yang tidak perlu. Contoh lain, arsitektur postmodern menggunakan beberapa
teknik dan gaya seni tradisional, sedangkan arsitektur modern membuang segala
gaya dan teknik seni tradisional.
Penolakan oleh postmodern
terhadap modern di dasarkan kepada sebuah prinsip. Prinsip arsitektur
postmodern adalah semua arsitektur bersifat simbolik. Semua bangunan, termasuk
banguan modern, sebenarnya sedang berbahasa dengan bahasa tertentu. Karena
terlalu memikirkan fungsi banyak arsitek modern menyingkirkan dimensi tersebut.
Justru karena terlalu berfokus kepada fungsi (utility), karya seni modern
hanya, merupakan sebuah teknik membangun tanpa nuansa artistik. Dimensi
artistik telah lenyap dari karya seni modern. Padahal sebuah struktur bangunan
memerlukan dimensi artistik agar dapat menyampaikan suatu kisah atau
melambangkan suatu dunia imajiner. Karena terlalu menekankan fungsi. keajaiban
dunia seperti bangunan Katedral masa silam tidak lagi populer pada zaman
modern. Padahal bangunan seperti Katedral mengarahkan mata kita kepada suatu
dunia lain. Ini yang dikritik oleh kaum postmodern terhadap kaum modern.
Sebuah bangunan mempunyai
kekuatan untuk menjadi apa yang diinginkannya, mengatakan apa yang ingin
dikatakannya sehingga telinga kita mulai mendengar apa yang ingin disampaikan
oleh bangunan tersebut. Charles Moore, dalam Conversations with Architecs, ed.
John Cook Heeinrich dan Klotz (New York: Praeger, 1973), hal. 243. Kaum
Postmodern berusaha mengembalikan elemen "fiksi" dari sebuah
arsitektur maka mereka menambahkan ornamen-ornamen pada arsitektur. Mereka
ingin agar bidang arsitektur tidak terperangkap oleh pertanyaan "apa
fungsinya?" Arsitektur harus kembali berperan untuk menciptakan
"bangunan-bangunan yang kreatif dan imajinatif."
Kritik postmodern terhadap
modern semakin menjadi-jadi. Kaum modern menekankan adanya universalitas dan
adanya nilai-nilai yang tidak terbatas sejarah, dan ini ditolak secara tegas
oleh kaum postmodern. Selama ini kaum kodern menganggap karya-karya mereka
sebagai hasil rasio dan logika. Padahal kaum postmodern melihat dengan jelas
semuanya itu hanyalah usaha mendapatkan kekuasaan dan menguasai orang lain.
Bahasa modern adalah bahasa kekuasaan. Bangunan-bangunan modern menggunakan
bahan-bahan industri dan mereka melayani sistem industri. Bentuk-bentuk
demikian mewujudkan dunia baru yang dikuasai sains dan teknologi.
Kaum postmodern mau
melenyapkan bahasa kekuasaan tersebut. Kaum modern menekankan konsep kesatuan
dan keseragaman (uniformity) arsitektur yang ternyata sangat tidak manusiawi.
Arsitektur demikian berbicara dengan bahasa produksi massal dan standar. Kaum
postmodern menolak secara tegas konsep dan bahasa demikian. Mereka ingin
menemukan sebuah bahasa baru yang menghargai keanekaragaman dan pluralisme.
Postmodern Dalam Bidang Seni
Arsitektur postmodern
lahir sebagai penolakan terhadap prinsip-prinsip arsitektur modern pada abad
ke-20. Kehadiran postmodern dalam bidang seni juga menampakkan gejala penolakan
yang serupa. Arsitektur modern tidak menghargai gaya masa lalu. Pakar seni
seperti Clement Greenberg menyatakan bahwa seni modern juga menolak gaya-gaya
seni sebelumnya. Kaum modern menemukan identitas dirinya dengan membuang segala
sesuatu yang lain dari dirinya; dengan cara ini, para seniman modern mengatakan
bahwa hasil karya seni mereka bersifat "murni" (orisinal).
Kecenderungan modern dalam bidang seni sama dengan bidang arsitektur, yaitu:
"univalence". Melalui ini, kebanggaan seniman modern hanyalah jika
mereka mempunyai "stylistic integrity" (integritas gaya).
Sebaliknya seni postmodern
berangkat dengan kesadaran adanya hubungan erat antara miliknya dan milik orang
lain. Karena itulah, seni postmodern menganut keanekaragaman gaya atau
"multivalence". Kalau modern menyukai "murni." maka postmodern
menyukai "tidak murni." Pada dasarnya seni postmodern tidak eksklusif
dan sempit tetapi berbauran (sintetis). Karya seni tersebut dengan bebas
memasukkan berbagai macam kondisi, pengalaman, dan pengetahuan jauh melampaui
obyek yang ada. Karya ini tidak melukiskan pengalaman tunggal dan utuh. Justru
yang hendak dicapai adalah keadaan seperti sebuah ensiklopedia, yaitu: masuknya
jutaan elemen, penafsiran, dan respons. Howard Fox, "Avant-Garde in the
Eighties", dalam The Post-Avant- Garde: Painting in the Eighties, ed.
Charles Jencks (London: Academy Editions, 1987), hal. 29-30.
Banyak seniman postmodern
menggabungkan keanekaragaman dengan teknik pencampuradukan. Seperti kita
ketahui, teknik yang mereka sukai adalah "collage". Kenyataanya,
Jacques Derrida (dijuluki "Aristoteles tukang campur") menegaskan
collage sebagai bentuk utama dari wacana postmodern. Perlahan namun pasti,
"collage" menarik para pecinta seni ke dalam makna yang dihasilkan
"collage" tersebut. Karena "collage" bersifat heterogen,
maka makna yang dihasilkannya tidak mungkin tunggal dan stabil.
"Collage" menarik para pecinta seni untuk selalu memperoleh makna
baru melalui aneka ragam campuran di dalamnya.
Akhirnya seni
pencampuradukan menjadi sebuah "pastiche". Tujuan teknik ini (yang
digunakan oleh high-culture dan Video MTV) adalah memperhadapkan para penonton
dengan gambar-gambar yang saling bertentangan sehingga tidak ada lagi makna
objektif. Dengan pola yang saling bertentangan, warna yang tidak selaras, dan
tata huruf yang kacau, "pastiche" menyebar dari dunia seni menuju
kehidupan sehari- hari. Ini nampak dari sampul buku, sampul majalah, dan
iklan-iklan yang ada.
Segala campuran dan
keanekaragaman itu bukan hanya untuk menarik perhatian. Daya tarik sebenarnya
tidak sedangkal itu, namun jauh lebih dalam. Ini merupakan bagian dari sikap
postmodern, yaitu: menantang kekuatan modernisme yang ada dalam berbagai
lembaga, tradisi, dan aturan. Seniman postmodern tidak suka kepada
pengagung-agungan seorang seniman modern karena kemurnian hasil karyanya.
Mereka tidak suka kepada apa yang disebut "stylistic integrity"
(integritas gaya). Bagi mereka, tidak ada hasil karya seni yang tunggal. Mereka
sengaja menggunakan metode pinjaman dari hasil karya lain, kutipan, petikan,
kumpulan, dan pengulangan dari karya-karya yang ada. bagi mereka, "seniman
tunggal yang menghasilkan karya tunggal" hanyalah dongeng belaka.
Kritik postmodern sangat
radikal. Kritik tersebut dapat ditemukan dalam karya fotografi seorang bernama
Sherrie Levine. Levine memfoto ulang foto-foto indah hasil karya dua fotografer
terkenal Walker Evans dan Edward Weston. Setelah memfoto ulang, Levine
menegaskan bahwa foto- foto itu adalah karya pribadinya. Pembajakannya sangat
jelas sehingga orang lain tidak mudah mengecapnya sebagai plagiat (pengekor)
biasa. Memang tujuannya bukanlah menipu orang-orang dengan mengatakan bahwa itu
adalah hasil karyanya dan bukan hasil karya orang lain. Tujuan utamanya adalah
membuat orang berfikir keras untuk membedakan manakah "yang asli" dan
manakah yang "tiruan". Maka kesimpulannya: tidak ada perbedaan antara
"karya asli" dan "karya tiruan."
Postmodern Dalam Bidang Teater
Teater adalah wujud
penolakan postmodern terhadap modern yang paling jelas. Kaum modern melihat
jelas sebuah karya seni sebagai karya yang tidak terikat waktu dan ide-ide yang
tidak dibatasi waktu. Etos postmodern menyukai tragedi, dan tragedi selalu ada
dalam setiap karya seni. Kaum postmodern melihat hidup ini seperti sebuah
kumpulan cerita sandiwara yang terpotong-potong. Maka teater adalah sarana
terbaik untuk menggambarkan tragedi dan pertunjukan.
Tidak setiap karya teater
merupakan wujud nyata etos postmodern. Karya teater postmodern mulai timbul
pada tahun 1960-an. Akarnya sudah ada sebelum tahun 1960-an, yaitu karya
seorang penulis Perancis bernama Antonin Artaud pada tahun 1930-an.
Artaud menantang para
seniman (khususnya dalam bidang drama) untuk memprotes dan menghancurkan
pemujaan kepada karya seni klasik. Ia sangat mendukung pergantian drama
tradisional dengan 'teater keberingasan." Ia berseru agar dihapuskannya
gaya kuno yang berpusat kepada naskah. Ia mengusulkan gaya baru yang berpusat
kepada simbol- simbol teater termasuk di dalamnya adalah: pencahayaan, susunan
warna, pergerakan, gaya tubuh, dan lokasi. Artaud juga meniadakan perbedaan
antara aktor dan penonton. Ia ingin agar penonton juga mengalami suasana
dramatis seperti sang aktor. Tujuan Artaud adalah memaksa penonton untuk
berhadapan dengan momentum kenyataan hidup secara langsung pada saat itu, yang
bagaimanapun juga tidak akan terulang melalui aturan-aturan sosial sehari-hari.
Pada tahun 1960-an,
sebagian impian Artaud menjadi kenyataan. Para ahli mulai memikirkan kembali
hakikat dari teater. Maka mereka menyerukan agar terdapat kebebasan dalam
penampilan. Penampilan tidak boleh diatur oleh otoritas apa pun.
Beberapa ahli ini
menemukan bahwa naskah atau teks adalah otoritas yang menindas kebebasan. Untuk
memecahkan masalah ini, mereka mengurangi naskah atau teks sehingga setiap
penampilan menjadi spontan dan unik. Setelah beberapa sekali ditampilkan, tidak
ada lagi pengulangan. Penampilan itu sekali saja dan akan hilang selama-lamanya
setelah itu.
Ahli lainnya menganggap
sutradara adalah orang yang menindas kebebasan penampilan. Mereka berusaha
memecahkan masalah ini, dengan menekankan improvisasi dan memakai sutradara
lebih dari satu orang. Maka produksi teater/film bukan lagi produksi tunggal dan
utuh.
Teater postmodern
menampilkan usulan-usulan para ahli di atas. Mereka membuat berbagai elemen
dalam teater, seperti suara, cahaya, musik, bahasa, latar-belakang, dan gerakan
saling berbenturan. Dengan demikian, teater postmodern sedang menggunakan teori
tertentu yang disebut dengan estetika ketiadaan (berbeda dengan estetika
kehadiran). Teori estetika ketiadaan menolak adanya konsep kebenaran yang
mendasari dan mewarnai setiap penampilan. Yang ada dalam setia penampilan
adalah kekosongan ("empty presence"). Seperti etos postmodern, makna
sebuah penampilan hanya bersifat sementara, tergantung dari situasi dan
konteksnya.
Panggung teater tidak lagi
menjadi tempat pengulangan suatu peristiwa atau suatu obyek, entah yang ada
sekarang atau sebelumnya. Teater tetap berfungsi tanpa kehadiran Allah. Jacques
Darrida, Writing and Difference, terj: Alan Bass (Chicago: Chicago University
Press, 1978), hal. 237.
Postmodern Dalam Bidang Tulisan-Tulisan Fiksi
Pengaruh etos postmodern
dalam literatur sulit dicari. Para ahli sastra terus berdebat mengenai ciri
utama fiksi postmodern yang membedakannya dari fiksi-fiksi sebelumnya. Namun
gaya penulisan ini mencerminkan ciri utama yang telah kita saksikan dalam
bidang-bidang lain.
Seperti gaya postmodern
umumnya, tulisan fiksi postmodern menggunakan teknik pencampuradukan. Beberapa
penulis mengambil elemen-elemen tradisional dan mencampurkannya secara
berantakan untuk menyampaikan suatu ironi mengenai topik-topik yang biasa
dibahas. Bahkan beberapa penulis lainnnya mencampurkan kejadian nyata dan
khayalan.
Pencampuradukan ini
terjadi bahkan kepada tokoh-tokoh fiksi tersebut. Beberapa penulis postmodern
memusatkan perhatian kepada tokoh-tokoh khayalan dengan segala perilakunya.
Pada saat yang sama, tokoh-tokoh khayalan itu adalah tokoh-tokoh yang nyata
dalam sejarah manusia. Dengan cara ini, sang penulis berhasil menarik perhatian
dan respons emosional dan moral para pembaca.
Beberapa penulis
postmodern mencampuradukkan yang nyata dan yang khayal dengan menyisipkan diri
mereka ke dalam cerita itu. Bahkan mereka pun turut membicarakan berbagai
masalah dan proses yang diceritakannya. Melalui ini, sang penulis mencampurkan
yang nyata dan yang fiksi. Teknik ini menekankan hubungan yang erat antara
penulis dan tulisan fiksinya.
Tulisan fiksi adalah
sarana yang dipakai oleh penulis untuk berbicara sehingga suara penulis tidak
dapat dipisahkan dari kisah fiksi tersebut. Tulisan fiksi postmodern
mencampuradukan dua dunia yang tidak ada hubungan satu sama lain. Dunia-dunia
tersebut masing-masing otonom. Tokoh-tokoh dalam tulisan fiksi itu merasa
bingung di dunia mana mereka berada, dan apa tindakan mereka berikutnya di
tengah dunia- dunia yang saling bertubrukan.
Teknik pencampuradukan ini
digunakan untuk menunjukkan sikap anti- modernisme. Tujuan para penulis modern
adalah memperoleh makna tunggal. Sebaliknya, kaum postmodern ingin mengetahui
bagaimana kenyataan-kenyataan yang amat berbeda, dapat berjalan dan saling
bercampur.
Seperti kebudayaan
postmodern lainnya, tulisan-tulisan ini memusatkan perhatian kepada kefanaan
dan kesementaraan. Mereka menolak konsep kebenaran kekal dari kaum modern.
Tulisan fiksi ini sengaja mengarahkan fokus kepada kesementaraan agar para
pembaca tidak lagi melihat dunia ini dari titik puncak yang tidak terbatas oleh
waktu. Mereka ingin agar para pembaca menyaksikan sebuah dunia yang hampa,
tanpa adanya hal-hal yang kekal dan selalu berada dalam gelombang
kesementaraan.
Dan perlukah kita berkata
bahwa semakin jelas sang penulis menyatakan dirinya sendiri dalam teks-teks
yang dia buat, secara paradoks juga makin tidak terelakan adanya kenyataan
bahwa sang penulis tersebut, sebagai sebuah suara, hanyalah sebuah fungsi dari
fiksinya sendiri, sebuah bangunan retorika, bukan seorang yang berotoritas tetapi
justru menjadi obyek dan sasaran penafsiran pembaca? David Lodge,"Mimesis
and Diegesis in Modern Fiction," dalam The Post-Modern Reader, ed. Charles
Jencks (New York: St. Martin's Press,1992), hal. 194-195.
Kadang-kadang para penulis
tersebut menciptakan efek serupa dengan memasukkan bahasa yang membongkar
struktur pikiran yang sudah baku. Mereka juga menolak rasio sebagai hakim yang
memutuskan apakah sebuah cerita mampu memaparkan kejadian nyata.
Contoh umum dari fiksi
modern adalah kisah detektif. Katakanlah cerita mengenai seorang detektif
bernama Sherlock Holmes. Ia bertugas membongkar kebenaran-kebenaran yang
tersembunyi. Kisah seperti ini hendak menunjukkan kekuatan rasio dan logika
dalam memecahkan sebuah masalah atau misteri. Maka cerita ini merupakan sebuah
cerita yang lengkap dan selesai.
Contoh dari fiksi
postmodern adalah kisah mata-mata. Meskipun terjadinya dalam dunia nyata, kisah
demikian selalu mencampurkan dua macam dunia yang berbeda. Apa yang dianggap
nyata, ternyata terbukti hanyalah khayalan. Ada suatu dunia lain di balik dunia
nyata ini, yang lebih jahat namun lebih nyata daripada dunia nyata.
Dengan mencampurkan dua
macam dunia itu, kisah tersebut membuat pembaca merasa tidak tenang dan tidak
nyaman. Apakah penampilan seseorang menunjukkan dirinya yang sesungguhnya?
Manakah yang sebenarnya dan manakah yang tipuan?
Kisah mata-mata mendorong
kita mempertanyakan dunia kehidupan kita. Apakah kita juga hidup dalam dua
macam dunia? Apakah orang-orang di sekitar kita benar-benar seperti penampilan
mereka di hadapan kita? Apakah peristiwa-peristiwa di sekitar kita benar-benar
seperti yang nampak di depan mata kita?
Novel fiksi sains adalah
salah satu bentuk sastra postmodern. Novel ini merupakan penolakan terhadap
penelitian modern. Novel fiksi ini lebih suka mencari sesuatu yang baru, dan
bukan menyibak misteri alam untuk menemukan rumus-rumus pasti. Novel ini
mempertentangkan berbagai dunia dan realitas supaya nampak perbedaan dan
pertentangan di antara mereka.
Novel fiksi sains tersebut
membuat kita bertanya-tanya mengenai dunia kita: Apakah realitas itu? Apa yang
mungkin? Kekuatan apa yang sedang bekerja sekarang?
Postmodernisme Sebuah Fenomena Dalam Budaya Pop
Kebanyakan dari kita
berhubungan langsung postmodernisme melalui novel fiksi sains dan novel
mata-mata. Keduanya sangat berpengaruh dalam budaya populer kita sekarang.
Namun secara tidak sadar, kita telah terbuka kepada etos postmodern.
Keterbukaan kepada etos
postmodern melalui budaya pop adalah ciri khas postmodern. Ciri khas lainnya
adalah tidak mau menempatkan "seni klasik tinggi" di atas budaya
"pop." Postmodern unik karena ia menjangkau bukan kelas elite tetapi
kelas masyarakat biasa, masyarakat yang terbiasa dengan budaya pop dan media
massa.
Hasil karya postmodern
juga bermakna ganda. Mereka berbicara dengan sebuah bahasa dan menggunakan
elemen-elemen yang dapat diterima oleh orang-orang awam ataupun seniman dan
arsitek handal. Dengan cara demikian, postmodernisme berhasil menyatukan dua
alam yang berbeda, yaitu profesional dan populer.
Pembuatan Film Sebagai Dasar Pijakan Budaya Postmodern
Perkembangan teknologi
membantu penyebaran postmodern ke dalam sisi- sisi penting dan budaya pop.
Salah satu sisi terpenting adalah industri film.
Teknologi pembuatan film
sangat cocok dengan etos postmodern, yakni: film menggambarkan yang tidak ada
menjadi seolah-olah ada. Sekilas lalu, film adalah sebuah cerita utuh yang
ditampilkan oleh para aktor dan aktris. Kenyataannya, film adalah rekayasa teknologi
dengan bantuan ahli-ahli spesialis dari berbagai bidang yang tidak jarang
kelihatan dalam film. Adanya kesatuan dalam sebuah film sebenarnya adalah
ilusi.
Film berbeda dengan
teater. Film tidak pernah berisi penampilan sekelompok aktor/aktris sekaligus
secara utuh dan berkesinambungan. Apa yang penonton lihat
"berkesinambungan" adalah semacam sisa dari berbagai adegan dalam
proses pembuatan film itu sendiri, yang tidak saling berhubungan baik secara
waktu maupun tempat.
Alur cerita sebuah film
hanyalah tipuan. Apa yang nampak "berhubungan" atau
"berkesinambungan" sebenarnya hanyalah kumpulan adegan yang diambil
pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Alur sebuah film yang kita lihat,
ternyata tidak seperti demikian alurnya pada waktu film berada dalam proses
pembuatan tersebut. Yang menyatukan adegan-adegan yang terpecah-pecah itu
adalah seorang editor. Dialah yang menyambungkan adegan-adegan yang tidak ada
hubungannya satu sama lain.
Kadang-kadang peran yang
sama belum tentu diperankan oleh satu aktor. Sutradara sering menggunakan peran
pengganti (stunt-man) untuk adegan- adegan berbahaya. Kemajuan teknologi
memungkinkan edit untuk menduplikasi wajah sang aktor sehingga wajahnya dalam
film lama dapat diambil dan dimasukkan dalam film yang baru. Semuanya ini
adalah hasil rekayasa komputer.
Akhirnya, film yang kita
tonton adalah produk kecanggihan teknologi. Tim-tim yang berbeda menggunakan
fotografi dan metode lainnya untuk mengumpulkan bahan-bahan. Bahan-bahan ini
digabungkan oleh editor untuk menghasilkan apa yang nampak sebagai
"kesatuan" di depan mata penonton. Berbeda dengan teater, kesatuan
dan kesinambungan sebuah film adalah jasa teknologi, dan bukan jasa
aktor-aktornya.
Karena kesatuan sebuah
film terletak dalam teknik pembuatannya, maka sutradara dan editor mempunyai
kebebasan untuk mengatur dan memanipulasi jalannya cerita dengan berbagai cara.
Mereka dapat mencampurkan adegan-adegan yang tidak saling berhubungan tanpa
harus mengorbankan kesatuan film itu.
Pembuat film postmodern
senang mengubah konsep tempat dan konsep waktu menjadi di sini dan kini
selamanya. Usaha mereka dalam hal ini dipacu oleh banyaknya film yang telah
diproduksi sebelumnya sehinga mereka mempunyai bahan untuk mencampurkannya.
Misalnya: adegan Humphrey Bogart dalam film "The Last Action Hero"
dan Groucho Marx dalam iklan Diet Pepsi. Kemajuan teknologi memungkinkan
penggabungan keduanya, penggabungan "dunia nyata" dengan kenyataan
lain. Contoh lain adalah penggabungan tokoh kartun dan tokoh manusia dalam film
"Who Framed Roger Rabbit?"
Kemampuan seorang
sutradara menggabungkan berbagai potongan menjadi sebuah film yang utuh,
memungkinkannya untuk melenyapkan perbedaan antara kebenaran dan dongeng,
kenyataan dan khayalan. Sutradara- sutradara postmodern menggunakan kesempatan
ini untuk mewujudnyatakan etos postmodern. Misalnya, film-film postmodern
membuat film fiksi dan fantasi seperti layaknya kejadian nyata (film
"Groundhog Day"). Mereka menggabungkan kisah film fiksi dengan aspek
dokumenter (film "The Gods Must Be Crazy"). Mereka mencampurkan
sebagian catatan sejarah dengan spekulasi dan mencampurkan dunia-dunia yang
tidak berhubungan yang dihuni oleh tokoh-tokoh yang tidak jelas majakah yang
asli (film "Blue Velvet").
Hidup dalam era postmodern
berarti hidup di dalam dunia yang menyerupai film. Sebuah dunia dimana
kebenaran dan dongeng bercampur. Kita melihat dunia sama seperti kita melihat
film, dan kita curiga apakah yang kita lihat hanyalah sebuah ilusi. Kita dapat
memahami sesuatu dalam pikiran sang sutradara. Ia mengajak kita melihat sesuatu
yang sering terabaikan/terlupakan dalam dunia yang film itu gambarkan.
Sebaliknya ketika melihat dunia sebenarnya, kaum postmodern tidak lagi percaya
adanya sebuah Pikiran di baliknya.
Televisi Dan Penyebaran Budaya Postmodern
Teknologi pembuatan film
memberikan dasar pijakan untuk budaya pop postmodern. Namun televisi merupakan
sarana yang lebih efisien untuk menyebarkan etos postmodern ke seluruh lapisan
masyarakat.
Dilihat dari satu sisi,
televisi hanyalah saranan yang efektif untuk menantikan turunnya film dari
bioskop ke televisi. Banyak program televisi yang isinya hanya film-film, mulai
dari yang pendek sampai miniseri. Televisi adalah sebuah sarana yang digunakan
oleh film-film untuk menyerbu kehidupan sehari-hari jutaan orang. Sejauh ini,
televisi hanyalah perpanjangangan tangan dari industri film.
Tetapi lepas dari hubungan
dengan film, televisi memperlihatkan ciri khasnya sendiri. Dalam banyak hal,
televisi jauh lebih fleksibel daripada film. Televisi melampaui film dengan
menyajikan siaran langsung. Kamera televisi dapat menayangkan gambar kejadian
langsung kepada pemirsa di seluruh belahan dunia.
Kemampuan untuk menyiarkan
secara langsung membuat orang percaya bahwa televisi menyajikan peristiwa
aktual yang benar-benar terjadi, tanpa adanya penafsiran, edit, atau komentar.
Karena inilah televisi telah menjadi kriteria untuk membedakan yang nyata dan
tidak. Banyak pemirsa tidak menganggap penting banyak hal. Tetapi jika CNN,
Sixty Minutes menayangkannya, mereka akan segera merasa hal tersebut penting.
Segala sesuatu tidak penting jika tidak ditayangkan televisi.
Televisi mampu menayangkan
fakta secara langsung dan mampu menyebutkan produksi-produksi film. Kemampuan
ganda demikian membuat televisi memiliki kekuatan yang unik. Ia mampu
mencampurkan "kebenaran" (apa yang orang banyak anggap sebagai
kejadian nyata) dengan "fiksi" (apa yang orang banyak anggap sebagai
khayalan yang tidak pernah terjadi dalam kenyataan). Film tidak dapat melakukan
ini. Televisi masa kini melakukan hal tersebut terus-menerus. Ketika ada siaran
langsung, di tengah-tengah siaran itu selalu diputus oleh "pesan dari
sponsor."
Televisi melampaui film
untuk mewujudkan etos postmodern. Televisi komersil menyajikan berbagai gambar
kepada permirsa. Berita sore akan menghantam penonton dengan gambar-gambar yang
tidak saling berhubungan: perang di suatu daerah terpencil, pembunuhan di dekat
rumah, ucapan dari seorang politikus, skandal seks terbaru, penemuan ilmiah
baru, berita olahraga. Campuran-campuran ini disisipkan dengan iklan baterai
yang tahan lama, sabun mandi yang lebih bersih, makan pagi yang lebih sehat,
dan liburan yang lebih menyenangkan. Dengan menampilkan berbagai gambar
tersebut (berita dan iklan), televisi menciptakan kesan bahwa berita dan iklan
sama pentingnya.
Siaran berita diikuti oleh
program-program utama yang terlalu banyak untuk menarik dan membuat pemirsa
bertahan. Maka isi program-program tersebut adalah film laga, skandal,
kekerasan, dan seks. Drama-drama malam hari mempunyai bobot yang sama dengan
berita sebelumnya. Dengan cara ini, televisi melenyapkan perbedaan antara
kebenaran dan fiksi, antara peristiwa yang benar-benar memilukan hati dan
peristiwa sepele.
Ini terjadi bukan hanya
pada satu saluran televisi, tetapi berpuluh bahkan ratusan saluran yang
berbeda-beda. Hanya dengan sebuah remote control di tangan, seseorang dapat
memilih apa pun yang ia suka, mulai dari berita terbaru, pertandingan tinju,
laporan ekonomi, film kuno, laporan cuaca, film komedi, film dokumenter, dan
sebagainya.
Dengan menawarkan begitu
banyak campuran gambar, secara tidak sengaja televisi menyejajarkan hal-hal
yang tidak saling cocok. Televisi membutuhkan kejelasan waktu dan tempat.
Televisi mencampuradukkan masa lalu dan masa kini, yang jauh dan yang dekat,
segala sesuatunya di- bawa menjadi kini dan di sini, di hadapan pemirsa
televisi. Dengan cara ini, televisi memperlihatkan dua ciri khas postmodern:
menghapus batas antara masa lalu dan masa kini; dan menempatkan pemirsa dalam
ketegangan terus-menerus. Banyak pengamat sosial menganggap televisi sebagai
cermin dari kondisi psikologis dan budaya postmodern. Televisi menyajikan
begitu banyak gambar yang tidak berhubungan dengan realitas, gambar-gambar yang
saling berinteraksi terus-menerus tanpa henti.
Film dan televisi telah di
persatukan oleh sebuah alat yang lebih baru - komputer pribadi.
Lenyapnya ego adalah tanda
kemenangan postmodernisme.... Sang diri diubahkan menjadi sebuah tampilan
kosong yang berisi kebudayaan yang telah jenuh namun hiperteknis. Arthur
Kroker, Marilouise Kroker dan David Cook, "Panic Alphabet", dalam
Panic Encyclopedia: The Definitive Guide to the Postmodern Scene (Montreal: New
World Perspectives, 1989), hal. 16.
Munculnya
"monitor" - layar bioskop, layar kaca televisi ataupun monitor
computer, melenyapkan perbedaan antara diri sebagai subjek dan dunia sebagai
objek. "Monitor" bukan sekadar objek di luar diri kita yang kita
sedang lihat. Yang terjadi dalam monitor bukan sesuatu kejadian di luar sana
dan diri kita di sini. "Monitor" membawa kita ke dunia luar sama
seperti dunia luar masuk ke dalam diri kita. Yang terjadi dalam televisi
merupakan manifestasi diri kita, yang terjadi dalam diri kita adalah penjelmaan
televisi. Televisi telah menjadi sebuah wujud nyata dari jiwa kita.
Hidup dalam era postmodern
berarti hidup dalam dunia yang dipenuhi oleh berbagai gambar yang
bercampur-aduk. Dunia televisi memecahkan gambar-gambar menjadi
potongan-potongan dan kaum postmodern tetap yakin bahwa itu hanyalah campuran
gambar-gambar.
Wujud-Wujud Lain Postmoernisme Dalam Budaya Pop
Film telah menyajikan
budaya postmodern, dan televisi menyebarkannya , tetapi musik rock merupakan
ciri yang paling khas dari budaya pop postmodern. Lirik lagu-lagu rock
mencerminkan semboyan postmodern. Hubungan antara music rock dan budaya
postmodern lebih mendalam lagi. Musik rock memiliki ciri utama dari postmodern,
yaitu: fokus kepada global dan lokal.
Musik rock kontemporer
mendapatkan banyak penggemar dan mampu menyatukan seluruh dunia. Tentunya kita
ingat dengan tokoh-tokoh musik rock yang melakukan tur keliling dunia. Pada
saat yang sama, musik rock mempertahankan selera lokal. Dalam penampilan
grup-grup rock yang besar maupun yang kecil (tidak terkenal), musik rock
memperlihatkan pluralitas gaya yang diambil dari gaya musik setempat (lokal dan
etnis tertentu).
Yang tidak kalah penting,
musik rock juga menggunakan sarana produksi elektronik sebagaimana televisi dan
film. Dimensi penting dari budaya rock adalah penampilan langsung dari bintang-bintangnya.
Konser musik rock tidak seperti konser tradisional dimana sang penyanyi
berusaha berkomunikasi secara akrab dengan penonton. Yang terjadi dalam konser
musik rock adalah "kedekatan massal yang dibuat-buat."
Konser rock kini merupakan
peristiwa massal, melibatkan puluhan ribu penggemar. Kebanyakan penggemar tidak
dapat melihat penampilan sang bintang dari dekat. Namun mereka masih berusaha
mengalami pengalaman tersebut. Penampilan tersebut diperlihatkan kepada mereka
melalui banyak layar video yang menyorot wajah sang bintang dari dekat.
Tehnik ini menciptakan
jarak antara sang bintang dan penonton. Penggemar kelompok rock Jubilant merasa
dekat dengan idola mereka sekalipun hanya lewat layar televisi. Teknologi
mengubah kedekatan dalam sebuah pertunjukkan langsung menjadi kumpulan ribuan
penggemar yang menonton layar video bersama-sama sementara mereka diserbu
dengan berbagai-bagai efek cahaya, suara dan sebagainya.
Teknologi melenyapkan
perbedaan antara penampilan aslinya dan tayangannya di televisi. Teknologi
melenyapkan perbedaan antara penampilan langsung dan duplikasinya dalam musik.
Penampilan langsung bukan lagi realitas yang terdapat dalam konteks khusus. Ia
adalah campuran antara apa yang sang bintang tampilkan dan apa yang teknologi
hasilkan. Penampilan itu dibungkus dalam kemasan teknologi setelah itu baru
disajikan kepada para penggemar.
Wujud etos postmodern yang
lebih sederhana adalah cara berpakaian. Model pakaian postmodern mempunyai
kecenderungan yang mirip dengan budaya pop lainnya. Kita melihat ditonjolkannya
merek dan label produk. Ini melenyapkan perbedaan antara pakaian dan iklan
pakaian.
Wajah postmodern nampak
dalam "bricolage." Berbeda dengan pola pakaian tradisional yang
menyatukan berbagai corak secara harmonis, gaya postmodern sengaja
menggabungkan elemen-elemen yang bertentangan, misalnya: pakaian dan aksesoris
dari 10, 20, 30 dan 40 tahun lalu dipakai bersama-sama.
Percampuran yang
bertentangan tersebut dimaksudkan sebagai sebuah ironi atau ejekan terhadap
model pakaian modern, bahkan terhadap seluruh industri pakaian modern.
Dari musik rock ke turisme
ke televisi sampai ke bidang pendidikan, yang dipromosikan oleh iklan dan yang
dicari oleh konsumen bukan lagi barang-barang, tetapi pengalaman. Steven
Connor, Postmodernist Culture (Oxford: Basil Blackwell, 1989), hal 154.
Budaya pop zaman kita
mempunyai dua ciri khas postmodern: pluralisme dan anti-rasionalisme. Seperti
nyata dari cara mereka berpakaian dan musik yang mereka dengar, kaum postmodern
tidak lagi percaya kalau dunia mereka mempunyai sebuah fokus. mereka tidak lagi
percaya bahwa rasio manusia dapat menangkap struktur logika alam semesta.
Mereka hidup dalam dunia yang tidak membedakan antara kebenaran dan dongeng.
Akibatnya mereka menjadi pengumpul bermacam-macam pengalaman, gudang yang brisi
berbagai hal sementara, jembatan yang dilintasi bermacam-macam gambar, dan
dihujani dengan aneka ragam media dalam masyarakat postmodern.
Postmodernisme memiliki
asumsi yang bermacam-macam. Ini terbukti dari berbagai sikap dan ekspresi
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan tersebut, kita menemukan
bermacam-macam orang dalam masyarakat. Ekpresinya bervariasi dari cara
berpakaian sampai televisi, termasuk musik dan film di dalamnya. Postmodernisme
menjelma dalam beraneka ragam ekspresi budaya, termasuk arsitektur, seni, dan
sastra. Lebih dari segalanya, postmodernisme adalah sebuah pemandangan
intelektual.
Postmodernisme menolak
gambaran mengenai seorang pemikir tunggal yang dilahirkan oleh Pencerahan.
Postmodern mengejek mereka yang merasa yakin dapat melihat dunia dari suatu
titik puncak seolah-olah mereka dapat berbicara demi kepentingan seluruh umat
manusia. Postmodernisme telah menggantikan cita-cita pencerahan tersebut dengan
keyakinan baru, yaitu: semua pernyataan mengenai kebenaran dan kebenaran itu
sendiri terbatas oleh kondisi sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar