Ustad Husein Al-Habsyî
yang banyak meluangkan umurnya untuk berkiprah dalam dunia Islam sehingga telah
banyak menghasilkan karya-karya cemerlang memberikan komentar tentang ayat-ayat
dalam Surah ‘Abasa, telaahnya telah memberikan hasil berbeda dengan pendapat
pada umumya yang mengatakan bahwa Rasul mendapat teguran dalam Surah ‘Abasa ini.
Dan sebelum menelaah lebih jauh atas ayat-ayat tersebut, beliau melakukan
penyelidikan terhadap hadîts yang dijadikan bukti sebab turunnya ayat ‘Abasa.
Dan dari hasil penyelidikan tersebut adalah:
[a] Kitab hadîts Shahîh Bukhârî dan Shahîh Muslim tidak meriwayatkannya, jadi hadîts yang menyatakan Rasul bermuka masa tidak muttafaq alaih atau tidak disepakati.
[b] Terdapat beberapa perawi yang ganjil yakni:
1. Yahyâ ibn Sa’îd
Yang merupakan seorang penulis sejarah hidup Rasul saww, sedangkan Imam Ahmad ibn Hanbal tidak begitu mengandalkannya karena ia bukan termasuk Ahli Hadîts.
2. ‘Urwah ibn Zubeir
Dia termasuk nashîbî, nashîbî adalah pembenci keluarga Rasul, dengan demikian menurut Ibn Hajar Al-Atsqalanî bahwa riwayat orang yang nashîbî dianggap lemah dan tidak dapat dipercaya.
3. Hisyâm ibn ‘Urwah
Menanggapi Hisyâm ibn ‘Urwah ini, Ibn Hajar Al-Atsqalanî menganggapnya sebagai Mudallis (menyandarkan riwayat bukan pada orang yang sebenarnya), dengan demikian riwayatnya tidak dapat dipercaya.
4. ‘Aisyah Ummul Mu’minin
Kalau kita lihat kembali bahwa ayat-ayat Surah ‘Abasa tersebut adalah ayat Makkiyah, sedangkan Ummul Mu’minin ‘Âisyah ra masih kecil. Sehingga kita ragukan dari mana beliau mendengar hadîts (yang menyatakan Rasul bermuka masam) tersebut.
Beliau juga mengatakan bahwa adanya tiga struktur sosial dalam sejarah yang berkaitan dengan turunnya Surah ‘Abasa ini. Pertama yakni Nabi Muhammad saw yang merupakan penghulu para rasul yang suci. Kedua, Ibn Ummî Maktûm, yang berstatuskan seorang sahabat miskin dan buta. Dan Al-Walîd ibn Al-Mughîrah seorang kafir Quraisy kaya bersama kawan-kawannya.
Sutrktur sosial yang pertama adalah barisan para Nabi as. Struktur ini dalam Al-Qur’ân digambarkan sebagai manusia-manusia yang selalu tampil di panggung sejarah apabila manusia telah lupa terhadap eksistensi dirinya sendiri dan mengesampingkan Tuhan-nya, manakala arah dan orientasi hidupnya berada dalam ideologi-ideologi yang bersifat materialis-individualis. Di situlah agama telah berubah maknanya, seharusnya apa yang semangatnya berasal dari Rasul pembawa risalah Tuhan yang membawa dan menimbulkan perubahan-perubahan terhadap kehidupan manusia.
Adapun struktur sosial kedua, yang diwakili oleh Ibn Ummî Maktûm. Ia adalah simbol kaum yang menanggung beban berat setiap harinya, yang mengisi ukiran peristiwa sejarah berupa dengan penderitaan dan ketertindasan, dan yang kehilangan hak-hak hidup sebagai manusia yang tersisa di dalam masyarakat. Ciri khas struktur sosial ini adalah beriman kepada Allâh dan Rasûl-Nya serta segala yang disampaikan kepada Rasul-Nya. Ibn Ummî Maktûm dalam episode ini adalah salah satu contoh dari sekian banyak orang-orang lemah, fuqarâ’ wa al-masâkîn yang penuh dengan ketulusan hidup di jalan Allah SWT. Struktur sosial inilah yang selalu hidup didekat para Nabi as.
Dan yang ketiga, adalah Al-Walîd ibn Al-Mughîrah, yakni kaum tiran yang selalu menginginkan kekuasaan demi kepentingan individual dan material semata. Kelompok ini selalu mengadakan penekanan, penindasan dan berbagai ragam kejahatan dari yang paling halus sampai yang terang-terangan demi mencapai tujuan mereka, tidak jarang mereka menggunakan agama yang kebenarannya telah mereka putar-balikkan. Kelompok ini adalah mereka yang cenderung merusak fondasi-fondasi agama dan orang-orang yang selalu gigih untuk menginginkan lenyapnya risalah Tuhan.
Menurut Ijma’ kaum muslimin bahwa Nabi saww diwajibkan untuk menerima wahyu dan menyampaikan kepada manusia serta memperagakannya dengan ishmah yang sepenuhnya. Kalau Kaum Wahâbî mengatakan bahwa Nabi saww ma’shum hanya dalam menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’ân saja, maka bagaimana pendapat mereka tentang ke-ma’shum-an beliau dalam mewujudkannya? Kalau dia ma’shum dalam mewujudkannya, mungkinkah ia bertentangan dengan isi Al-Qur’ân? Kalau tidak, maka dia bisa salah dalam mewujudkannya, termasuk dalam hukum-hukum?
Tak seorang muslim pun meragukan bahwa ayat Al-Qur’ân turun kepada Nabi saww, namun juga tak seorang muslim pun berpendapat bahwa seluruh ayat Al-Qur’ân turun karena tingkah laku Nabi saww. Boleh jadi Al-Qur’ân turun untuk teguran bagi umat manusia. Dengan kata lain Al-Qur’ân turun bukan untuk Nabi, tapi turun kepada Nabi untuk manusia dengan membawa kebenaran. Sebagaimana firman Allâh Surah Al-Zumar ayat 41:
انا أنزلنا عليك الكتاب للناس بالحق فمن اهتدى فلنفسه ومن ضل فانها يضل عليه وما أنت عليهم بوكيل
“Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka.”
Seperti yang diketahui oleh seluruh umat bahwa antara satu ayat atas ayat lainnya itu saling memperkuat dan saling mendukung, akan tetapi mayoritas dari kita memaknai bahwa Surah ‘Abasa ini turun atas teguran kepada Rasulullah saww sehingga memberikan penilaian kepada kita bahwa adanya suatu bentuk kesalahan yang telah dilakukan beliau. Seharusnya, seorang muslim harus gembira dengan pendapat yang menjauhkan Nabi-nya dari perbuatan orang sombong dan kafir, tidak malah meradang-radang dan bersitegang untuk mecemoohkan Nabi Muhammad saww.
Sekali lagi, kenapa justru manusia yang berakhlak agung itu harus dianggap bermuka masam? Dari mana keharusan seperti itu? Ini bertentangan dengan logika. Logika mengatakan, bahwa pribadi orang yang berwatak agung dan suri teladan tidak mungkin bermuka masam. Bagaimana bisa Nabi dikatakan bermuka masam terhadap salah seorang sahabatnya yang lemah (mustad‘af), di saat yang sama beliau saww beramah-tamah dengan golongan-golongan kaum kafir yang jelas-jelas memusuhi Rasul baik secara tersembunyi ataupun terang-terangan?
Suatu catatan yang penting sebagai tambahan dalam penolakan kita bahwa Nabi bermuka masam, yaitu dengan adanya suatu ayat yang direkam dalam Al-Qur’ân dari rangkaian wasiat Luqmân kepada putranya dalam suah Al-Luqmân ayat 18:
و لا تصعر خدك للناس ولا تمشى فى الأرض مرحا ان الله لا يحب كل مختال فخور
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia, dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Jadi kesimpulannya adalah Ustad Husein Al-Habsyî tidak sependapat dikatakan bahwa ayat-ayat dalam Surah ‘Abasa ini adalah teguran untuk Nabi, dikarenakan riwayat yang meragukan, dan juga kontradiksi atas sikap-sikap Nabi yang terpuji di dalam Al-Qur’ân. Singkat kata, menurutnya, bagaimana mungkin seorang mu’min yang datang bersusah payah ingin belajar tentang Islam dihadapi dengan wajah yang masam oleh Nabi saww? Sedangkan orang-orang kafir yang enggan belajar dihadapi dengan wajah sepenuhnya.
Karena berbagai macam kejanggalan dan keraguan yang ada pada riwayat tersebut, maka beliau mengadakan rekonstruksi terhadap tafsir Surah ‘Abasa seperti di bawah ini:
عبس و تولى
1. Dia (Al-Walîd) bermuka masam dan berpaling,
أن جاءه الآ عمى
2. Karena Telah datang seorang buta kepadanya (kepada Nabi saw)
وما يدرك لعله يزكى
3. Tahukah kamu (hai Al-Walîd) barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
أو يذكر فتنفعه الذكرى
4. Atau dia (Ibn Ummî Maktûm) (ingin) mendapatkan pengajaran (yang didengar dari lidah Rasulullah saww dalam majlis kalian hai benggolan kafir Quraisy), lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
أما من استغنى
5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (semacam Abu Jahal dan benggolan-benggolan Quraisy lainnya)
فأنت له تصدى
6. Maka kamu (Al-Walîd) melayaninya.
وما عليك ألا يزكى
7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu (hai Al-Walîd) kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
وأما من جاءك يسعى
8. Dan adapun orang yang datang kepadamu (ke majlismu hai Al-Walîd) dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran dan ilmu dari Nabi)
وهو يخشى
9. Sedang ia takut kepada (Allah)
فأنت له تلهى
10. Maka kamu (hai Al-Walîd) mengabaikannya.
PUSTAKA: Husein Al-Habsyi, Nabi Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam, Al-Kautsar Malang 1992.
[a] Kitab hadîts Shahîh Bukhârî dan Shahîh Muslim tidak meriwayatkannya, jadi hadîts yang menyatakan Rasul bermuka masa tidak muttafaq alaih atau tidak disepakati.
[b] Terdapat beberapa perawi yang ganjil yakni:
1. Yahyâ ibn Sa’îd
Yang merupakan seorang penulis sejarah hidup Rasul saww, sedangkan Imam Ahmad ibn Hanbal tidak begitu mengandalkannya karena ia bukan termasuk Ahli Hadîts.
2. ‘Urwah ibn Zubeir
Dia termasuk nashîbî, nashîbî adalah pembenci keluarga Rasul, dengan demikian menurut Ibn Hajar Al-Atsqalanî bahwa riwayat orang yang nashîbî dianggap lemah dan tidak dapat dipercaya.
3. Hisyâm ibn ‘Urwah
Menanggapi Hisyâm ibn ‘Urwah ini, Ibn Hajar Al-Atsqalanî menganggapnya sebagai Mudallis (menyandarkan riwayat bukan pada orang yang sebenarnya), dengan demikian riwayatnya tidak dapat dipercaya.
4. ‘Aisyah Ummul Mu’minin
Kalau kita lihat kembali bahwa ayat-ayat Surah ‘Abasa tersebut adalah ayat Makkiyah, sedangkan Ummul Mu’minin ‘Âisyah ra masih kecil. Sehingga kita ragukan dari mana beliau mendengar hadîts (yang menyatakan Rasul bermuka masam) tersebut.
Beliau juga mengatakan bahwa adanya tiga struktur sosial dalam sejarah yang berkaitan dengan turunnya Surah ‘Abasa ini. Pertama yakni Nabi Muhammad saw yang merupakan penghulu para rasul yang suci. Kedua, Ibn Ummî Maktûm, yang berstatuskan seorang sahabat miskin dan buta. Dan Al-Walîd ibn Al-Mughîrah seorang kafir Quraisy kaya bersama kawan-kawannya.
Sutrktur sosial yang pertama adalah barisan para Nabi as. Struktur ini dalam Al-Qur’ân digambarkan sebagai manusia-manusia yang selalu tampil di panggung sejarah apabila manusia telah lupa terhadap eksistensi dirinya sendiri dan mengesampingkan Tuhan-nya, manakala arah dan orientasi hidupnya berada dalam ideologi-ideologi yang bersifat materialis-individualis. Di situlah agama telah berubah maknanya, seharusnya apa yang semangatnya berasal dari Rasul pembawa risalah Tuhan yang membawa dan menimbulkan perubahan-perubahan terhadap kehidupan manusia.
Adapun struktur sosial kedua, yang diwakili oleh Ibn Ummî Maktûm. Ia adalah simbol kaum yang menanggung beban berat setiap harinya, yang mengisi ukiran peristiwa sejarah berupa dengan penderitaan dan ketertindasan, dan yang kehilangan hak-hak hidup sebagai manusia yang tersisa di dalam masyarakat. Ciri khas struktur sosial ini adalah beriman kepada Allâh dan Rasûl-Nya serta segala yang disampaikan kepada Rasul-Nya. Ibn Ummî Maktûm dalam episode ini adalah salah satu contoh dari sekian banyak orang-orang lemah, fuqarâ’ wa al-masâkîn yang penuh dengan ketulusan hidup di jalan Allah SWT. Struktur sosial inilah yang selalu hidup didekat para Nabi as.
Dan yang ketiga, adalah Al-Walîd ibn Al-Mughîrah, yakni kaum tiran yang selalu menginginkan kekuasaan demi kepentingan individual dan material semata. Kelompok ini selalu mengadakan penekanan, penindasan dan berbagai ragam kejahatan dari yang paling halus sampai yang terang-terangan demi mencapai tujuan mereka, tidak jarang mereka menggunakan agama yang kebenarannya telah mereka putar-balikkan. Kelompok ini adalah mereka yang cenderung merusak fondasi-fondasi agama dan orang-orang yang selalu gigih untuk menginginkan lenyapnya risalah Tuhan.
Menurut Ijma’ kaum muslimin bahwa Nabi saww diwajibkan untuk menerima wahyu dan menyampaikan kepada manusia serta memperagakannya dengan ishmah yang sepenuhnya. Kalau Kaum Wahâbî mengatakan bahwa Nabi saww ma’shum hanya dalam menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’ân saja, maka bagaimana pendapat mereka tentang ke-ma’shum-an beliau dalam mewujudkannya? Kalau dia ma’shum dalam mewujudkannya, mungkinkah ia bertentangan dengan isi Al-Qur’ân? Kalau tidak, maka dia bisa salah dalam mewujudkannya, termasuk dalam hukum-hukum?
Tak seorang muslim pun meragukan bahwa ayat Al-Qur’ân turun kepada Nabi saww, namun juga tak seorang muslim pun berpendapat bahwa seluruh ayat Al-Qur’ân turun karena tingkah laku Nabi saww. Boleh jadi Al-Qur’ân turun untuk teguran bagi umat manusia. Dengan kata lain Al-Qur’ân turun bukan untuk Nabi, tapi turun kepada Nabi untuk manusia dengan membawa kebenaran. Sebagaimana firman Allâh Surah Al-Zumar ayat 41:
انا أنزلنا عليك الكتاب للناس بالحق فمن اهتدى فلنفسه ومن ضل فانها يضل عليه وما أنت عليهم بوكيل
“Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka.”
Seperti yang diketahui oleh seluruh umat bahwa antara satu ayat atas ayat lainnya itu saling memperkuat dan saling mendukung, akan tetapi mayoritas dari kita memaknai bahwa Surah ‘Abasa ini turun atas teguran kepada Rasulullah saww sehingga memberikan penilaian kepada kita bahwa adanya suatu bentuk kesalahan yang telah dilakukan beliau. Seharusnya, seorang muslim harus gembira dengan pendapat yang menjauhkan Nabi-nya dari perbuatan orang sombong dan kafir, tidak malah meradang-radang dan bersitegang untuk mecemoohkan Nabi Muhammad saww.
Sekali lagi, kenapa justru manusia yang berakhlak agung itu harus dianggap bermuka masam? Dari mana keharusan seperti itu? Ini bertentangan dengan logika. Logika mengatakan, bahwa pribadi orang yang berwatak agung dan suri teladan tidak mungkin bermuka masam. Bagaimana bisa Nabi dikatakan bermuka masam terhadap salah seorang sahabatnya yang lemah (mustad‘af), di saat yang sama beliau saww beramah-tamah dengan golongan-golongan kaum kafir yang jelas-jelas memusuhi Rasul baik secara tersembunyi ataupun terang-terangan?
Suatu catatan yang penting sebagai tambahan dalam penolakan kita bahwa Nabi bermuka masam, yaitu dengan adanya suatu ayat yang direkam dalam Al-Qur’ân dari rangkaian wasiat Luqmân kepada putranya dalam suah Al-Luqmân ayat 18:
و لا تصعر خدك للناس ولا تمشى فى الأرض مرحا ان الله لا يحب كل مختال فخور
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia, dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Jadi kesimpulannya adalah Ustad Husein Al-Habsyî tidak sependapat dikatakan bahwa ayat-ayat dalam Surah ‘Abasa ini adalah teguran untuk Nabi, dikarenakan riwayat yang meragukan, dan juga kontradiksi atas sikap-sikap Nabi yang terpuji di dalam Al-Qur’ân. Singkat kata, menurutnya, bagaimana mungkin seorang mu’min yang datang bersusah payah ingin belajar tentang Islam dihadapi dengan wajah yang masam oleh Nabi saww? Sedangkan orang-orang kafir yang enggan belajar dihadapi dengan wajah sepenuhnya.
Karena berbagai macam kejanggalan dan keraguan yang ada pada riwayat tersebut, maka beliau mengadakan rekonstruksi terhadap tafsir Surah ‘Abasa seperti di bawah ini:
عبس و تولى
1. Dia (Al-Walîd) bermuka masam dan berpaling,
أن جاءه الآ عمى
2. Karena Telah datang seorang buta kepadanya (kepada Nabi saw)
وما يدرك لعله يزكى
3. Tahukah kamu (hai Al-Walîd) barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
أو يذكر فتنفعه الذكرى
4. Atau dia (Ibn Ummî Maktûm) (ingin) mendapatkan pengajaran (yang didengar dari lidah Rasulullah saww dalam majlis kalian hai benggolan kafir Quraisy), lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
أما من استغنى
5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (semacam Abu Jahal dan benggolan-benggolan Quraisy lainnya)
فأنت له تصدى
6. Maka kamu (Al-Walîd) melayaninya.
وما عليك ألا يزكى
7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu (hai Al-Walîd) kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
وأما من جاءك يسعى
8. Dan adapun orang yang datang kepadamu (ke majlismu hai Al-Walîd) dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran dan ilmu dari Nabi)
وهو يخشى
9. Sedang ia takut kepada (Allah)
فأنت له تلهى
10. Maka kamu (hai Al-Walîd) mengabaikannya.
PUSTAKA: Husein Al-Habsyi, Nabi Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam, Al-Kautsar Malang 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar