oleh Sulaiman Djaya (penyuka sambal,
sayur asam, dan sayur lodeh khas Banten & Betawi)
Salah-satu hal yang menarik dalam perpuisian Indonesia
mutakhir adalah sejumlah ragam tema yang disuarakan, semisal tema-tema lokal
dan etnik, yang dapat dibaca dan dipahami sebagai upaya para penyair untuk
“menggapai” identitas kepenyairan masing-masing dengan upaya mereka dalam
ikhtiar menemukan bentuk penulisan, strategi narasi, dan tema yang mereka
angkat atau yang mereka suarakan. Namun sebelum melangkah lebih jauh, penting
dikatakan bahwa yang saya maksudkan dengan kata “mutakhir” di sini membatasi
diri pada karya-karya puisi yang terbit sejak era tahun 2000-an di sejumlah
media dan antologi buku para penyair Indonesia, semisal tampak dalam dua buku
dari pertemuan ragam penyair: Tuah Tara
No Ate dan Sauk Seloko itu. Dalam
hal ini, Hanna Fransisca, sebagai contohnya, tampak cukup konsisten mengangkat
tema-tema seputar persinggungan etnik Tionghoa di Indonesia, semisal gugatan
tentang konsep “pribumi” dan upaya perlawanan untuk menolak stereotipisasi
etnis Tionghoa dalam lanskap dan konteks politik dan kultural kewargaan
Indonesia, di mana menurut Hanna Fransisca, etnik Tionghoa seolah-olah selalu
saja dianggap sebagai “non-pribumi” meski telah menjadi warga Negara Indonesia
dan telah tinggal puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, terutama yang berkaitan
dengan Singkawang dan peristiwa Mei 1998 di Jakarta.
Hanna Fransisca adalah contoh penyair
Indonesia mutakhir yang bergelut dengan persoalan identitas seperti ini,
berusaha kuat untuk memprotesnya atau menggugatnya demi menemukan dan
menawarkan wawasan baru persoalan identitas itu sendiri, sembari menggunakan
adat tradisi dan mitologi Tionghoa sebagai material sekaligus rujukan narasi
sejumlah puisinya. Sementara itu, secara naratif atau pada pilihan strategi
narasinya, seperti yang dikemukakan Wahyu Arya dalam bukunya yang berjudul Sebuah Pintu yang Terbuka (Wahyu Arya,
2012: 97-99), sebagai salah-satu contoh pendapat saja, menyatakan bahwa Hanna
tergolong penulis yang berusaha bergeser dari estetika pengucapan lama
bersama-sama dengan Joko Pinurbo dan Afrizal Malna.
Dalam buku antologinya yang berjudul Konde Penyair Han, itu mayoritas
puisi-puisi Hanna Fransisca bergelut dalam persoalan dan dilema identitas
tersebut, bila dilihat dari sisi pilihan isu yang ia kemukakan dan yang ia
hadirkan melalui puisi-puisinya. Soal identitas dan isu Tionghoa merupakan tema
dan rujukan paling dominan yang disuarakan dan diangkat dengan puisi-puisinya.
Di sana, narasi kuliner lebih merupakan pinjaman dalam upayanya membangun
metafora sekaligus sebagai jembatan material penceritaan itu sendiri.
Narasi kuliner dalam puisi-puisi Hanna
Fransisca rupa-rupanya dipinjam sebagai medium dan metafora pada saat
bersamaan, semisal dipinjam untuk menarasikan kepedihan, persoalan gender, dan
tak luput juga “tubuh perempuan” yang memang acapkali menjadi objek kekerasan
identitas dan penindasan politis dan kultural, terutama di sini dalam konteks
Indonesia. Sedangkan dari sudut stilistika, banyak puisi-puisi Hanna Fransisca
dalam bukunya yang berjudul Konde Penyair
Han itu, menurut saya, yang secara naratif tergolong dengan bentuk pengungkapan
dan penulisan otobiografis dan gaya pengucapan sajak bebas, selain nuansa
otobiografis tersebut kental juga dalam pengangkatan tema dan rujukan bagi
puisi-puisinya, semisal seputar tanah kelahiran, kampung halaman yang dalam hal
keduanya yang dimaksudkannya adalah Singkawang, dan soal-soal cultural identity dan political identity sebagaimana yang
banyak diangkat dan disuarakan puisi-puisinya, sebelum beralih ke ranah
Jakarta.
Pada konteks ini, pilihan kuliner sebagai
medium atau jembatan penceritaan dan metafora punya alasan yang cukup kuat dan
tak dapat diabaikan begitu saja dalam puisi-puisi Hanna Fransisca yang
termaktub dalam buku Konde Penyair Han
itu. Dalam puisi-puisinya, kuliner dipinjam sebagai metafora sekaligus
sebagai medium karena kuliner itu sendiri sangat kental kaitannya dengan
adat-istiadat dan tradisi masyarakat Tionghoa, bahkan merupakan kegiatan yang
tak dapat dipisahkan dari tradisi dan ritual keagamaan masyarakat Tionghoa yang
beragam jumlahnya. Dalam puisi-puisi Hanna Fransisca, hal itu tampak
ketika sejumlah puisi yang terdapat dalam buku Konde Penyair Han menjadikan media kuliner sebagai kiasan hidup
demi menceritakan kenangan dan kepedihan, sebagai contohnya. Dalam hal ini,
kita bisa membayangkan, misalnya, seorang perempuan yang tengah dirundung
kegundahan atau kesedihan, dan lalu meluapkan dan mengalihkan perasaan atau
amarahnya saat ia mengolah bahan makanan di dapur yang akan ia masak di saat
tengah memasak di dapur atau di tempat lainnya.
BERMULA
DARI SINGKAWANG
Dalam sejumlah puisinya itu, Singkawang sebagai tanah kelahiran Hanna Fransisca merupakan titik awal narasi Konde Penyair Han, baik sebagai kenangan dan ingatan penyairnya pada masa silam atau sebagai pemberangkatan ketika mengemukakan dan menghadirkan persoalan identitas melalui puisi-puisinya. Dari sana lah isu seputar etnis Tionghoa diawali sebelum merambah Jakarta, semisal seputar Tragedi Mei 1998, seperti yang tampak dalam beberapa puisi dalam buku Konde Penyair Han, baik yang menjadikan Singkawang sebagai judul puisi atau yang tidak menggunakan Singkawang sebagai judul puisinya.
Dalam sejumlah puisinya itu, Singkawang sebagai tanah kelahiran Hanna Fransisca merupakan titik awal narasi Konde Penyair Han, baik sebagai kenangan dan ingatan penyairnya pada masa silam atau sebagai pemberangkatan ketika mengemukakan dan menghadirkan persoalan identitas melalui puisi-puisinya. Dari sana lah isu seputar etnis Tionghoa diawali sebelum merambah Jakarta, semisal seputar Tragedi Mei 1998, seperti yang tampak dalam beberapa puisi dalam buku Konde Penyair Han, baik yang menjadikan Singkawang sebagai judul puisi atau yang tidak menggunakan Singkawang sebagai judul puisinya.
Latar belakang dan upaya untuk menghadirkan
Singkawang ini tidak bisa kita anggap remeh dan kecil di sejumlah sajak yang
ada dalam buku Konde Penyair Han.
Karena itu, kita tentu akan dapat memahami, atau minimal, mengerti maksud
sejumlah puisi Hanna Fransisca jika kita tahu tentang Singkawang, meski
penyairnya sendiri tampak berusaha mengenalkan Singkawang kepada kita. Perlunya
kita mengetahui Singkawang dalam arti umum, tak lain karena Singkawang yang
dihadirkan penyairnya melalui sejumlah puisinya tersebut lebih merupakan
sejumlah gambar dan sketsa yang abstract,
sejumlah realitas yang telah “diimajinasisasi”
ulang dan “direkonstruksi” sedemikian
rupa sesuai dengan subjektivitas penyairnya, semisal ketika sejumlah puisinya
bercerita tentang keterbatasan dan kepedihan masa kanak-kanak. Meskipun
demikian, upaya mengetahui Singkawang secara umum tersebut tentu saja bukan
sebagai maksud untuk mengerti makna atau maksud sejumlah puisinya secara utuh,
yang akan menyisihkan possibilitas dan heterogenitas pembacaan atas teks puisi
itu sendiri, melainkan demi mendapatkan informasi dalam konteks yang seperti
apakah sejumlah puisi Hanna Fransisca bercerita dan berbicara kepada kita
sebagai pembaca dan penikmat, justru ketika kita ingin menyelaminya dengan adil
dan bijak.
Informasi seputar Singkawang, dalam rangka
sedikit untuk mengetahuinya secara sosio-politik-budaya dalam arti umum itu,
contohnya dapat kita baca melalui reportase jurnalistiknya T. Tjahjo Widyasmoro
dalam majalah INTISARI edisi Agustus 2004, hal. 158-166 dan hal. 182. Dalam
tulisan yang dihadirkan Tjahjo Widyasmoro, itu kita setidak-tidaknya dapat
mengerti “konteks” sejumlah puisi Hanna Fransisca yang terdengar prihatin. Sebab,
seperti yang dinarasikan Tjahjo Widyasmoro dalam majalah INTISARI, itu
Singkawang adalah sebuah contoh konkrit yang membantah dan mementahkan
stereotipe umum masyarakat Indonesia yang membayangkan bahwa etnis Tionghoa
adalah etnis yang secara ekonomis sukses dan monopolis, dan karena anggapan dan
stereotipe itu, sejumlah perempuan Tionghoa di Jakarta harus menjadi korban
pemerkosaan dan kekerasan pada peristiwa Mei 1998 di Jakarta. Namun apabila
kita menengok sejenak Singkawang, minimal di era tahun 80-an hingga awal
2000-an, maka yang ada di sana adalah suatu masyarakat Tionghoa yang prihatin,
bahkan tragis. Simak saja penuturan Tjahjo Widyasmoro berikut:
“Sebuah
cerita tragis tersiar pada 17 Juli 1998. Hiu Po Thin (58) secara tragis
mengakhiri hidupnya beserta keempat anaknya yang berusia 5 – 15 tahun. Di gubuk
yang teramat sederhana, berdinding kayu, dan beratapkan daun, mereka ditemukan
tewas dalam posisi berdampingan di tempat tidur setelah menelan makanan yang
dicampur racun serangga. Saat kejadian, istri dan putra tertuanya kebetulan
sedang tidak berada di rumah.” (INTISARI, Agustus 2004, hal. 159).
Membaca penuturan Tjahjo Widyasmoro tentang
etnis Tionghoa di Singkawang tersebut, saya mendapati dan merasakan “konteks”
yang koheren dengan sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han, semisal Kepada Adik dan Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi, sekedar menyebut dua contoh
saja. Dalam catatan penyairnya sendiri, misalnya, tampak penyairnya berusaha
mengkomunikasikan konteks puisi-puisinya tersebut, terutama yang mencoba
menghadirkan Singkawang, sebelum merambah konteks Mei 1998 di Jakarta: “Ketika di rumah, saya selalu dihadapkan
terlibat memikirkan persoalan hidup sehari-hari –yang semestinya adalah bagian
dari persoalan orang-orang dewasa. Seringkali ketika menghadapi ancaman tidak
bisa mengikuti ujian, dan mendengar bagaimana Ibu mengatakan, “Tidak ada
perlunya membayar uang sekolah, uang sedikit lebih baik digunakan untuk membeli
beras”, maka saya berdiri sejenak di belakang rumah melihat bagaimana angin
begitu kerasnya menghempaskan batang-batang ilalang”. (Hanna Fransisca,
2010:12). Pengantar penyair tersebut dan sejumlah puisi di buku Konde Penyair Han pada dasarnya memang
sejumlah catatan otobiografis seputar ingatan dan kenangan masa kanak-kanak
penyairnya di tanah kelahiran dan kampung halamannya nun di Singkawang,
Kalimantan Barat sana. Marilah kita simak sajaknya yang berjudul “Kepada Adik”:
“Di helai daun kangkung aku selipkan beberapa
peristiwa,
agar kau endus lagi aroma terasi bercampur bawang putih
di atas kuali yang menghisap keringat ibu.”
…..
”Di sepanjang jalan Singkawang, di lorong-lorong pecinan,
kubangan lumpur dan gubuk tempat ibu pernah berdiri
tak letih-letih aku mencari.”
agar kau endus lagi aroma terasi bercampur bawang putih
di atas kuali yang menghisap keringat ibu.”
…..
”Di sepanjang jalan Singkawang, di lorong-lorong pecinan,
kubangan lumpur dan gubuk tempat ibu pernah berdiri
tak letih-letih aku mencari.”
Puisi Kepada Adik tersebut merupakan narasi
otobiografis yang sifatnya pastoral, yang bercerita tentang kenangan masa kanak
dan masa remaja, sebuah narasi yang jika dilihat dari sudut konteks
penceritaan, tak jauh berbeda dengan gambaran sebuah kondisi yang dipaparkan
narasi jurnalistiknya Tjahjo Widyasmoro dalam majalah INTISARI itu. Puisi
tersebut tergolong pada sajak “memoir” di mana aku lirik merupakan seorang
narator yang menulis dan bercerita berdasarkan kenangan dan ingatan, ketika
ingin “mengabarkan” kesahajaan atau kemiskinan sebuah etnik yang selama ini
di-stereotip-kan sebagai etnik yang melakukan “dominasi” ekonomi dalam konteks
politik dan kewargaan Indonesia. Dengan puisi tersebut, Hanna sebenarnya hendak
mementahkan stereotip yang dimaksud, atau mengajak pembaca untuk melihat “Tionghoa yang lain”. Sejumlah puisi
Hanna sebenarnya mencoba melakukan hal ini: mengajak pembaca untuk memahami,
mengenali, dan berempati apa itu “Tionghoa”.
Beberapa puisinya juga mencoba menghadirkan
“Tionghoa yang lain”, semisal bahwa pelabelan atau stereotipisasi secara ajeg
atas apa yang kita sebut Tionghoa telah menyebabkan “kekerasan” dan
“ketidakadilan” atas dan terhadap “Tionghoa” itu sendiri, baik secara fisik
maupun diskursus dan wacana yang sifatnya kultural dan politis dalam konteks
politik dan “kewargaan” di Indonesia. Inilah soal identitas yang ingin
dikomunikasikan Hanna Fransisca melalui sejumlah sajaknya yang termaktub dalam
buku Konde Penyair Han, sebuah
persoalan dan dilema yang juga menarik minat penulis dan intelektual di luar
sana, semisal Amin Maalouf dengan bukunya yang berjudul In the Name of Identity dan Amartya Sen dengan bukunya yang
berjudul Identity and Violence: The
Illusion of Destiny itu.
Tendensi untuk mengenalkan dan mewacanakan
adat-tradisi dan mitologi Tionghoa tersebut sangat terasa dalam beberapa puisi
Hanna Fransisca. Rupa-rupanya, hal itu dipilih karena salah-satu untuk
menghilangkan “kesalahpahaman” terhadap etnis Tionghoa adalah dengan cara dan
jalan “mengenalkan” atau memberikan “wacana alternatif” tentang apa itu Tionghoa,
yang dalam hal ini memilih puisi sebagai medianya, karena hanya dengan puisi
lah “penerimaan” atau “resepsinya” akan lebih netral, sekaligus dapat
mengundang simpati dan menggugah perasaan pembacanya. Namun, di sisi lain, hal
itu barangkali akan berdampak pada kesulitan tersendiri bagi para pembaca yang
masih asing dengan idiom-idiom dan mitologi yang sifatnya etnik tersebut, meski
bisa saja karena pilihan ini pembaca kemudian menjadi ingin mengetahui apa itu
Tionghoa secara historis dan kultural.
IHWAL
STRATEGI NARASI PUISI
Dibanding prosa, puisi memang yang paling membuka peluang bagi penulisan otobiografis penyairnya di mana pengalaman dan hidup penyairnya sendiri kemudian menjadi inspirasi dan rujukan kreativitas, ketika suasana meditatifnya memang bersumber dari subjektivitas pengalaman si penyair itu sendiri. Namun, bila mengkomparasi soal ini dengan wawasan-nya T.S Eliot (Toety Heraty, Hidup Matinya Sang Pengarang, 2000: 13-26), pengalaman yang sifatnya personal tersebut sebenarnya bisa saja selayaknya hanya dijadikan sebagai “tabung pembakaran” (semacam fermentasi) kreativitas estetik, di mana seorang penyair dapat mengalihkannya ke dalam stategi narasi yang bersifat simbolis atau surealis, sebagai contohnya. Dalam hal ini, T.S. Eliot memang mengidealkan seorang penyair yang sanggup merubah “penderitaannya” menjadi suara-suara estetik, di mana di sana yang muncul kemudian bukan lah “narasi penderitaan si penyair”, melainkan sajak yang telah terbebaskan hingga menjadi sebuah karya estetika yang digali dan dicipta bersama-sama dengan upaya untuk “menemukan” dan “mencipta” bahasa yang segar. Dalam beberapa esainya, sebagai contoh, T.S. Eliot lebih memandang penyair yang berhasil adalah penyair yang sanggup menaklukkan pengalamannya sekaligus mampu “mengkreasi ulang” tradisi (meski tak meski meninggalkannya secara total) menjadi pencapaian kreativitas bentuk atau strategi penulisan, meski seorang penyair masih menulis tema yang sama seperti para pendahulunya.
Dibanding prosa, puisi memang yang paling membuka peluang bagi penulisan otobiografis penyairnya di mana pengalaman dan hidup penyairnya sendiri kemudian menjadi inspirasi dan rujukan kreativitas, ketika suasana meditatifnya memang bersumber dari subjektivitas pengalaman si penyair itu sendiri. Namun, bila mengkomparasi soal ini dengan wawasan-nya T.S Eliot (Toety Heraty, Hidup Matinya Sang Pengarang, 2000: 13-26), pengalaman yang sifatnya personal tersebut sebenarnya bisa saja selayaknya hanya dijadikan sebagai “tabung pembakaran” (semacam fermentasi) kreativitas estetik, di mana seorang penyair dapat mengalihkannya ke dalam stategi narasi yang bersifat simbolis atau surealis, sebagai contohnya. Dalam hal ini, T.S. Eliot memang mengidealkan seorang penyair yang sanggup merubah “penderitaannya” menjadi suara-suara estetik, di mana di sana yang muncul kemudian bukan lah “narasi penderitaan si penyair”, melainkan sajak yang telah terbebaskan hingga menjadi sebuah karya estetika yang digali dan dicipta bersama-sama dengan upaya untuk “menemukan” dan “mencipta” bahasa yang segar. Dalam beberapa esainya, sebagai contoh, T.S. Eliot lebih memandang penyair yang berhasil adalah penyair yang sanggup menaklukkan pengalamannya sekaligus mampu “mengkreasi ulang” tradisi (meski tak meski meninggalkannya secara total) menjadi pencapaian kreativitas bentuk atau strategi penulisan, meski seorang penyair masih menulis tema yang sama seperti para pendahulunya.
Namun demikian, ideal prinsip estetik ala T.S.
Eliot tersebut untuk saat ini rupa-rupanya sudah tidak menjadi hal yang membuat
rikuh sejumlah penyair. Untuk konteks Indonesia, contohnya, banyak penyair
perempuan yang menuliskan puisi-puisi mereka dengan bahasa, kata-kata, atau
ungkapan “apa adanya”, ketika mereka menuliskan puisi-puisi otobiografis
seputar isu-isu ketidakadilan dan kekerasan gender dalam konteks politik dan
kultural Indonesia, atau puisi-puisi yang menarasikan pengalaman urban dan
metropolis, semisal puisi-puisinya Ratna Ayu Budiarti. Hanya saja, ada keunikan
tersendiri dalam puisi-puisinya Hanna Fransisca, yaitu ketika puisi-puisinya
ditulis dengan narasi-kisah kuliner, tepatnya tradisi-kuliner masyarakat
Tionghoa di Indonesia, ketika mencoba mengangkat isu-isu sosial, identitas, dan
ketidakadilan yang menimpa beberapa etnik Tionghoa, utamanya dalam kasus Mei
1998 di Jakarta itu. Kekhasan itu, tak lain, karena Hanna Fransisca, menjadikan
kuliner sebagai metafora untuk menggambarkan bagaimana kepedihan dan
ketidakadilan layaknya “bebek peking”, misalnya, yang pasrah saat dicincang,
demi menggambarkan ketakberdayaan dan kepasrahan di tengah amok politik yang
menimpa etnik Tionghoa di Jakarta pada Mei 1998 itu. Dalam hal ini, puisi-puisi
Hanna Fransisca bisa disebut sebagai puisi protes sosial yang dinarasikan dan
disuarakan dengan strategi dan bentuk reflektif dan sindirian halus, sembari
diungkapkan dan dituturkan dengan idiom-idiom budaya dan mitologi etnik
Tionghoa.
KONTEKS
TRADISI
Kentalnya idiom-idiom tradisi Tionghoa dalam sejumlah puisi Hanna Fransisca tersebut, seperti telah saya katakan sebelumnya, dapat mendatangkan kesulitan tersendiri bagi pembaca yang tidak akrab dengan budaya Tionghoa. Hanna Fransisca sebenarnya tidak sendiri pada tataran ini, Tan Lioe Ie juga melakukan hal yang sama dalam kumpulan puisinya yang berjudul Malam Cahaya Lampion. Dalam hal ini, baik Tan atau Hanna tampak jelas sama-sama ingin memperkenalkan adat tradisi dan budaya Tionghoa dalam puisi-puisi mereka, dan karena itu, sekurang-kurangnya, diperlukan pengetahuan tentang adat tradisi dan budaya Tionghoa ketika hendak mencerna dan memahami konteks dan metafora puisi-puisi mereka. Hal itu karena idiom-idiom yang sifatnya etnik tersebut tidak dapat dianggap hanya sebagai sampiran atau sisipan belaka, tapi merupakan bagian yang inheren alias tak mungkin dipisahkan begitu saja dalam puisi-puisi mereka, karena melalui mitologi dan budaya Tionghoa itulah mereka membangun dan menciptakan kiasan puisi-puisi mereka, yang karenanya menghadirkan otentisitas dan kekhasan strategi narasi dan pengungkapan dalam puisi-puisinya Hanna Fransisca, dan juga Tan Lioe Ie, sebagai perbandingannya. Kekentalan dan kemenyatuan idiom-idiom yang sifatnya etnik tersebut dapat dicontohkan dalam puisi Hanna Fransisca yang berjudul Hari Kue Bulan:
Kentalnya idiom-idiom tradisi Tionghoa dalam sejumlah puisi Hanna Fransisca tersebut, seperti telah saya katakan sebelumnya, dapat mendatangkan kesulitan tersendiri bagi pembaca yang tidak akrab dengan budaya Tionghoa. Hanna Fransisca sebenarnya tidak sendiri pada tataran ini, Tan Lioe Ie juga melakukan hal yang sama dalam kumpulan puisinya yang berjudul Malam Cahaya Lampion. Dalam hal ini, baik Tan atau Hanna tampak jelas sama-sama ingin memperkenalkan adat tradisi dan budaya Tionghoa dalam puisi-puisi mereka, dan karena itu, sekurang-kurangnya, diperlukan pengetahuan tentang adat tradisi dan budaya Tionghoa ketika hendak mencerna dan memahami konteks dan metafora puisi-puisi mereka. Hal itu karena idiom-idiom yang sifatnya etnik tersebut tidak dapat dianggap hanya sebagai sampiran atau sisipan belaka, tapi merupakan bagian yang inheren alias tak mungkin dipisahkan begitu saja dalam puisi-puisi mereka, karena melalui mitologi dan budaya Tionghoa itulah mereka membangun dan menciptakan kiasan puisi-puisi mereka, yang karenanya menghadirkan otentisitas dan kekhasan strategi narasi dan pengungkapan dalam puisi-puisinya Hanna Fransisca, dan juga Tan Lioe Ie, sebagai perbandingannya. Kekentalan dan kemenyatuan idiom-idiom yang sifatnya etnik tersebut dapat dicontohkan dalam puisi Hanna Fransisca yang berjudul Hari Kue Bulan:
“Bicarakan pada kue bulan,
ini hatiku terang dalam kelam
ini hatiku terang dalam kelam
….//….
Kita ini tengah membagi cinta
dalam kenangan air mata
dalam kenangan air mata
….//….
Mengenang Peng Meng
yang menyelusup di peraduan Chang Er.”
yang menyelusup di peraduan Chang Er.”
Untuk memahami maksud dan konteks puisi tersebut,
dibutuhkan informasi seputar tradisi dan pentingnya Festival Rembulan atau Hari
Raya Pertengahan Musim Gugur, yang konon bermula dari sebuah kisah Chang’e
Terbang ke Bulan. Ada unsur tragis dan kebahagiaan pada saat bersamaan dalam
kisah tersebut yang membuatnya menjadi ironis dan ambigu, sebagaimana bait-bait
puisi Hanna sendiri rupa-rupanya bermaksud demikian ketika berkata: “Bicarakan pada kue bulan, ini hatiku terang
dalam kelam”, di mana ironi dan ambiguitas tampak jelas dalam frase: hatiku terang dalam kelam.
PROBLEM
ETNIK DAN IDENTITAS
Masalah etnik dan identitas yang coba dinarasikan sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam bukunya yang berjudul Konde Penyair Han, itu memang merupakan persoalan yang usianya sudah setua usia manusia itu sendiri. Tentu ada konteks sosial-politik, references, ketika Hanna mengangkat isu ini, yakni Peristiwa Mei 1998 di Jakarta dan pengalaman hidupnya sendiri semasa kanak-kanak dan remaja di tanah kelahiran dan kampung halamannya, Singkawang di Kalimantan Barat itu. Salah-satu puisinya yang paling kuat mencoba mengangkat isu ini adalah Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi, yang nada protes dan sindirannya terasa sangat kuat saat menggugat stereotipsasi dan “penindasan”, juga prasangka atas etnik Tionghoa. Puisi ini dapat dikatakan sebagai pintu pembuka pertama sebelum sejumlah puisi lainnya mengangkat seputar isu-isu “tanah air” dan “kewargaan”. Hanna menggunakan kata sekaligus metafora “mulut” sebagai mula kekerasan stereotipisasi dan piranti “penindasan” atas apa yang hendak diprotes-nya tersebut. Di sana “mulut” memang bersifat dualistik: tempat dan sumber kebajikan sekaligus keburukan, dan dari sana lah bermula ujaran, penamaan, identifikasi, dan stereotipisasi atas “yang lain”, “mulut adalah lubuk biru”.
Masalah etnik dan identitas yang coba dinarasikan sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam bukunya yang berjudul Konde Penyair Han, itu memang merupakan persoalan yang usianya sudah setua usia manusia itu sendiri. Tentu ada konteks sosial-politik, references, ketika Hanna mengangkat isu ini, yakni Peristiwa Mei 1998 di Jakarta dan pengalaman hidupnya sendiri semasa kanak-kanak dan remaja di tanah kelahiran dan kampung halamannya, Singkawang di Kalimantan Barat itu. Salah-satu puisinya yang paling kuat mencoba mengangkat isu ini adalah Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi, yang nada protes dan sindirannya terasa sangat kuat saat menggugat stereotipsasi dan “penindasan”, juga prasangka atas etnik Tionghoa. Puisi ini dapat dikatakan sebagai pintu pembuka pertama sebelum sejumlah puisi lainnya mengangkat seputar isu-isu “tanah air” dan “kewargaan”. Hanna menggunakan kata sekaligus metafora “mulut” sebagai mula kekerasan stereotipisasi dan piranti “penindasan” atas apa yang hendak diprotes-nya tersebut. Di sana “mulut” memang bersifat dualistik: tempat dan sumber kebajikan sekaligus keburukan, dan dari sana lah bermula ujaran, penamaan, identifikasi, dan stereotipisasi atas “yang lain”, “mulut adalah lubuk biru”.
“Maaf. Mulut adalah lubuk biru
tempat rimbun anggur dan lembut kabut”
tempat rimbun anggur dan lembut kabut”
…..
”Maaf. di kuburan kita janji ketemu
hantu lelaki yang menggigil lantaran istri yang mati.
Sebut sembarang saja
namanya: Aliong, Aliung, Along,
atau nama lain seperti Hartono, Hartanto,
atau Hardoyo. Atau nama lain semisal babi licik,
maling baba, -bukan pribumi”.
hantu lelaki yang menggigil lantaran istri yang mati.
Sebut sembarang saja
namanya: Aliong, Aliung, Along,
atau nama lain seperti Hartono, Hartanto,
atau Hardoyo. Atau nama lain semisal babi licik,
maling baba, -bukan pribumi”.
Puisi tersebut seakan hendak mendedahkan
sebuah kearifan bahwa mula kekerasan dan penindasan bermula dari “mulut”, dari
ujaran, dari sebutan, singkatnya dari identifikasi dan stereotipisasi atas
“yang lain”. Dari muasal yang sebenarnya bersifat “wicara”, yang ketika
terus-menerus diujarkan secara berulang-ulang maka akan menjelma stereotip dan
“identifikasi”, yang lalu menjelma eksclusi terhadap “yang lain” dan “yang
differ” atau “yang berbeda”. Dari sini kita sebenarnya bisa mengatakan bahwa
kekerasan dan penindasan juga bermula dari kebiasaaan. Sebab, seperti yang
pernah dikatakan Hannah Arendt (Lihat Karlina Supelli, BASIS Edisi Maret-April 2007: 13-15), kejahatan dan kedurjanaan
dapat bersumber dari “kelesuan karakter”, “ketaksadaran”, dan “kemalasan
berpikir”. Setidak-tidaknya, dalam konteks inilah sejumlah puisi Hanna
Fransisca mesti dipahami. Pun pada sisi lainnya, puisi-puisi Hanna Fransisca
pada saat bersamaan dapat dimengerti sebagai refleksi sosial yang dinarasikan
dengan jalan menghadirkan ironi, karena dengan itu terpancar kekuatan
meditatifnya demi memancing permenungan dan empati para pembaca. Dengan kata
lain, puisi-puisi Hanna Fransisca menyindir sekaligus menegur kita dengan
halus:
“Ia tak ingin hidupnya mati sampai di sini.
Mungkin kelak ia pandai menghitung koin,
dan barang kelontong demi harga diri.
Tapi ia sungguh tak ingin tidur dan mati di
dalam peti. Satu hal pasti: sejak disapa
guru pribumi jadi noni, ia lantas berhenti
membaca negeri. Ia putuskan
tak lagi jatuh cinta. Di sudut bibirmu
ada sebutir nasi. “Engkau hanya lah tamu
tanah dan air, menunggu di beranda
sampai mati”
Mungkin kelak ia pandai menghitung koin,
dan barang kelontong demi harga diri.
Tapi ia sungguh tak ingin tidur dan mati di
dalam peti. Satu hal pasti: sejak disapa
guru pribumi jadi noni, ia lantas berhenti
membaca negeri. Ia putuskan
tak lagi jatuh cinta. Di sudut bibirmu
ada sebutir nasi. “Engkau hanya lah tamu
tanah dan air, menunggu di beranda
sampai mati”
(Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi).
Seperti terlihat dalam sejumlah puisinya,
salah-satu masalah identitas yang kerap kali muncul adalah pertanyaan tentang
“tanah air”, juga masalah “pribumi” dan “non-pribumi” yang rupa-rupanya cukup
menyita pikiran dan tenaga estetik Hanna Fransisca, hingga soal-soal tersebut
berkali-kali ia hadirkan dan ia ketengahkan melalui sejumlah puisinya, semisal
lewat puisi yang berjudul Air Mata Tanah
Air, Lilin Negeri, dan Nyanyi Tanah Negeri.
MASALAH
GENDER DAN TRADISI PATRIARKHI
Isu lain yang tak bisa diabaikan dalam puisi-puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han itu adalah soal gender dan tradisi patriarkhi. Hal ini tampak dalam beberapa puisinya yang mengangkat sosok “Ibu”, yang acapkali digambarkan Hanna sebagai seorang “pahlawan” dan sosok “yang mengorbankan diri” demi keberlangsungan kehidupan keluarga, seperti tampak dalam puisinya yang berjudul Puisi Kacang Hijau:
Isu lain yang tak bisa diabaikan dalam puisi-puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han itu adalah soal gender dan tradisi patriarkhi. Hal ini tampak dalam beberapa puisinya yang mengangkat sosok “Ibu”, yang acapkali digambarkan Hanna sebagai seorang “pahlawan” dan sosok “yang mengorbankan diri” demi keberlangsungan kehidupan keluarga, seperti tampak dalam puisinya yang berjudul Puisi Kacang Hijau:
“Dalam gelombang panas //
Ibu menambah kuah gula dan kelapa //
bersarung merah daster tembaga. //
Ia titipkan matanya
dalam liuk api
yang mententeramkan cinta. //
Ibu menambah kuah gula dan kelapa //
bersarung merah daster tembaga. //
Ia titipkan matanya
dalam liuk api
yang mententeramkan cinta. //
Hijau kulitmu,
biru api nasibmu. //
Pecah biji kacang
satu persatu. //
biru api nasibmu. //
Pecah biji kacang
satu persatu. //
Hingga senja tiba,
menunggu usia binasa //
Ibu menuangkan seluruh dirinya
ke dalam mangkuk, // lalu menitipkan anak-anaknya //
pada hidup yang akan menjadikannya dewasa”.
menunggu usia binasa //
Ibu menuangkan seluruh dirinya
ke dalam mangkuk, // lalu menitipkan anak-anaknya //
pada hidup yang akan menjadikannya dewasa”.
Puisi-puisi Hanna Fransisca yang berusaha
mengangkat sosok “Ibu” dan “perempuan” tersebut akan mengingatkan kita kepada
tokoh-tokoh perempuan yang juga dikisahkan Jung Chang melalui bukunya yang
berjudul Wild Swans –Three Daughters of
China (Lihat Jung Chan, Angsa-Angsa Liar, Gramedia 2005) itu, sekedar
sebagai perbandingan longgar, yang menceritakan tokoh-tokoh perempuan yang
berjuang dalam himpitan dan tekanan tradisi dan budaya patriarkhi dari generasi
ke generasi. Sosok perempuan, terutama sosok “Ibu” yang dipotret Hanna
Fransisca tersebut, tak jauh berbeda dengan sosok-sosok perempuan-nya Jung
Chang, entah nenek buyutnya, neneknya, atau ibunya, yang dilukiskan sebagai
perempuan-perempuan yang sabar, acapkali dalam himpitan dan tekanan, yang salah
satunya karena budaya patriarkhi dan tradisi, tokoh-tokoh yang berjuang keras
dan memang “berkorban” demi kelangsungan wangsa dan keluarga. Secara khusus,
dalam Puisi Kacang Hijau, itu Hanna
Fransisca menggambarkan bubur kacang hijau yang hendak ia santap sebagai
“nasib” dan “tubuh” ibunya sendiri. Atau minimal ia terkenang perjuangan dan
“pengorbanan” ibunya saat hendak menyantap dan saat menyantap menu santapan
yang terbuat dari bahan kacang hijau tersebut.
Puisinya yang lain yang juga bernada dan
mengangkat isu serupa, selain tentang kenangan dan ingatan penyairnya, adalah
yang berjudul Kepada Adik: “Di
sepanjang jalan Singkawang // di lorong-lorong pecinan // kubangan lumpur dan
gubuk tempat ibu pernah berdiri // tak letih-letih aku mencari……Di rumah tua
sepasang tangan keriput // masih menanak jagung yang kausuka. // Asap halus
mengepul di wajah ibu yang mulai menua”. Tema puisi ini, sebagaimana tema Puisi Kacang Hijau, adalah sosok “Ibu”
yang begitu nyata dan akrab dalam ingatan kanak-kanak penyair hingga dewasa.
Sosok “Ibu” yang dinarasikan dan digambarkan Hanna Fransisca begitu sakral.
Sosok “Ibu” diangkat karena bagi si penyairnya merupakan contoh nyata
“perempuan” yang berjuang di tengah tradisi patriarkhi, yang pada saat yang
bersamaan seakan hanya bisa menanggung “ketakberdayaan” untuk melawan adat
tradisi.
Pertarungan naratif dan metaforik puisi-puisi
Hanna Fransisca dalam Konde Penyair Han
pada dasarnya adalah pencarian “identitas” dalam konteks adat tradisi dan
budaya Tionghoa-nya di satu sisi, dan persoalan pergulatan identitas Tionghoa
itu sendiri dalam konteks sosial-politik dan kewargaan Indonesia. Dalam hal
ini, melalui beberapa puisinya semisal puisi Air Mata Tanah Air, Lilin
Negeri 2, dan Sang Naga,
penyairnya bahkan berusaha melakukan dialog fiktif dan sunyi dengan sosok Gus
Dur atau KH. Abdurrahman Wahid, yang tak lain sosok pluralis, pembela hak-hak
asasi manusia, ulama kharismatik, yang pada saat bersamaan dikenal dekat dengan
etnik Tionghoa, yang bahkan berusaha memerangi ketidakadilan kepada etnik
Tionghoa, baik ketika menjadi budayawan, ketua PBNU, dan presiden RI. Dapat
dikatakan, Gus Dur merupakan figur penting bahkan dianggap “pahlawan” bagi
Hanna Fransisca. Ia dianggap sosok yang humanis dan ideal seorang manusia yang
patut diteladani.
REFLEKSI
BERSAMA
Membaca puisi-puisi Hanna Fransisca yang menarasikan diri mereka dengan ujaran reflektif dan sindiran halus itu, meski berangkat dari latar belakang kehidupan si penyairnya, entah kenangan dan ingatannya tentang tanah kelahiran plus kampung halaman dan sosok ibunya, dan upayanya menggunakan adat tradisi dan mitologi etnik Tionghoa sebagai reference dan kiasan puisi-puisinya, tersebut sebenarnya dapat dibaca sebagai refleksi bersama dalam konteks budaya dan lanskap kewargaan kita di Indonesia. Salah-satu contohnya, yang dengan mempersembahkan beberapa puisinya, yang merupakan dialog fiktif dan upaya mempersembahkan kepada sosok Gus Dur, itu seakan berusaha mengajak dan menegur kita secara halus untuk belajar “bagaimana menjadi manusia” dari figur KH. Abdurrahman Wahid, yang memang telah kita kenal sebagai figur pembela humanisme yang teguh dan lantang, seperti terlihat dalam perjuangan dan upayanya menolak dan melawan diskriminasi SARA dalam konteks politik dan budaya Indonesia.
Membaca puisi-puisi Hanna Fransisca yang menarasikan diri mereka dengan ujaran reflektif dan sindiran halus itu, meski berangkat dari latar belakang kehidupan si penyairnya, entah kenangan dan ingatannya tentang tanah kelahiran plus kampung halaman dan sosok ibunya, dan upayanya menggunakan adat tradisi dan mitologi etnik Tionghoa sebagai reference dan kiasan puisi-puisinya, tersebut sebenarnya dapat dibaca sebagai refleksi bersama dalam konteks budaya dan lanskap kewargaan kita di Indonesia. Salah-satu contohnya, yang dengan mempersembahkan beberapa puisinya, yang merupakan dialog fiktif dan upaya mempersembahkan kepada sosok Gus Dur, itu seakan berusaha mengajak dan menegur kita secara halus untuk belajar “bagaimana menjadi manusia” dari figur KH. Abdurrahman Wahid, yang memang telah kita kenal sebagai figur pembela humanisme yang teguh dan lantang, seperti terlihat dalam perjuangan dan upayanya menolak dan melawan diskriminasi SARA dalam konteks politik dan budaya Indonesia.
Berangkat dari dan berdasar aras wawasan
tersebut, sejumlah puisi yang termaktub dalam Konde Penyair Han-nya Hanna
Fransisca pada dasarnya datang dari seorang wakil warga Negara Indonesia, dari
salah-satu etnik dari sekian banyak etnik di negeri kita, ketika ia merasa ada
“ketidakadilan”, “prasangka negatif”, dan “tuduhan sepihak” yang merasa perlu
ia hadirkan dan ia wacanakan ke hadapan kita semua demi mendapatkan “pemahaman”
dan “empati”. Maka wajar, jika dalam beberapa puisinya di buku Konde Penyair Han, itu Hanna Fransisca
tak segan-segan menghadirkan dan menggambarkan etnik Tionghoa sebagai korban,
utamanya korban amok politik pada peristiwa Mei 1998 di Jakarta. Peristiwa Mei
1998 tersebut bahkan dapat dikatakan sebagai inspirasi dan rujukan penting bagi
kreativitas penulisan beberapa puisinya. Dengan latar dan rujukan itu pulalah
kemudian si penyairnya berusaha merefleksikannya dengan jalan menengok atau
berziarah kembali ke “genealogy” wangsa dirinya, adat istiadat, dan mitologi Tionghoa,
yang tentu saja, sangat ia kenal dan sangat ia akrabi, karena ia sendiri hidup
bersama dan menghidupi adat istiadat, tradisi, dan mitologi etnik Tionghoa itu.
Inilah salah-satu pijakan dan latar-belakang yang tak dapat diabaikan ketika
kita membaca puisi-puisinya Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han.
Penerokaan dan refleksi seputar identitas dan
etnisitas yang terpancar lewat dan dalam sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam
buku Konde Penyair Han itu
mengingatkan saya pada refleksi-refleksi diarisnya Amin Maalouf yang cukup
investigatif dan mencerahkan saat Amin Maalouf mencoba mengangkat dua isu
penting tersebut dalam hidup kita secara politik dan kultural. Amin Maalouf dan
Hanna Fransisca bahkan memiliki kemiripan reflektif, meski Amin dan Hanna
menggunakan media yang berbeda untuk mengangkat soal-soal tersebut, esai dan
puisi. Keduanya pun berangkat dari dunia politik-kultural dan pengalaman mereka
masing-masing, yang karena sifatnya yang universal itu, kemudian memiliki nada
keprihatinan yang tak jauh berbeda. Lewat-lewat esai diaris-reflektifnya dalam
bukunya yang berjudul In the Name of
Identity itu, seperti halnya kemudian nada serupa tampak dalam sejumlah
puisi Hanna, Malouf memaklumkan kita bahwa soal identitas dan etnisitas
kerapkali menjadi sumber kekerasan dan pertikaian, meski apa yang kita sebut
“identitas” itu sendiri sesungguhnya tak pernah ajeg. “Orang bertanya pada saya”, tulis Maalouf, “apakah saya lebih Perancis atau lebih Lebanon? Dan saya selalu melontarkan jawaban yang sama: Keduanya! Saya berkata
demikian tidak memaksudkan supaya jawaban saya terdengar adil dan berimbang,
tetapi karena jawaban yang lain sama artinya dengan kebohongan” (Amin
Maalouf, 2004: 1-5). Dilema identitas sebagaimana yang diungkapkan Maalouf
tersebut serupa dengan dilema yang dialami dan dihidupi oleh Hanna Fransisca,
seperti tergambar dalam sejumlah puisinya, di mana ia seorang etnik Tionghoa
sekaligus “hidup” di Indonesia, hingga tak teringkari bahwa Hanna adalah
seorang Tionghoa sekaligus Indonesia, dan itulah identitasnya, bila kita
meminjam logika dan wawasannya Amin Maalouf.
Seperti halnya Maalouf, Hanna pun seakan-akan
hendak mengatakan bahwa menetapkan identitas seseorang atau pun kelompok
masyarakat secara ajeg bisa menimbulkan masalah dan mengingkari realitas dunia
dan hidup saat ini, di mana banyak orang menyandang sematan identitas yang
beragam secara bersamaan. Dalam dunia saat ini, sebagaimana diungkapkan Amin
Maalouf dan Amartya Sen, misalnya, tak lagi bisa dipahami sebagai konsep general
yang mengingkari pengalaman-pengalaman khusus dan unik setiap individu. Sebagai
contoh, Kartu Identitas semisal KTP, mestilah lebih dipandang sebagai kebutuhan
statistik saja ketimbang sebagai definisi substantif seseorang yang
menyandangnya. Sebab, seperti telah kita maphumi bersama, di jaman ini sudah
banyak sekali individu-individu yang sebenarnya hidup dengan sekian identitas
campuran dan menghidupinya dengan sukarela atau terpaksa, seperti Amin Maalouf
yang keturunan Arab-Libanon, beragama Kristen, mengenal bahasa Arab secara
fasih yang juga merupakan bahasanya banyak kaum muslim, tapi pada saat
bersamaan adalah seorang warga-negara Perancis dan menulis dalam bahasa
Perancis. Kenyataan serupa juga dapat kita kiaskan pada kasus Hanna, seorang
keturunan Tionghoa yang lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, dan kini hidup
di Jakarta, akrab dan menghidupi adat istiadat dan budaya Tionghoa, namun pada
saat bersamaan tinggal di Indonesia dan menulis juga berbicara dengan dan dalam
Bahasa Indonesia.
Selain Amin Maalouf dan Amartya Sen, kita juga
bisa menimba refleksi bersama ini dari tulisan-tulisan dan wawasan filosofisnya
Richard Rorty, tentu sebagai cermin untuk menilai dan melihat arti refleksi
yang dihadirkan oleh sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam Konde Penyair Han
itu. Dalam esai panjangnya yang berjudul Consequences
of Pragmatism itu, Richard Rorty, yang diinspirasi oleh renungan-renungan
filsafatnya Adorno dan Hannah Arendt, dan pengalaman sejarah nasionalisme
modern dan rezim kekuasaan politik otoritarianismenya, kita diajak menengok
sebuah masa ketika kesadaran kita tergiring kepada pengalaman pahit abad 20,
ketika kepercayaan ideologis yang dogmatis malah memanen kekejaman dan
kemalangan bagi jutaan ummat manusia. Dalam esai panjangnya yang berjudul Consequences of Pragmatism itu,
contohnya, Rorty menginterupsi kepercayaan dan pemahaman kita tentang apa yang
kita terima dan kita percayai sebagai kebenaran yang masih berbasis pendasaran
metafisik dan universalisme yang mengatasi sejarah alias tidak didasarkan pada
pengalaman kefanaan kita yang lebih nyata. “Truth
is not the sort of thing one should expect to have a philosophically
interesting theory about”, tulis Rorty, “truth is just the name of a property which all true statements share”
(Richard Rorty, 1991: xiii-xxi). Di sini, dialog dan sharing pemahaman
merupakan media dan jalan yang mesti dipilih dalam lingkungan sosial dan
situasi epistemik dunia modern saat ini, termasuk melalui tulisan dan
penyebaran dan publikasi wacana. Menurut Rorty, contohnya, sudah bukan saatnya
lagi bagi kita untuk bertanya “apakah kita” seperti lazimnya filsafat
tradisional, tetapi lebih baik bertanya “siapakah kita”, di mana dengan
pertanyaan kedua itu kita akan lebih menyadari eksistensi dan posisi kita dalam
keragaman dan situasi epistemik jaman ini. Singkatnya lebih realistis,
sebagaimana yang juga dibayangkan oleh Amartya Sen dan Amin Maalouf. Tapi,
sepertinya, meski hanya tersirat saja, dalam beberapa puisi Hanna Fransisca,
pertanyaan dan refleksi “apakah kita” dan “siapakah kita” sama-sama penting.
Lebih khusus dan spesifik, dalam kasus sejumlah puisi Hanna Fransisca
sebagaimana yang termaktub dalam buku Konde
Penyair Han itu, pertanyaan dan refleksinya menjadi “Apakah Tionghoa” dan “Siapakah
Tionghoa”, yang kemudian seakan-akan hendak merenungkan, merefleksikan, dan
mempertanyakan kembali “Apakah Indonesia”
dan “Siapakah Indonesia”. Dari
sinilah kita dapat juga menilai kekhasan sejumlah puisi Hanna Fransisca,
minimal dalam pemilihan tema dan isu pergulatan puisi-puisinya dalam buku Konde Penyair Han itu, di tengah dunia
penulisan yang berjuang untuk tidak menjadi sekadar “hiburan” dan “propaganda”
semata, jika saya meminjam istilahnya Daniele Sallenave, di tengah serbuan
kamuflase (rekayasa) buku-buku yang melabelkan best sellers, di mana sastra
atau penulisan rentan menjadi komoditas sesaat saja. Di sini, dengan meminjam
langsung penuturannya Daniele Sallenave, sastra mendapati fungsi dirinya lebih
pada upaya membuka suatu “renungan”, yang tak bakal berakhir dan tak bakal
diakhiri, tentang makna kehadiran manusia-manusia konkret (Jurnal Kalam Edisi
9, 1997: 63-64).
Setidak-tidaknya, apa yang “diidealkan”
Daniele Sallenave tentang di mana sastra, yang dalam konteks tulisan ini dapat
dikatakan di mana puisi, mesti menempati dirinya atau “menjalankan” fungsinya
sebagai usaha membuka kemungkinan bagi “renungan” akan manusia-manusia atau
subjek-subjek konkret itu tercermin juga dalam sejumlah puisi Hanna Fransisca
dalam buku Konde Penyair Han. Sejumlah puisi Hanna Fransisca dalam buku Konde Penyair Han, meski tentu saja tak
luput menjadi “pembelaan” subjektif dan sepihak, berusaha menempatkan dan
memposisikan diri sebagai suara-suara “perenungan” dan “refleksi-investigatif”
dalam soal-soal identitas, kewargaan, dan etnisitas, yaitu “Tionghoa” dan
“Indonesia” pada saat bersamaan.
PUSTAKA
Buku:
Amin Maalouf, In the Name of Identity, Alih Bahasa: Ronny Agustinus, Resist Book 2004.
Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas, Alih Bahasa: Arif Susanto, Marjinkiri 2007.
Hanna Fransisca, Konde Penyair Han, KataKita 2010.
Jung Chang, Angsa-Angsa Liar, Alih Bahasa: Honggo Wibisana, Gramedia 2005.
Richard Rorty, Consequences of Pragmatism, Harvester 1991.
Risalah Dari Ternate, Ummu Press Oktober 2011.
Sauk Seloko, Dewan Kesenian Jambi 2012.
Tan Lioe Ie, Malam Cahaya Lampion, Bentang 2005.
Toety Heraty, Hidup Matinya Sang Pengarang, Yayasan Obor Indonesia 2000.
Tuah Tara No Ate, Ummu Press Oktober 2011.
Wahyu Arya, Sebuah Pintu yang Terbuka, Kubah Budaya 2012.
Buku:
Amin Maalouf, In the Name of Identity, Alih Bahasa: Ronny Agustinus, Resist Book 2004.
Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas, Alih Bahasa: Arif Susanto, Marjinkiri 2007.
Hanna Fransisca, Konde Penyair Han, KataKita 2010.
Jung Chang, Angsa-Angsa Liar, Alih Bahasa: Honggo Wibisana, Gramedia 2005.
Richard Rorty, Consequences of Pragmatism, Harvester 1991.
Risalah Dari Ternate, Ummu Press Oktober 2011.
Sauk Seloko, Dewan Kesenian Jambi 2012.
Tan Lioe Ie, Malam Cahaya Lampion, Bentang 2005.
Toety Heraty, Hidup Matinya Sang Pengarang, Yayasan Obor Indonesia 2000.
Tuah Tara No Ate, Ummu Press Oktober 2011.
Wahyu Arya, Sebuah Pintu yang Terbuka, Kubah Budaya 2012.
Jurnal
dan Majalah:
Majalah BASIS Edisi Maret-April 2007.
Jurnal Kalam Edisi 9, 1997.
Majalah INTISARI Edisi Agustus 2004.
Majalah BASIS Edisi Maret-April 2007.
Jurnal Kalam Edisi 9, 1997.
Majalah INTISARI Edisi Agustus 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar