Oleh
Abdullah
Makhmud Hendropriyono*
Dalam
pandangan umum, intelijen dan sejarah adalah dua hal berbeda. Namun
sesungguhnya tidaklah demikian. Operasi intelijen asing yang melakukan
infiltrasi ke dalam kehidupan berbangsa kita, kemudian ditangkal oleh aparat
intelijen kita, seperti pada PRRI/Permesta, adalah bagian sejarah nasional
kita. Begitu juga dari pemberontakan DI/TII yang sempat merebak di berbagai
daerah, tidak hanya sekedar episode operasi militer yang bisa kita saksikan,
tetapi juga sebuah episode perjalanan bangsa.
PASCA
Perang Dunia II dan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia merupakan era
dimulainya perubahan penting bentuk perang dari perang militer fisik yang
bersifat simetris, ke perang baru yang bersifat asimetris.
Pada
era tersebut operasi intelijen militer asing telah melakukan infiltrasi dan
penetrasi ke dalam tubuh TNI, yang kemudian berlanjut dengan kegiatan
pembentukan dan pengembangan kekuatan perlawanan terhadap pemerintah Republik
Indonesia. Eksploitasi terhadap kekuatan tersebut berupa pemberontakan
bersenjata di berbagai daerah.
Operasi
intelijen strategis asing terhadap negara kita itu terdiri dari pelaksanaan
fungsi Operasi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. Ketiga-tiganya telah
dilakukan dengan kombinasi antara pendekatan ‘lunak’, ‘cerdas’ dan ‘keras’.
Bentuk
pendekatan lunak yang dilakukan, berupa dukungan dana dan berbagai bentuk
sarana kontak lainnya. Pendekatan cerdas terutama berupa penebaran kebencian (spreading
hatred), terhadap pemerintahan negara Republik Indonesia yang sah. Adapun
pendekatan keras berupa dukungan, yang berbentuk alat-alat peralatan dan
persenjataan, yang diiringi dengan serangan tunggal militer langsung.
Teror
dan sabotase yang mereka lakukan terhadap kita pada tahun 1958 diwarnai oleh
serangkaian pengeboman dari pesawat udara jenis Bomber B-26, terhadap
obyek-obyek vital di berbagai tempat di propinsi Maluku dan kota Ambon.
Disamping itu mereka juga melakukan kegiatan espionage atau spionase
(mata-mata) melalui berbagai cara, termasuk di antaranya berupa pengintaian
langsung dari pesawat udara penyelidik jenis U2 Angkatan Udara AS.
Walaupun
para penerbangnya dalam dua kali serangan yang berbeda di negara kita,
masing-masing bernama Allan Lawrence Pope dan Michael Powers dari
AS tersebut akhirnya juga tertangkap oleh kita, namun operasi intelijen Amerika
Serikat dulu itu telah sempat berhasil mendisorganisir kesatuan jiwa-korsa di
antara para perwira TNI Angkatan Darat dan telah juga memperoleh berbagai jenis
intelijen, yang menyangkut perkembangan situasi dan kondisi nasional
negara-bangsa (nation state) kita.
Intelijen
strategis yang mereka peroleh merupakan dasar, bagi operasi clandestine atau
klandestin (gerakan rahasia, gerakan bawah tanah) lebih lanjut. Operasi
bawah-tanah sekaligus juga telah memberikan dampak berupa kemenangan strategis
kepada negara sekutunya, Inggris, yang sedang menghadapi konfrontasi oleh
negara kita dalam Operasi Dwikora yang kita lancarkan pada periode tahun
1963-1965 di Kalimantan Utara.
Kemenangan
perang pihak Barat di masa itu terhadap kita, sekaligus membuka kemenangan
sementara bagi mereka di medan perang Asia Tenggara. Kemenangan tersebut
terkenal sebagai hasil dari Operasi Intelijen Strategis, yang menggunakan
kekuatan kita untuk menghancurkan diri kita sendiri.
Kemenangan
perang melalui operasi intelijen strategis telah terbukti di dalam sejarah
dunia, jauh lebih efisien dari pada pengerahan kekuatan Angkatan Perang.
Namun sejarah dunia menulis pula, bahwa ternyata mereka juga tidak pernah
belajar dari sejarah. Pengerahan Angkatan Perang Amerika Serikat yang
super-modern, sepuluh tahun kemudian akhirnya terbukti menderita kegagalan yang
memalukan di Vietnam Selatan pada tahun 1974. Apa yang menimpa mereka itu sama
dengan yang kita alami pada periode 1974-1976 setelah mengerahkan tentara dan
polisi secara besar-besaran ke Timor Timur, yang 25 tahun kemudian memberi
pelajaran yang sangat menyakitkan bagi seluruh bangsa Indonesia.
Hal
tersebut berbeda sekali dengan pengalaman kita ketika mengatasi pemberontakan
DI/TII di Jawa Barat pada dasawarsa 1950-an, karena operasi intelijen strategis
RI telah terlebih dahulu berhasil memecah belah kesatuan konsep antara Imam NII
Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dengan Kolonel TII Abdul Fatah
Wirananggapati.
Intelijen
kita mulai melancarkan penggalangannya ketika Abdul Fatah Wirananggapati
melantik Daud Beur’euh sebagai Wali Imam NII di daerah Aceh. Berawal dari
keberhasilan operasi intelijen strategis itu, kemudian Operasi Teritorial telah
dilancarkan dalam bentuk Perlawanan Rakyat Semesta ‘Pagar Betis’ oleh rakyat
Priangan. Akhirnya Operasi tersebut berhasil dengan gemilang, untuk mengakhiri
pemberontakan NII.
Namun
sayangnya di era perang asimetris ini para disciples (murid pengikut) mereka
kini bangkit kembali, dengan modal ideologi politik yang belum sepenuhnya
bersih. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya perubahan yang mendasar pada
tataran kebijakan (policy), dalam intelijen negara kita.
Perubahan
yang mendasar itu terkait dengan perubahan sistem politik negara RI, dari
sistem otoritarian ke sistem demokrasi liberal. Sisa-sisa ideologi masa lalu
dalam era liberalisme transisional kini, mendapatkan pintu yang terbuka-lebar
bagi berkembangnya berbagai macam aliran, yang secara kontekstual adalah
fundamentalisme agama.
Terhadap
mereka kita tidak lagi dapat mengidentifikasi sebagai ancaman empirik, terhadap
keamanan negara kita seperti dulu. Ancaman aktual terhadap negara-bangsa kita
yang memegang teguh empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka
Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kini bersifat asimetrik dan
non-teritorial.
Ancaman
tersebut dapat datang dari bangsa asing (seperti dalam kasus Umar Faruq cs dari
Al-Qaeda di Poso pada 2001) yang menyebabkan saling bantai antar bangsa
Indonesia, tetapi juga bisa datang dari bangsa kita sendiri (seperti para
teroris lokal yang berideologi fundamentalis agama) yang melakukan bom bunuh
diri dan membunuh bangsanya sendiri.
Dengan
demikian berarti, bahwa ancaman terhadap negara proklamasi 17 Agustus 1945 ini
bukan hanya datang dari lingkungan eksternal, tapi juga internal. Perang global
dan juga perang lokal yang abstrak adalah Perang Urat Syaraf (PUS) atau disebut
juga Psychological Warfare (Psywar) Operation.
Dalam
perang ini jawabannya bukan serta-merta dengan pengerahan tentara dan polisi
secara besar-besaran, tetapi harus dijawab dengan operasi intelijen strategis
dalam koridor Undang-Undang, yang sesuai dengan kehendak politik rakyat di
negara demokrasi Republik Indonesia yang tetap berpedoman pada empat pilar
kebangsan kita.
Ancaman
bagi kedaulatan negara-bangsa kita kini justru menjadi semakin kompleks dan
rumit. Terorisme, misalnya, tidak dapat dikenali dalam terminologi perang
simetrik. Para pengambil kebijakan baik dari kalangan sipil maupun militer,
perlu memahami jenis-jenis ancaman baru ini dan harus berani menerapkan metoda
yang paling tepat untuk mencegah serta menangkalnya. Pemahaman baru tersebut
perlu berpijak pada paradigma atau model yang juga baru. Paradigma ancaman
dalam perang asimetrik, kini telah bergeser menjadi ancaman abstrak, di mana
intelijen negara Republik Indonesia memegang peranan yang semakin sentral dalam
menghadapinya.
Allen Pope dan PRRI/Permesta
Di
tahun 1958 pernah terjadi gelombang protes di depan Kedutaan Besar Amerika
Serikat di Jakarta. Mereka menyuarakan agar Allan Pope dihukum mati.
Allen
Lawrence Pope, begitu nama lengkapnya, adalah kaki tangan CIA yang ditugaskan
melakukan penyusupan ke dalam gerakan pemberontakan di Indonesia, untuk
menggulingkan pemerintahan Soekarno. Diantaranya pemberontakan PRRI/Permesta.
Ketika
armada gabungan TNI menggempur Permesta (gerakan pemberontakan di Sulawesi
Utara), Allen Pope membantu para pemberontak dengan serangan udara. Allen Pope
dengan pesawat pembom B-26 Invader AUREV berupaya mengebom armada gabungan TNI
yang terdiri dari (pasukan marinir, pasukan gerak cepat AU, dan AD), saat
berlangsung pertempuran di pulau Morotai.
Serangan
udara Allen Pope berhasil dipatahkan armada gabungan TNI dengan menembak jatuh
pesawat tempur yang dikendalikannya. Pesawat pembom B-26 Invader AUREV yang
dikendalikan Allen Pope setelah menyerang kota Ambon kemudian berusaha
melepaskan bom ke arah KRI Sawega, namun gagal.
Maka
serangan balasan pun terjadi: semua pasukan yang ada di atas kapal mengarahkan
senjatanya ke pesawat pembom B-26 Invader AUREV yang dikendalikan Allen Pope.
Termasuk serangan udara dari pesawat P-51 Mustang yang dikendalikan Kapten
(Pnb) Dewanto.
Allen
Lawrence Pope kelahiran Miami (USA) Oktober 1928, setelah drop out dari
Universitas Florida, kemudian belajar terbang di Texas dan bekerja sebagai
co-pilot pesawat angkut. Di tahun 1953, Pope menjadi sukarelawan dalam Perang
Korea, dengan misi khusus terbang malam hari ke belakang garis pertahanan
lawan.
Usai
menjadi sukarelawan pada perang Korea, Pope mulai direkrut CIA, dan ditempatkan
di sebuah perusahaan penerbangan CAT (Civil Air Transport) yang berpusat di
Taiwan, sebuah perusahaan kamuflase yang berada di bawah kendali CIA.
Dari
Taiwan, Pope yang saat itu menjadi kapten untuk pesawat C-47 Dakota, kemudian
menjalankan tugas khusus di Vietnam (pertempuran di Dien Bien Phu) dan Laos.
Dari Vietnam, Pope kemudian ditugaskan membantu pemberontak Permesta
(Perjuangan Semesta).
Dukungan
Amerika Serikat (AS) kepada Permesta berupa disediakannya sekitar 10 pesawat
pembom-tempur termasuk penerbang, salah satunya Allen Pope, yang ditugaskan
sebagai pilot AUREV (Angkatan Udara Revolusioner) yang berpangkalan utama di
Mapanget (kini Bandara Sam Ratulangi), Sulawesi Utara di bawah pimpinan Mayor
Petit Muharto.
Target
gempuran Aurev saat itu adalah lapangan terbang Mandai (kini Bandara
Hasanuddin) di Makassar, pelabuhan Donggala, Balikpapan, Ambon, Ternate, dan
tempat lainnya. Termasuk kapal perang TNI AL RI Hangtuah yang sedang buang sauh
di pelabuhan Balikpapan, dibom hingga kemudian tenggelam.
Usai
dihujani tembakan oleh armada gabungan ABRI kala itu, Allen Pope menyelamatkan
diri dengan parasut dan tersangkut di pohon kemudian jatuh terhempas di karang
dengan paha robek. Ketika ditangkap, dari dokumen yang ada diketahui Pope punya
kode 11 (sebelas) sebagai tentara sewaan yang digerakkan CIA (Central
Intelligence Agency) untuk mengacau Pasifik.
Permesta (Perjuangan
Semesta) diproklamasikan di Makassar pada tanggal 02 Maret 1957, dengan
dukungan 50 tokoh militer dan sipil Indonesia Bagian Timur. Gerakan separatis
ini dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual.
Reaksi
pemerintah pusat saat itu, mengumumkan pemecatan dengan tidak hormat terhadap
Letkol H.N. Ventje Sumual, Mayor D.J. Somba, dan sebagainya.
Semula
pusat gerakan berada di Makassar yang saat itu menjadi ibukota Sulawesi.
Kemudian dipindahkan ke Manado, pada tahun 1958.
Motifnya,
ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat. Juga, merasa berhak menentukan
nasib sendiri (self determination), yang dipahami sebagai konsekuensi dari
lahirnya sejumlah kesepakatan dekolonisasi, seperti Perjanjian Linggarjati,
Perjanjian Renville, dan Konferensi Meja Bundar, yang berisi prosedur
dekolonisasi atas bekas wilayah Hindia Timur.
Dugaan
keterlibatan pemerintah AS semakin menguat pasca tertangkapnya Allen Pope.
Dukungan AS saat itu berupa mendatangkan penasehat militer, memberikan bantuan
amunisi, mitraliur anti pesawat terbang. Juga, memperkuat Angkatan Perang
Revolusioner (AUREV) dengan mendatangkan sejumlah pesawat terbang. Yaitu, pesawat
pengangkut DC-3 Dakota, pesawat pemburu P-51 Mustang, Beachcraft, Consolidated
PBY Catalina dan pembom B-26 Invader.
Dukungan
kepada Permesta juga datang dari sejumlah negara Asia yang pro Barat, seperti
Taiwan, Korea Selatan, Philipina serta Jepang.
Tertangkapnya
Allan Pope menjadi titik balik. Dukungan kepada Permesta serta-merta ditarik.
Maka, puncaknya adalah kembali ke pangkuan NKRI. Di tahun 1960 Permesta
menyatakan kesediaanya berunding dengan Pemerintah Pusat.
Pihak
Permesta diwakili oleh Mayor Jenderal Alex Evert Kawilarang (Panglima Besar
Angkatan Perang Permesta), sedangkan Pemerintah Pusat diwakili oleh Kepala Staf
Angkatan Darat Letnan Jenderal A.H. Nasution. Saat itu tercapai kesepakatan,
pasukan Permesta akan membantu TNI untuk menghadapi pihak Komunis di Jawa.
Pada
tahun 1961 Pemerintah Pusat melalui Keppres 322/1961 memberi Amnesti dan
Abolisi kepada mereka yang pernah terlibat pemberontakan PRRI dan Permesta.
Termasuk, bagi anggota DI/TII (di Jawa Barat, Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan
dan Sulawesi Selatan).
Bila
suara separatisme Permesta bergema di Sulawesi, maka PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia), bergema dari Sumatera Barat. Deklarasi PRRI
dimotori oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, pada tanggal 15 Februari
1968. Selang dua hari, gerakan protes ini mendapat dukungan dari Permesta di
Sulawesi.
Motifnya,
ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, yang saat itu kondisinya belum pulih
akibat agresi Belanda. Sehingga, mempengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan
daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada
daerah-daerah di luar pulau Jawa.
Selain
itu, ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat juga disebabkan oleh
dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom
provinsi Sumatera Tengah yang mencakup wilayah Sumatera Barat, Riau,
Kepulauan Riau, dan Jambi.
Meski
PRRI oleh penggeraknya dikatakan bukan tuntutan pembentukan negara baru atau
pemberontakan, namun pemerintah pusat memaknai hal itu merupakan proklamasi
pemerintahan tandingan, sehingga perlu diberangus dengan kekuatan militer.
Gerakan DI/TII
Bila
gerakan PRRI/Permesta merupakan contoh bagaimana intelijen militer asing
melakukan infiltrasi dan penetrasi ke dalam tubuh TNI, yang kemudian berujung
pada gerakan perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia. Maka, gerakan
DI/TII dapat dijadikan contoh bagaimana peranan intelijen strategis kita
mengatasi gerakan separatis tersebut.
Gerakan
DI/TII berawal dari kekecewaan SM Kartosoewirjo terhadap isi Perjanjian
Renville yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, oleh pihak
Indonesia dan Belanda. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir
Syarifuddin Harahap, sedangkan delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel
KNIL R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo.
Isinya,
pertama, Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai
bagian wilayah Republik Indonesia. Kedua, disetujuinya sebuah garis demarkasi
yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda. Ketiga, TNI
harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di
Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta.
Kartosoewirjo
termasuk yang tidak bersedia mematuhi hasil Perjanjian Renville tersebut, dan
terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda. Apalagi setelah
Soekarno dan Hatta ditangkap di Yogyakarta, Kartosewirjo menganggap Negara
Indonesia telah kalah dan bubar. Kemudian ia mendirikan Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus 1949, di wilayah yang masih
dikuasai Belanda waktu itu, Kartosoewirjo menyatakan berdirinya Negara Islam
Indonesia (NII).
Perjanjian
Renville bukanlah akhir dari sebuah perjalanan diplomasi. Masih ada Perjanjian
Roem-Roijen antara Indonesia dengan Belanda. Perjanjian yang dimulai 14
April 1949 menghasilkan kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949
di Hotel Des Indes, Jakarta.
Isinya,
pertama, angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas
gerilya. Kedua, pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja
Bundar. Ketiga, pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta. Keempat,
angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan
membebaskan semua tawanan perang.
Pada
Konferensi Meja Bundar yang berlangsung di Den Haag pada tanggal 23 Agustus
1949 hingga 2 November 1949, akhirnya disepakati bahwa Kerajaan Nederland
menyerahkan kedaulatan atas Indonesia sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat, kecuali Irian Barat.
Belakangan,
Irian Barat pun berhasil direbut melalui Operasi Trikora (Pembebasan
Irian Barat). Setelah Soekarno pada Desember 1961 mengumumkan pelaksanaan
Trikora dan membentuk Komando Mandala, Irian Barat kembali ke pangkuan RI pada
1963.
Sikap
Kartosoewirjo memproklamasikan NII karena menganggap RI telah kalah dan bubar,
merupakan sikap terburu-buru. Sebagai negarawan, sikap itu kurang bijaksana.
Terbukti hingga kini NKRI tetap utuh dari Sabang sampai Merauke. Tanpa
sejengkal tanah pun yang bisa diambil oleh Kerajaan Nederland.
Gerakan
DI/TII di Jawa Barat ini kemudian diatasi dengan operasi militer yang disebut Operasi
Bharatayuda, dengan taktis Pagar Betis. Pada Juni 1962, Kartosoewirjo berhasil
ditangkap, kemudian pengikutnya mendapat pengampunan dari pemerintah.
Gerakan
DI/TII juga menyebar hingga ke Jawa Tengah (terutama Tegal, Brebes dan
Pekalongan), di bawah pimpinan Amir Fatah. Gerakan ini ditumpas melalui operasi
militer Banteng Raiders.
Sedangkan
gerakan DI/TII Aceh dimpimpin oleh Tengku Daud Beureueh. Pada 21 September 1953
ia memproklamasikanAceh sebagai bagian dari NII pimpinan Kartosoewirjo. Gerakan
separatis ini timbul akibat adanya berbagai masalah. Antara lain, status Aceh
yang semula Daerah Istimewa (setingkat provinsi) diturunkan menjadi karesidenan
di bawah Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan pemerintah pusat tersebut ditentang
oleh Daud Beureuh. Berbeda dengan Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII di Aceh
diselesaikan dengan kombinasi operasi militer dan musyawarah. Pada tanggal
17-28 Desember 1962 diselenggarakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Melalui
musyawarah tersebut dicapai kesepakatan damai.
Gerakan
DI/TII Sulawesi Selatan lahir sebagai akibat dari kekecewaan Kahar Muzakar
terhadap pemerintah pusat. Tuntutan Kahar agar KGSS (Kesatuan Gerilya Sulawesi
Selatan) dimasukkan ke dalam Brigade Hasanuddin, ditolak karena sebagian besar
anggotanya tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Sebagai solusinya,
pemerintah menyalurkan mereka ke CTN (Corps Tjadangan Nasional). Namun saat
dilantik (17 Agustus 1951), Kahar Muzakar beserta pengikutnya melarikan diri ke
hutan. Kemudian pada 7 Agustus 1953 ia mengubah nama pasukannya menjadi TII
(Tentara Islam Indonesia) yang dinyatakan sebagai bagian dari DI/TII
Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Gerakan ini diatasi dengan operasi
militer, hingga Kahar tewas tertembak pasukan TNI pada 3 Februari 1965.
Gerakan
DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibu Hajar. Gerakan ini juga lahir
dari kekecewaan terhadap pemerintah pusat. Untuk memperkuat keberadaannya, Ibnu
Hajar yang memimpin pasukan Kesatuan Rakyat yang Tertindas meminta bantuan
kepada Kartosoewirjo dan Kahar Muzakar. Akhir 1954, Ibnu Hajar secara resmi
menyatakan bergabung ke dalam NII pimpinan Kartosoewirjo. Gerakannya diatasi
dengan operasi militer. Pada Maret 1965, pengadilan militer menjatuhkan hukuman
mati.
Intelijen
merupakan pedoman atau penunjuk jalan bagi kehidupan kebangsaan, dengan tujuan
melakukan pencegahan, penangkalan dan penanggulangan setiap ancaman terhadap
keamanan nasional.
Peranan
intelijen sebagai pedoman atau penunjuk jalan bagi kehidupan kebangsaan, akan
semakin mumpuni dengan mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat,
antara lain tidak adanya fenomena intelijen phobia, yang cenderung salah di
dalam memaknai intelijen. Kedua, didukung oleh the criminal justice system yang
kondusif. Serta, ketiga, dilengkapi dengan supporting tools yang selalu
terbarukan.
Pada
awal kemerdekaan intelijen kita sudah membuktikan mampu menghadapi infiltrasi
dan penetrasi intelijen asing ke dalam kehidupan berbangsa kita. Juga, mampu
membuktikan dapat mengatasi potensi separatisme-radikalisme yang lahir dari
ketidak-puasan daerah terhadap pemerintah pusat pada masa itu.
Kini
AGHT (ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan) yang dihadapi intelijen
berubah mengikuti dinamika global, sehingga peranan intelijen tentu saja
dituntut lebih prima.
Ancaman ialah segala
usaha yang bersifat merubah atau merombak kebijaksanaan secara konsepsional
dari sudut kriminil atau kemampuan. Gangguan ialah suatu usaha dari luar
yang bersifat atau bertujuan melemahkan atau menghalangi kebijaksanaan, yang
tidak bersifat konsepsional.
Hambatan ialah suatu
usaha yang bersifat atau bertujuan melemahkan atau menghalangi kebijaksanaan,
yang tidak bersifat konsepsional serta berasal dari diri sendiri. Tantangan
ialah merupakan usaha yang menggugah kemampuan.
Daftar Pustaka
Asnan,
Gusti, 2007, Memikir ulang regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Hidayat,
Komaruddin, 2008, Reinventing Indonesia: menemukan kembali masa depan bangsa, PT
Mizan Publika, Jakarta.
Kahin,
Audrey R., 2005, Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatera Barat dan politik
Indonesia 1926-1998, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Lukman
Hakiem, 2008, M. Natsir di panggung sejarah republik, Penerbit Republika,
Jakarta.
Poesponegoro.
Marwati Djoened, Notosusanto. Nugroho, 1992, Sejarah nasional Indonesia: Jaman
Jepang dan zaman Republik Indonesia, PT Balai Pustaka, Jakarta.
Syamdani,
2009, PRRI, pemberontakan atau bukan, Media Pressindo, Yogyakarta.
*Haji Abdullah Makhmud Hendropriyono,
merupakan orang pertama di dunia yang dikukuhkan sebagai Guru Besar (Profesor) di bidang Ilmu
Intelijen pada 07 Mei 2014. Jenderal TNI (Purnawirawan) ini dilahirkan di
Yogyakarta pada 7 Mei 1945. Menempuh pendidikan umum: SR Muhammadiyah Jl.
Garuda 33 Kemayoran di Jakarta, SMP Negeri V bag B (Ilmu Pasti) Jl. Dr. Sutomo
di Jakarta, SMA Negeri II bag B (Ilmu Pasti) Jl. Gajah Mada di Jakarta. Pendidikan
militer diperoleh di Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang (lulus 1967),
Australian Intelligence Course
di Woodside (1971), United States
Army General Staff College di Fort Leavenworth, Amerika Serikat
(1980), Sekolah Staf dan Komando (Sesko) ABRI, yang lulus terbaik pada 1989
bidang akademik dan kertas karya perorangan dengan mendapat anugerah Wira Karya
Nugraha. Selesai sebagai peserta KSA VI Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)
dengan predikat prestasi tinggi. Beberapa latihan ketrampilan militer yang
pernah diikutinya antara lain adalah Para-Komando, terjun tempur, terjun bebas
militer (Military Free Fall) dan penembak mahir.
Karir
militer AM Hendropriyono diawali sebagai Komandan Peleton dengan pangkat Letnan
Dua Infantri di Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang kini bernama
Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD. Ia kemudian menjadi Komandan
Detasemen Tempur Para-Komando, Asisten Intelijen Komando Daerah Militer Jakarta
Raya/Kodam Jaya (1986), Komandan Resor Militer 043/Garuda Hitam Lampung
(1988-1991), Direktur Pengamanan VIP dan Obyek Vital, Direktur Operasi Dalam
Negeri Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI (199I-1993). Panglima Daerah
Militer Jakarta Raya dan Komandan Kodiklat TNI AD. Berbagai operasi militer
yang diikutinya adalah Gerakan Operasi Militer (GOM) VI, dua kali terlibat
dalam Operasi Sapu Bersih III dan dua kali dalam Operasi Seroja di Timor Timur
(sekarang bernama Timor Leste).
Pendidikan
umum AM Hendropriyono menjadikannya sebagai sarjana dalam Administrasi dari
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara (STIA-LAN), Sarjana Hukum dari Sekolah
Tinggi Hukum Militer (STHM), Sarjana Ekonomi dari Universitas Terbuka (UT)
Jakarta, Sarjana Teknik Industri dari Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani)
Bandung, Magister Administrasi Niaga dari University of the City of Manila Filipina, Magister di
bidang hukum dari STHM dan pada bulan Juli 2009 meraih gelar doktor filsafat di
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dengan predikat Cum Laude.
Dalam
birokrasi pemerintahan RI, AM Hendropriyono pernah menduduki berbagai jabatan
yang berturut-turut: Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan Republik
Indonesia (1996-1998), Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (PPH)
dalam Kabinet Pembangunan VII, Menteri Transmigrasi dan PPH dalam Kabinet
Reformasi yang kemudian merangkap Menteri Tenaga Kerja. Pada periode tahun
2001-2004 sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) di Kabinet Gotong Royong.
AM Hendropriyono merupakan penggagas lahirnya Sekolah Tinggi Intelijen Negara
(STIN) di Sentul Bogor dan Dewan Analis Strategis (DAS) di Badan Intelijen
Negara. Ia mendedikasikan ilmunya dengan mengajar Filsafat Hukum di Sekolah
Tinggi Hukum Militer Jakarta, Pasca Sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada
dan pengajar di Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, dengan jabatan Lektor
Kepala terhitung sejak tanggal 1 Maret 2002 sampai sekarang.
Ia
juga penyandang berbagai kehormatan negara RI, dalam wujud bintang dan tanda jasa antara lain:
Bintang Mahaputera Indonesia Adipradana, Bintang Kartika Eka Paksi
Nararya-prestasi, Bintang Bhayangkara Utama, Bintang Yudha Dharma, Bintang
Dharma, Satya Lencana Bhakti untuk luka-luka di medan pertempuran, serta
anggota Legiun Veteran Pembela Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar