Oleh Majlis Ma’arif Nahdhatul Ulama
Matahari bersinar garang, tepat di atas kepala-kepala berbalut
sorban yang telah basah bermandikan keringat dan debu. Seorang pria setengah
baya berteriak keras, “Hentikan pertempuran! Waktu Zhuhur telah tiba, kita
harus shalat!!” Sia-sia. Suara pria gagah itu lenyap ditelan gemuruh ribuan
pasukan musuh yang terus merangsek maju. Ia mengeluh. Perlahan ia memutar
pandangan ke sekelilingnya. Satu.. dua.. tiga.. hanya tinggal belasan orang
saja kerabatnya yang masih bertahan hidup. Dengan tenaga yang masih tersisa
pedang mereka menebas ke kanan dan ke kiri, menumbangkan satu persatu musuh
yang mencoba mendekat.
Pria yang berjuluk Sayyid Syabab Ahlil Jannah itu kembali menghela
nafas. Ketika matahari terbit pagi itu, ada tujuh puluh dua orang keluarga dan
sahabat prianya yang berdiri gagah di belakangnya. Namun kini hanya tinggal
beberapa saja...
Memang. Apalah arti tiga puluh dua penunggang kuda dan empat puluh
orang pejalan kaki, dibanding empat ribuan orang pasukan musuh. Satu persatu
anggota pasukan kecil itu tumbang sebagai syahid. Dan ketika matahari mulai
tergelincir ke barat, hanya tinggal orang saja yang tersisa, berjuang membela
harga diri, kehormatan dan kebenaran yang mereka yakini.
Padang tandus itu masih mengepulkan debunya ke udara. Tak hanya
pengap gurun yang tercium, udara di tepian sungai Eufrat siang itu juga mulai
menebarkan bau amis darah.
Siang itu, terik mentari padang pasir menjadi saksi sebuah
peristiwa kelam yang terus dikenang hingga saat ini, Perang Karbala. Perang,
yang terjadi antara Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya
melawan tentara Dinasti Umayyah yang dipimpin Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash
dan Syimar bin Dziljausyan, itu nyaris memusnahkan keturunan Rasulullah dari
garis Al-Husain (dan untunglah Ali Zainal Abidin bin Husain tidak gugur sebagai syahid seperti yang lainnya karena saat itu tengah sakit keras di tendanya, yang membuatnya tak mungkin bertempur). Konon, pertempuran tak berimbang yang tak ubahnya pembantaian
itu sudah diramalkan Nabi Muhammad SAW di hari Al-Husain lahir.
Dikisahkan, 57 tahun sebelumnya, ketika mendengar Fatimah Az-Zahra
telah akan melahirkan putra keduanya, Rasulullah segera bergegas menjenguknya.
Tak lama kemudian tangis sang jabang bayi pun pecah. Tangis itu sangat keras,
sekokoh hati pemiliknya. Nabi Muhamad lalu meminta cucunya itu dibawa ke
pangkuannya untuk dibacakan adzan dan iqamah.
Asma binti Umais, sahabat Anshar yang membantu Fatimah saat
melahirkan, segera menggendong bayi merah itu dan menyerahkannya kepada Baginda
Nabi. Setelah diadzani dan diiqamati, sang jabang bayi itu lalu diberi nama
Al-Husain, semakna dengan nama sang kakak yaitu Al-Hasan yang berarti
kebajikan.
Berita dari Jibril
Ketika tengah asyik menciumi sang cucu, tiba-tiba Nabi termangu dan
meneteskan air mata. Umais pun segera bertanya, “Mengapa di hari bahagia ini
Anda menangis, wahai Rasulullah?.” “Jibril baru saja memberitahu kepadaku,
kelak anak ini akan dibunuh oleh sebagian umatku yang durhaka. Jibril juga
menunjukkan tanah di mana Al-Husain terbunuh.”
Ibnul Atsir, dalam tarikh Al-Kamilnya, menceritakan, Nabi pernah
memberikan segumpal tanah berwarna kekuningan kepada Ummu Salamah, salah satu
istri beliau, yang didapat dari Malaikat Jibril. Tanah tersebut, menurut kabar
dari Jibril, berasal dari daerah di mana Al-Husain akan terbunuh dalam sebuah
pertempuran.
Nabi berpesan kepada Ummu Salamah, “Simpanlah tanah ini baik-baik.
Bila warnanya berubah menjadi merah, ketahuilah bahwa Al-Husain telah meninggal
dunia karena dibunuh.” Dan, tepat pada tanggal 10 Muharram 57 H, Ummu
Salamah menyaksikan gumpalan tanah pemberian suaminya berubah warna menjadi
merah. Tahulah ia, cucu kesayangan Rasulullah itu telah meninggal dunia. Ummu
Salamah adalah orang pertama di Madinah yang mengetahui perihal kematian
Al-Husain. Dari mulutnya pula berita duka itu menyebar ke segenap penjuru kota
dan menggemparkannya.
Perang Karbala adalah tragedi terbesar kedua dalam sejarah Islam
setelah beberapa perang saudara pada masa pemerintahan Sayyidina Ali bin Abi
Thalib, yakni Perang Jamal, yang menghadapkan Ali bin Thalib dengan Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah Ummul Mukminin, dan Perang Shiffin,
antara tentara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan kubu Mu’awiyah bin Abu
Sufyan. Sebagaimana perang saudara sebelumnya, Perang Karbala juga menghadapkan
dua tokoh generasi kedua Islam yang merupakan putra sahabat-sahabat terdekat
Nabi, Al-Husain putra Sayyidina Ali dengan Umar putra Sa’ad bin Abi Waqash yang
mewakili Yazid bin Muawiyyah dan gubernurnya di Kufah, Ubaidullah bin Ziyad.
Matahari terus bergerak ke arah barat. Menyadari pasukan musuh sama
sekali tak berniat menghentikan pertempuran, bersama sisa pengikutnya Al-Husain
pun mendirikan shalat khauf, shalat darurat di tengah medan perang. Di antara
mereka tampak adik tirinya, Abbas; putra kedua Al-Husain, Ali Al-Akbar; dan
kemenakannya, Qasim bin Hasan bin Ali. Bergantian mereka melaksanakan ruku’ dan
sujud, sementara yang lain berusaha melindungi dengan pedang dan tombak.
Matahari semakin menyengat ketika shalat khauf usai. Kembali Imam
Husain dan para pengikutnya berjuang mempertahankan diri. Dan kembali, satu
persatu anggota pasukan kecil itu berguguran, hingga akhirnya tinggal
Al-Husain, Ali Al-Akbar bin Al-Husain, dan Abbas saja yang tersisa.
Dengan gagah berani Ali Akbar menerjang musuh dan berhasil
menumbangkan tiga atau empat orang musuh sebelum sebuah sabetan pedang
membuatnya terluka parah. Ia mundur mendekati sang ayah karena merasa sangat
kehausan. Namun sejak pagi, persediaan air rombongan Al-Husain telah habis.
Sementara untuk mengambil dari sungai Eufrat yang tak seberapa jauh juga tak
memungkinkan, karena ribuan tentara Umayyah berbaris menjaganya.
Dengan wajah iba Al-Husain menentramkan putranya, “Bersabarlah
anakku, sebelum petang Datukmu Rasulullah SAW akan datang untuk memberimu minum
dengan kedua tangan beliau yang mulia.”
Kemenakan Tercinta
Mendengar ucapan sang ayah yang menjanjikan kesyahidan, semangat
Ali Akbar kembali tersulut. Ia segera kembali ke tengah pertempuran dan
menumbangkan dua atau tiga lawan. Langkah pemuda pemberani itu terhenti ketika
sebatang anak panah menembus lehernya. Ali Akbar menghembuskan nafas
terakhirnya di pangkuan sang ayahanda.
Tiba-tiba dari dalam tenda seorang perempuan menghambur keluar dan
berlari menuju Imam Husain yang tengah memangku jasad Ali Akbar. Tangisnya pecah
saat memeluk jenazah kemenakan tercintanya. “Terkutuklah orang-orang yang telah
membunuhmu, Anakku,” raung Zainab binti Ali, adik kandung Al-Husain. Kematian
Ali Akbar menggenapkan dukanya setelah sepagian melihat tiga putranya Aun
Al-Akbar, Muhammad dan Ubaidullah gugur di medan perang Karbala.
Al-Husain, sambil membawa jenazah Ali Akbar, segera menarik adiknya
kembali ke tenda. Tiba-tiba dari arah belakang kemudian terdengar teriakan
seorang bocah kecil, “Hai orang jahat! Kau mau membunuh pamanku?.”
Dengan berani anak itu menghadang laju seorang prajurit Umayyah
yang akan membokong Al-Husain. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat kayu.
Sejurus kemudian Qasim bin Hasan bin Ali, demikian nama anak yang baru
menginjak remaja itu, menjerit karena seorang tentara musuh menebas putus
tangan mungilnya.
Al-Husain segera meraih remaja yang mewarisi ketampanan ayahandanya
itu. Dengan lembut ia berbisik di telinga kemenakan kecilnya, “Tabahkan
hatimu, anakku sayang. Allah akan segera mempertemukanmu dengan ayah dan
kakekmu.”
Kini hanya tersisa Al-Husain dan adik tirinya Abbas bin Ali.
Penatnya bertempur seharian dan teriknya matahari siang membuat dahaga keduanya
tak tertahankan lagi. Mereka pun nekat menerobos barisan tentara Umayyah yang
menjaga tepian sungai Eufrat. Berhasil. Dengan tergesa keduanya menciduk air
dengan kedua telapak tangannya.
Namun sebelum dahaga itu terobati, hujan anak panah membuat Abbas
rebah tak bangun lagi. Sebatang anak panah juga menghujam pipi Al-Husain.
Dengan pilu dicabutnya anak panah dan menutup lubangnya dengan telapak tangan.
Kepala suami Syahbanu, putri Kerajaan Persia-Sassanid, itu kemudian tengadah dan berdoa,
“Ya Rabb, hanya kepada-Mu aku mengadu. Lihatlah perlakuan mereka terhadap cucu
rasul-Mu.”
Matahari telah condong di ufuk barat. Waktu Ashar yang telah datang
menjelang menjadi saksi Al-Husain yang tinggal berjuang sendirian. Wajahnya
nampak lelah, meski tak mengurangi sorot keberaniannya, dan sekujur tubuhnya
dipenuhi luka senjata.
Puluhan anggota pasukan Umayyah mengurungnya. Namun seperti
tersihir, tak satupun yang berani mengayunkan pedang ke arah Imam Husain.
Nampaknya ada keraguan yang menyelimuti benak masing-masing pasukan. Mereka
tengah menimbang, “Beranikah menanggung resiko menjadi orang yang menghabisi
nyawa cucu Rasulullah?.”
Sementara Al-Husain, dengan segala kewibawaan dan harga diri yang
diturunkan ayah dan kakeknya, berdiri di tengah-tengah dengan pedang teracung.
Ia berseru lantang, “Apa yang membuat kalian ragu membunuhku. Majulah. Demi
Allah, tidak ada pembunuhan yang lebih dibenci Alah dari pada pembunuhanku ini.
Sungguh Allah akan memuliakanku, dan menghinakan kalian.”
Pahlawan Karbala
Melihat Al-Husain sendirian di tengah kepungan musuh, Zainab –yang
belakangan di kenal sebagai Bathalah Karbala, pahlawan Karbala—berseru,
“Mudah-mudahan langit ini runtuh.” Ketika itulah Umar bin Sa’ad, sang panglima
tentara Umayyah, melintas. Zainab pun memanggilnya, “Hai Umar, tega sekali kau
melihat Husain dibunuh di depan matamu.” Umar tertegun, matanya nampak
berkaca-kaca, namun ia segera berlalu.
Tiba-tiba Syimar Dzil Jausyan mendekati kepungan. Melihat anak
buahnya tak ada yang berani menyerang al-Husain, ia pun membentak, “Terkutuk
kalian semua! Apa yang kalian tunggu? Cepat bunuh dia! Khalifah akan memberikan
hadiah yang besar bagi kalian.”
Bentakan itu seakan membangunkan mereka dari mimpi. Zara bin Syarik
mengayunkan pedangnya hingga memutuskan lengan kiri Al-Husain. Masih dalam
keadaan limbung, tombakan Sinan bin Nakhi merobohkan tubuh cucu baginda Nabi
itu ke tanah. Melihat teman-temannya masih diam tertegun, Sinan segera turun
dari punggung kudanya dan memenggal kepala Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Al-Husain wafat pada tanggal 10 Muharram 61 H, lima puluh tujuh tahun setelah
Rasulullah mendapat kabar kematiannya dari Malaikat Jibril.
Demikianlah. Episode pilu hari itu ditutup dengan digelandangnya
wanita-wanita Ahlul Bait dan Bani Hasyim beserta anak-anak mereka menuju kota
Kufah, menghadap sang arsitek Perang Karbala, yakni Gubernur Ubaidullah bin
Ziyad. Dengan tangan terbelenggu dan pakaian ala kadarnya, wanita-wanita mulia
itu digiring sebagai tawanan perang. Beberapa hari kemudian rombongan
manusia-manusia paling utama di zamannya itu kembali digelandang menuju
Damaskus, Syiria, untuk dihadapkan kepada Yazid bin Umayyah bin Abu Sufyan, penguasa tertinggi
pemerintahan Dinasti Umayyah.
Para penguasa Umayyah mungkin tak menyadari, peristiwa 10 Muharram
61 H itu akan dikenang sepanjang masa sebagai bagian terkelam dalam sejarah
peradaban Islam dan mendudukan mereka sebagai penjahat yang harus dimusuhi
sepanjang masa. Terbukti dengan meletusnya pemberontakan demi pemberontakan
berdarah yang mengatasnamakan penuntutan balas kematian Al-Husain, hanya
berselang tujuh atau delapan tahun setelah insiden Karbala’. Sampai di sini berakhirlah episode perang Karbala’, yang kembali
dikisahkan bukan untuk memedihkan lagi luka sejarah itu, namun untuk sekedar
mengingatkan, betapa perpecahan antar umat Islam sebaiknya tidak terjadi lagi.
1 komentar:
loe blom liat ulama syii ceramah diatas mimbar langsung dari pusat ajaran Syiah Rafidhoh di Qom, Najaf/Kufah, Mashad yaa..??
Mereka para Ulama Syiah Rafidhoh tanpa taqiyah malah mencela cela Allah SWT & Rasulnya dari atas mimbar. Nama Allah berusaha disamakan dengan Ali.
Ajaran Syiah anda adalah ajaran yg menentang Allah & Rasulnya, Tobat segera bro, tinggalkan akidah Syiah yg menyesatkan & ghuluw ini.
Posting Komentar