Banten, Kritik & Kenangan dalam Puisi-Puisi Toto ST Radik


oleh Sulaiman Djaya (Komite Sastra Dewan Kesenian Banten)

Pengantar
Tulisan ini merupakan upaya interpretasi dan pembacaan atas sejumlah puisi Toto ST Radik yang terkumpul dalam buku Kepada Para Pangeran. Penulis memilih judul Romansa Kampung Halaman setelah membaca dengan cermat sejumlah puisi-puisi dalam buku Kepada Para Pangeran tersebut, yang ternyata ‘berkisar’ dan ‘mengambil’ isu dan tema-nya tentang Banten, yang merupakan tanah kelahiran penyairnya.

Dalam upaya melakukan pembacaan dan interpretasi ini, penulis memposisikan diri sebagai seorang ‘penerima’ dan ‘pembaca teks’ yang bebas (yang nantinya melakukan pembacaan berdasarkan khazanah dan wawasan teoritik dan filosofis pembacaan teks yang dimiliki penulis) sendiri.

Bahasan
Sejumlah puisi Toto ST Radik yang terkumpul dalam buku Kepada Para Pangeran tersebut menurut ‘pembacaan’ dan ‘interpretasi’ penulis sangat kental sekali dipinjam (dijadikan media tulisan atau narasi tekstual) sebagai upaya ‘menarasikan’ kenangan penyairnya seputar tanah kelahiran dan kampung halamannya, yang dalam hal ini Banten, sembari berupaya melakukan kritik sosial dan politik ketika penyairnya berusaha melakukan ziarah atau perbandingan ke masa silam dalam upaya mengkontekstualisasikannya dengan ‘ke-sekarang-an’.

Hal itu terlihat ketika sejumlah puisinya, contohnya, bahkan menggunakan judul-judul seperti Kampung, Halaman, dan Kelahiran, yang bahkan hal itu ditunjukkan dengan puisi pertamanya dalam buku Kepada Para Pangeran tersebut, yang berjudul “Kampung Kesayangan”:

apa kabar, didi? dua belas tahun sudah kita tak lagi
bermain di lumpur sawah, saling berbantah, kemudian
mencuri bukubuku di toko dan perpustakaan kota
sambil mengkhayalkan kampung kesayangan yang lebih baik

Puisi yang yang berjudul ‘Kampung Kesayangan’ tersebut merupakan sebuah narasi tekstual yang ‘menjadikan’ dirinya sebagai upaya atau ikhtiar untuk mengisahkan kenangan dan romansa masa silam penyairnya, yang secara retorik diwujudkan dalam bentuk pertanyaan romantik kepada seseorang:

‘apa kabar, didi? dua belas tahun sudah
kita tak lagi bermain di lumpur sawah,
saling berbantah, kemudian mencuri bukubuku
di toko dan perpustakaan kota’,

yang pada saat bersamaan puisi tersebut juga berusaha membandingkan romansa dan kenangan masa silam yang disuarakan dan diujarkannya dengan kenyataan ‘kekinian’ tanah kelahiran si penyair (Banten):

‘sambil mengkhayalkan kampung kesayangan
yang lebih baik’,

yang tak ragu lagi ingin menyuarakan suatu harapan yang berbeda dengan masa silam bagi tanah kelahiran si penyair, yang dalam hal ini Banten, dan persis pada saat itulah, terkandung juga kritik sosial dan politik yang halus dalam puisi tersebut.

Dalam hal ini, puisi yang berjudul ‘Kampung Kesangan’ tersebut adalah contoh narasi puitik yang berhasil mengabungkan dan menyelaraskan suara-suara romantik dan kritik sosial-politik yang halus dan tidak verbal:

didi, aku ingin engkau percaya bahwa setiap kali
memandang sawah, membaca buku, bermimpi tentang kampung
kesayangan yang malang, dan menuliskannya dalam puisi
selalu kurasakan kehadiranmu. dekat sekali

Kita dapat membaca dengan intim dan akrab, sebagaimana dicontohkan oleh larik-larik selanjutnya dari puisi yang berjudul ‘Kampung Kesayangan’ tersebut, kenangan dan romansa si penyair ingin sekali dibagi dengan seseorang, yang dengan demikian, menghendaki dirinya menjadi narasi dialog atau dialog naratif, ketika puisi tersebut ingin berbicara tentang kenangan seputar tanah kelahiran dan mengujarkan kritik-sosial politik secara halus dan ‘tersembunyi’ pada saat bersamaan.

Begitu pun, bila dibaca secara intrinsik, puisi yang berjudul ‘Kampung Kesayangan’ tersebut adalah juga puisi yang berkisah tentang perjumpaan dengan diri si penyair itu sendiri dan sekaligus dengan ‘pengalaman historis’ –jika pengertian ‘historis’ di sini mencakup juga ‘pengalaman’ subjektif yang personal yang sifatnya bathin dan estetik.

Puisi yang juga tidak jauh berbeda secara muatan dan dari segi ‘pilihan isu dan temanya’ dengan puisi ‘Kampung Kesayangan’ adalah puisi yang berjudul ‘Mencari Kampung Halaman atawa Kasidah Malam’, yang bila dilihat secara naratif, pilihan diksi, dan retoriknya dapat dikatakan lebih halus dan lebih senyap, menebarkan teka-teki atau enigma yang akan mengundang pembacaan yang sunyi bagi kita sebagai pembacanya:

assalamu’alaikum wahai
pintupintu yang terkunci
inilah rebanaku
inilah sajakku

aku mengembara di jalanan katakata
menyapa semua yang masih sempat ada
dengan sayapsayap cinta aku terbang
mencari kampung halaman yang hilang

Sembari mengamsalkan dirinya akrab dan berbincang-bincang dengan benda-benda, dengan pintu-pintu yang terkunci, puisi berjudul ‘Mencari Kampung Halaman atawa Kasidah Malam’ itu seakan mendendangkan lagu-lagu rebana atau nyanyian kasidah romantik tentang nestapa yang sunyi seorang penyair, tentang ‘kampung halaman yang hilang’ yang berusaha dihadirkan kembali oleh penyairnya dalam konteks atau moment ‘ke-sekarang-an’ kehidupan si penyair ketika si penyair teringat kembali suatu konteks tertentu atau ‘era khusus’ dari suatu tempat dan waktu yang bernama ‘kampung halaman’ atau juga ‘tanah kelahiran’, yang dengan demikian pada saat bersamaan, ‘tempat dan waktu’ yang hilang itu ternyata masih saja ada, meski hanya dalam ingatan atau dalam ikhtiar pengimajinasiannya kembali oleh penyair.

Sebentuk ikhtiar dan upaya untuk ‘mengekalkan’ dan ‘mewujudkan kembali’ apa yang sudah retak dan tercecer di masa silam:

aku mengaji di sunyi sejati
mendaki malammalam paling nyeri
mencari kampung halaman yang hilang

Yang pada saat itu si penyair ingin mempersembahkan sajak dan lagu atau kasidah rebana malam-nya dengan gembira dan riang hati, meski dirundung kerinduan sunyi yang tak terobati.

Puisi berjudul ‘Mencari Kampung Halaman atawa Kasidah Malam’ adalah puisi elegi yang lahir dan terinspirasi dari suatu moment atau peristiwa yang dialami penyair di masa silam. Puisi ‘Mencari Kampung Halaman atawa Kasidah Malam’ dan ‘Kampung Kesayangan’ telah menunjukkan dengan sangat baik keterikatan penyairnya dengan tanah kelahiran yang ia maknakan dan ia kontekskan kembali sebagai ‘ruang dan waktu’ yang menjelama nada dan sajak, yang pada saat bersamaan dipinjam sebagai kritik sosial dan politik yang diutarakan dengan sindiran halus dan ironi yang sifatnya personal dan subjektif.

Yang membuat perbedaan tingkatan pemaknaan dan penafsiran yang berbeda antara dua puisi tersebut tak lain karena perbedaan retorik dan strategi naratif masing-masing, di mana puisi yang pertama, ‘Kampung Kesayangan’ dituturkan dengan dialog otobiografis atau semacam narasi diaris yang ingin bercerita tentang suatu kenangan bersama seseorang tentang sebuah ‘waktu’ dan ‘ruang’ di masa silam yang bernama tanah kelahiran, sedangkan puisi yang kedua, ‘Mencari Kampung Halaman atawa Kasidah Malam’, merupakan sebuah puisi yang telah ‘memperlakukan’ benda-benda, yaitu pintu-pintu rumah yang terkunci, sebagai personifikasi-metaforis yang hidup, yang pada akhirnya dapat menimbulkan ‘efek magis’ bagi pembacaan.

Menurut para teoritikus, utamanya kaum formalis, karena strategi narasi dan unsur retorik serta soal tetek-bengek bentuk yang lainnya inilah sastra menjadi ‘sastra’.

Terkait hal itu, ada banyak pandangan dan pendapat menyangkut apa yang kita sebut “sastra” dan bagaimana ia berbeda dengan teks atau narasi lainnya. Kaum Formalis Rusia (Michael Ryan 2007:1), misalnya, berpendapat bahwa sastra itu unik dan berbeda dengan narasi lainnya karena “bagaimana” sastra itu sendiri ditulis, dan bukan karena isi dan maknanya. Karena sastra dan bukan sastra bisa saja menulis isu dan tema yang sama, contohnya ketika sastra dan berita menggarap isu dan tema yang sama namun menghasilkan produk yang berbeda, dan karena itu yang membedakan sastra dan bukan sastra terletak pada strategi dan “cara” bagaimana sastra ditulis dan bagaimana sastra mengolah bahasa yang berbeda dengan bahasa berita, sebagai contohnya.

Dalam hal ini, bahasa sastra memang tidak menggunakan bahasa “umum”, namun mengolah bahasa dengan sejumlah perangkat retorik dan modus ujaran dan strategi wacana yang khusus bersifat “literer”, seperti memaksimalkan “retorika” dan metafora. Di sini, karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang membuat kita terusik, yang dalam bahasa alegorinya Kafka, “Kita tak perlu membaca buku yang tidak menyadarkan kita”, dan membawa kita keluar dari cara kita melihat dunia yang aus, rutin, dan biasa.

Dengan “membelokan” dan mengolah “kemungkinan bahasa dan peluang narasi alternatif”, atau dengan kata lain dengan membelokkan dan menemukan bahasa ke penggunaan yang baru dan cara yang baru dalam memandang dan memahami itulah, sastra menggugah kembali indra kita dan membuat dunia tidak lazim, tak jarang dunia dan keseharian kita kembali dipertanyakan. Sebagai contoh, narasi sastra acapkali merayakan paradoks, di mana menurut Cleanth Brooks, paradoks adalah satu-satunya cara mengekspresikan atau mendeskripsikan kesatuan pelbagai hal yang bersifat kekal maupun yang sementara, yang universal maupun yang sesaat (Michael Ryan 2007:4).

Senada dengan itu, Rene Wellek dan Austin Warren, mendefinisikan sastra hampir sama dengan ikhtiar estetik (seni), di mana sastra menurut kedua orang itu merupakan suatu kegiatan kreatif atau sebuah karya seni (Rene Wellek & Austin Warren 1977:3).

Selanjutnya, ketika mereka tiba pada bahasan wilayah bahasa sastra dan menyangkut strategi narasi, mereka menyatakan: “Bahasa sastra mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya merubah sikap pembaca”.

Bagi Rene Wellek dan Austin Warren itu, yang membedakan antara bahasa sastra dan bahasa ilmiah, misalnya, tak lain karena yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah simbolisme suara dari kata-kata, di mana karenanya, berbagai macam tekhnik diciptakan, contohnya aliterasi dan pola suara untuk menarik perhatian pembaca kepada kata-kata dalam karya sastra itu sendiri (Rene Wellek & Austin Warren 1977:3).

Demikian, berdasarkan kerangka teoritik yang telah disebutkan, perbedaan ‘bentuk’ naratif dan retorik antara puisi ‘Kampung Kesayangan’ dan ‘Mencari Kampung Halaman atawa Kasidah Malam’ telah juga melahirkan tingkat penafsiran dan pemaknaan yang tak sama, meski keduanya menarasikan kenangan tentang ‘tanah kelahiran’ sembari menjadikannya sebagai ‘medium’ dan ‘wacana’ kritik sosial-politik ketika penyairnya berusaha membandingkan dan mengkontekstualisasikannya dengan ‘ke-sekarang-an’ terkait dengan harapan si penyair untuk menghadirkan ‘kegemilangan’ Banten di masa silam dalam kondisi ‘Banten’ saat ini, yang menurut si penyair, mengalami dekadensi secara sosial dan politis, sebagaimana dapat kita baca dalam puisi ‘Aku Datang dari Masa Depan’:

aku datang dari masa depan
menembus gelap rahim seorang ratu
di desa singarajan yang garing
asin dan udik
……………………………………..
berdiri di reruntuhan baluwarti
kusaksikan keraton itu terbakar
hangus, rubuh

di langit cahaya berpatahan
kehilangan simpul
dan watu gigilang menggigil
diterkam sepi senja
yang mengulur kelam
dan kemarau sejarah

Dengan demikian, kenangan ‘masa silam’ dan ‘romansa tanah kelahiran’ yang dinarasikan dalam sejumlah puisi Toto ST Radik sebagaimana yang terkumpul dalam buku Kepada Para Pangeran itu adalah juga ‘diskursus sejarah’, yang dalam hal ini adalah Sejarah Kesultanan Banten, ketika narasi kenangan dan ‘upaya’ melihat dan atau mengaktualkan kembali isu tanah kelahiran dan ‘romansa kenangan masa silam’ dalam puisi-puisinya itu, juga dipinjam dalam rangka melakukan atau menarasikan kritik yang sifatnya sosial-politik terkait fenomena dan kenyataan ‘ke-sekarang-an’ Banten saat ini, yang dilihat oleh penyairnya, mohon maaf, sebagai Banten yang dekaden dan merosot –sehingga sang penyair berusaha mengajak para pembaca puisinya, untuk membandingkan Banten saat ini dengan ‘Kegemilangan dan Kejayaan Banten di masa silam’ yang dikenang dan ‘diratapinya’, melalui sejumlah puisinya yang bernuansa historis dan romantik dalam buku ‘Kepada Para Pangeran’ itu –untuk para pangeran saat ini agar berkaca dan bercermin kepada para pangeran di masa silam

Konteks, Waktu & Tempat
Sebagaimana yang telah sama-sama kita ketahui, sastra (dan juga seni) tidak-lah lahir dari ‘ruang kosong’, atau tidaklah lahir dari luar kondisi dan situasi kultural dan historis di mana sastra (dan seni) itu lahir dan ditulis, meski seorang sastrawan dan seniman acapkali bekerja secara individual secara kognitif dalam perenungan dan pergulatan bathin dan intelektual subjektifnya.

Hal itu tak lain karena seorang sastrawan atau pun seniman hidup di dunia yang nyata, dalam sebuah dunia yang ‘terkondisikan’ oleh keadaan sosial-budaya dan pengalaman historis, yang mana hal itu semua merupakan ‘lanskap’ eksternal yang nantinya juga akan ‘mengisi’ karya atau tulisan (puisi-puisinya), yang katakanlah, merupakan ‘sumur’ atau ‘sumber’ inspirasi bagi karya dan tulisan-tulisannya.

Karya-karya dan tulisan-tulisannya ‘merupakan’ anak yang lahir dari perjumpaannya dengan pengalaman ‘historis’ dan ‘perjumpaan’ bathin yang sifatnya individual dan sosial dengan hidup itu sendiri.

Terkait hal ini, ketika membaca sejumlah puisinya Toto ST Radik yang terkumpul dalam buku Kepada Para Pangeran meniscayakan juga untuk ‘memahami’ konteks historis, sosial-politik dan kultural sejauh menyangkut ‘apa’ dan ‘siapa’ Banten itu, yang tak jarang ‘dipertanyakan’ kembali oleh beberapa puisinya menjadi kritik yang sifatnya sosial dan politik, acapkali menantang dan menggugat, seperti tercermin dalam puisinya yang berjudul ‘Telah Bersimbah Luka’:

tapi kampungkampung telah bersimbah
luka. tak siang tak malam senantiasa gelisah
penuh serapah dan amarah

ah, ingin ingin aku menulis tentang kampung yang
bahagia. tapi batu dan api dan parang
terus meradang dalam hatimu yang bimbang.

(Sumber: Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Banten, Edisi I, Mei 2016 halaman 10-14)

Tidak ada komentar: